Nama Fatahillah atau Falatehan tidak terlepas dari sejarah kota Jakarta dan
perlawanan bangsa ini melawan Portugis. Sejarah mencatat prestasinya merebut
Sunda Kelapa dan menglahkan Portugis pada tahun 1527 dan memberikan nama baru
Jayakarta atau kota kemenangan.
Sebelumnya nama Falatehan diidentikan dengan Sunan Gunung Jati, namun
kemudian dengan diketemukannya bukti-bukti baru diakui bahwa dua nama ini adalah
nama dari dua orang yang berbeda. Dalam naskah ini tidak tercantum nama
Fatahillah atau Fallatehan namun dari jalannya kisah kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa yang dimaksud adalah tokoh dalam naskah ini yang disebut
Tubagus Pase. Dalam naskah ini juga tidak dikisahkan mengenai
peperangan-peperangnnya melawan penjajah, namun lebih kepada kekerabatannya
dengan keluarga raja-raja Demak dan Cirebon.
KEDATANGAN TUBAGUS PASE DI CARBON
(pupuh LIV.08 - LIV.15)
Dikisahkan ada seseorang yang datang dari seberang, yang bernama Tubagus Pase
[Pasai, sebuah kerajaan Islam di Aceh ]. Dia datang membawa bala
tentara sebanyak empat puluh orang sebagai pengawalnya. Semula kedatangannya
dengan maksud ingin mencoba ilmunya orang Jawa dan dia ingin tahu bagaimana
pangamalan agama Islam di Carbon. Akan tetapi dengan keramatnya Sinuhun,
setibanya orang seberang itu di hadapan Sinuhun Jati hilang musnah
keangkuhannya. Dia datang kehadapan Sinuhun Jati dengan rendah hati dan dengan
menundukan wajahnya
Dalam pertemuan ini dia melihat Ratu Ayu Dewi, yang telah menggerakan
hatinya. Sinuhun mengetahui apa yang terjadi maka kemudian putrinya
dipanggilnya. Semula Ratu Ayu Dewi menolak kehendak ayahandanya itu, akan tetapi
setelah lama dibujuk akhirnya dia menyetujuinya. Lalu Sinuhun berkata kepada
Tubagus, "He anak dari seberang, akan kuberikan anakku yang bernama Ratu Ayu
Dewi, untuk menjadi istrimu dengan mas-kawinnya anak dari yang telah mati syahid
itu". [Dalam bab sebelumnya telah dikisahkan mengenai Ratu Ayu Dewi sebagai
janda dari Sunan Demak II – Pangeran Sabrang Lor].
Tubagus menyetujuinya dan berkata, "Ayahanda, hamba setuju nikahnya sang
puteri dengan mas kawin seperti apa yang telah disebutkan yakni memperoleh anak
yang ditinggal mati syahid". Dengan disaksikan oleh para Aulia, pernikahan
Tubagus berlangsung sudah. Tidak diceritakan lamanya, kemudian mereka mempunyai
anak perempuan yang amat cantik yang diberi nama Ratu Ayu Wanawati. Anak yang
amat dikasihi oleh ayahandanya, Tubagus Pase. Bilamana Tubagus Pase pergi
berlayar menengok sanak keluarganya, maka dari tanah seberang Tubagus Pase
pulangnya diiringi oleh burung dari tanah Pasai, yaitu Burung Pasai, yang konon
di tanah Jawa masih serumpun dengan burung Kokok Beluk [Burung Hantu, burung
Elang malam, keluarga Strigiformes].
ANAK KETURUNAN TUBAGUS PASE DARI RATU AYU WANGURAN
(pupuh XXXV.20 - XXXV.23)
Begitulah dikisahkan anak Sinuhun Jati yang bernama Ratu Ayu Wanguran, istri
almarhum Sultan Demak (II) berada kembali di Carbon dengan membawa warisan
berupa Gamelan Sokati, itulah asal mulanya keberadaan gamelan tersebut
di Carbon. Pada suatu ketika ada seorang pendatang dari negara Pasai yang
bernama Tubagus, yang konon menurut ceritera darahnya berwarna putih. Dia
kemudian diangkat mantu oleh Sinuhun dengan putrinya yang telah menjadi janda
dari Sultan Demak itu. Setelah berkumpul para wali, segera dilangsungkan
pernikahan anaknya dengan Tubagus Pasai. Dikisahkan kemudian Tubagus Pase dengan
Ratu Ayu mempunyai anak lima orang yaitu :
1. Anak sulung, perempuan yang bernama Ratu Wanawati,
yang kemudian menikah dengan saudara misannya bernama Pangeran Dipati. Kelak
mempunyai anak yang bergelar Panembahan Ratu, Panembahan yang waktu mudanya
bernama Pangeran Agung.
2. Ratu Nyawa.
3. Pangeran Agung.
4. Ratu Sewu.
5. Ratu Agung.
Catatan:
Tubagus Pase, atau yang kemudian dikenal sebagai Falatehan atau
Fatahillah, pernikahannya dengan anak Sunan Gunung Jati, Ratu Ayu Wanguran,
janda Sultan Demak (II) menjadikannya ‘ipar’ dari Sultan Demak (III) sebagaimana
disebutkan dalam catatan-catatan Portugis. Sebagaimana juga disebutkan dalam
catatan Portugis, dia pun menjadi penguasa Carbon ketika mewakili cucunya
sebelum menginjak dewasa. Keturunan dari Tubagus Pase dengan Ratu Ayu Wanguran
ini lah yang menurunkan raja-raja Carbon selanjutnya.
PERNIKAHAN CUCU SUNAN GUNUNG JATI
(pupuh LVI.04 - LVI.13)
Dikisahkan Sinuhun Gunung Jati ingin mempertemukan cucu lelaki yang dari anak
lelakinya dengan cucu perempuan dari anak perempuannya. Yang laki-laki yaitu
Pangeran Carbon anaknya Pangeran Pasarean, sedangkan cucu perempuannya yaitu
Ratu Wanawati anaknya Tubagus Pase. Walaupun keduanya belum dewasa akan tetapi
atas permintaan Sinuhun keduanya segera dinikahkan.
Pada waktu itu yang menjadi saksi ialah Sunan Kalijaga dan Pangeran Makdum.
Tubagus berkata, "Telah kuterima hukumnya Allah, aku nikahkan anakku yang
bernama Ratu Wanawati yang masih gadis ini, untuk dipertemukan dengan cucu
lelaki ayahanda yang bernama Pangeran Carbon. Dengan mas-kawinnya mempunyai anak
yang kelak akan mati syahid". Sunan Gunung Jati segera mengabulkan pernikahan
itu, "Aku sudah terima nikahnya cucu perempuan yang lahir dari anak perempuanku
dengan cucu lelaki yang lahir dari anak lelakiku dengan mas kawinnya anak lelaki
yang bersedia menjadi anak yatim".
Sinuhun lalu membaca doa yang diamini oleh semuanya. Yang hadir pada waktu
itu ialah Raja Lahut, Ratu Winahon, serta dari Pajajaran datang sang uwak Rangga
Pakuan [Pangeran Cakrabuana]. Kedua pengantin ini terlihat lucu sekali karena
umurnya yang lelaki baru akan berusia lima tahun sedangkan yang perempuan baru
akan berusia tiga tahun. Begitulah upacaranya diadakan di Mesjid Agung Carbon.
Pada waktu itu yang menjadi imam di Mesjid Agung bergantian, Sinuhun Gunung Jati
dan Sunan Kalijaga. Pangeran Makdum waktu itu masih menjadi Juru komat. Syekh
Datuk Khapi yang azan, sedangkan yang menjadi waman ah'sanun yaitu
Modin Jati, Sunan Panggung, Buyut Panjunan, Lebe Juriman dan Pangeran Janapuri,
sedangkan orang yang ketujuh itu dipilih dari salah seorang santri.
PEMERINTAHAN CARBON SETELAH WAFATNYA SINUHUN GUNUNG JATI
(pupuh LVIII.06 - LVIII.08)
Sekarang di Dalem Agung dan juga di Gunung Sembung tinggal Sunan Kalijaga
sendirian yang memimpin. Tubagus Pase setiap Jumat menjadi imam dan merangkap
sebagai wakil utama dari raja, sebab cucu Sinuhun, Pangeran Carbon, masih belum
dewasa. Saat itu Pangeran Carbon baru berumur enam tahun, dan yang menjadi
wakil raja ialah Pangeran Makdum dan Tubagus Pase karena Sunan Kalijaga sudah
tidak bersedia lagi. Di Masjid Pakungwati waktu itu yang melakukan komat ialah
Syekh Datuk Khapi, karena Modin Jati sudah tidak mampu lagi. Sedangkan yang
melakukan waman ah'sanun digantikan oleh Ki Syekh Badiman, dan
sorog wedi-nya (pemegang kunci) masih sama seperti dahulu pada jamannya
Sinuhun Jati.
[Waman ah’sanun, ungkapan bahasa Arab yang berarti “orang-orang yang
terbaik”. Azan di Mesjid Agung Carbon dilakukan oleh 7 orang, waman ah’sanun ini
adalah penyeru azan ke-2 hingga yang ke tujuhnya].
PANGERAN AGUNG DINOBATKAN BERGELAR PANEMBAHAN RATU
(pupuh LXII.08 - LXII.13)
Kemudian dikisahkan, Sunan Kalijaga, Tubagus Pase, bersama Pangeran Agung
kembali ke Kraton Pakungwati. Setelah sampai di Kraton lalu dirundingkan
mengenai penobatan Raja Pakungwati. Maka kemudian Pangeran Agung dinobatkan
menjadi penguasa di Carbon bergelar Panembahan Ratu. Dengan demikian
sepeninggal Sinuhun Aulia baru sekarang kekuasaan di Carbon dipegang lagi oleh
cucunya Panembahan Ratu dan Tubagus Pase diangkat menjadi wakil raja.
Pada suatu ketika Sunan Kalijaga ingin menengok buyutnya Sinuhun Jati, yang
berada di Gebang yang bernama Pangeran Prawirasuta. Dari Gebang Sunan Kalijaga
pergi ke Losari untuk menengok cucu lainnya yang diangkat anak oleh Dalem
Tumenggung, bernama Pangeran Wirya, yang dinobatkan dengan gelar Panembahan
sebagai penguasa di Losari. Diceritakan Sunan Kalijaga dari Gebang dan Losari
kembali pulang, tidak diceritakan perjalanannya wali telah tiba kembali di
Pakungwati.
Catatan:
Panembahan Ratu memerintah dari tahun 1568 s/d tahun 1649, sebelumnya
dari tahun 1552 s/d 1568 (setelah wafatnya Pangeran Pasarean) Kesultanan Carbon
kosong dan diwakili oleh Tubagus Pase menunggu Pangeran Agung/Panembahan Ratu
dewasa. Dari perkawinan Panembahan Ratu dengan Ratu Mas Pajang, anak Jaka
Tingkir, Sunan Pajang, menurunkan Pangeran Dipati Carbon II/Pangeran Sedang
Gayam, yang kemudian menurunkan Pangeran Girilaya yang menurunkan Pangeran Sepuh
dan selanjutnya. Setelah bab diatas, naskah ini tidak lagi menceriterakan lagi
mengenai Tubagus Pase, namun sumber lain menyebutkan bahwa beliau wafat pada
tahun 1570 dan dimakamkan di Gunung Sembung, Cirebon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar