Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati.
Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual
seperti Isra' Mi'raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir,
dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan
hal.xxii).
Semua itu
hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung
Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir
sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja
Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif
Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari
Palestina.Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14
tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara.
Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan
ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai
Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah
satu-satunya "wali songo" yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati
memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan
Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan. Dalam
berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia
juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan
yang menghubungkan antar wilayah.Bersama putranya, Maulana Hasanuddin,
Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat,
Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut
yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten. Pada usia 89 tahun,
Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah.
Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M,
Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon).
Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15
kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.
DI KOMPLEKS pemakaman Gunung Sembung, sering terlihat penziarah --
perorangan atau rombongan-- dari kalangan etnis Cina. Sama dengan para saudaranya dari kalangan
Islam,
umat Buddha dan Konghucu itu bertujuan menyekar pemakaman yang terletak
di Desa Astana, sekitar tiga kilometer di barat kota Cirebon, Jawa
Barat, itu.
Untuk mereka disediakan ''kavling'' khusus di sisi
barat serambi depan kompleks pemakaman. Tentu bukan karena diskriminasi.
''Kami tak membeda-bedakan penziarah,'' kata Yusuf Amir, salah seorang
juru kunci kompleks pemakaman. ''Penziarah muslim ataupun nonmuslim
semuanya bisa berdoa di sini,''
Yusuf, 36 tahun, menambahkan. Pemisahan tempat semata-mata karena ritual
yang berbeda. Di sayap barat itu terdapat makam Ong Tien, salah seorang
istri Syarif Hidayatullah, yang lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung
Jati. Dia adalah putri Kaisar Hong Gie dari Dinasti Ming. Banyak versi
tentang perjodohan mereka. Yang paling spekatakuler tentulah versi
''nujum bertuah'' Sunan Gunun Jati.
Syahdan, dalam
persinggahannya di Cina, Syarif Hidayatullah menyebarkan Islam sambil
berpraktek sebagai tabib. Setiap yang datang berobat diajarinya berwudu
dan diajak salat. Manjur, si sakit sembuh. Dalam waktu singkat, nama
Syarif Hidayatullah semerbak di kota raja. Kaisar pun kemudian tertarik
menjajal kesaktian ''sinse'' dari Tanah Pasundan itu.
Syarif
Hidayatullah dipanggil ke istana. Sementara itu, Kaisar menyuruh
putrinya yang masih gadis, Lie Ong Tien, mengganjal perutnya dengan
baskom, sehingga tampak seperti hamil, kemudian duduk berdampingan
dengan saudarinya yang memang sedang hamil tiga bulan. Syarif
Hidayatullah disuruh menebak: mana yang bener-benar hamil.
Syarif
Hidayatullah menunjuk Ong Tien. Kaisar dan para ''abdi dalem'' ketawa
terkekeh. Tapi, sejurus kemudian, istana geger. Ong Tien ternyata
benar-benar hamil, sedangkan kandungan saudarinya justru lenyap. Kaisar
meminta maaf kepada Syarif Hidayatullah, dan memohon agar Ong Tien
dinikahi.
Sejarahwan Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat
menyangsikan cerita ini. Dalam disertasinya di Universitas Leiden,
Belanda, 1913, yang berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah
Banten, Hoesein terangterangan menyebutkan bahwa lawatan Syarif
Hidayatullah ke negeri Cina hanya legenda.
Tentu tak semua sepakat dengan Hoesein. Meski tak menyebut-nyebut soal ''nujum'' itu, dalam buku
Sejarah
Cirebon, 1990, Pangeran Soelaeman Sulendraningrat menyebutkan Syarif
Hidayatullah memangpergi ke Cina. Ia sempat menetap di salah satu tempat
di Yunan. Ia juga pernah diundang Kaisar Hong Gie.
Kebetulan, sekretaris kerajaan pada masa itu, Ma Huan dan Feishin, sudah memeluk Islam. Dalam
pertemuan
itulah Syarif Hidayatullah dan Ong Tien saling tertarik. Kaisar tak
setuju. Syarif Hidayatullah lalu dipersonanongratakan. Tapi, kecintaan
Ong Tien kepada Syarif Hidayatullah sudah sangat mendalam.
Dia
mendesak terus ayahnya agar diizinkan menyusul kekasihnya ke Cirebon.
Setelah mendapat izin, Ong Tien bertolak ke Cirebon dengan menggunakan
kapal layar kerajaan Cina. Dia dikawal Panglima Lie Guan Cang, dengan
nakhoda Lie Guan Hien. Putri membawa barang-barang berharga dari Istana
Kerajaan Cina, terutama berbagai barang keramik.
Barang-barang kuno ini kini masih terlihat di sekitar Keraton Kasepuhan atau Kanoman, bahkan di
kompleks
pemakaman Gunung Sembung. Dari Ong Tien, Syarif Hidayatullah tak
beroleh anak. Putri Cina itu keburu meninggal setelah empat tahun
berumah tangga. Besar kemungkinan, sumber yang dirujuk P.S.
Sulendraningrat adalah Carita Purwaka Caruban Nagari.
Naskah yang
ditemukan pada l972 ini ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon pada 1720.
Banyak sejarahwan menilai, kisah Syarif Hidayatullah yang ditulis dalam
kitab tersebut lebih rasional dibandingkan dengan legenda yang
berkembang di masyarakat. Belakangan diketahui, Pangeran Arya
mendasarkan penulisannya pada Pustaka Negara Kertabumi.
Naskah
yang termaktub dalam kumpulan Pustaka Wangsa Kerta itu ditulis pada
1677-1698. Naskah ini dianggap paling dekat dengan masa hidup Syarif
Hidayatullah, alias Sunan Gunung Jati. Dia lahir pada 1448, wafat pada
1568, dan dimakamkan di Pasir Jati, bagian tertinggi ''Wukir
Saptarengga'', kompleks makam Gunung Sembung.
Carita sering dirujuk para sejarahwan kiwari untuk menjungkirbalikkan penelitian Hoesein
Djajadiningrat, yang menyimpulkan bahwa Sunan Gunung Jati dan Faletehan sebagai orang yang sama.
Berdasarkan
naskah tersebut, Sunan Gunung Jati bukan Falatehan, atawa Fatahillah.
Tokoh yang lahir di Pasai, pada 1490, ini justru menantu Sunan Gunung
Jati.
Tapi, apa boleh buat, pemikiran Hoesein ini berpengaruh
besar dalam penulisan sejarah Indonesia. Bukubuku sejarah Indonesia,
sejak zaman kolonial sampai Orde Baru, sering menyebut Fatahillah
sebagai Sunan Gunung Jati. Padahal, di Gunung Sembung, Astana,
masing-masing tokoh itu punya makam sendiri.
''Tak satu pun naskah
asli Cirebon yang menyebutkan Sunan Gunung Jati sama dengan
Fatahillah,'' kata Dadan Wildan, seperti tertulis dalam disertasinya,
Cerita Sunan Gunung Jati: Keterjalinan Antara Fiksi dan Fakta - Suatu
Kajian Pertalian Antarnaskah Isi, dan Analisa Sejarah dalam
Naskah-Naskah Tradisi Cirebon.
Dadan berhasil meraih gelar doktor
ilmu sejarah dari Universitas Padjadjaran, Bandung, September lalu.
Naskah yang ditelitinya, selain Carita Purwaka Caruban Nagari, adalah
Caruban Kanda (1844), Babad Cerbon (1877), Wawacan Sunan Gunung Jati,
Sajarah Cirebon, dan Babad Tanah Sunda --yang ditulispertengahan abad
ke-20.
Di naskah-naskah itulah bertebaran mitos kesaktian Sunan Gunung Jati, dari cincin Nabi Sulaiman
sampai
jubah Nabi Muhammad SAW. Tapi, mengenai asal usul Syarif Hidayatullah,
semuanya sepakat ia berdarah biru, baik dari garis ayah maupun garis
ibu. Ayahnya Sultan Mesir, Syarif Abdullah. Ibunya adalah Nyai Lara
Santang.
Setelah menikah, putri raja Siliwangi dan adik Pangeran
Walangsungsang itu memakai nama Syarifah Mudaim. Lara Santang dan
Walangsungsang memperdalam agama Islam di Cirebon, berguru pada Syekh
Idlofi Mahdi yang asal Baghdad. Syekh Idlofi terkenal juga dengan
sebutan Syekh Djatul Kahfi atau Syekh Nurul Jati. Setelah khatam,
keduanya disuruh ke Mekkah menunaikan ibadah haji.
Di situlah,
seperti dikisahkan dalam Carita Purwakan Caruban Nagari, mereka bertemu
dengan Patih Kerajaan Mesir, Jamalullail. Patih ini ditugasi Sultan
Mesir, Syarif Abdullah, mencari calon istri yang wajahnya mirip dengan
permaisurinya yang baru meninggal. Lara Santang kebetulan mirip, lalu
diboyong ke Mesir.
Walasungsang pulang ke Jawa, kemudian jadi
penguasa Nagari Caruban Larang --cikal bakal kerajaan Cirebon. Sejak itu
dia lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Cakrabuana. Dari perkimpoian
Syarif Abdullah-Syarifah Mudaim lahir Syarif Hidayatullah, pada 1448.
Dalam usia 20 tahun, Syarif Hidayatullah pergi ke Mekah untuk
memperdalam pengetahuan agama.
Selama empat tahun ia berguru
kepada Syekh Tajuddin Al-Kubri dan Syekh Ata'ullahi Sadzili. Kemudian ia
ke Baghdad untuk belajar tasauf, lalu kembali ke negerinya. Di Mesir,
oleh pamannya, Raja Onkah, Syarif Hidayatullah hendak diserahi
kekuasaan. Namun Syarif menolak, dan menyerahkan kekuasaan itu kepada
adiknya, Syarif Nurullah.
Syarif Hidayatullah bersama ibunya
pulang ke Cirebon, dan pada l475 tiba di Nagari Caruban Larang yang
diperintah pamannya, Pangeran Cakrabuana. Empat tahun kemudian Pangeran
Cakrabuana mengalihkan kekuasannnya kepada Syarif Hidayatullah, setelah
sebelumnya menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Ratu
Pakungwati.
Untuk keperluan dakwah, Syarif Hidayatullah pada
tahun itu juga menikahi Ratu Kawunganten. Dari pernikahan ini, dia
dikarunia dua putra, Ratu Winahon dan Pangeran Sabangkingking. Pangeran
Sabangkingking kemudian dikenal sebagai Sultan Hasanudin, dan diangkat
jadi Sultan Banten. Ratu Winahon, yang lebih dikenal dengan sebutan Ratu
Ayu, dinikahkah dengan Fachrulllah Khan, alias Faletehan.
Mengubah bokor menjadi bayi
Siapa
yang tak kenal Sunan Gunung Jati, salah satu wali dari Tanah Jawa.
Bahkan, Yu Wang Lo, kaisar dari negeri Cina pun penasaran dengan
kehebatan Sunan Gunung Jati. Maka dipanggillah sunan ke negerinya untuk
beradu kesaktian. Di hadapan sang kaisar, sunan bisa mengubah bokor
menjadi seorang bayi.
Di Tanah Jawa, kesaktian Sunan Gunung Jati
tak pernah diragukan lagi. Lain halnya dengan orang-orang dari negeri
seberang, khususnya Cina. Bahkan sang kaisar pun, Yu Wang Lo merasa
penasaran dengan nama besar sang sunan. Maka, suatu hari kaisar ingin
membuktikan kesaktian sunan dengan mengundangnya ke negeri Cina.
Di
depan para pembesar dan prajuritnya, kaisar menyuruh putrinya Ong Tien
agak memasukkan sebuah bokor di balik bajunya. Nanti, bila Sunan Gunung
Jati datang maka ia akan menyuruh sunan untuk menebak isi perut
putrinya.
Setelah Sunan Gunung Jati tiba di kerajaan, ia kaget
ketika diminta untuk menebak isi perut Ong Tien. Sunan merasa sedang
diuji kesaktiannya. Sunan pun merasa tertantang dengan ujian tersebut.
Maka, Sunan mengatakan kalau Ong Tien sedang mengandung seorang bayi.
Mendengar
jawaban tersebut kaisar tertawa terbahak-bahak. Ternyata, Sunan Gunung
Jati tidak sehebat yang dibayangkan. Buktinya, teka-teki yang
diberikannya tak bisa dijawab dengan benar.
Namun, sepeninggalan
Sunan Gunung Jati, kaisar sangat terkejut. Bokor yang ada di dalam perut
Ong Tien hilang. Anehnya lagi, Ong Tien benar-benar hamil, seperti yang
dikatakan oleh sunan. Keanehan itu menyebabkan putri Ong tien jatuh
hati pada Sunan. Kepada ayahanda, putri Ong Tien mengungkapkan
keinginannya untuk menyusul ke Jawa dan menikah dengan Sunan Gunung
Jati.
Setelah bertemu dengan Sunan Gunung jati, kabarnya putri
itupun segera menikah. Namanya diubah menjadi Ratu Mas Rara Sumanding.
Konon, bayi yang berasal dari bokor itu sempat dilahirkan, tetapi
meninggal dunia. Versi lainnya mengatakan bayi itu lahir selamat dan
diberi nama Raya Kemuning. Kelak, Arya Kemuning ini menjadi penguasa di
Kuningan, Jawa Barat.
Sampai kini, makam putri Ong Tien yang
berada di samping makam Sunan Gunung Jati tetap dikunjungi oleh para
peziarah. Mereka berharap mendapatkan berkah dari tempat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar