Rabu, 30 November 2011

Sejarah Kasultanan Cirebon post by Princess Dewi Kenanga

Syarif Hidayatullah atau yang sering disebut dengan Sunan Gunung Jati merupakan salah satu anggota Wali Songo; penyebar agama Islam di Jawa di era Majapahit akhir. Dia adalah seorang raja (pemimpin rakyat), sekaligus wali (pemimpin spiritual, muballigh, da’i) dan sufi, dialah penerus dari KH abdul Imam Mbah Kuwu Cerbon Pangeran Cakrabuwana yang mengukuhkan berdirinya Negara kesultanan Cirebon.
Syarif Hidayatullah adalah Putra dari Maulana Syarif Abdillah, penguasa kota Isma’iliyah Mesir Bangsa Arab –bukan dari Aceh. Dia juga bukan Fatahillah atau Faletehan seperti yang disebut-sebut dalam sebagian catatan sejarah. Faktanya adalah terdapat makam Fatahillah (Ki Bagus Pasai) di sisi makam Sunan Gunung Jati. Lagipula, Sunan Gunung Jati hidup di era Raden Patah, Sultan Demak pertama. Sedangkan Fatahillah datang dari Aceh pada masa pemerintahan Sultan Trenggana, sultan Demak ke-3 setelah Dipati Unus.
“Gunung Jati sebagai pengguron Islam cirebon”, “Pertamanan Gunung Sembung”, “Sunan Gunung Jati bukan Fatahillah”, “Komplek pemakaman Gunung Sembung”,

***Permulaan abad XV agama Islam sudah berkembang di Jawa, terutama di Gresik, Jawa Timur dengan Maulana Malik Ibrahim -anggota sekaligus sesepuh Wali Songo- yang membuka pesantren bagi siapa saja yang berminat belajar Islam. Para santri datang dari berbagai penjuru, dan hanya sedikit yang datang dari Jawa Barat. Saat itu, Jawa Barat di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran yang Hindu, termasuk Gunung Jati yang masuk wilayah administratif Singapura (Celancang), bawahan Pajajaran Gunung Jati yang terletak di tepi pelabuhan Muara Jati sangat ramai dikunjungi oleh para pedagang dari manca negara. Penguasa negerinya sangat bijaksana, adalah Ki Gede Surawijaya dengan syahbandar bernama Ki Gede Tapa atau Ki Jumajan Jati yang juga santri di Pengguron Islam Syekh Quro’ Krawang. Pedagang banyak yang datang dari Cina, Gujarat (barat India), dan Arab yang berdagang sambil berdakwah Islam. Lambat-laun, terjadi evolusi perubahan agama dari Budha ke Islam.
Sekitar tahun 1420M datanglah serombongan pedagang dari Baghdad yang dipimpin Syekh Idlofi Mahdi. Oleh Ki Surawijaya, Syekh Idlofi diijinkan menetap dan tinggal di kampung Pasambangan yang terletak di Gunung Jati. Dia berdakwah, dan ajaran Islam berkembang begitu cepat. Itulah awal mula Gunung Jati sebagai Pangguron Islam. Muridnya diantaranya adalah Raden Walangsungsang dan adiknya, Ratu Rarasantang, serta istrinya Nyi Endang Geulis. Keduanya adalah putra Raja Pajajaran, Raden Pamanarasa (Prabu Siliwangi) dengan Nyi Mas Subanglarang putri Ki Jumajan Jati, Syahbandar Pelabuhan Muara Jati. Karena pengaruhnya yang sangat besar bagi masyarakat sekitar, Syekh Idlofi juga disebut Syekh Dzatul Kahfi (“sesepuh yang mendiami gua”) atau Syekh Nur Jati (“sesepuh yang menyinari atau menyiarkan Gunung Jati”).
Setelah dianggap mumpuni, Walangsungsang bersama adik dan istrinya diperintahkan oleh Syekh Idlofi agar membuka hutan untuk dijadikan pedukuhan yang lokasinya di selatan Gunung Jati Setelah selesai babat alas, pedukuhan itu disebut Tegal Alang-Alang.Raden Walangsungsang sebagai penerus pengguronislam diangkat sebagai Kepala Dukuh dengan gelar Ki Kuwu dan dijuluki Pangeran Cakrabuana.
Pedukuhan itu berkembang pesat. Banyak pedagang membuka pasar dan kemudian menetap di pedukuhan itu. Karena multi ras, maka nama Tegal Alang-Alang lambat-laun luntur menjadi Caruban (pertautan). Di samping itu, nama ini disebabkan karena sebagian besar warganya bekerja sebagai pencari ikan dan mmebuat petis dari air udang yang dalam bahasa Sunda disebut “Cai Rebon”, maka lama-lama menjadi Cirebon.
Atas perintah Syekh Nurjati, Cakrabuana dan Rarasantang pergi ibadah haji, sementara istrinya yang lagi mengandung tetap di Caruban. Pedukuhan kemudian diserahkan ke Ki Pengalang-Alang (Ki danusela). Di Mekkah, keduanya bermukim beberapa bulan di rumah Syekh Bayanillah. Rarasantang kemudian disunting oleh seorang pembesar Kota Isma’iliyah bernama Syarif Abdillah bin Nurul Alim dari suku Bani Hasyim. Rarasantang kemudian berganti nama Syarifah Muda’im. Dari perkawinan ini lahirlah Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah

***Sekitar tahun 1456 M, Cakrabuana pulang kampung. Pedukuhan Caruban yang berkembang pesat kemudian diganti namanya menjadi Nagari Caruban Larang. Negeri ini diresmikan oleh Prabu Siliwangi -meskipun secara prinsip Raja Pajajaran ini kurang berkenan atas tindakan anaknya tersebut- dan Cakrabuana diberinya gelar “Sri Manggana“. Cakrabuana lalu membangun Istana Pakungwati, sesuai nama puterinya yang lahir ketika dia masih di Mekkah.
Untuk kunjungan tetapnya ke Syekh Nurjatii, Cakrabuana membangun tempat peristirahatan yang disebut pertamanan Gunung Sembung. Lokasinya berada di sebelah barat Gunung Jati, jaraknya sekitar 200m. Pada akhirnya pertamanan ini menjadi pemakaman pendirinya berikut keturunannya.

***Syarifah Muda’im dan Syarif Hidayatullah -yang saat itu berusia 20 tahun- mudik ke Cirebon, sementara Syarif Nurullah sang adik, menggantikan posisi ayahnya sebagai pembesar Kota Isma’iliyah. Sekitar tahun 1475 M mereka tiba di Caruban. Oleh Cakrabuana, keduanya diperkenankan menetap di pertamanan Gunung Sembung, sekaligus sebagai penerus Pangguron Islam Gunung Jati yang saat itu Syekh Idlofi/Syekh Nurjatisudah wafat.Pangeran Cakrabuana kemudian menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Nyi Ratu Pakungwati. Tahun 1479M, Cakrabuana yang sudah berusia lanjut digantikan oleh keponakan sekaligus menantunya yaitu Syaikh Syarif Hidayatullah dinobatkan menjadi Panetep Agama dan Kepala Negara, Syaikh Syarief Hidayatullah Bergelar Susuhunan Jati Cirebon menjadi kepala negara sekaligus menjadi penetap Panata Agama di Cirebon, dan bergelar:” Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panata Agama Awliyai Allah Kutubid Khalifatur Rasulullah SAW
Di awal pemerintahannya, Syarif Hidayatullah sowan ke kakeknya, Prabu Siliwangi sekaligus mengajak untuk memeluk agama Islam Kembali. Namun, Sang Prabu menolak, tapi tetap mengijinkan cucunya untuk menyebarkan Islam di wilayah Pajajaran. Dia kemudian mengembara ke Banten. Di sana, dia disambut dengan baik, bahkan dinikahkan dengan putri Adipati Banten, Nyi Ratu Kawungaten. Dari pernikahan ini lahirlah Nyi Ratu Winaon dan Pangerang Sabakingking.
Peran dakwah Syarif Hidayatullah didengar sampai di Kerajaan Demak yang baru berdiri 1478M. Dia kemudian diundang ke Demak dan ditetapkan sebagai “Penetap Panata Gama Rasul” di tanah Pasundan dengan gelar Sunan Gunung Jati, sekaligus berdirilah Kesultanan Pakungwati dengan gelar Sultan. Karena merasa mendapatkan dukungan dari Demak, Cirebon tidak lagi mau membayar upeti -sebagai bukti ketundukan- pada Pajajaran. Marahlah Prabu Siliwangi. Dikirimlah 60 pasukan di bawah pimpinan Tumenggung Jagabaya untuk menangkap cucunya. Tapi usaha ini sia-sia. Pasukan Pajajaran itu berhasil dilumpuhkan oleh Cirebon. Mereka menyerah bahkan bergabung dengan Cirebon. Wilayah Cirebon semakin luas. Negeri-negeri yang sebelumnya di bawah Pajajaran seperti Surantaka, Japura, Wanagiri, Galuh, Talaga dan Singapura melebur bergabung dalam kedaulatan Cirebon.
Pembauran multi ras terjadi di Cirebon. Kakak Ki Gede Tapa (Ki Jumajan Jati) -kakek Sunan Gunung Jati, Nyi Rara Rudra menikah dengan saudagar Tiongkok/Cina, Ma Huang yang kemudian bergelar Ki Dampu Awang. Oleh Kaisar Tiongkok, Sunan Gunung Jati dijadikan menantu dinikahkan dengan Ong Tien (1481M), yang kemudian ganti menjadi Nyi Ratu Rara Sumanding. Pernikahan ini dilakukan setahun setelah Mesjid Agung Sang Ciptarasa dibangun (1480M).

***Malaka diduduki Portugis pada tahun 1511M. Kerajaan Demak mengirim pasukan yang dipimpin Dipati Unus (Pangeran Sabrang Lor) dengan dibantu oleh negeri-negeri sahabat. Cirebon bertugas mempertahankan Sunda Kelapa (Jayakarta). Pasukan Demak bisa dipukul mundur. Mereka balik ke Jawa. Di antara rombongan tersebut, terseliplah Kyai Fathullah atau Fatahillah atau Feletehan, ulama dari Aceh. Pasca Dipati Unus gugur 1521M, Demak dipegang oleh Sultan Trenggono. Fatahillah diangkat sebagai panglima pasukan Demak untuk mempertahankan Sunda Kelapa.
Dengan dibantu pasukan Cirebon, Fatahillah mampu memukul mundur Pajajaran yang berkolaborasi dengan Portugis. Mereka bisa diusir dari Sunda Kelapa di tahun 1522M. Banten di bawah kendali Pangeran Sabakingking, putra Sunan Gunung Jati juga memberikan dukungan yang hebat. Karena keberhasilan Fatahillah dalam memimpin Sunda Kelapa, maka ia juga disebut Kyai Bagus Pasai. Hanya beberapa bulan saja, Fatahillah kemudian kembali ke Cirebon -alasan utamanya adalah ditunjuk oleh Sunan Gunung Jati dalam rangka memperluas wilayah Isllam ke negeri-negeri sekitar Cirebon (seperti: talaga, Rajagaluh). Padat saat yang bersamaan, Sunan Gunung Jati menikah lagi dengan Nyi Ageng Tepasari putri Ki Ageng Tepasan, seorang mantan pembesar Majapahit. Hal ini karena Nyi Pakungwati meninggal -tidak punya anak- dan Nyi Ong Tien juga tidak dikaruniai anak. Dari perkawinan ini lahirlah Ratu Wulung Ayu dan Pangeran Muhammad Arifin (Pangeran Pasarean) yang kelak akan menggantikannya.
Selesai penaklukan negeri sekitar, Fatahillah menikah dengan putri Sunan Gunung Jati, Ratu Wulung Ayu. Bupati Jayakarta diserahkan ke Ki Bagus Angke. Pangeran Pasarean naik menggantikan Sunan Gunung Jati menjadi Sultan ke-2 Cirebon dengan penasehat politiknya, Fatahillah. Pangeran Sabakingking dinobatkan sebagai Sultan Banten pertama dengan gelar Sultan Maulana Hasanuddin. Tahun 1552M,.kemudian setelah pangeran pesarean wafat diteruskan Pangeran Suwarga yang manjadi Adipati Cirebon bergelar Pangeran Pakungja atau Pangeran Sedang Kemuning Sultan ke-3 Cirebon dengan gelar Dipati Cirebon
I. Menikah dengan Nyi Ratu Wanawati putri Fatahillah.
Tahun 1568M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun. Dua tahun kemudian Fatahillah menyusul. Keduanya dimakamkam secara berdampingan dan tidak diperantarai apapun. Ini menjadi bukti bahwa kedua tokoh tersebut memanglah beda. Pada masa pemerintahan Sultan ke-VI Pangeran Karim (Panembahan Girilaya), Mataram yang sudah pro-VOC (Sunan Amangkurat I) mengundang menantunya itu untuk datang ke Mataram. Bersama istri dan kedua anaknya -kecuali Pangeran Wangsakerta- hadir ke Mataram. Karena kecurigaan Mataram, keempatnya ditahan untuk tidak kembali ke Cirebon.
Panembahan Girilaya meninggal dan dimakamkan di Bukit Wonogiri (1667M), sedang kedua putranya pulang ke Cirebon. Atas kebijakan Sultan Banten, An-Nasr Abdul Kohar, agar tidak terjadi pertumpahan darah, maka dipecahlah Cirebon menjadi tiga bagian; Kasepuhan dipegang Pangeran Martawijaya yang kemudian bergelar Sultan Raja Syamsudin, Kanoman dipegang Pangeran Kertawijaya bergelar Sultan Moh. Badridin, dan Pangeran Wangsakerta diberi bagian Kacirebonan dengan gelar Panembahan Tohpati. Peristiwa ini terjadi di tahun 1667M. Sesuai kesepakatan, hanya Kasepuhan dan Kanoman yang memakai gelar Sultan. Adapun Kaprabonan adalah pengguron thareqat ,Pangeran Raja Adipati Kaprabon, adalah putra sulung dari sultan Kanoman I, yang lebih memilih kepeduliannya terhadap bidang Thareqat Agama Islam ketimbang ke pemerintahan.

Berikut adalah silsilah raja-raja Cirebon:

SILSILAH SULTAN KERATON KASEPUHAN

Sunan Gunung Jati Syech Hidayahtullah ,Pangeran Pasarean Muhammad Tajul Arifin ,Pangeran Dipati Carbon,Panembahan Ratu,Pangeran Mande gayam ,Dipati Carbon,Panembahan Girilaya.Para Sultan :
Sultan Raja Syamsudin
Sultan Raja Tajularipin Jamaludin
Sultan Sepuh Raja Jaenudin
Sultan Sepuh Raja Suna Moh Jaenudin
Sultan Sepuh Safidin Matangaji
Sultan Sepuh Hasanudin
Sultan Sepuh I
Sultan Sepuh Raja Samsudin I
Sultan Sepuh Raja Samsudin II
Sultan Sepuh Raja Ningrat
Sultan Sepuh Jamaludin Aluda
Sultan Sepuh Raja Rajaningrat
Sultan Pangeran Raja Adipati H. Maulana Pakuningrat, SH
Sultan Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat SE

SILSILAH SULTAN KERATON KANOMAN

Sunan Gunung Jati Syech Syarif Hidayahtullah ,Panembahan Pasarean Muhammad Tajul Arifin, Panembahan Sedang Kemuning ,Panembahan Ratu Cirebon ,Panembahan Mande Gayem, Di pati carbon,,Panembahan Girilaya.

Para Sultan :
Sultan Kanoman I (Sultan Badridin)
Sultan Kanoman II ( Sultan Muhamamad Chadirudin)
Sultan Kanoman III (Sultan Muhamamad Alimudin)
Sultan Kanoman IV (Sultan Muhamamad Chadirudin)
Sultan Kanoman V (Sultan Muhamamad Imammudin)
Sultan Kanoman VI (Sultan Muhamamad Kamaroedin I)
Sultan Kanoman VII (Sultan Muhamamad Kamaroedin )
Sultan Kanoman VIII (Sultan Muhamamad Dulkarnaen)
Sultan Kanoman IX (Sultan Muhamamad Nurbuat)
Sultan Kanoman X (Sultan Muhamamad Nurus)
Sultan Kanoman XI (Sultan H Muhamamad Jalalludin)
Sultan Kanoman XII ( Sultan H Ir.Muhammad Saladin )

SILSILAH KERATON KACIREBONAN

Sunan Gunung Jati Syech Syarif Hidayahtullah Panembahan Pasarean Muhammad Tajul Arifin ,Panembahan Sedang Kemuning ,Panembahan Ratu Cirebon ,Panembahan Mande Gayem ,Di pati carbon,Panembahan Girilaya

Para Sultan :
Sultan Anom Raja Mandurareja Kanoman
Pangeran Raja Hidayat Raja Madenda
Pangeran Raja DendaWijaya Raja Madenda
Pangeran Partaningrat Raja Madenda
Pangeran Raharjadireja
Pangeran Sidek Arjadiningrat
Pangeran Harkat Nata Diningrat
Pangeran Moh Mulyono Amir Natadiningrat .
Pangeran Abdulgani Natadiningrat SE


RAMA GURU-GURU PENGGURON CIREBON AWAL HINGGA SAAT INI.

Syekh Nurjati ,K. H. Abdul Imam P.Cakrabuwana,Sunan Gunung Jati Syech SyarifHidayahtullah, Panembahan Pasarean Muhammad Tajul Arifin ,Panembahan Sedang Kemuning ,Panembahan Ratu Cirebon ,Panembahan Mande Gayem ,Di pati carbon,Panembahan Girilaya
Sultan Kanoman I (Sultan Moch Badridin) .

PANGERAN RAJA ADIPATI KAPRABON
PANGERAN KUSUMAWANINGYUN I
PANGERAN BRATANINGRAT I
PANGERAN RAJA SULEMAN SULENDRANINGRAT
PANGERAN ARIFUDIN KUSUMABRATAWIREJA
PANGERAN ADIKUSUMA ADININGRAT
berputra:
PANGERAN ANGKAWIJAYA DAN PANGERAN MUHAMMAD APIAH ADIKUSUMA II
A.PANGERAN ANGKAWIJAYA mempunyai putra diberi nama belakang Raja Kaprabon
1.P.Aruman Raja Kaparbon
2.P.Herman Raja Kaprabon
B.PANGERAN MUHAMMAD APIAH ADIKUSUMA II mempunyai 4 Putra yang Meneruskan sebagai Rama Guru /Syekhuna:
1.P.Kamil adikusuma…………..> 1.P.Harun Adikusuma(Pengguron Kaprabonan Kulon)
2.P.Masoloen Sulendrakusuma .>2.P.Sunaryo Sulendrakusuma(Pengguron Tradisionil Wetan)
3.P.M.Arifudin Purbaningrat..> 3.P.M.Nurbuwat Purbaningrat(Pengguron Pegajahan Thareqot Agama Islam)
4.P.Sulaeman Sulendraningrat..> 4.P.apiyah sulendraningrat(Pengguron Krapyak kaprabonan)

(”Sumber Babad Cirebon”)

Hal-hal unik tentang pemakaman Gunung Sembung ini adalah; Pertama, pemakaman tersebut dibagi dalam 9 pintu untuk menuju makam Sunan Gunung Jati di bagian tertinggi. Masyarakat awam dengan alasan keamanan hanya diperbolehkan ziarah sampai di depan pintu ke-3. Kedua, untuk penziarah Tionghoa, disediakan ruangan khusus bagian barat serambi muka.
Ketiga, tiga kali seminggu makam-makam tersebut dibersihkan dan diperbarui bung-bunganya oleh para juru kuncen. Secara rutin pintu Selamatangkep (pintu ke-2) yang membuka pemandangan ke cungkup makam Sunan Gunung Jati dibuka setiap Jum’at. Dan juga dibuka setiap pergantian petugas pada sore hari setiap setengah bulan. Pada saat terbukanya pintu inilah yang biasanya dimanfaatkan oleh pengunjung umum untuk bisa melihat makam Sunan Gunung Jati.
Keempat, juru kuncen makam berjumlah 108 orang yang berprofesi secara turun-temurun. Mereka berasal dari Keling (Kalingga) -kira-kira Kediri, Jawa Timur saat ini.


Berikut keterangan denah komplek pemakaman Gunung Sembung:

1. Sunan Gunung Jati, 2. Fatahillah, 3. Syarifah Muda’im, 4.Nyi Gedeng Sembung (Nyi Qurausyin), 5. Nyi Mas Tepasari, 6. Pangeran Cakrabuana, 7. Nyi Ong Tien, 8. Dipati Cirebon I, ...9. Pangeran Jakalelana, 10. Pangeran Pasarean, 11. Ratu MAs Nyawa, 12. Pangeran Sedang Lemper, 13. Komplek Sultan Panembahan Ratu, 14. Adipati Keling, 15. Komplek Pangeran Sindang Garuda, 16. Sultan Raja Syamsudin (Sultan Sepuh I), 17. Ki Gede Bungko, 18. Komplek Adipati Anom Carbon (Pangeran Mas), 19. Komplek Sultan Moh. Badridin, 20. Komplek Sultan Jamaludin, 21. Komplek Nyi Mas Rarakerta, 22. Komplek Sultan Moh. Komarudin, 23. Komplek Panembahan Anom Ratu Sesangkan, 24. Adipati Awangga (Aria Kamuning), 25. Komplek Sultan Mandurareja, 26. Komplek Sultan Moh. Tajul Arifin, 27. Komplek Sultan Nurbuwat, 28. Komplek Sultan Sena Moh. Jamiudin, 29. Komplek Sultan Saifudin Matangaji
PINTU SEMBILAN:I. Pintu Gapura, II. Pintu Krapyak, III. Pintu Pasujudan, IV. Pintu Pasujudan, IV. Pintu Ratnakomala, V. Pintu Jinem, VI. Pintu Raraoga, VII. Pintu Kaca, VIII. Pintu Bacem, IX. Pintu Teratai
 
 

Sejarah Cirebon post by Prince Dewi Kenanga

Berdasar naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.

Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.

Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.

PERKEMBANGAN AWAL Ki Gedeng Tapa
Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon. Ia mulai membuka hutan ilalang dan membangun sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan) pada tanggal 1 Syura 1358 (tahun Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Sejak saat itu, mulailah para pendatang mulai menetap dan membentuk masyarakat baru di desa Caruban.

Ki Gedeng Alang-Alang
Kuwu atau kepala desa Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.

MASA KESULTANAN CIREBON (Pakungwati)
Pangeran Cakrabuana (…. –1479)
Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua bernama SubangLarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Nama kecilnya adalah Raden Walangsungsang, setelah remaja dikenal dengan nama Kian Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim dan Raden Sangara.

Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai Cantring Manikmayang.

Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal, Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon Sesudahnya walangsungsangpun mendapat amanat dari Syekh Nurjati untuk meneruskan Pengguron Tharekatnya di Pasambangan Gunung jati . Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.

SUNAN GUNUNG JATI (1479-1568)
Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.

Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah Sunan Gunung Jati wafat, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan Gunung Jati ialah Pangeran Dipati Carbon, Putra Pangeran Pasarean, cucu Sunan Gunung Jati. Namun, Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565.

FATAHILLAH (1568-1570)
Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.

PANEMBAHAN RATU I (1570-1649)
Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.

PANEMBAHAN RATU II (1649-1677)
Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.

Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di Mataram.

Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan Mataram. Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.

TERPECAHNYA KESULTANAN CIREBON
Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Sultan Ageng Tirtayasa segera menobatkan Pangeran Wangsakerta sebagai pengganti Panembahan Girilaya, atas tanggung jawab pihak Banten. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian mengirimkan pasukan dan kapal perang untuk membantu Trunojoyo, yang saat itu sedang memerangi Amangkurat I dari Mataram. Dengan bantuan Trunojoyo, maka kedua putra Panembahan Girilaya yang ditahan akhirnya dapat dibebaskan dan dibawa kembali ke Cirebon untuk kemudian juga dinobatkan sebagai penguasa Kesultanan Cirebon.

PERPECAHAN I (1677)
Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi keraton Cirebon, dimana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya. Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:

Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723)
Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri.
Pada Masa Sultan Kanoman I beliau mempunyai putra mahkota Pangeran Raja Adipati Kaprabon yang sekarang disebut sebagai kaprabonan meneruskan Ilmu-Ilmu Agama Islam Khususnya di bidang Tharekat Penerus Pengguron Tharekat Agama Islam , yaitu tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, Pada masa Pangeran Adikusuma Adiningrat dan putraanya Pangeran Angkawijaya dan Pangeran Moch Appiah adikusuma II Pengguron Tharekat berkembang menjadi 4 pengguron sekarang.di mana seorang sultan pada waktu itu akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.

PERPECAHAN II (1807)
Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan.

Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811).

MASA KOLONIAL DAN KEMERDEKAAN
Sesudah kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dalam ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan dari keraton-keraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, dimana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektar.

Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, wilayah Kesultanan Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara administratif masing-masing dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia yaitu walikota dan bupati.

PERKEMBANGAN TERAKHIR
Setelah masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon tidak lagi merupakan pusat dari pemerintahan dan namun masih tetap dalam pengembangan agama islam. Meskipun demikian keraton-keraton yang ada tetap menjalankan perannya sebagai pusat kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Kesultanan Cirebon turut serta dalam berbagai upacara dan perayaan adat masyarakat dan telah beberapa kali ambil bagian dalam Festival Keraton Nusantara (FKN).

Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh dianggap yang paling penting karena merupakan keraton tertua yang berdiri tahun 1529, sedangkan Keraton Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622, dan yang terkemudian adalah Keraton Kacirebonan

Silsilah Sunan Gunung Jati ataw Syarif Hidayatullah .

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, lahir sekitar 1450 M, namun ada juga yang mengatakan bahwa beliau lahir pada sekitar 1448 M. Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari kelompok ulama besar di Jawa bernama walisongo.

Orang tua
Ayah

Sunan Gunung Jati bernama Syarif Hidayatullah, lahir sekitar tahun 1450. Ayah beliau adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar.
Jamaluddin Akbar adalah seorang Muballigh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucu beliau Imam Husain.

Ibunda
Ibunda Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang, seorang putri keturunan Kerajaan Sunda, anak dari Sri Baduga Maharaja, atau dikenal juga sebagai Prabu Siliwangi dari perkawinannya dengan Nyai Subang Larang. Makam dari Nyai Rara Santang bisa kita temui di dalam klenteng di Pasar Bogor, berdekatan dengan pintu masuk Kebun Raya Bogor.

Silsilah
.Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah Al-Khan) bin
.Sayyid ‘Umadtuddin Abdullah Al-Khan bin
.Sayyid ‘Ali Nuruddin Al-Khan ( ‘Ali Nurul ‘Alam) bin
.Sayyid Syaikh Jumadil Qubro (Jamaluddin Akbar Al-Khan) bin
.Sayyid Ahmad Shah Jalal (Ahmad Jalaludin Al-Khan) bin
.Sayyid Abdullah Al-’Azhomatu Khan bin
.Sayyid Amir ‘Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad,India) bin
.Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin
.Sayyid Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut) bin
.Sayyid Ali Kholi’ Qosim bin
.Sayyid Alawi Ats-Tsani bin
.Sayyid Muhammad Sohibus Saumi’ah bin
.Sayyid Alawi Awwal bin
.Sayyid Al-Imam ‘Ubaidillah bin
.Sayyid Ahmad al-Muhajir bin
.Sayyid ‘Isa Naqib Ar-Rumi bin
.Sayyid Muhammad An-Naqib bin
.Sayyid Al-Imam Ali Uradhi bin
.Sayyidina Ja’far As-Sodiq bin
.Sayyidina Muhammad Al Baqir bin
.Sayyidina ‘Ali Zainal ‘Abidin bin
.Al-Imam Sayyidina Hussain
Al-Husain putera Ali bin Abu Tholib dan Fatimah Az-Zahro binti Muhammad Rasulullah.

Silsilah dari Raja Pajajaran
.Sunan Gunung Jati @ Syarif Hidayatullah
.Rara Santang (Syarifah Muda’im)
.Prabu Jaya Dewata @ Raden Pamanah Rasa @ Prabu Siliwangi II
.Prabu Dewa Niskala (Raja Galuh/Kawali)
.Niskala Wastu Kancana @ Prabu Sliwangi I
.Prabu Linggabuana @ Prabu Wangi (Raja yang tewas di Bubat)

Ibu
Ibunda Syarif Hidayatullah adalah Nyai Rara Santang putri Prabu Siliwangi (dari Nyai Subang Larang) adik Pangeran Walangsungsang bergelar Cakrabuwana / Cakrabumi atau Mbah Kuwu Cirebon Girang yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi.
Makam Nyai Rara Santang bisa kita temui di dalam komplek KLENTENG di Pasar Bogor, di sebelah Kebun Raya Bogor.

Pertemuan orang tuanya
Pertemuan Rara Santang dengan Syarif Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar masih diperselisihkan. Sebagian riwayat (lebih tepatnya mitos) menyebutkan bertemu pertama kali di Mesir, tapi analisis yang lebih kuat atas dasar perkembangan Islam di pesisir ketika itu, pertemuan mereka di tempat-tempat pengajian seperti yang di Majelis Syekh Quro, Karawang (tempat belajar Nyai Subang Larang ibunda dari Rara Santang) atau di Majelis Syekh Kahfi, Cirebon (tempat belajar Kiyan Santang kakanda dari Rara Santang).
Syarif Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar, sangat mungkin terlibat aktif membantu pengajian di majelis-majelis itu mengingat ayahanda dan kakek beliau datang ke Nusantara sengaja untuk menyokong perkembangan agama Islam yang telah dirintis oleh para pendahulu.
Pernikahan Rara Santang putri Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang dengan Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Syarif Hidayatullah.

Perjalanan Hidup
Proses belajar
Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya Syekh Mawlana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Kahfi beliau meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang dikunjungi masih diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai bagian dari ibadah haji untuk umat Islam.
Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuawana membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif Hidayat mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya wafat.

Pernikahan
Memasuki usia dewasa sekitar diantara tahun 1470-1480, beliau menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini beliau mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Mawlana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten I.

Kesultanan Demak
Masa ini kurang banyak diteliti para sejarawan hingga tiba masa pendirian Kesultanan Demak tahun 1487 yang mana beliau memberikan andil karena sebagai anggota dari Dewan Muballigh yang sekarang kita kenal dengan nama Walisongo. Pada masa ini beliau berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila Syarif Hidayat keturunan Syekh Mawlana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunan beliau juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Campa.
Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan vassal state dari kesultanan Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon.
Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di Dewan Muballigh, bahwa agama Islam akan disebarkan di P. Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya.

Gangguan proses Islamisasi
Setelah pendirian Kesultanan Demak antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit, baik bagi Syarif Hidayat dan Raden Patah karena proses Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari kerajaan Pakuan dan Galuh (di Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan gangguan external dari Portugis yang telah mulai expansi di Asia Tenggara.
Tentang personaliti dari Syarif Hidayat yang banyak dilukiskan sebagai seorang Ulama kharismatik, dalam beberapa riwayat yang kuat, memiliki peranan penting dalam pengadilan Syekh Siti Jenar pada tahun 1508 di pelataran Masjid Demak. Beliau ikut membimbing Ulama berperangai ganjil itu untuk menerima hukuman mati dengan lebih dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya.
Eksekusi yang dilakukan Sunan Kalijaga akhirnya berjalan baik, dan dengan wafatnya Syekh Siti Jenar, maka salah satu duri dalam daging di Kesultana Demak telah tercabut.
Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayat yang telah berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan.
Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di P. Jawa dengan misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat menikahkan putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 di tahun 1511.
Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal di tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkat Tubagus Pasai (belakangan dikenal dengan nama Fatahillah),untuk menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk memancing Portugis bertempur di P. Jawa.
Sangat kebetulan karena Raja Pakuan telah resmi mengundang Armada Portugis datang ke Sunda Kelapa sebagai dukungan bagi kerajaan Pakuan yang sangat lemah di laut yang telah dijepit oleh Kesultanan Banten di Barat dan Kesultanan Cirebon di Timur.
Kedatangan armada Portugis sangat diharapkan dapat menjaga Sunda Kelapa dari kejatuhan berikutnya karena praktis Kerajaan Hindu Pakuan tidak memiliki lagi kota pelabuhan di P. Jawa setelah Banten dan Cirebon menjadi kerajaan-kerajaan Islam.
Tahun 1527 bulan Juni Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam yang telah bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad di Malaka 1521.
Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah.
Perebutan pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser kembali ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya.

Perundingan Yang Sangat Menentukan
Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayat adalah dalam riwayat jatuhnya Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda pada tahun 1568 hanya setahun sebelum beliau wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi.
Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang.
Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar.
Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.
Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan.
Bagi para sejarawan beliau adalah peletak konsep Negara Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur mencapai puncaknya 1650 hingga 1680 yang runtuh hanya karena pengkhianatan seorang anggota istana yang dikenal dengan nama Sultan Haji.
Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggil beliau dengan nama lengkap Syekh Mawlana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah

NASKAH MERTASINGA – FALATEHAN TUBAGUS PASE DAN RAJA-RAJA CIREBON .

Nama Fatahillah atau Falatehan tidak terlepas dari sejarah kota Jakarta dan perlawanan bangsa ini melawan Portugis. Sejarah mencatat prestasinya merebut Sunda Kelapa dan menglahkan Portugis pada tahun 1527 dan memberikan nama baru Jayakarta atau kota kemenangan.
Sebelumnya nama Falatehan diidentikan dengan Sunan Gunung Jati, namun kemudian dengan diketemukannya bukti-bukti baru diakui bahwa dua nama ini adalah nama dari dua orang yang berbeda. Dalam naskah ini tidak tercantum nama Fatahillah atau Fallatehan namun dari jalannya kisah kita dapat mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksud adalah tokoh dalam naskah ini yang disebut Tubagus Pase. Dalam naskah ini juga tidak dikisahkan mengenai peperangan-peperangnnya melawan penjajah, namun lebih kepada kekerabatannya dengan keluarga raja-raja Demak  dan Cirebon.

KEDATANGAN TUBAGUS PASE DI CARBON
(pupuh LIV.08 - LIV.15)
Dikisahkan ada seseorang yang datang dari seberang, yang bernama Tubagus Pase [Pasai, sebuah kerajaan Islam di Aceh ]. Dia datang membawa bala tentara sebanyak empat puluh orang sebagai pengawalnya. Semula kedatangannya dengan maksud ingin mencoba ilmunya orang Jawa dan dia ingin tahu bagaimana pangamalan agama Islam di Carbon. Akan tetapi dengan keramatnya Sinuhun, setibanya orang seberang itu di hadapan Sinuhun Jati hilang musnah keangkuhannya. Dia datang kehadapan Sinuhun Jati dengan rendah hati dan dengan menundukan wajahnya
Dalam pertemuan ini dia melihat Ratu Ayu Dewi, yang telah menggerakan hatinya. Sinuhun mengetahui apa yang terjadi maka kemudian putrinya dipanggilnya. Semula Ratu Ayu Dewi menolak kehendak ayahandanya itu, akan tetapi setelah lama dibujuk akhirnya dia menyetujuinya. Lalu Sinuhun berkata kepada Tubagus, "He anak dari seberang, akan kuberikan anakku yang bernama Ratu Ayu Dewi, untuk menjadi istrimu dengan mas-kawinnya anak dari yang telah mati syahid itu". [Dalam bab sebelumnya telah dikisahkan mengenai Ratu Ayu Dewi sebagai janda dari Sunan Demak II – Pangeran Sabrang Lor].
Tubagus menyetujuinya dan berkata, "Ayahanda, hamba setuju nikahnya sang puteri dengan mas kawin seperti apa yang telah disebutkan yakni memperoleh anak yang ditinggal mati syahid". Dengan disaksikan oleh para Aulia, pernikahan Tubagus berlangsung sudah. Tidak diceritakan lamanya, kemudian mereka mempunyai anak perempuan yang amat cantik yang diberi nama Ratu Ayu Wanawati. Anak yang amat dikasihi oleh ayahandanya, Tubagus Pase. Bilamana Tubagus Pase pergi berlayar menengok sanak keluarganya, maka dari tanah seberang Tubagus Pase pulangnya diiringi oleh burung dari tanah Pasai, yaitu Burung Pasai, yang  konon di tanah Jawa masih serumpun dengan burung Kokok Beluk [Burung Hantu, burung Elang malam, keluarga Strigiformes].

ANAK KETURUNAN TUBAGUS PASE DARI RATU AYU WANGURAN
 (pupuh XXXV.20 - XXXV.23)
Begitulah dikisahkan anak Sinuhun Jati yang bernama Ratu Ayu Wanguran, istri almarhum Sultan Demak (II) berada kembali di Carbon dengan membawa warisan berupa Gamelan Sokati, itulah asal mulanya keberadaan gamelan tersebut di Carbon. Pada suatu ketika ada seorang pendatang dari negara Pasai yang bernama Tubagus, yang konon menurut ceritera darahnya berwarna putih. Dia kemudian diangkat mantu oleh Sinuhun dengan putrinya yang telah menjadi janda dari Sultan Demak itu. Setelah berkumpul para wali, segera dilangsungkan pernikahan anaknya dengan Tubagus Pasai. Dikisahkan kemudian Tubagus Pase dengan Ratu Ayu mempunyai anak lima  orang yaitu :
1.       Anak sulung, perempuan yang bernama Ratu Wanawati, yang kemudian menikah dengan saudara misannya bernama Pangeran Dipati. Kelak mempunyai anak yang bergelar Panembahan Ratu, Panembahan yang waktu mudanya bernama Pangeran Agung.
     2.      Ratu Nyawa.
     3.      Pangeran Agung.
     4.      Ratu Sewu.
     5.      Ratu Agung.

Catatan:
Tubagus Pase, atau yang kemudian dikenal sebagai Falatehan atau Fatahillah, pernikahannya dengan anak Sunan Gunung Jati, Ratu Ayu Wanguran, janda Sultan Demak (II) menjadikannya ‘ipar’ dari Sultan Demak (III) sebagaimana disebutkan dalam catatan-catatan  Portugis. Sebagaimana juga disebutkan dalam catatan Portugis, dia pun menjadi penguasa Carbon ketika mewakili cucunya sebelum menginjak dewasa. Keturunan dari Tubagus Pase dengan Ratu Ayu Wanguran ini lah yang menurunkan raja-raja Carbon selanjutnya.

PERNIKAHAN CUCU SUNAN GUNUNG JATI
(pupuh LVI.04 - LVI.13)
Dikisahkan Sinuhun Gunung Jati ingin mempertemukan cucu lelaki yang dari anak lelakinya dengan cucu perempuan dari anak perempuannya. Yang laki-laki yaitu Pangeran Carbon anaknya Pangeran Pasarean, sedangkan cucu perempuannya yaitu Ratu Wanawati anaknya Tubagus Pase. Walaupun keduanya belum dewasa akan tetapi atas permintaan Sinuhun keduanya segera dinikahkan.
Pada waktu itu yang menjadi saksi ialah Sunan Kalijaga dan Pangeran Makdum. Tubagus berkata, "Telah kuterima hukumnya Allah, aku nikahkan anakku yang bernama Ratu Wanawati yang masih gadis ini, untuk dipertemukan dengan cucu lelaki ayahanda yang bernama Pangeran Carbon. Dengan mas-kawinnya mempunyai anak yang kelak akan mati syahid". Sunan Gunung Jati segera mengabulkan pernikahan itu, "Aku sudah terima nikahnya cucu perempuan yang lahir dari anak perempuanku dengan cucu lelaki yang lahir dari anak lelakiku dengan mas kawinnya anak lelaki yang bersedia menjadi anak yatim".
Sinuhun lalu membaca doa yang diamini oleh semuanya. Yang hadir pada waktu itu ialah Raja Lahut, Ratu Winahon, serta dari Pajajaran datang sang uwak Rangga Pakuan [Pangeran Cakrabuana]. Kedua pengantin ini terlihat lucu sekali karena umurnya yang lelaki baru akan berusia lima tahun sedangkan yang perempuan baru akan berusia tiga tahun. Begitulah upacaranya diadakan di Mesjid Agung Carbon. Pada waktu itu yang menjadi imam di Mesjid Agung bergantian, Sinuhun Gunung Jati dan Sunan Kalijaga. Pangeran Makdum waktu itu masih menjadi Juru komat. Syekh Datuk Khapi yang azan, sedangkan yang menjadi waman ah'sanun yaitu Modin Jati, Sunan Panggung, Buyut Panjunan, Lebe Juriman dan Pangeran Janapuri, sedangkan orang yang ketujuh itu dipilih dari salah seorang santri.

PEMERINTAHAN CARBON SETELAH WAFATNYA SINUHUN GUNUNG JATI 
(pupuh LVIII.06 - LVIII.08)
Sekarang di Dalem Agung dan juga di Gunung Sembung tinggal Sunan Kalijaga sendirian yang memimpin. Tubagus Pase setiap Jumat menjadi imam dan merangkap sebagai wakil utama dari raja, sebab cucu Sinuhun, Pangeran Carbon, masih belum dewasa.  Saat itu Pangeran Carbon baru berumur enam tahun, dan yang menjadi wakil raja ialah Pangeran Makdum dan Tubagus Pase karena Sunan Kalijaga sudah tidak bersedia lagi. Di Masjid Pakungwati waktu itu yang melakukan komat ialah Syekh Datuk Khapi, karena Modin Jati sudah tidak mampu lagi. Sedangkan yang melakukan waman ah'sanun digantikan oleh Ki Syekh Badiman, dan sorog wedi-nya (pemegang kunci) masih sama seperti dahulu pada jamannya Sinuhun Jati.
[Waman ah’sanun, ungkapan bahasa Arab yang berarti “orang-orang yang terbaik”. Azan di Mesjid Agung Carbon dilakukan oleh 7 orang, waman ah’sanun ini adalah penyeru azan ke-2 hingga yang ke tujuhnya].

PANGERAN AGUNG DINOBATKAN BERGELAR PANEMBAHAN RATU 
(pupuh LXII.08 - LXII.13)
Kemudian dikisahkan, Sunan Kalijaga, Tubagus Pase, bersama Pangeran Agung kembali ke Kraton Pakungwati. Setelah sampai di Kraton lalu dirundingkan mengenai penobatan Raja Pakungwati. Maka kemudian Pangeran Agung dinobatkan menjadi penguasa di Carbon bergelar Panembahan Ratu.  Dengan demikian sepeninggal Sinuhun Aulia baru sekarang kekuasaan di Carbon dipegang lagi oleh cucunya Panembahan Ratu dan Tubagus Pase diangkat menjadi wakil raja.
Pada suatu ketika Sunan Kalijaga ingin menengok buyutnya Sinuhun Jati, yang berada di Gebang yang bernama Pangeran Prawirasuta. Dari Gebang Sunan Kalijaga pergi ke Losari untuk menengok cucu lainnya yang diangkat anak oleh Dalem Tumenggung, bernama Pangeran Wirya, yang dinobatkan dengan gelar Panembahan sebagai penguasa di Losari. Diceritakan Sunan Kalijaga dari Gebang dan Losari kembali pulang, tidak diceritakan perjalanannya wali telah tiba kembali di Pakungwati.

Catatan:
Panembahan Ratu memerintah dari tahun 1568 s/d tahun 1649, sebelumnya dari tahun 1552 s/d 1568 (setelah wafatnya Pangeran Pasarean) Kesultanan Carbon kosong dan diwakili oleh Tubagus Pase menunggu Pangeran Agung/Panembahan Ratu dewasa. Dari perkawinan Panembahan Ratu dengan Ratu Mas Pajang, anak Jaka Tingkir, Sunan Pajang, menurunkan Pangeran Dipati Carbon II/Pangeran Sedang Gayam, yang kemudian menurunkan Pangeran Girilaya yang menurunkan Pangeran Sepuh dan selanjutnya. Setelah bab diatas, naskah ini tidak lagi menceriterakan lagi mengenai Tubagus Pase, namun sumber lain menyebutkan bahwa beliau wafat pada tahun 1570 dan dimakamkan di Gunung Sembung, Cirebon.

Aksara Jawa by Princess Dewi Kenanga

Ha-Na-Ca-Ra-Ka = ada dua utusan
Da-Ta-Sa-Wa-La = saat menolak
Pa-Dha-Ja-Ya-Nya = sama sakti/didaya nyah
Ma-Ga-Ba-Tha-Nga = jadi bangkailah/mati


Dalam kisah Aji Saka diceritakan bahwa Sembada dan Dora ditinggalkan di Pulau Majeti oleh Aji Saka untuk menjaga keris pusaka dan sejumlah perhiasan. Mereka dipesan agar tidak menyerahkan barang-barang itu kepada orang lain, kecuali Aji Saka sendiri yang mengambilnya. Aji Saka tiba di Medangkamulan, lalu bertahta di negeri itu. Kemudian negari itu termasyhur sampai dimana-mana. Kabar kemasyhuran Medangkamulan terdengar oleh Dora sehingga tanpa sepengatahuan Sembada ia pergi ke Medangkamulan. Di hadapan Aji Saka, Dora melaporkan bahwa Sembada tidak mau ikut, Dora lalu dititahkan untuk menjemput Sembada. Jika Sembada tidak mau, keris dan perhiasan yang ditinggalkan agar dibawa ke Medangkamulan. Namun Sembada bersikukuh menolak ajakan Dora dan memperhatankan barang-barang yang diamanatkan Aji Saka.
yang mempunyai arti filosofi Ha-Na-Ca-Ra-Ka berarti ada " utusan " yakni utusan hidup, berupa nafas yang berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasat manusia. Maksudnya ada yang mempercayakan, ada yang dipercaya dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga unsur itu adalah Tuhan, manusia dan kewajiban manusia ( sebagai ciptaan )
Da-Ta-Sa-Wa-La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data " saatnya ( dipanggil ) " tidak boleh sawala " mengelak " manusia ( dengan segala atributnya ) harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan
Pa-Dha-Ja-Ya-Nya berarti menyatunya zat pemberi hidup ( Khalik ) dengan yang diberi hidup ( makhluk ). Maksdunya padha " sama " atau sesuai, jumbuh, cocok " tunggal batin yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan keutamaan. Jaya itu " menang, unggul " sungguh-sungguh dan bukan menang-menangan " sekedar menang " atau menang tidak sportif.
Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya.

MAKNA HURUF

Ha
Hana hurip wening suci - adanya hidup adalah kehendak dari yang Maha Suci

Na
Nur candra,gaib candra,warsitaning candara-pengharapan manusia hanya selalu ke sinar Illahi

Ca
Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi-satu arah dan tujuan pada Yang Maha Tunggal

Ra
Rasaingsun handulusih - rasa cinta sejati muncul dari cinta kasih nurani

Ka
Karsaningsun memayuhayuning bawana - hasrat diarahkan untuk kesajetraan alam

Da
Dumadining dzat kang tanpa winangenan - menerima hidup apa adanya

Ta
Tatas, tutus, titis, titi lan wibawa - mendasar ,totalitas,satu visi, ketelitian dalam memandang hidup

Sa
Sifat ingsun handulu sifatullah- membentuk kasih sayang seperti kasih Tuhan

Wa
Wujud hana tan kena kinira - ilmu manusia hanya terbatas namun implikasinya bisa tanpa batas

La
Lir handaya paseban jati - mengalirkan hidup semata pada tuntunan Illahi

Pa
Papan kang tanpa kiblat - Hakekat Allah yang ada disegala arah

Dha
Dhuwur wekasane endek wiwitane - Untuk bisa diatas tentu dimulai dari dasar

Ja
Jumbuhing kawula lan Gusti -selalu berusaha menyatu -memahami kehendak Nya

Ya
Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi - yakin atas titah /kodrat Illahi

Nya
Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki - memahami kodrat kehidupan

Ma
Madep mantep manembah mring Ilahi - yakin - mantap dalam menyembah Ilahi

Ga
Guru sejati sing muruki - belajar pada guru nurani

Ba
Bayu sejati kang andalani - menyelaraskan diri pada gerak alam

Tha
Tukul saka niat - sesuatu harus dimulai - tumbuh dari niatan

Nga
Ngracut busananing manungso - melepaskan egoisme pribadi -manusia

masalah penemu aksara jawa ini, ajisaka, mungkin bukan benaer2 nama orang, begitu juga dengan dua pembantunya, doro dan sembodo.
ajisaka kalau di pisah : aji artinya ilmu, saka artinya tiang,bisa diartikan sebagai ilmu-tiang.
maksudnya bisa macem-macem
+ bahwa ilmu seharusnya tiang/penyangga segala urusan.
+ bahwa mencari ilmu harus meniru sifat tiang, tegak lurus keatas, alias mendekatkan diri ke Sang Tunggal
+ bahwa ilmu yang utama adalah pengabdian diri kepada Tuhan secara mutlak
+ dlsb

Nah pembantunya : Dara adalah bohong, Sembada adalah Mencukupi.
Keduanya adalah gambaran cara pandang ekstrim, yang selalu jadi dualisme dalam diri kita.
Karena keduanya tercipta sama kuat, pertarungan antara keduanya adalah sepanjang jalan, hingga akhir hayat.

Perhitungan Perkawinan Berdasarkan Weton

Menurut kepercayaan Jawa, arti dari suatu peristiwa (dan karakter dari seseorang yang lahir dalam hari tertentu) dapat ditentukan dengan menelaah saat terjadinya peristiwa tersebut menurut berbagai macam perputaran kalender tradisional. Salah satu penggunaan yang umum dari metode ramalan ini dapat ditemukan dalam sistem hari kelahiran Jawa yang disebut wetonan.

Weton anda merupakan gabungan dari tujuh hari dalam seminggu (Senin, Selasa, dll.) dengan lima hari pasaran Jawa (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon). Perputaran ini berulang setiap 35 (7 x 5) hari, sehingga menurut perhitungan Jawa hari kelahiran anda berulang setiap lima minggu dimulai dari hari kelahiran anda.

Berdasarkan weton tersebut watak/karakter seseorang dapat dibaca, begitupun juga dengan
watak/karakter perkawinan, 2 orang yang berjodoh, membawa weton masing-masing.Berdasarkan kepercayaan orang Jawa, watak/karakter perorang yang menjadi satu dalam perkawinan juga dapat diketahui kemana arah perkawinan tersebut.
Ada 3 macam yang harus dilihat sebelum menikah berdasarkan weton;
1. Berdasarkan hari kelahiran
2. Berdasarkan Jumlah weton dibagi 9 ada sisa berapa
3. Berdasarkan waktu resepsi perkawinan

dan ada juga watak seseorang berdasarkan hari kelahiran

1. Berdasarkan hari kelahiran

Perkawinan dilihat dari Weton berdasarkan Hari Kelahiran

MINGGU KETEMU MINGGU : SERING SAKIT
MINGGU KETEMU SENEN : KAYA DENGAN PENYAKIT
MINGGU KETEMU SELASA : MELARAT/MISKIN
MINGGU KETEMU RABU : TENTREM
MINGGU KETEMU KAMIS : SERING BERTENGKAR
MINGGU KETEMU JUMAT : TENTREM
MINGGU KETEMU SABTU : MELARAT/MISKIN

SENEN KETEMU SENEN : OLO, SUSAH
SENEN KETEMU SELASA : AYEM/TENTREM/BAHAGIA
SENEN KETEMU RABU : BANYAK ANAK,ANAKNYA CEWEK
SENEN KETEMU KAMIS : SERING BIKIN MALU ORANG
SENEN KETEMU JUMAT : BAIK/BAGUS
SENEN KETEMU SABTU : BERKAH

SELASA KETEMU SELASA : OLO, SUSAH
SELASA KETEMU RABU : KAYA
SELASA KETEMU KAMIS : KAYA
SELASA KETEMU JUMAT : CERAI
SELASA KETEMU SABTU : SERING BERTENGKAR

RABU KETEMU RABU : OLO, SUSAH
RABU KETEMU KAMIS : AYEM/TENTREM/BAHAGIA
RABU KETEMU JUMAT : TENTREM
RABU KETEMU SABTU : BAIK/BAGUS

KAMIS KETEMU KAMIS : TENTREM
KAMIS KETEMU JUMAT : AYEM AYEM/TENTREM/BAHAGIA
KAMIS KETEMU SABTU : CERAI

JUMAT KETEMU JUMAT : MELARAT
JUMAT KETEMU SABTU : CELAKA

SABTU KETEMU SABTU : BAYAK SUSAHNYA


2.Berdasarkan Jumlah weton dijumlah = 9 ada sisa berapa

1 KETEMU 1 : BAGUS PENGASIHNYA
1 KETEMU 2 : BAGUS /BAIK
1 KETEMU 3 : KUAT, JAUH REJEKINYA
1 KETEMU 4 : AKEH BELAHINE
1 KETEMU 5 : SERING BERTENGKAR, CERAI
1 KETEMU 6 : JAUH DARI REJEKI SANDANG PANGAN
1 KETEMU 7 : BANYAK MUSUH
1 KETEMU 8 : KESURANG – SURANG
1 KETEMU 9 : DADI PANGAUBAN


2 KETEMU 2 : SELAMAT, BANYAK REJEKI
2 KETEMU 3 : MATI SALAH SATU
2 KETEMU4 : BANYAK GODAAN
2 KETEMU 5 : AKEH BELAINE
2 KETEMU 6 : CEPAT KAYA
2 KETEMU 7 : ANAKNYA BANAYAK YANG MATI
2 KETEMU 8 : REJEKINYA SEDIKIT
2 KETEMU 9 : BANYAK REJEKINYA

3 KETEMU 3 : MISKIN
3 KETEMU 4 : AKEH BELAINE
3 KETEMU 5 : CEPAT CERAI
3 KETEMU 6 : DAPAT ANUGRAH
3 KETEMU 7 : AKEH BELAINE
3 KETEMU 8 : SALAH SATU CEPAT MENINGGAL
3 KETEMU 9 : MUDAH MENDAPAT REJEKI

4 KETEMU 4 : SERING SAKIT
4 KETEMU 5 : BANYAK RENCANA
4 KETEMU 6 : BANYAK REJEKINYA
4 KETEMU 7 : MELARAT/MISKIN
4 KETEMU 8 : SALAH SATU KALAH

5 KETEMU 5 : LANCAR/MUDAH MENCARI REJEKI
5 KETEMU 6 : REJEKINYA SEDIKIT/SUSAH
5 KETEMU 7 : MUDAH SANDANG PANGANE
5 KETEMU 8 : BANYAK GODAAN
5 KETEMU 9 : REJEKINYA SEDIKIT/SUSAH

6 KETEMU 6 : GEDHE BELAINE
6 KETEMU 7 : RUKUN
6 KETEMU 8 : BANYAK MUSUH
6 KETEMU 9 : KESURAN SURANG

7 KETEMU 7 : TIDAK ADA YANG MAU MENGALAH
7 KETEMU 8 : BELAINE SOKO AWAK’E
7 KETEMU 9 : TULUS POLO KRAMANE

8 KETEMU 8 : KASIHAN TERHADAP SEMUA ORANG
8 KETEMU 9 : AKEH BELAINE

9 KETEMU 9 : MUDAH MENCARI REJEKI

3.Bagus tidaknya Tanggal-Bulan buat Ijab Pengantin

7 SURO : TUKAR PADU, NEMU KERUSAKAN, OJO DI TERAK
*SERING BERTENGKAR,BANYAK KERUSAKAN, JANGAN DILAKSANAKAN*
2 SAPAR : KEKURANGAN, SUGIH UTANG, KENO DI TERAK
*SERBA KURANG,BANYAK HUTANG,BISA DILAKSANAKAN*
3 MULUD : MATI SALAH SIJI
*MENINGGAL SALAH SATUNYA*
5 BAGDO MULUD : DADI OMONGAN, NEMU UJAR SOLO
*MENJADI PERBINCANGAN*
6 JUMADIL AWAL : KEREP KEKETEMUGAN, SUGIH SATRU, KENO DI TERAK
*BANYAK MUSUH,BISA DILAKSANAKAN*
1 JUMADIL AKHIR : SUGIH MAS SELOKO
*KAYA*
2 REJEB : SUGIH ANAK KETEMU SLAMET
*BANYAK ANAK AKHIRNYA SELAMAT*
4 RUWAH : RAHAYU ING SAKABEHE
*TENTRAM SEMUANYA/BAHAGIA SEMUA*
5 POSO : CILOKO GEDHE
*BANYAK CELAKANYA*
7 SAWAL : KEKURANGAN, SUGIH UTANG, KENO DI TERAK
*SERBA KURANG, BAYAK HUTANG,BISA DILAKSANAKAN*
1 SELO : GERING, KEREP PASULAYAN KETEMU MITRO, OJO
*
3 BESAR : SUGIH, NEMU SENENG LAHIR BATIN
*KAYA,SENANG LAHIR BATIN*

WATAK/SIFAT BERDASARKAN HARI KELAHIRAN

01. SELASA KLIWON 3 , 8 : BAIK, PINTER
02. RABU LEGI 7 , 5 : CEROBOH, SEMBRONO
03. KAMIS PAHING 8 , 9 : TUJUANNYA TERCAPAI
04. JUMAT PON 6 , 7 : REJEKINYA MUDAH
05. SABTU WAGE 9 , 4 : BESARREJEKI, BOROS
06. MINGGU KLIWON 5 , 8 : SUSAH HATI
07. SENEN LEGI 4 , 5 : PINTER MENCARI BUTUH
08. SELASA PAHING 3 , 9 : PINTER MERINCI
09. RABU PON 7 , 7 : MENJADI PELINDUNG
10. KAMIS WAGE 8 , 4 : KAKU, BESAR EMOSI
11. JUMAT KLIWON 6 , 8 : DAPAT DIPERCAYA
12. SABTU LEGI 9 , 5 : SERING KEKETEMUGAN
13. MINGGU PAHING 5 , 9 : MENEMUKAN REJEKI
14. SENEN PON 4 , 7 : RAJIN, PINTER
15. SELASA WAGE 3 , 4 : HEMAT, SABAR
16. RABU KLIWON 7 , 8 : KANUGRAHAN, SLAMET
17. KAMIS LEGI 8 , 5 : SUSAH DIATUR
18. JUMAT PAHING 6 , 9 : RAME, AJANG
19. SABTU PON 9 , 7 : PINTER, TIDAK BISA NYIMPAN
20. MINGGU WAGE 5 , 4 : OMONGANNYA MENYAKITKAN
21. SENEN KLIWON 4 , 8 : TIDAK PUNYA SAKIT HATI
22. SELASA LEGI 3 , 5 : PINTER MENYIMPAN
23. RABU PAHING 7 , 9 : SUGIH NANGING ELA – ELU
24. KAMIS PON 8 , 7 : SUGIH, MUSUH
25. JUMAT WAGE 6 , 4 : GEDHE PIKIRE (BANYAK ANGAN-ANGAN)
26. SABTU KLIWON 9 , 8 : BISA JADI PENGHULU
27. MINGGU LEGI 5 , 5 : TENANG, TIDAK MAU BERUSAHA
28. SENEN PAHING 4 , 9 : BANYAK AKAL, REJEKI MUDAH
29. SELASA PON 3 , 7 : PENDIAM (PINTER NYIMPAN RAHASIA)
30. RABU WAGE 7 , 4 : BANYAK MAUNYA, TIDAK TERCAPAI
31. KAMIS KLIWON 8 , 8 : CEREWET
32. JUMAT LEGI 6 , 5 : GEDHE SAWERANE, ORA KUAT NGGOWO
SISIK
33. SABTU PAHING 9 , 9 : PENUNGGUL, PUNYA KEKUATAN
34. SABTU PON 5 , 7 : PINTER MASAK
35. SENEN WAGE 4 , 4 : SENANG BOHONG TAPI DISUKAI ORANG

36. SELASA KLIWON 3 , 8 : ANGGORO KASIH

Arti Sahabat by Princess Dewi Kenanga

Sahabat yang baik adalah sahabat yang tulus menDOA-kan dan meng-INGAT-kan pada Allâh

yang senantiasa men-JAGA UKHUWAH
memberi ketenangan saat bersamanya
ada INSPRIRASI amal sholeh
DIAMnya dia men-DOA-kan

dalam senyumnya menyenangkan
dalam tawanya ia tumbuhkan keceriaan
dalam nasihatnya ia bangkitkan semangat
.......
hadiah terbaik dari seorang sahabat adalah
KETULUSAN dan KEPERCAYAAN.!!

Selamat beraktifitas Sahabat
semoga UKHUWAH kita dijalan Allâh, terus terjalin hingga akhirat kelaK... Aamiin