Rabu, 05 Desember 2012

Panembahan Senopati Ing Mataram, telah berwasiat kepada Trah Mataram

Kanjeng Gusti Raden Mas Danang Jaya Suta Wijaya, atau Kanjeng Panembahan Kajenar,
atau Panembahan Senopati Ing Mataram, telah berwasiat kepada Trah Mataram :

Sikap Keutamaan

Seperti apakah sikap-sikap keutamaan itu
Dan bagaimanakah uraian penjelasannya?
Dalam menjawab perlulah diingat
Bahwa yang ada hanyalah dugaan
Karena bukanlah kata-kata yang penting
Tetapi perilaku dalam hidupmu.

Maka sikap-sikap keutamaan itu demikian:
Sebagai pandita sikapnya bijaksana dan waskita
Saleh dan taat pada agama,
mendalami sastra budaya,
Sebagai satria benar perwira dan bertata-krama
Gagah berani menjaga keselamatan masyarakat,
Sebagai pedagang semangatnya bekerja keras
Mengadakan barang dan memberi pekerjaan,
Sebagai petani sikapnya jujur,
rendah-hati,
dan bersahaja
Dipuji karena giat memelihara sawah dan ternak.

Satukanlah sikap kelimanya itu
Dalam hidup dan dalam pekerjaanmu,
karena sebagai pendeta belaka,
dapat melalaikan sesamanya
Sebagai satria semata,
sering lupa sebab-akibat derita manusia
Sebagai pedagang saja,
kerap mencari untung tanpa memberi
Sebagai petani saja,
sempit cakrawalanya dan mudah ditipu.

Kuasailah dan kendalikan dirimu
Serapkan pula
segala pengetahuan dan kebijaksanaan
Maka engkau
akan turut mengatur dunia.


Kanjeng Gusti Pangeran Mas Danang Suta Wijaya (wafat di Kajenar,1601) adalah pendiri Kesultanan Mataram yang memerintah sebagai raja pertama pada tahun 1587-1601, bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa. Tokoh ini dianggap sebagai peletak dasar-dasar Kesultanan Mataram. Riwayat hidupnya banyak digali dari kisah-kisah tradisional, misalnya naskah-naskah babad karangan para pujangga zaman berikutnya.

Danang Sutawijaya adalah putra sulung pasangan Ki Ageng Pamanahan dan Nyai Sabinah. Menurut naskah-naskah babad, ayahnya adalah keturunan Brawijaya raja terakhir Majapahit, sedangkan ibunya adalah keturunan Sunan Giri anggota Walisanga. Hal ini seolah-olah menunjukkan adanya upaya para pujangga untuk mengkultuskan raja-raja Kesultanan Mataram sebagai keturunan orang-orang istimewa.

Nyai Sabinah memiliki kakak laki-laki bernama Ki Juru Martani, yang kemudian diangkat sebagai patih pertama Kesultanan Mataram. Ia ikut berjasa besar dalam mengatur strategi menumpas Arya Penangsang pada tahun 1549.

Sutawijaya juga diambil sebagai anak angkat oleh Hadiwijaya bupati Pajang sebagai pancingan, karena pernikahan Hadiwijaya dan istrinya sampai saat itu belum dikaruniai anak. Sutawijaya kemudian diberi tempat tinggal di sebelah utara pasar sehingga ia pun terkenal dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar.

Tahun 1549, adanya sayembara menumpas Arya Penangsang oleh Kasulthanan demak Bintoro merupakan pengalaman perang pertama bagi Sutawijaya. Ia diajak ayahnya ikut serta dalam rombongan pasukan supaya Hadiwijaya merasa tidak tega dan menyertakan pasukan Pajang sebagai bala bantuan. Saat itu Sutawijaya masih berusia belasan tahun.

Arya Penangsang adalah Bupati Jipang Panolan yang telah membunuh Sunan Prawoto raja terakhir Kesultanan Demak. Ia sendiri akhirnya tewas di tangan Sutawijaya. Akan tetapi sengaja disusun laporan palsu bahwa kematian Arya Penangsang akibat dikeroyok Ki Ageng Pamanahan dan Ki Panjawi, karena jika Sultan Hadiwijaya sampai mengetahui kisah yang sebenarnya (bahwa pembunuh Bupati Jipang Panolan adalah anak angkatnya sendiri), dikhawatirkan ia akan lupa memberikan hadiah.

Usai sayembara, Ki Panjawi mendapatkan tanah Pati dan menjadi bupati di sana sejak tahun 1549, sedangkan Ki Ageng Pamanahan baru mendapatkan tanah Mataram sejak tahun 1556.

Sepeninggal Ki Ageng Pamanahan tahun 1575, Sutawijaya menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin Mataram, bergelar Senapati Ingalaga (yang artinya “panglima di medan perang”).

Pada tahun 1576 Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil dari Pajang tiba untuk menanyakan kesetiaan Mataram, mengingat Senapati sudah lebih dari setahun tidak menghadap Sultan Hadiwijaya. Senapati saat itu sibuk berkuda di desa Lipura, seolah tidak peduli dengan kedatangan kedua utusan tersebut. Namun kedua pejabat senior itu pandai menjaga perasaan Sultan Hadiwijaya melalui laporan yang mereka susun.

Senapati memang ingin menjadikan Mataram sebagai kerajaan merdeka. Ia sibuk mengadakan persiapan, baik yang bersifat material ataupun spiritual, misalnya membangun benteng, melatih tentara, sampai menghubungi penguasa Laut Kidul dan Gunung Merapi. Senapati juga berani membelokkan para mantri pamajegan dari Kedu dan Bagelen yang hendak menyetor pajak ke Pajang. Para mantri itu bahkan berhasil dibujuknya sehingga menyatakan sumpah setia kepada Senapati.

Sultan Hadiwijaya resah mendengar kemajuan anak angkatnya. Ia pun mengirim utusan menyelidiki perkembangan Mataram. Yang diutus adalah Arya Pamalad Tuban, Pangeran Benawa, dan Patih Mancanegara. Semuanya dijamu dengan pesta oleh Senapati. Hanya saja sempat terjadi perselisihan antara Raden Rangga (putra sulung Senapati) dengan Arya Pamalad.

Pada tahun 1582 Sultan Hadiwijaya menghukum buang Tumenggung Mayang ke Semarang karena membantu anaknya yang bernama Raden Pabelan, menyusup ke dalam keputrian menggoda Ratu Sekar Kedaton, putri bungsu Sultan. Raden Pabelan sendiri dihukum mati dan mayatnya dibuang ke Sungai Laweyan. Ibu Pabelan adalah adik Senapati. Maka Senapati pun mengirim para mantri pamajegan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangannya.

Perbuatan Senapati ini membuat Sultan Hadiwijaya murka. Sultan pun berangkat sendiri memimpin pasukan Pajang menyerbu Mataram. Perang terjadi. Pasukan Pajang dapat dipukul mundur meskipun jumlah mereka jauh lebih banyak.

Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dalam perjalanan pulang ke Pajang. Ia akhirnya meninggal dunia namun sebelumnya sempat berwasiat agar anak-anaknya jangan ada yang membenci Senapati serta harus tetap memperlakukannya sebagai kakak sulung. Senapati sendiri ikut hadir dalam pemakaman ayah angkatnya itu.

Arya Pangiri adalah menantu Sultan Hadiwijaya yang menjadi adipati Demak. Ia didukung Panembahan Kudus berhasil merebut takhta Pajang pada tahun 1583 dan menyingkirkan Pangeran Benawa menjadi adipati Jipang.

Pangeran Benawa kemudian bersekutu dengan Senapati pada tahun 1586 karena pemerintahan Arya Pangiri dinilai sangat merugikan rakyat Pajang. Perang pun terjadi. Arya Pangiri tertangkap dan dikembalikan ke Demak.

Pangeran Benawa menawarkan takhta Pajang kepada Senapati namun ditolak. Senapati hanya meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram. Pangeran Benawa pun diangkat menjadi raja Pajang sampai tahun 1587.

Sepeninggalnya, ia berwasiat agar Pajang digabungkan dengan Mataram. Senapati dimintanya menjadi raja. Pajang sendiri kemudian menjadi bawahan Mataram, dengan dipimpin oleh Pangeran Gagak Baning, adik Senapati.

Maka sejak itu, Senapati menjadi raja pertama Mataram bergelar Panembahan. Ia tidak mau memakai gelar Sultan untuk menghormati Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa. Istana pemerintahannya terletak di Kotagede. Sepeninggal Sultan Hadiwijaya, daerah-daerah bawahan di Jawa Timur banyak yang melepaskan diri. Persekutuan adipati Jawa Timur tetap dipimpin Surabaya sebagai negeri terkuat. Pasukan mereka berperang melawan pasukan Mataram di Mojokerto namun dapat dipisah utusan Giri Kedaton.

Selain Pajang dan Demak yang sudah dikuasai Mataram, daerah Pati juga sudah tunduk secara damai. Pati saat itu dipimpin Adipati Pragola putra Ki Panjawi. Kakak perempuannya (Ratu Waskitajawi) menjadi permaisuri utama di Mataram. Hal itu membuat Pragola menaruh harapan bahwa Mataram kelak akan dipimpin keturunan kakaknya itu.

Pada tahun 1590 gabungan pasukan Mataram, Pati, Demak, dan Pajang bergerak menyerang Madiun. Adipati Madiun adalah Rangga Jemuna (putra bungsu Sultan Trenggana) yang telah mempersiapkan pasukan besar menghadang penyerangnya. Melalui tipu muslihat cerdik, Madiun berhasil direbut. Rangga Jemuna melarikan diri ke Surabaya, sedangkan putrinya yang bernama Retno Dumilah diambil sebagai istri Senapati.

Pada tahun 1591 terjadi perebutan takhta di Kediri sepeninggal bupatinya. Putra adipati sebelumnya yang bernama Raden Senapati Kediri diusir oleh adipati baru bernama Ratujalu hasil pilihan Surabaya. Senapati Kediri kemudian diambil sebagai anak angkat Panembahan Senapati Mataram dan dibantu merebut kembali takhta Kediri. Perang berakhir dengan kematian bersama Senapati Kediri melawan Adipati Pesagi (pamannya).

Pada tahun 1595 adipati Pasuruhan berniat tunduk secara damai pada Mataram namun dihalang-halangi panglimanya, yang bernama Rangga Kaniten. Rangga Kaniten dapat dikalahkan Panembahan Senapati dalam sebuah perang tanding. Ia kemudian dibunuh sendiri oleh adipati Pasuruhan, yang kemudian menyatakan tunduk kepada Mataram.

Pada tahun 1600 terjadi pemberontakan Adipati Pragola dari Pati. Pemberontakan ini dipicu oleh pengangkatan Retno Dumilah putri Madiun sebagai permaisuri kedua Senapati. Pasukan Pati berhasil merebut beberapa wilayah sebelah utara Mataram. Perang kemudian terjadi dekat Sungai Dengkeng di mana pasukan Mataram yang dipimpin langsung oleh Senapati sendiri berhasil menghancurkan pasukan Pati.


Panembahan Senapati alias Danang Sutawijaya meninggal dunia pada tahun 1601 saat berada di desa Kajenar. Ia kemudian dimakamkan di Kotagede. Putra yang ditunjuk sebagai raja selanjutnya adalah yang lahir dari putri Pati, bernama Mas Jolang.

Makam Raja - Raja Mataram

Makam Raja-Raja Mataram di Imogiri

Pajimatan Imogiri merupakan makam raja-raja Mataram (Surakarta dan Yogyakarta) yang terletak 17 kilometer ke arah selatan dari Kota Yogyakarta melalui Jalan Pramuka - Imogiri. Di kawasan itu bagi warga masyarakat disediakan lapangan parkir yang terletak di sebelah barat gerbang masuk sebelum naik tangga. Sedangkan bagi kerabat istana dan tamu VIP disediakan parkir di bagian atas mendekati makam sehingga tidak perlu meniti tangga. 


Mitos setempat menyatakan bahwa barang siapa bisa menghitung jumlah tangga secara benar (jumlahnya ada 345 anak tangga) maka cita-citanya akan terkabul. Tata cara memasuki makam di tempat itu sama dengan di Astana Kotagede, dimana setiap pengunjung diharuskan memakai pakaian tradisonil Mataram, pria harus mengenakan pakaian peranakan berupa beskap berwarna hitam atau biru tua bergaris-garis, tanpa memakai keris, atau hanya memakai kain/jarit tanpa baju. Sedangkan bagi wanita harus mengenakan kemben.

Perlu diketahui bahwa selama berziarah pengunjung tidak diperkenankan memakai perhiasan. Bagi para peziarah yang tidak mempersiapkan pakaian dimaksud dari rumah bisa menyewa pada abdi dalem sebelum memasuki komplek makam. Bagi kerabat istana khususnya putra-putri raja ada peraturan tersendiri, pria memakai beskap tanpa keris, puteri dewasa mengenakan kebaya dengan ukel tekuk, sedangkan puteri yang masih kecil memakai sabuk wolo ukel konde.

Menurut buku Riwayat Pasarean Imogiri Mataram, Makam Imogiri memang sejak awal telah disiapkan oleh Sultan Agung dengan susah payah. Diceritakan Sultan Agung yang sakti itu setiap Jumat sholat di Mekkah, dan akhirnya ia merasa tertarik untuk dimakamkan di Mekkah. Namun karena berbagai alasan keinginan tersebut ditolak dengan halus oleh Pejabat Agama di Mekkah, sebagai gantinya ia memperoleh segenggam pasir dari Mekkah. Sultan Agung disarankan untuk melempar pasir tersebut ke tanah Jawa, dimana pasir itu jatuh maka di tempat itulah yang akan menjadi makam Sultan Agung. Pasir tersebut jatuh di Giriloyo, tetapi di sana Pamannya, Gusti Pangeran Juminah (Sultan Cirebon) telah menunggu dan meminta untuk dimakamkan di tempat itu. Sultan Agung marah dan meminta Sultan Cirebon untuk segera meninggal, maka wafatlah ia. Selanjutnya pasir tersebut dilemparkan kembali oleh Sultan Agung dan jatuh di Pegunungan Merak yang kini menjadi makam Imogiri.


Tempat pemakaman masih dibagi lagi menjadi tiga bagian,yaitu :

Makam utama, yang terdiri dari :
  • Makam Sri Paduka Sultan Prabu Hanyokrokusumo
  • Makam Amangkurat II
  • Makam Amangkurat III 
  • Makam masing-masing satu permaisurinya. 
Sayap kiri terdiri dari :
  1. Makam Pakubuwono I
  2. Makam Amangkurat Jawi
  3. Makam Pakubuwono III
Sayap kanan terdiri dari: 
  1. Makam Ratu-ratu Solo
  2. Makam Pakubuwono III beserta selir dan permaisurinya. 

Berikut ini daftar Raja-raja Mataram beserta Keluarganya yang dimakamkan di Pemakaman Imogiri:
  1. Sultan Agung Hanyakrakusuma
  2. Sri Ratu Batang, Amangkurat Amral
  3. Amangkurat Mas
  4. Paku Buwana I
  5. Amangkurat Jawi
  6. Paku Buwana II
  7. Paku Buwana III
  8. Paku Buwana IV
  9. Paku Buwana V
  10. Paku Buwana VI
  11. Paku Buwana VII
  12. Paku Buwana VIII
  13. Paku Buwana IX
  14. Paku Buwana X     
  15. Paku Buwana XI. 

  1. Hamengku Buwana I
  2. Hamengku Buwana III
  3. Hamengku Buwana IV
  4. Hamengku Buwana V
  5. Hamengku Buwana VI
  6. Hamengku Buwana VII
  7. Hamengku Buwana VIII
  8. Hamengku Buwana IX                                                                                                                                                                                             

Makam Leluhur Dinasti Mataram Islam dan Masjid Besar di Kotagede



Kotagede masih menampakkan sisa-sisa wajahnya sebagai bekas pusat kerajaan besar di masa lampau. Situs terpenting yang kemungkinan membuat Kotagede tetap lestari, adalah adanya Makam Raja-raja Dinasti Mataram Islam serta Masjid Besar Mataram, yang sangat dimuliakan dan dihormati oleh Kasultanan Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta, dua kerajaan yang menjadi penerus Dinasti Mataram Islam.

Situs Makam Raja-raja Dinasti Mataram Islam serta Masjid Besar Mataram terletak hanya beberapa ratus meter di sebelah selatan Pasar Kotagede sekarang. Di kanan jalan, akan kita jumpai pohon beringin besar pada sebuah halaman yang cukup luas untuk ukuran Kotagede. Inilah pintu gerbang utama memasuki kedua situs itu.

Di sisi kiri dan kanan halaman ini terdapat sepasang bangsal terbuka yang dipergunakan para peziarah untuk beristirahat. Bangsal sebelah selatan dipayungi oleh pohon beringin besar dan rindang, yang disebut Waringin Sepuh. Konon, pohon yang sangat tua ini ditanam oleh Kanjeng Sunan Kalijaga yang sudah ada sejak tempat ini dibangun hampir 5 abad yang lalu. Sebagian orang percaya, daun-daunnya yang berguguran ke tanah memiliki tuah tertentu. Mereka mencari 2 helai daun yang jatuh dalam kondisi terbuka dan tertutup, lalu membawanya dalam perjalanan sebagai bekal keselamatan.

Di sebelah barat sana, berdiri gapura besar yang disebut Gapura Padureksa. Pada kiri kanan jalan menuju gapura, berjajar sejumlah rumah tradisional yang yang disebut Dondhongan. Ini adalah tempat tinggal keluarga Dondhong, para abdi dalem yang bertugas membersihkan halaman makam dan masjid, sekaligus sebagai juru do’a kepada arwah para leluhur yang disemayamkan di makam para raja, yang lazim disebut Makam Senopaten.

Gapura Padureksa merupakan pintu gerbang masuk halaman masjid yang ada di sebelah timur. Hiasan Kala yang terdapat pada bagian atas gapura serta hiasan-hiasan pada tembok di sekitarnya, mengingatkan kita pada ornamen dekoratif yang banyak dijumpai pada bangunan bergaya Hindu. Gapura ini dilengkapi dengan tembok pembatas atau kelir yang juga terbuat dari batu bata. Dibalik kelir inilah terdapat halaman besar dimana Masjid Besar Mataram berada.

Masjid Besar Mataram adalah salah satu bagian penting Keraton Mataram yang masih berdiri hingga saat ini. Babad Momana menyebutkan bahwa masjid ini selesai dibangun pada tahun 1589 Masehi. Bangunannya berbentuk tajug dengan atap bertumpang tiga. Dinding ruang utama masjid ini diperkirakan masih asli karena terdiri dari susunan balok-balok batu kapur tanpa semen. Kolam-kolam yang ada di sekitar serambi masjid yang dahulu dipergunakan oleh para jamaah untuk menyucikan diri sebelum memasuki masjid.
Selain Gapura Padureksa di sisi timur, masih terdapat 2 buah gapura sejenis yang terdapat di sisi utara dan selatan. Gapura yang berada di sisi selatan, menghubungkan halaman Masjid dengan kompleks Makam Senopaten.

Pada halaman pertama yang kita jumpai, berdiri sebuah bangunan yang disebut Bangsal Duda. Bangunan ini didirikan pada tahun 1644 oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma, cucu Panembahan Senopati, yang bertahta di Kerajaan Mataram antara tahun 1613 hingga 1645. Bangsal ini adalah salah satu tempat yang digunakan sebagai tempat jaga para abdi dalem Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta yang secara bergilir melakukan tugas jaga di seputar makam.
Di sebelah barat Bangsal Duda terdapat pintu gerbang yang disebut Regol Sri Manganti, lengkap dengan kelir atau tembok pembatasnya. Dibalik Regol Sri Manganti inilah akan dijumpai halaman utama sebelum memasuki Makam Senopaten. Di sini terdapat beberapa bangunan yang dipergunakan sebagai tempat jaga para abdi dalem yang bertugas di Makam Senopaten, sekaligus menjadi tempat bagi para peziarah untuk beristirahat dan mempersiapkan diri sebelum memasuki kompleks makam. 2 bangunan yang berada di sebelah barat disebut Bangsal Pengapit. Bangsal sebelah utara dikhususkan bagi peziarah putri, sedangkan yang selatan dikhususkan bagi peziarah putra. Untuk memasuki kompleks makam, para peziarah diwajibkan mengikuti sejumlah tata tertib, diantara yaitu kewajiban untuk memakai pakaian tradisional tertentu.

Di Makam Senopaten ini disemayamkan para leluhur Dinasti Mataram Islam, khususnya para raja beserta kerabat dekatnya. Mereka yang disemayamkan di makam ini diantaranya: Panembahan Senopati, Ki Ageng Pemanahan, Panembahan Sedo ing Krapak, Kanjeng Ratu Kalinyamat, Kanjeng Ratu Retno Dumilah, Nyai Ageng Nis, Nyai Ageng Mataram, Nyai Ageng Juru Mertani, serta sejumlah tokoh lainnya.

Pada bangunan Prabayeksa dalam kompleks makam terdapat sebuah makam yang unik, karena separuh bagian berada di sisi dalam dan separuh bagian lainnya di sisi luar. Ini adalah makam Ki Ageng Mangir Wonoboyo. Konon, ini dimaksudkan sebagai lambang statusnya, sebagai menantu sekaligus musuh Panembahan Senopati. Di makam ini juga disemayamkan Sri Sultan Hamengku Buwono II , satu-satunya raja Kasultanan Yogyakarta yang tidak dimakamkan di Imogiri, serta makam saudaranya, Pangeran Adipati Pakualam I.

Peziarah yang mengunjungi makam atau ingin bertirakat juga disyaratkan untuk mandi atau berendam di kolam yang terletak di sebelah selatan makam. Kolam ini disebut Sendhang Selirang. Ada 2 buah sendhang, Sendhang Kakung berada di sebelah utara dan Sendhang Putri di sebelah selatan. Mata air Sendhang Kakung konon berada tepat di bawah makam. Sementara Sendhang Putri memiliki sumber mata air yang berasal dari bawah pohon beringin yang terletak di jalan masuk kompleks makam.

Selain kedua kolam tersebut, di sebelah barat tembok makam juga terdapat sebuah sumber air bernama Sumber Kemuning. Konon, sumber air ini berasal dari cis atau senjata yang ditusukkan ke tanah oleh Kanjeng Sunan Kalijaga.

Perjanjian Giyanti





Perjanjian Giyanti, melatar belakangi pecahnya dinasti Mataram. Berawal dari Pangeran Mangkubumi yang menuntut janji Pakubuwono III, bahwa ia akan menyerahkan 3000 cacah tanah di Sukowati apabila berhasil meredam pemberontakan Pangeran Sambernyawa. Akhirnya Mataram harus dipecah menjadi Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogjakarta Hadiningrat melalui perjanjian Giyanti. Peristiwa itu merupakan sejarah kelam Mataram. 


Bertempat di Dusun Kerten, Kelurahan Jati Harjo, Karanganyar, Jawa Tengah. Sebuah petilasan yang dulu menjadi tempat terselenggaranya perjanjian Giyanti.


Tempat perundingan yang melahirkan perjanjian Giyanti, sampai sekarang masih terjaga keberadaannya. Hanya saja, kondisinya sekarang tidak selayaknya tempat yang menjadi saksi sejarah kelam Mataram. “Kalau melihat kondisi sekarang, tempat tersebut seperti sebuah punden,” kata Hadi Siswanto, warga Dusun Kerten. Tempat tersebut masih milik Sukowati. Untuk menjaga dan melestarikan tempat bersejarah tersebut, masyarakat Dusun Kerten bergotong-royong membangun secara swadaya. 


Tanpa ada campur tangan atau bantuan dari pihak Sukowati maupun dari Pemerintah Daerah. Kepedulian dari warga setempatlah yang menjadikan tempat ini sedikitnya masih dikenal oleh masyarakat luas, dan dari tangan Mbah Warsi pula yang menjadikan tempat ini terjaga kebersihannya.


Di sini terlihat ketidak pedulian dari Sukowati maupun pihak pemerintah terkait, terhadap peninggalan sejarah dari perjanjian Giyanti. Tempat tersebut mestinya menjadi tanggung jawab bersama. Bagaimana kita bisa mengenalkan sejarah ke generasi berikutnya kalau kita sendiri tidak peduli dengan sejarah itu sendiri. Kalau hanya mengandalkan swadaya masyarakat setempat tanpa kepedulian dari pihak-pihak terkait, lambat laun nilai-nilai sejarah dan budaya akan hilang dari Bumi Pertiwi ini.
 

Tempat tersebut juga melambangkan keberhasilan dari Pangeran Mangkubumi dalam menumpas penjajah V.O.C Hindia Belanda kala itu. Tanpa adanya prasasti, hanya gapura yang berdiri serta bendera yang sudah lusuh menghiasi tempat tersebut. Menurut cerita warga sekitar, tempat tersebut diakui oleh pihak Sukowati. Pada tahun 1978, pihak Sukowati pernah menjanjikan akan membangun tempat tersebut agar dikenal oleh masyarakat luas. Tetapi pada kenyataannya sampai sekarang janji tersebut belum terlaksana juga.
 

Warga Dusun Kerten meyakini di tempat itulah berlangsungnya perundingan yang melahirkan perjanjian Giyanti. Sehingga, mereka bertekat menjaga keberadaannya sebagai warisan leluhur untuk dilestarikan secara turun-temurun. Walaupun, sejarah itu merupakan awal pecahnya dinasti mataram karena campur tangan V.O.C.

PERJANJIAN SALATIGA 17 Maret 1745


Karena merasakan tindakan kompeni yang sewenang-wenang terhadap rakyat Kerajaan Mataram di Kartasura, maka pada tahun 1741 RM. Said meninggalkan Keraton Kartasura menuju Desa Nglaroh untuk menyusun pemberontakan melawan Belanda.
RM. Said yang berganti nama menjadi RM. Suryakusuma mulai membangun perlawanan di Desa Nglaroh dengan bermodalkan pasukan permulaan yang berjumlah 40.orang. Pada awal perjuangannya, RM. Suryakusuma bergabung dengan RM. Garendi atau yang terkenal dengan Sunan Kuning bersama Laskar Cina di bawah pimpinan Kapitan Sepanjang. Pada tahun 1743, RM. Garendi tertawan oleh Belanda di Surabaya dan di buang ke Afrika Selatan. Pasukan dapat di tumpas oleh Belanda sedangkan Kapitan Sepanjang hilang dalam pengejaran.
Tahap berikutnya, RM. Said bergabung dengan Pangeran Mangkubumi yang kelak menjadi Sultan dengan gelar Sultan Mangkubumi I. RM. Said yang juga terkenal dengan sebutan Pangeran Samber Nyawa akhirnya memisahkan diri dari Pangeran Mangkubumi dan memimpin pasukannya sendiri melanjutkan perjuangannya melawan Kompeni Belanda.
Pangeran Mangkubumi pada th 1755 melakukan perundingan dengan pihak Belanda di Giyanti. Perjanjian tersebut menghasilkan kesepakatan yang antara lain memberi hak pada sang Pangeran untuk memerintah sebagian dari wilayah Kartasura ,dan oleh beliau kerajaan yang baru ini di namakan Ngayogjakarta Hadiningrat yang populer di sebut sebagai Yogyakarta, sedang rajanya bergelar Sultan Hamengkubuwono I.
Di saat RM. Said atau Pangeran Samber Nyawa mulai melakukan perlawanannya, Kerajaan Mataram yang berpusat di Kartasura diperintah oleh Pakubuwono II. Namun, sejak Keraton Kartasura dapat di rebut oleh RM. Garendi beserta laskar Cina pada tahun 1742, ibukota kerajaan pindah ke Surakarta. RM. Garendi beserta laskar Cinanya dapat di usir oleh Belanda setelah menduduki Keraton Kartasura selama 9 bulan. Pangeran Samber Nyawa tetap melanjutkan perjuangannya mulai dari daerah Kabupaten Sukoharjo, ke daerah Klaten,Wonogiri, Madiun, Karanganyar dan Sragen. Pakubuwono II wafat dan digantikan putranya yang bergelar Pakubuwono III dan berkedudukan di Surakarta. Raja baru ini mempunyai kebijaksanaan yang agak berbeda dengan pendahulunya. Beliau ingin mengakhiri pemberontakan Pangeran Samber Nyawa dengan melalui perundingan. Pemikiran demikian timbul antara lain karena saran dari Kompeni yang sudah kewalahan menghadapi Pangeran Samber Nyawa.
Sinuhun Pakubuwono III di paroh akhir tahun 1756 menulis surat kepada Pangeran Samber Nyawa agar kembali ke Surakarta untuk membantu beliau menjalankan pemerintahan, adapun mengenai hal-hal yang berkaitan dengan wilayah pemerintahan dan kedudukan Pangeran Sambernyawa dapat dirundingkan kelak. Akhirnya pada hari Kamis Pahing tanggal 4 Jumadilakir, tahun 1682 (M.1756), Pakubuwono III menjemput Pangeran Sambernyawa di Desa Tunggon untuk di ajak kembali ke Surakarta.
Pada awal tahun 1757, Gubernur Jenderal Belanda di Batavia menulis surat kepada Pakubuwono III di Surakarta, Sultan Hamengkubuwono I diYogyakarta ,dan RM. Said atau Pangeran Sambernyawa. Surat tersebut berisi undangan agar ketiganya bertemu di Salatiga untuk mengadakan perundingan.
Pada tanggal 17 Maret 1757 di dusun Kalicacing, Salatiga, perundingan tersebut dapat terlaksana. Menurut buku Babad KGPAA.Mangkunegara I,susunan formasi para peserta perundingan adalah sebagai berikut : Nicholas Harting sebagai wakil dari Gubernur Jenderal Belanda, yang dalam hal ini bertindak sebagai fasilitator duduk di tengah, di apit oleh Pakubuwono III, disebelah kanan dan Hamengkubuwono I dikirinya. Di hadapan mereka duduk Pangeran Sambernyawa. Perundingan ini disaksikan oleh kepala perwakilan VOC dan kedua patih, baik dari Surakarta maupun Yogyakarta, yaitu Mangkupraja dan Suryanegara.
Perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan sebagai berikut :
  1. Pangeran Sambernyawa di angkat sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Adipati Mangkunegara I
  2. Beliau berhak menguasai tanah seluas 4000 karya, serta semua daerah yang pernah dilewati selama mengadakan pemberontakan dan menjalankan roda pemerintahannya.
  3. Beliau berhak mendirikan sebuah istana atau Puro sebagai pusat pemerintahannya di Surakarta, tetapi dengan syarat :
    • Dilarang membuat singgasana
    • Dilarang membuat alun-alun dengan beringin kurung
    • Dilarang membuat “Siti Inggil” dan balaiurung
    • Dilarang menjatuhkan hukuman mati
Istana dan Praja Mangkunegaran selanjutnya di kenal dengan nama “Pura Mangkunegaran”. Kesepakatan tersebut di atas di kenal dengan nama “Perjanjian Salatiga” DENGAN DEMIKIAN PADA TG 17 MARET 2007, USIA PURA MANGKUNEGARAN MENCAPAI GENAP 250 TAHUN.
Pemerintah Indonesia sangat menghargai jasa Pangeran Sambernyawa atau Mangkunegara I sebagai pejuang kemerdekaan nasional. Hal itu terbukti dengan pengangkatan beliau sebagai pahlawan kemerdekaan nasional seperti yang
tertuang dalam keputusan Presiden RI. No. 048/TK tahun 1988, tanggal 17 Agustus 1988.
Setelah Mangkunegara I wafat, beliau digantikan oleh Mangkunegara II dan seterusnya, hingga saat ini yang menjabat sebagai pimpinan Pura Mangkunegaran adalah Sri Paduka Mangkunegara IX.
Sejak pemerintahan Mangkunegara I hingga Mangkunegara IX, Pura Mangkunegaran telah memberikan sumbangan yang besar bagi bangsa dan kebesaran nama Indonesia.
Karya-karya tari dan sastra, serta berbagai ragam seni budaya bermutu tinggi banyak yang lahir dari lingkungan Mangkunegaran. Peranan Pura Mangkunegaran di bidang pendidikan menghasilkan tokoh-tokoh nasional, serta putera bangsa yang berbobot.
Dalam perjuangan kemerdekaan nasional, banyak kerabat Mangkunegaran yang langsung terlibat dalam perjuangan fisik maupun non fisik.
Sebagai ungkapan terima kasih kepada mereka semua, serta untuk memupuk rasa persatuan dan kebangsaan yang akhir-akhir ini dirasakan agak pudar, maka seluruh jajaran Pura Mangkunegaran mengajak masyarakat luas untuk bersama-sama berpartisipasi merayakan “250 tahun Pura Mangkunegaran”. Dalam rangka mereaktualisasi Budaya Mangkunegaran, maka panitya mempunyai rencana untuk mengadakan Pagelaran-pagelaran , seminar-seminar, pameran-pameran, dan kegiatan lainnya.
Dengan memohon Ridho Allah SWT., Tuhan Yang Maha Pengasih, Peringatan “250 tahun Pura Mangkunegaran”, akan dimulai dengan acara selamatan di Kalicacing, Salatiga pada tanggal 17 Maret 2007, dan disusul dengan kegiatan2 lainnya yg akan berlangsung sepanjang tahun 2007
"Pahlawan Nasional RM Said berjuang melawan penjajah bersama para Ulama, Pendekar, laskar Tionghoa dan prajurit wanita"
PANGERAN SAMBERNYAWA
Masalah tersebut, maka RM. Said atau Pangeran Sambernyawa, karena menyaksikan penderitaan rakyat Mataram akibat penindasan Kompeni, beliau memilih keluar dari Istana Kartasura dan membangun perlawanan terhadap VOC. Kompeni merasa kewalahan dan mengajak berdamai, tetapi selalu ditolak oleh Pangeran Sambernyawa. Namun setelah Paku Buwono III meminta beliau pulang ke Surakarta dengan maksud agar beliau membantu Sinuhun PB.III didalam mengendalikan Kerajaan Mataram, Pangeran Sambernyawa menerima ajakan tersebut dan selanjutnya bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Ario Adipati Mangkunegara, Menurut Babad Panambangan, pada saat PB.III menjemput RM.Said dari medan perang, beliau berkata bahwa segala sesuatu yang menyangkut kedudukan KGPAA. Mangkunegara akan dibicarakan di kemudian hari. Sebagai realisasi penyelesaian, maka diadakanlah perundingan di Desa Kalicacing Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757.
Pada dasarnya perundingan yang diadakan adalah perundingan antara RM.Said dengan PB.III. Namun, karena sejak Perjanjian Giyanti Tahun 1755 wilayah Kerajaan Mataram sudah terbagi menjadi dua kerajaan, yaitu Surakarta dan Yogyakarta, maka dalam perundingan tersebut, diikuti juga perwakilan dari Keraton Yogyakarta dan Perwakilan dari VOC yang bertindak sebagai saksi. Perundingan ini menghasilkan suatu perjanjian yang dikenal dengan nama PERJANJIAN SALATIGA. Sejak itu maka secara defacto dan dejure terbentuklah PRAJA MANGKUNEGARAN
BARISAN ULAMA
“Subhanullah Subhanullah Subhanullah Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar”. Kalimat ini senantiasa dikumandangkankan oleh Pangeran Sambernyawa dimanapun beliau berada. RM.Said mengangkat senjata bukan karena ingin menjadi raja, tetapi karena didorong oleh cita-cita luhur untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Mulat sariro hangrasa wani, melalui introspeksi diri yang terus menerus, maka akan menimbulkan keberanian untuk bertindak demi keadilan dan kebenaran. Bagi beliau, menjaga kebersihan batin adalah merupakan hal yang mutlak yang harus dilakukan dalam hidup ini. Para Kyai dan ulama tanpa ragu mendukung perjuangan beliau. Kyai Penambangan selalu berada disamping beliau dalam suka dan duka. Raden Penghulu, pimpinan ulama dari Bayat gugur ditembus peluru Belanda di saat bertempur bersama RM.Said. Pangeran Sambernyawa merupakan sosok pribadi yang tabah dan pemberani, tetapi penuh dengan welas asih.
BARISAN PRAJURIT WANITA
Ada ungkapan “witing klapa Jawata ing ngarsa pada, salugune wong wanita dasar nyata”. Wanita adalah bagaikan dewi yang turun ke bumi. Keberadaannya di dunia ini harus dihormati. Mereka diibaratkan sebagai pohon kelapa yang kokoh, tetapi luwes. Prinsip-prinsip inilah yang dipegang oleh Mangkunegara I dalam memperlakukan para wanita. Di saat dunia masih mempermasalahkan kesetaraan gender, beliau telah membentuk pasukan wanita yang bertempur dengan gagah berani disamping para pasukan pria. Pasukan ini dinamakannya “Ladrang Mangungkung”, yang berarti Pasukan yang mengepung musuh hingga tak berdaya dan itu telah terbukti di berbagai pertempuran melawan VOC.
PASUKAN PRIA
Rakyat Kerajaan Mataram adalah rakyat yang cinta damai, tetapi lebih cinta kemerdekaan. Hal ini terbukti sejak Sultan Agung Hanyakra Kusuma memimpin rakyatnya melawan penjajah. Semangat untuk melawan penindasan tersebut diwariskan kepada keturunan beliau yang bernama RM.Said. Para prajurit RM.Said bukanlah prajurit bayaran. Sebagian besar dari mereka adalah para petani, tukang penebang kayu, pemburu dan rakyat kecil lainnya. Mereka tergerak hatinya ketika mendengar pekik perjuangan yang dikumandangkan oleh RM.Said. Berjuang dan berjuang demi keadilan. Darah mereka tertumpah, dalam pertarungan demi pertarungan.
“Jer Basuki Mawa Bea, Rawe-Rawe rantas malang malang putung,
ojo nganggu gawe, marang kamardikan”.
"Semua tujuan harus ditebus melalui pengorbanan dan segala yang penghalang untuk tercapainya kemerdekaan, akan tersapu".
PRAJURIT TIONGHOA
Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, perjuangan melawan penindasan tidak mengenal sekat ethnis, suku dan agama. Pangeran Sambernyawa sangat memahami hal tersebut. Beliau berhasil mengajak seluruh masyarakat untuk “Hanebu Sa’uyun” Bersatu kokoh bagaikan seikat tebu melawan segala bentuk kejahatan. Sejarah mencatat bahwa seluruh rakyat Mataram termasuk ribuan etnis Tionghoa dibawah kepemimpinan Kapitan Sepanjang dan Tan Sin Ko alias Sinshe, bersatu padu, bahu membahu, bersama RM.Said dalam berjuang mengenyahkan penjajah dari bumi Nusantara. Darah para pejuang laskar Tionghoa ini tumpah menggenangi bumi pertiwi, menyatu dengan darah saudara-saudaranya dari suku Jawa. Darah yang telah tergenang berbaur tanpa dapat dibedakan lagi, apakah itu darah Tionghoa atau darah Jawa.
W A R O K
Pada saat RM.Said tiba didaerah Keduwang, Wonogiri, beliau bertemu dengan para pejuang yang gagah berani. Mereka menamakan dirinya sebagai warok. Mereka menyatakan keinginannya untuk mengikuti RM.Said berjuang melawan Kompeni. Kesaktian para pendekar ini telah terbukti dalam berbagai pertempuran.
“Suro Diro Jayaningrat lebur dening pangastuti”.
Segala kesaktian akan pudar kalau tidak menyatu dengan kebaikan.
KEMERDEKAAN
Tanggal 17 Agustus 1945, Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Mulai saat itu bangsa Indonesia memasuki babak kehidupan yang baru dan Praja Mangkunegaran meleburkan diri pada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Cita-cita agung dari para pejuang bangsa yang telah mendahului kita, termasuk Pahlawan Nasional RM.Said dan mereka yang telah berjuang bersamanya, perlu kita ujudkan secara nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan semboyan :
· Rumongso Melu Handarbeni
· Wajib Melu Hanggrumengkepi
· Mulat Sariro
· Angrosowani
Marilah kita jaga tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai diakhir jaman. Semoga darah para martir yang telah membasahi tanah air, di saat mereka melaksanakan kewajibannya yang berupa “Melu Hanggrumengkepi” selalu mengingatkan kita akan pentingnya menjaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa.

SALATIGA
(1740-1743
)
Peristiwa yang terjadi di Salatiga pada tahun tersebut sangat erat hubungannya dengan apa yang terjadi di Keraton Kartasura. Pada masa itu yang bertahta di Kartasura adalah Paku Buwono II. Beliau mempunyai beberapa saudara, antara lain bernama Pangeran Arya Mangkunegoro, yang kemudian di buang ke Afrika Selatan oleh Kompeni dan wafat disana. Sebelum di buang, beliau berputra seorang laki-laki yang di beri nama RM.Said (Pangeran Sambernyawa). Pada masa itu kekejaman Kompeni mencapai puncaknya. Para petani di peras dan di Batavia lebih kurang 10.000 orang Tionghoa di bantai karena tidak mampu dibebani pajak yang tinggi. Sebagian dari mereka yang hidup, melakukan perlawanan terhadap Kompeni dan lari ke Jawa Tengah. Keadaan yang demikian menimbulkan keresahan rakyat dan para pemimpin dilingkungan Kerajaan Mataram. Para Bupati membakar semangat rakyatnya untuk berontak melawan Kompeni. Pemberontakan terhadap Kompeni tersebut dipelopori antara lain oleh Bupati Mengunoneng dari Pati, Bupati Martapura dari Grobogan dan Bupati dari Lasem yang bernama Martawijaya. Dalam waktu yang hampir bersamaan, RM.Said meninggalkan Keraton Kartasura menuju Desa Nglaroh, mengumpulkan pasukan permulaan yang berjumlah 40 orang dan melakukan serangan pada pos-pos Kompeni. Tindakan RM.Said diikuti oleh RM.Garendi, cucu Amangkurat III, raja yang di kudeta oleh Pakubuwono I. Ayah RM.Garendi yang bernama Pangeran Teposono terbunuh dalam suatu persekongkolan dan RM.Garendi lari kearah Grobogan dan Demak, membangun perlawanan terhadap Kompeni. Dengan demikian ada dua Pangeran yang keluar dari keraton dan mengadakan perlawanan terhadap kompeni pada saat itu yaitu, RM.Said dan RM.Garendi.
Laskar Cina pelarian dari Batavia di bawah pimpinan Kapiten Sepanjang bergabung dengan Laskar Cina lokal Jawa Tengah, di bawah pimpinan Sin She alias Tan Sin Ho.
Gabungan Laskar Cina ini bersatu dengan Laskar para bupati pemberontak di dalam melakukan perlawanan terhadap Kompeni. Sunan Pakubuwono II pada mulanya mendukung perjuangan mereka. Benteng Salatiga diduduki oleh Pasukan Kartasura, dibawah pimpinan Patih Pringgalaya. Namun tidak beberapa lama pasukan dimaksud di tarik ke Kartasura untuk membendung bala tentara Kompeni yang mengancam Keraton Kartasura. Sebagai gantinya Salatiga di pertahankan oleh satu detasemen Laskar Cina yang didatangkan dari Semarang.
Kompeni merasa tidak senang atas berpihaknya PB.II kepada pemberontak dan mengeluarkan berbagai ancaman. Disebabkan Pringgalaya takut atas ancaman Kompeni yang demikian itu dan untuk membuktikan bahwa dia tidak bersekongkol dengan Laskar Cina, maka pada tahun 1741 ia memenggal kepala seorang juru tulis Tionghoa, yang bernama Gow Ham Ko di Salatiga. Kepala Gow Ham Ko oleh Patih Pringgoloyo diserahkan kepada Kompeni. Hal ini membuat marah Patih Notokusumo, seseorang yang lebih senior dari Pringgalaya. Secara diam-diam dia memerintahkan semua pengikutnya untuk bergabung dengan pasukan Tionghoa dan pemberontak lainnya untuk menyerang kompeni di Semarang. Sayang, serangan
terhadap kompeni yang di Semarang mengalami kegagalan. Pasukan pemberontak mundur dan Patih Notokusumo di tangkap Belanda.
Sebagian besar pasukan yang mundur bertahan didaerah Salatiga dengan pertahanan Kali Tuntang. Berbagai kekuatan pemberontak, seperti pasukan Pringgalaya berada di Kalicacing, Pasukan Kyai Mas Yudonegoro, seorang ulama dari Semarang berada di bagian timur dan pasukan Cina di sekitar Kali Tuntang.
Kekalahan pasukan pemberontak di Semarang membuat PB.II ragu dan akhirnya memutuskan berbalik berpihak pada kompeni. Ia memerintahkan pasukannya di bawah Pringgalaya menggempur para pemberontak. Menanggapi situasi demikian itu, para bupati pemberontak dan pimpinan laskar Tionghoa berkumpul untuk mengangkat RM.Garendi sebagai raja Mataram pada tanggal 6 April 1742. Mereka berikrar akan melawan kompeni sampai ajal tiba. Sasaran mereka merebut benteng kompeni di Kartasura. Pertempuran pertama yang harus mereka hadapi ialah di Salatiga, dimana mereka harus berhadapan dengan Pringgalaya di Kalicacing yang sekarang berpihak pada VOC.
Setelah Salatiga jahtuh ketangan RM.Garendi, dengan mudah mereka merebut benteng kompeni di Kartasura dibawah Van Hohendorf. RM.Garendi di Kartasura bertemu dengan RM.Said yang selanjutnya keduanya bergabung melawan kompeni pada pertengahan 1742. Sementara itu Salatiga telah dikuasai oleh pasukan pemberontak yang terdiri dari laskar Cina, pasukan dibawah Kyai Mas Yudonegoro dan pasukan para bupati yang setia pada Patih Notokusumo.
Belanda merencanakan mengirim pasukan gerak cepat yang terdiri dari 300 prajurit Eropa dan 500 prajurit pribumi ke Salatiga, tapi mengalami kegagalan karena pasukan yang akan menjemput mereka sebelum memasuki Salatiga telah dipukul mundur ke Ampel.
Pada tanggal 19 Juni 1742 serangan besar-besaran akan dilancarkan ke kota Salatiga. Namun sebelum sampai tujuan, mereka ketakutan dan kembali ke Semarang, karena Kompeni melihat konsentrasi kekuatan pasukan Kyai Mas Yudonegoro. Pasukan gabungan dari RM.Garendi atau Sunan Kuning terus melakukan perlawanan pada kompeni di seluruh wilayah Jawa Tengah. Kali ini yang menjadi sasaran adalah Tanjung, Jepara. RM.Said bersama laskar Cina yang berkekuatan 800 orang bertempur melawan pasukan kompeni dibawah Kapten Mom di Welahan pada tanggal 24 Agustus 1742, namun pasukan ini karena kekuatan persenjataan yang tak seimbang terpaksa mundur. Sebagian diantaranya membuat pertahanan di Salatiga dan memasang barikade di Kali Tuntang. Pasukan kompeni dibawah Hohendorf gagal menembus barikade ini. Ditempat ini komandan dan laskar Cina, yaitu Kapitan Sepanjang telah mengeksekusi anak buahnya yang bernama Swa Ting Giap karena mau menyeberang ke pihak Kompeni.
Sunan Kuning atau RM.Garendi beserta Laskar Cina, Kyai Mas Yudonegoro, Bupati Mangunnoneng, serta Bupati Martapura, melakukan serangan ke Salatiga dan memaksa Patih Pringgalaya yang sudah berbalik membantu Kompeni, mundur ke Tengaran, kemudian Ampel.
Pasukan RM.Garendi terus mengejar pasukan Kartasura dibawah Pringgalaya dan akhirnya menyerbu benteng Kompeni di Kartasura. Di tempat ini, RM.Garendi beserta Laskar Cina bersatu dengan RM.Said melakukan perlawanan terhadap Kompeni.
Pertempuran yang terjadi di Salatiga, mulai sejak pasukan Pringgalaya menyerbu benteng Kompeni sampai dengan insiden pembunuhan juru tulis Tionghoa dan juga pertempuran antara RM.Garendi beserta Laskar Cina menyerang pasukan Pringgalaya yang telah berbalik sebagai sekutu Kompeni, diceriterakan secara detail dalam Buku Babad Keraton dalam bentuk tembang. Buku dengan huruf Jawa yang aslinya disimpan di British Library London, telah disalin dalam huruf Latin oleh Drs. I.W. Pantja Sunyata, Drs. Ignatius Supriyanto dan Prof. Dr. J.J. Ras.

LEGIUN MANGKUNEGARAN


Cikal bakal dari Legiun Mangkunegaran ialah para anggota pasukan yang memberontak pada VOC, yang dipimpin oleh Pangeran Sambernyowo. Ketangguhan tempur pasukan ini mulai terkenal sejak mereka dibawah Pangeran Suryokusumo (nama lain dari Pangeran Sambernyowo), melakukan penyerangan pos-pos militer Belanda di daerah Salatiga, waktu pemberontakan orang Cina pada tahun 1744. Setelah Pangeran Sambernyowo atau RM. Said menjadi kepala Praja Mangkunegaran pada tahun 1757, pasukan tersebut merupakan bagian resmi dari Praja Mangkunegaran.

Pasukan pemberontak yang tadinya belum mempunyai aturan-aturan militer yang baku, mulai dibenahi dengan cara penerapan tradisi dan hirarki kemiliteran yang profesional. Re-organisasi total Prajurit Mangkunegaran dilakukan pada tahun 1808 pada masa pemerintahan MN.II. Dalam re-organisasi tersebut, untuk pertama kali diangkat Komandan Legiun, yaitu MN.II dengan pangkat Kolonel. Tradisi ini berlanjut sampai dengan MN.VII, yang merupakan Kolonel Komandan terakhir dari Legiun Mangkunegaran.

Nama pasukan yang tadinya "Prajurit Mangkunegaran", diubah menjadi "Legiun Mangkunegaran". Hal ini mencerminkan sikap yang modern dari penguasa Praja Mangkunegaran waktu itu, yang ingin mempunyai tentara seperti yang dimiliki Perancis di jaman Napoleon.

Jumlah personil Mangkunegaran tergantung kebutuhan pada pemerintahan saat itu. Namun menurut catatan yang ada dalam sejarah Legiun, jumlah yang minimumnya sekitar 750 personil dan maksimum 1500 personil. Rekruitmen prajuritnya di ambil dari rakyat di wilayah Mangkunegaran, sedangkan para perwiranya diangkat dari para putera dan kerabat Mangkunegaran. Untuk menjadi kadet atau calon perwira dipersyaratkan umur 16 tahun dan menguasai bahasa Belanda dan Melayu. Agar mutu Legiun Mangkunegaran setara dengan tentara Belanda, maka beberapa tentara Belanda ditugasi untuk mendidik dan melatih para prajuritnya. Legiun Mangkunegaran terkenal sebagai tentara yang bermutu tinggi, sehingga jenjang kepangkatannya oleh pemerintah Belanda diakui sama dengan kepangkatan dalam tentara Belanda. Apabila dalam keadaan perang, Legiun Mangkunegaran akan berfungsi sebagai tentara cadangan Belanda. Hal ini terjadi waktu Perang Dunia II, dimana tentara Belanda diserang tentara Jepang pada masa pemerintahan MN.VII dan Legiun Mangkunegaran ikut bertempur bersama tentara Belanda. Dalam perang tersebut, Belanda menyerah dan Legiun Mangkunegaran dibubarkan oleh Pemerintah Jepang. Dengan demikian MN.VII tercatat sebagai Kolonel Komandan yang terakhir.

Tugas pokok dari Legiun Mangkunegaran adalah menjaga keutuhan dan keamanan Praja Mangkunegaran. Karena tugas tersebut, maka kadang-kadang Legiun Mangkunegaran melakasanakan tugas-tugas polisionil diluar Praja Mangkunegaran. Sebagai contoh, pada setiap ada suksesi tahta di Keraton Surakarta, maka selama suksesi tersebut berlangsung, penjagaan keamanan kota Surakarta seluruhnya diserahkan kepada Legiun Mangkunegaran.