Syekh Siti Jenar (829-923 H/1348-1439 C/1426-1517 M), memiliki banyak
nama : San Ali (nama kecil pemberian orangtua angkatnya, bukan Hasan Ali
Anshar seperti banyak ditulis orang); Syekh ‘Abdul Jalil (nama yg
diperoleh di Malaka, setelah menjadi ulama penyebar Islam di sana);
Syekh Jabaranta (nama yg dikenal di Palembang, Sumatera dan daratan
Malaka); Prabu Satmata (Gusti yg nampak oleh mata; nama yg muncul dari
keadaan kasyf atau mabuk spiritual; juga nama yg diperkenalkan kepada
murid dan pengikutnya); Syekh Lemah Abang atau Lemah Bang (gelar yg
diberikan masyarakat Lemah Abang, suatu komunitas dan kampung model yg
dipelopori Syekh Siti Jenar; melawan hegemoni kerajaan. Wajar jika orang
Cirebon tidak mengenal nama Syekh Siti Jenar, sebab di Cirebon nama yg
populer adalah Syekh Lemah Abang); Syekh Siti Jenar (nama filosofis yg
mengambarkan ajarannya tentang sangkan-paran, bahwa manusia secara
biologis hanya diciptakan dari sekedar tanah merah dan selebihnya adalah
roh Allah; juga nama yg dilekatkan oleh Sunan Bonang ketika
memperkenalkannya kepada Dewan Wali, pada kehadirannya di Jawa
Tengah/Demak; juga nama Babad Cirebon); Syekh Nurjati atau Pangran
Panjunan atau Sunan Sasmita (nama dalam Babad Cirebon, S.Z.
Hadisutjipto); Syekh Siti Bang, serta Syekh Siti Brit; Syekh Siti Luhung
(nama-nama yg diberikan masyarakat Jawa Tengahan); Sunan Kajenar (dalam
sastra Islam-Jawa versi Surakarta baru, era R.Ng. Ranggawarsita
[1802-1873]); Syekh Wali Lanang Sejati; Syekh Jati Mulya; dan Syekh
Sunyata Jatimurti Susuhunan ing Lemah Abang.
Siti Jenar lebih menunjukkan sebagai simbolisme ajaran utama
Syekh Siti Jenar yakni ilmu kasampurnan, ilmu sangkan-paran ing dumadi,
asal muasal kejadian manusia, secara biologis diciptakan dari tanah
merah saja yg berfungsi sebagai wadah (tempat) persemayaman roh selama
di dunia ini. Sehingga jasad manusia tidak kekal akan membusuk kembali
ketanah. Selebihnya adalah roh Allah, yg setelah kemusnaan raganya akan
menyatu kembali dengan keabadian. Ia di sebut manungsa sebagai bentuk
“manunggaling rasa” (menyatu rasa ke dalam Tuhan).
Dan karena surga serta neraka itu adalah untuk derajad fisik
maka keberadaan surga dan neraka adalah di dunia ini, sesuai pernyataan
populer bahwa dunia adalah penjara bagi orang mukmin. Menurut Syekh Siti
Jenar, dunia adalah neraka bagi orang yg menyatu-padu dgn Tuhan.
Setelah meninggal ia terbebas dari belenggu wadag-nya dan bebas bersatu
dgn Tuhan. Di dunia manunggalnya hamba dgn Tuhan sering terhalang oleh
badan biologis yg disertai nafsu-nafsunya. Itulah inti makna nama Syekh
Siti Jenar.
Asal Usul Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M (Serat
She Siti Jenar Ki Sasrawijaya; Atja, Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah
Muladjadi Keradjan Tjirebon), Ikatan Karyawan Museum, Jakarta, 1972;
P.S. Sulendraningrat, Purwaka Tjaruban Nagari, Bhatara, Jakarta, 1972;
H. Boedenani, Sejarah Sriwijaya, Terate, Bandung, 1976; Agus Sunyoto,
Suluk Abdul Jalil Perjalanan Rohani Syaikh Syekh Siti Jenar dan Sang
Pembaharu, LkiS, yogyakarta, 2003-2004; Sartono Kartodirjo dkk,
[i]Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud, Jakarta, 1976; Babad Banten;
Olthof, W.L., Babad Tanah Djawi. In Proza Javaansche Geschiedenis,
‘s-Gravenhage, M.Nijhoff, 1941; raffles, Th.S., The History of Java, 2
vol, 1817), dilingkungan Pakuwuan Caruban, pusat kota Caruban larang
waktu itu, yg sekarang lebih dikenal sebagai Astana japura, sebelah
tenggara Cirebon. Suatu lingkungan yg multi-etnis, multi-bahasa dan
sebagai titik temu kebudayaan serta peradaban berbagai suku.
Selama ini, silsilah Syekh Siti Jenar masih sangat kabur.
Kekurangjelasan asal-usul ini juga sama dgn kegelapan tahun kehidupan
Syekh Siti Jenar sebagai manusia sejarah.
Pengaburan tentang silsilah, keluarga dan ajaran Beliau yg dilakukan
oleh penguasa muslim pada abad ke-16 hingga akhir abad ke-17. Penguasa
merasa perlu untuk “mengubur” segala yg berbau Syekh Siti Jenar akibat
popularitasnya di masyarakat yg mengalahkan dewan ulama serta ajaran
resmi yg diakui Kerajaan Islam waktu itu. Hal ini kemudian menjadi latar
belakang munculnya kisah bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing.
Dalam sebuah naskah klasik, cerita yg masih sangat populer
tersebut dibantah secara tegas, “Wondene kacariyos yen Lemahbang punika
asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah
alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau
Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah.
Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil saja (rakyat jelata),
bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….<serat Candhakipun
Riwayat jati ; Alih aksara; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah,
2002, hlm. 1>.
Jadi Syekh Siti Jenar adalah manusia lumrah hanya memang ia
walau berasal dari kalangan bangsawan setelah kembali ke Jawa menempuh
hidup sebagai petani, yg saat itu, dipandang sebagai rakyat kecil oleh
struktur budaya Jawa, disamping sebagai wali penyebar Islam di Tanah
Jawa.
Syekh Siti Jenar yg memiliki nama kecil San Ali dan kemudian
dikenal sebagai Syekh ‘Abdul Jalil adalah putra seorang ulama asal
Malaka, Syekh Datuk Shaleh bin Syekh ‘Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin
Husain bin Syekh ‘Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid ‘Abdul
Malikal-Qazam. Maulana ‘Abdullah Khannuddin adalah putra Syekh ‘Abdul
Malik atau Asamat Khan. Nama terakhir ini adalah seorang Syekh kalangan
‘Alawi kesohor di Ahmadabad, India, yg berasal dari Handramaut. Qazam
adalah sebuah distrik berdekatan dgn kota Tarim di Hadramaut.
Syekh ‘Abdul Malik adalah putra Syekh ‘Alawi, salah satu
keluarga utama keturunan ulama terkenal Syekh ‘Isa al-Muhajir al-Bashari
al-‘Alawi, yg semua keturunannya bertebaran ke berbagai pelosok dunia,
menyiarkan agama Islam. Syekh ‘Abdul Malik adalah penyebar agama Islam
yg bersama keluarganya pindah dari Tarim ke India. Jika diurut keatas,
silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina Husain bin ‘Ali bin
Abi Thalib, menantu Rasulullah. Dari silsilah yg ada, diketahui pula
bahwa ada dua kakek buyutnya yg menjadi mursyid thariqah Syathariyah di
Gujarat yg sangat dihormati, yakni Syekh Abdullah Khannuddin dan Syekh
Ahmadsyah Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke
Kamboja dan menjadi penyebar agama Islam di sana.
Adapun Syekh Maulana ‘sa atau Syekh Datuk ‘Isa putra Syekh
Ahmadsyah kemudian bermukim di Malaka. Syekh Maulana ‘Isa memiliki dua
orang putra, yaitu Syekh Datuk Ahamad dan Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh
Siti Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh adalah ulama sunni asal Malaka yg
kemudian menetap di Cirebon karena ancaman politik di Kesultanan Malaka
yg sedang dilanda kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, masa
transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar
Syah. Sumber-sumber Malaka dan Palembang menyebut nama Syekh Siti Jenar
dgn sebutan Syekh Jabaranta dan Syekh ‘Abdul Jalil.
Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya
sampai di Cirebon dan saat itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam
kandungan ibunya 3 bulan. Di Tanah Caruban ini, sambil berdagang Syekh
Datuk Shaleh memperkuat penyebaran Islam yg sudah beberapa lama tersiar
di seantero bumi Caruban, besama-sama dgn ulama kenamaan Syekh Datuk
Kahfi, putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban, pada
tahun awal tahun 1426, Syekh Datuk Shaleh wafat.
Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki
Danusela serta penasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran Walangsungsang
yg sedang nyantri di Cirebon, dibawah asuhan Syekh datuk Kahfi.
Jadi walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan lebih
jauh lagi keturunan Arab, namun sejak kecil lingkungan hidupnya adalah
kultur Cirebon yg saat itu menjadi sebuah kota multikultur, heterogen
dan sebagai basis antarlintas perdagangan dunia waktu itu.
Saat itu Cirebon dgn Padepokan Giri Amparan Jatinya yg diasuh
oleh seorang ulama asal Makkah dan Malaka, Syekh Datuk Kahfi, telah
mampu menjadi salah satu pusat pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan
ilmu ‘alat, serta tasawuf. Sampai usia 20 tahun, San Ali mempelajari
berbagai bidang agama Islam dgn sepenuh hati, disertai dgn pendidikan
otodidak bidang spiritual.
Padepokan Giri Amparan Jati
Setelah diasuh oleh Ki Danusela samapai usia 5 tahun, pada
sekitar tahun 1431 M, Syekh Siti Jenar kecil (San Ali) diserahkan kepada
Syekh Datuk Kahfi, pengasuh Pedepokan Giri Amparan Jati, agar dididik
agama Islam yg berpusat di Cirebon oleh Kerajaan Sunda di sebut sebagai
musu(h) alit [musuh halus] <Purwaka Caruban Nagari, 75-76, cat.
39; Sejarah Nasional Indonesia, vol. II;221>.
Di Padepokan Giri Amparan Jati ini, San Ali menyelesaikan
berbagai pelajaran keagamaan, terutama nahwu, sharaf, balaghah, ilmu
tafsir, musthalah hadist, ushul fiqih dan manthiq. Ia menjadi santri
generasi kedua. Sedang yg akan menjadi santri generasi ketiga adalah
Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Syarif Hidayatullah baru
datang ke Cirebon, bersamaan dgn pulangnya Syekh Siti Jenar dari
perantauannya di Timur Tengah sekitar tahun 1463, dalam status sebagai
siswa Padepokan Giri Amparan Jati, dgn usia sekitar 17-an tahun.
Pada tahun 1446 M, setelah 15 tahun penuh menimba ilmu di
Padepokan Amparan Jati, ia bertekad untuk keluar pondok dan mulai
berniat untuk mendalami kerohanian (sufi). Sebagai titik pijaknya, ia
bertekad untuk mencari “sangkan-paran” dirinya.
Tujuan pertmanya adalah Pajajaran yg dipenuhi oleh para pertapa
dan ahli hikmah Hindu-Budha. Di Pajajaran, Syekh Siti Jenar mempelajari
kitab Catur Viphala warisan Prabu Kertawijaya Majapahit. Inti dari kitab
Catur Viphala ini mencakup empat pokok laku utama.
Pertama, nihsprha, adalah suatu keadaan di mana tidak adal lagi
sesuatu yg ingin dicapai manusia. Kedua, nirhana, yaitu seseorang tidak
lagi merasakan memiliki badan dan karenanya tidak ada lagi tujuan.
Ketiga, niskala adalah proses rohani tinggi, “bersatu” dan melebur
(fana’) dgn Dia Yang Hampa, Dia Yang Tak Terbayangkan, Tak Terpikirkan,
Tak Terbandingkan. Sehingga dalam kondisi (hal) ini, “aku” menyatu dgn
“Aku”. Dan keempat, sebagai kesudahan dari niskala adalah nirasraya,
suatu keadaan jiwa yg meninggalkan niskala dan melebur ke Parama-Laukika
(fana’ fi al-fana’), yakni dimensi tertinggi yg bebas dari segala
bentuk keadaan, tak mempunyai ciri-ciri dan mengatasi “Aku”.
Dari Pajajaran San Ali melanjutkan pengembaraannya menuju
Palembang, menemui Aria Damar, seorang adipati, sekaligus pengamal
sufi-kebatinan, santri Maulana Ibrahim Samarkandi. Pada masa tuanya,
Aria Damar bermukim di tepi sungai Ogan, Kampung Pedamaran.
Diperkirakan Syekh Siti Jenar berguru kepada Aria Damar antara
tahun 1448-1450 M. bersama Aria Abdillah ini, San Ali mempelajari
pengetahuan tentang hakikat ketunggalan alam semesta yg dijabarkan dari
konsep “nurun ‘ala nur” (cahaya Maha Cahaya), atau yg kemudian dikenal
sebagai kosmologi emanasi.
Dari Palembang, San Ali melanjutkan perjalanan ke Malaka dan
banyak bergaul dgn para bangsawan suku Tamil maupun Malayu. Dari
hubungan baiknya itu, membawa San Ali untuk memasuki dunia bisnis dgn
menjadi saudagar emas dan barang kelontong. Pergaulan di dunia bisnis
tsb dimanfaatkan oleh San Ali untuk mempelajari berbagai karakter nafsu
manusia, sekaligus untuk menguji laku zuhudnya ditengah gelimang harta.
Selain menjadi saudagar, Syekh Siti jenar juga menyiarkan agama Islam yg
oleh masyarakat setempat diberi gelar Syekh jabaranta. Di Malaka ini
pula, ia bertemu dgn Datuk Musa, putra Syekh Datuk Ahmad. Dari uwaknya
ini, Syekh Datuk Ahmad, San Ali dianugerahi nama keluarga dan nama
ke-ulama-an Syekh Datuk ‘Abdul Jalil.
Dari perenungannya mengenai dunia nafsu manusia, hal ini membawa
Syekh Siti Jenar menuai keberhasilan menaklukkan tujuh hijab, yg
menjadi penghalang utama pendakian rohani seorang salik (pencari
kebenaran). Tujuh hijab itu adalah lembah kasal (kemalasan naluri dan
rohani manusia); jurang futur (nafsu menelan makhluk/orang lain); gurun
malal (sikap mudah berputus asa dalam menempuh jalan rohani); gurun
riya’ (bangga rohani); rimba sum’ah (pamer rohani); samudera ‘ujub
(kesombongan intelektual dan kesombongan ragawi); dan benteng hajbun
(penghalang akal dan nurani).
Pencerahan Rohani di Baghdad
Setelah mengetahui bahwa dirinya merupakan salah satu dari
keluarga besar ahlul bait (keturunan Rasulullah), Syekh Siti Jenar
semakin memiliki keinginan kuat segera pergi ke Timur Tengah terutama
pusat kota suci Makkah.
Dalam perjalanan ini, dari pembicaraan mengenai hakikat sufi
bersama ulama Malaka asal Baghdad Ahmad al-Mubasyarah al-Tawalud di
sepanjang perjalanan. Syekh Siti Jenar mampu menyimpan satu
perbendaharaan baru, bagi perjalanan rohaninya yaitu “ke-Esaan af’al
Allah”, yakni kesadaran bahwa setiap gerak dan segala peristiwa yg
tergelar di alam semesta ini, baik yg terlihat maupun yg tidak terlihat
pada hakikatnya adalah af’al Allah. Ini menambah semangatnya untuk
mengetahui dan merasakan langsung bagaimana af’al Allah itu optimal
bekerja dalam dirinya.
Inilah pangkal pandangan yg dikemudian hari memunculkan tuduhan
dari Dewan Wali, bahwa Syekh Siti Jenar menganut paham Jabariyah.
Padahal bukan itu pemahaman yg dialami dan dirasakan Syekh Siti Jenar.
Bukan pada dimensi perbuatan alam atau manusianya sebagai tolak titik
pandang akan tetapi justru perbuatan Allah melalui iradah dan
quradah-NYA yg bekerja melalui diri manusia, sebagai khalifah-NYA di
alam lahir. Ia juga sampai pada suatu kesadaran bahwa semua yg nampak
ada dan memiliki nama, pada hakikatnya hanya memiliki satu sumber nama,
yakni Dia Yang Wujud dari segala yg maujud.
Sesampainya di Baghdad, ia menumpang di rumah keluarga besar
Ahmad al-Tawalud. Disinilah cakrawala pengetahuan sufinya diasah tajam.
Sebab di keluarga al-Tawalud tersedia banyak kitab-kitab ma’rifat dari
para sufi kenamaan. Semua kitab itu adalah peninggalan kakek al-Tawalud,
Syekh ‘Abdul Mubdi’ al-Baghdadi. Di Irak ini pula, Syekh Siti Jenar
bersentuhan dgn paham Syi’ah Ja’fariyyah, yg di kenal sebagai madzhab
ahl al-bayt.
Syekh Siti Jenar membaca dan mempelajari dgn Baik tradisi sufi
dari al-Thawasinnya al-Hallaj (858-922), al-Bushtamii (w.874), Kitab
al-Shidq-nya al-Kharaj (w.899), Kitab al-Ta’aruf al-Kalabadzi (w.995),
Risalah-nya al-Qusyairi (w.1074), futuhat al-Makkiyah dan Fushush
al-Hikam-nya Ibnu ‘Arabi (1165-1240), Ihya’ Ulum al-Din dan kitab-kitab
tasawuf al-Ghazali (w.1111), dan al-Jili (w.1428). secara kebetulan
periode al-jili meninggal, Syekh Siti Jenar sudah berusia dua tahun.
Sehingga saat itu pemikiran-permikiran al-Jili, merupakan hal yg masih
sangat baru bagi komunitas Islam Indonesia.
Dan sebenarnya Syekh Siti Jenar-lah yg pertama kali mengusung
gagasan al-Hallaj dan terutama al-Jili ke Jawa. Sementara itu para wali
anggota Dewan Wali menyebarluaskan ajaran Islam syar’i madzhabi yg
ketat. Sebagian memang mengajarkan tasawuf, namun tasawuf tarekati, yg
kebanyakkan beralur pada paham Imam Ghazali. Sayangnya, Syekh Siti Jenar
tidak banyak menuliskan ajaran-ajarannya karena kesibukannya
menyebarkan gagasan melalui lisan ke berbagai pelosok Tanah Jawa. Dalam
catatan sastra suluk Jawa hanya ada 3 kitab karya Syekh Siti Jenar;
Talmisan, Musakhaf (al-Mukasysyaf) dan Balal Mubarak. Masyarakat yg
dibangunnya nanti dikenal sebagai komunitas Lemah Abang.
Dari sekian banyak kitab sufi yg dibaca dan dipahaminya, yg
paling berkesan pada Syekh Siti Jenar adalah kitab Haqiqat al-Haqa’iq,
al-Manazil al-Alahiyah dan al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhiri wa
al-Awamil (Manusia Sempurna dalam Pengetahuan tenatang sesuatu yg
pertama dan terakhir). Ketiga kitab tersebut, semuanya adalah puncak
dari ulama sufi Syekh ‘Abdul Karim al-Jili.
Terutama kitab al-Insan al-Kamil, Syekh Siti Jenar kelak
sekembalinya ke Jawa menyebarkan ajaran dan pandangan mengenai ilmu
sangkan-paran sebagai titik pangkal paham kemanuggalannya. Konsep-konsep
pamor, jumbuh dan manunggal dalam teologi-sufi Syekh Siti Jenar
dipengaruhi oleh paham-paham puncak mistik al-Hallaj dan al-Jili,
disamping itu karena proses pencarian spiritualnya yg memiliki ujung
pemahaman yg mirip dgn secara praktis/’amali-al-Hallaj; dan secara
filosofis mirip dgn al-Jili dan Ibnu ‘Arabi.
Syekh Siti Jenar menilai bahwa ungkapan-ungkapan yg digunakan
al-Jili sangat sederhana, lugas, gampang dipahami namun tetap mendalam.
Yg terpenting, memiliki banyak kemiripan dgn pengalaman rohani yg sudah
dilewatkannya, serta yg akan ditempuhnya. Pada akhirnya nanti,
sekembalinya ke Tanah Jawa, pengaruh ketiga kitab itu akan nampak nyata,
dalam berbagai ungkapan mistik, ajaran serta khotbah-khotbahnya, yg
banyak memunculkan guncangan-guncangan keagamaan dan politik di Jawa.
Syekh Siti Jenar banyak meluangkan waktu mengikuti dan
mendengarkan konser-konser musik sufi yg digelar diberbagai sama’ khana.
Sama’ khana adalah rumah-rumah tempat para sufi mendengarkan musik
spiritual dan membiarkan dirinya hanyut dalam ekstase (wajd). Sama’
khana mulai bertumbuhan di Baghdad sejak abad ke-9 (Schimmel; 1986, hlm.
185). Pada masa itu grup musik sufi yg terkenal adalah al-Qawwal dgn
penyanyi sufinya ‘Abdul Warid al-Wajd.
Berbagai pengalaman spiritual dilaluinya di Baghdad sampai pada
tingkatan fawa’id (memancarnya potensi pemahaman roh karena hijab yg
menyelubunginya telah tersingkap. Dgn ini seseorang akan menjadi berbeda
dgn umumnya manusia); dan lawami’ (mengejawantahnya cahaya rohani
akibat tersingkapnya fawa’id), tajaliyat melalui Roh al-haqq dan zawaid
(terlimpahnya cahaya Ilahi ke dalam kalbu yg membuat seluruh rohaninya
tercerahkan). Ia mengalami berbagai kasyf dan berbagai penyingkapan
hijab dari nafsu-nafsunya. Disinilah Syekh Siti Jenar mendapatkan
kenyataan memadukan pengalaman sufi dari kitab-kitab al-Hallaj, Ibnu
‘Arabi dan al-Jili.
Bahkan setiap kali ia melantunkan dzikir dikedalaman lubuk
hatinya dgn sendirinya ia merasakan denting dzikir dan menangkap suara
dzikir yg berbunyi aneh, Subhani, alhamdu li, la ilaha illa ana wa ana
al-akbar, fa’budni (mahasuci aku, segala puji untukku, tiada tuhan
selain aku, maha besar aku, sembahlah aku). Walaupun telinganya
mendengarkan orang di sekitarnya membaca dzikir Subhana Allah,
al-hamduli Allahi, la ilaha illa Allah, Allahu Akbar, fa’buduhu, namun
suara yg di dengar lubuk hatinya adalah dzikir nafsi, sebagai cerminan
hasil man ‘arafa bafsahu faqad ‘arafa Rabbahu tersebut. Sampai di sini,
Syekh Siti Jenar semakin memahami makna hadist Rasulullah “al-Insan
sirri wa ana sirruhu” (Manusia adalah Rahasia-Ku dan Aku adalah
rahasianya).
Sebenarnya inti ajaran Syekh Siti Jenar sama dgn ajaran sufi
‘Abdul Qadir al-Jilani (w.1165), Ibnu ‘Arabi (560/1165-638-1240), Ma’ruf
al-Karkhi, dan al-Jili. Hanya saja ketiga tokoh tsb mengalami nasib yg
baik dalam artian, ajarannya tidak dipolitisasi, sehingga dalam
kehidupannya di dunia tidak pernah mengalami intimidasi dan kekerasan
sebagai korban politik dan menemui akhir hayat secara biasa.
Ingsun, Allah dan Kemanunggalan (Syekh Siti Jenar)
SATU
“Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah
Allah, kang murba amisesa.”
Pernyataan Syekh Siti Jenar diatas secara garis besarnya adalah:
“Pernyataan roh yg bertemu-hadapan dgn Allah, yg menyembah Allah, yg
disembah Allah, yg meliputi segala sesuatu.”
Ini adalah salah satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar
yg maksudnya adalah sukma (roh di kedalaman jiwa) sebagai pusat kalam
(pembicaraan dan ajaran). Hal itu diakibatkan karena di kedalaman roh
batin manusia tersedia cermin yg disebut mir’ah al-haya’ (cermin yg
memalukan). Bagi orang yg sudah bisa mengendalikan hawa nafsunya serta
mencapai fana’ cermin tersebut akan muncul, yg menampakkan kediriannya
dengan segala perbuatan tercelanya. Jika ini telah terbuka maka
tirai-tirai Rohani juga akan tersingkap, sehingga kesejatian dirinya
beradu-adu (adhep idhep), “aku ini kau, tapi kau aku”.
Maka jadilah dia yg menyembah sekaligus yg disembah, sehingga
dirinya sebagai kawula-Gusti memiliki wewenang murba amisesa, memberi
keputusan apapun tentang dirinya, menyatu iradah dan kodrat
kawula-Gusti.
DUA
“Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera.
Pancaindera ini merupakan barang pinjaman, yg jika sudah diminta oleh yg
empunya, akan menjadi tanah dan membusuk, hancur lebur bersifat najis.
Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup.
Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari
pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat
menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur dan seringkali tidak jujur.
Akal itu pula yg siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan
orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan
kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga
menodai nama dan citranya. Kalau sudah sampai sedemikian jauhnya, baru
orang menyesalkan perbuatannya.”
Menurut Syekh Siti Jenar, baik pancaindera maupun perangkat akal
tidak dapat dijadikan pegangan dan pedoman hidup. Sebab semua itu
bersifat baru, bukan azali. Satu-satunya yg bisa dijadikan gondhelan dan
gandhulan hanyalah Zat Wajibul Maulanan, Zat Yang Maha Melindungi.
Pancaindera adalah pintu nafsu dan akal adalah pintu bagi ego. Semuanya
harus ditundukkan di bawah Zat Yang Wajib memimpin.
Karena hanya Dialah yg menunjukkan semua budi baik. Jadi
pancaindera harus dibimbing oleh budi dan budi dipimpin oleh Sang
Penguasa Budi atau Yang Maha Budi. Sedangkan Yang Maha Budi itu tidak
terikat dalam jeratan dan jebakan nama tertentu. Sebab nama bukanlah
hakikat. Nama itu bisa Allah, Hyang Widi, Hyang Manon, Sang Wajibul
Maulana dan sebagainya. Semua itu produk akal, sehingga nama tidak perlu
disembah. Jebakan nama dalam syari’at justru malah merendahkan
nama-NYA.
TIGA
“Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang,
sunsum, bisa rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya? Biarpun
bersembahyang seribu kali setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun
badan Anda, Anda tutupi akhirnya menjadi debu juga. Tetapi jika
penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para Wali dapat membawa
Pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini baru. Tuhan
tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat
tatanan batu, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yg artinya tidak membuat
sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah dia membuat
dunia.”
Dari pernyataan itu nampak Syekh Siti Jenar memandang alam
makrokosmos sama dengan mikrokosmos (manusia). Kedua hal tersebut
merupakan barang baru ciptaan Tuhan yg sama-sama akan mengalami
kerusakan atau tidak kekal.
Pada sisi lain, pernyataan Syekh Siti Jenar tsb mempunyai muatan
makna pernyataan sufistik, “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia pasti
mengenal Tuhannya.” Sebab bagi Syekh Siti Jenar manusia yg utuh dalam
jiwa raganya merupakan wadag bagi penyanda, termasuk penyanda alam
semesta. Itulah sebabnya pengelolaan alam semesta menjadi tanggungjawab
manusia.
Maka mikrokosmos manusia, tidak lain adalah Blueprint dan gambaran adanya jagat besar termasuk semesta.
Baginya Manusia terdiri dari jiwa dan raga yg intinya ialah jiwa
sebagai penjelmaan dzat Tuhan (Sang Pribadi). Sedangkan raga adalah
bentuk luar dari jiwa yg dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh
seperti daging, otot, darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau
ketubuhan adalah barang pinjaman yg suatu saat setelah manusia terlepas
dari pengalaman kematian di dunia ini, akan kembali berubah menjadi
tanah. Sedangkan rohnya yg menjadi tajalli Ilahi, manunggal ke dalam
keabadian dengan Allah.
EMPAT
“Segala sesuatu yg terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya
adalah af’al (perbuatan) Allah. Berbagai hal yg dinilai baik maupun
buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi keliru dan sesat
pandangan yg mengatakan bahwa yg baik dari Allah dan yg buruk dari
selain Allah.” “…Af’al Allah harus dipahami dari dalam dan dari luar
diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya, di situ lah terjadi
perpaduan dua kemampuan kodrati yg dipancarkan oleh Allah kepada
makhluk-NYA, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di situlah berlaku
dalil “Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malun (Qs.Ash-Shaffat:96)”, yg
maknanya Allah yg menciptakan engkau dan segala apa yg engkau perbuat.
Di sini terkandung makna mubasyarah. Perbuatan yg terlahir dari itu
disebut al-tawallud. Misalnya saya melempar batu. Batu yg terlempar dari
tangan saya itu adalah berdasarkan kemampuan kodrati gerak tangan saya.
Di situ berlaku dalil “Wa ma ramaita idz ramaita walakinna Allaha rama
(Qs.Al-Anfal:17)”, maksudnya bukanlah engkau yg melempar, melainkan
Allah jua yg melempar ketika engkau melempar. Namun pada hakikatnya
antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni af’al Allah
sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi
al-‘adzimi. Rosulullah bersabda “La tataharraku dzarratun illa bi idzni
Allahi”, yg maksudnya tidak akan bergerak satu dzarah pun melainkan atas
idzin Allah.”
Eksistensi manusia yg manunggal ini akan nampak lebih jelas
peranannya, dimana manusia tidak lain adalah ke-Esa-an dalam af’al
Allah. Tentu ke-Esa-an bukan sekedar af’al, sebab af’al digerakkan oleh
dzat. Sehingga af’al yg menyatu menunjukkan adanya ke-Esa-an dzat,
kemana af’al itu dipancarkan.
LIMA
“Di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yg cepat juga akan menjadi
busuk dan bercampur tanah. Ketahuilah juga apa yg dinamakan kawula-Gusti
tidak berkaitan dgn seorang manusia biasa seperti yg lain-lain. Kawula
dan Gusti itu sudah ada dalam diriku, siang dan malam tidak dapat
memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya untuk saat ini nama
kawula-Gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya
sudah hidup lagi, Gusti dan kawula lenyap, yg tinggal hanya hidupku
sendiri, ketentraman langgeng dalam ADA sendiri. Bila kau belum
menyadari kebenaran kata-kataku maka dgn tepat dapat dikatakan, bahwa
kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak
hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yg menimbulkan hawa
nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera. Itu
hanya impian yg sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar
lagi akan cepat lenyap. Gilalah orang yg terikat padanya. Saya tidak
merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya
yg kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.”
Syekh Siti Jenar menyatakan dgn tegas bahwa dirinya sebagai
Tuhan, ia memiliki hidup dan Ada dalam dirinya sendiri, serta menjadi
Pangeran bagi seluruh isi dunia. Sehingga didapatkan konsistensi antara
keyakinan hati, pengalaman keagamaan, dan sikap perilaku dzahirnya. Juga
ditekankan satu hal yg selalu tampil dalam setiap ajaran Syekh Siti
Jenar. Yakni pendapat bahwa manusia selama masih berada di dunia ini
sebetulnya mati, baru sesudah ia dibebaskan dari dunia ini, akan dialami
kehidupan sejati. Kehidupan ini sebenarnya kematian ketika manusia
dilahirkan. Badan hanya sesosok mayat karena ditakdirkan untuk sirna.
(bandingkan dengan Zoetmulder; 364). Dunia ini adalah alam kubur, dimana
roh suci terjerat badan wadag yg dipenuhi oleh berbagai goda-nikmat yg
menguburkan kebenaran sejati dan berusaha menguburkan kesadaran Ingsun
Sejati.
Semoga yg ini bermanfaat dalam kepasrahan yg tidak bisa dipikir
dgn Akal tapi dengan Hati yang sulit mengungkapkan rasa Cinta itu secara
Tulus….
Walaupun rasa Cinta itu sulit diungkapkan dgn bahasa kita yg sangat terbatas ini…..amin….amin.
Surga dan Negara Syekh Siti Jenar
“anal jannatu wa nara katannalr al anna”, sering digunakan oleh
Syekh Siti Jenar dalam menjelaskan hakikat surga dan neraka. Penulisan
yg benar nampaknya adalah “inna al-janatu wa al-naru qath’un ‘an al-ana”
(Sesungguhnya keberadaan surga dan neraka itu telah nyata adanya sejak
sekarang atau di dunia ini). Sesungguhnya, menurut ajaran Islam pun,
surga dan neraka itu tidaklah kekal. Yang menganggap kekal surga dan
neraka itu adalah kalangan awam. Sesungguhnya mereka berdua wajib rusak
dan binasa. Bagi Syekh Siti Jenar, surga atau neraka bukanlah tempat
tertentu untuk memberikan pembalasan baik dan buruknya manusia. Surga
neraka adalah perasaan roh di dunia, sebagai akibat dari keadaan dirinya
yg belum dapat menyatu-tunggal dgn Allah. Sebab bagi manusia yg sudah
memiliki ilmu kasampurnan, jelas bahwa ketika mengalami kematian dan
melalui pintunya, ia kembali kepada Hidup Yang Agung, hidup yang tan
kena kinaya ngapa (hidup sempurna abadi sebagai Sang Hidup). Yaitu
sebagai puncak cita-cita dan tujuan manusia. Jadi, karena surga dan
neraka itu ternyata juga makhluk, maka surga dan neraka tidaklah kekal,
dan juga bukanlah tempat kembalinya manusia yang sesungguhnya. Sebab
tidak mungkin makhluk akan kembali kepada makhluk, kecuali karena
keadaan yang belum sempurna hidupnya. Oleh al-Qur’an sudah ditegaskan
bahwa tempat kembalinya manusia hanya Allah, yang tidak lain adalah
proses kemanunggalan ……ilaihi raji’un, ilaihi al-mashir………
Puasa dan Haji Syekh Siti Jenar
“Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan,
jadi tidak perlu. Adapun zakat dan naik haji ke Makah, itu semua omong
kosong (palson kabeh). Itu seluruhnya kedurjanaan budi, penipuan
terhadap sesama manusia. Orang-orang dungu yg menuruti aulia, karena
diberi harapan surga di kelak kemudian hari, itu sesungguhnya keduanya
orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar.”
“Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di
mesjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi
tebal, kepala berbelulang. Sesungguhnya hal ini idak masuk akal! Di
dunia ini semua manusia adalah sama. Mereka semua mengalami suka-duka,
menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda satu dengan yang lain. Oleh
karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja, yaitu
Gusti Zat Maulana.”
Syekh Siti jenar menyebutkan bahwa syariat yang diajarkan para
wali adalah “omong kosong belaka”, atau “wes palson kabeh”(sudah tidak
ada yang asli). Tentu istilah ini sangat amat berbeda dengan anggapan
orang selama ini, yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar menolak
syari’at Islam. Yang ditolak adalah reduksi atas syari’at tersebut.
Syekh Siti Jenar menggunakan istilah “iku wes palson kabeh”, yg artinya
“itu sudah dipalsukan atau dibuat palsu semua.” Tentu ini berbeda
pengertiannya dengan kata “iku palsu kabeh” atau “itu palsu semua.” Jadi
yang dikehendaki Syekh Siti Jenar adalah penekanan bahwa syari’at Islam
pada masa Walisanga telah mengalami perubahan dan pergeseran makna
dalam pengertian syari’at itu. Semuanya hanya menjadi formalitas belaka.
Sehingga manfaat melaksanakan syariat menjadi hilang. Bahkan menjadi
mudharat karena pertentangan yang muncul dari aplikasi formal syariat
tsb.
Bagi Syekh Siti Jenar, syariat bukan hanya pengakuan dan
pelaksanaan, namun berupa penyaksian atau kesaksian. Ini berarti dalam
pelaksanaan syariat harus ada unsur pengalaman spiritual. Nah, bila
suatu ibadah telah menjadi palsu, tidak dapat dipegangi dan hanya untuk
membohongi orang lain, maka semuanya merupakan keburukan di bumi.
Apalagi sudah tidak menjadi sarana bagi kesejahteraan hidup
manusia. Ditambah lagi, justru syariat hanya menjadi alat legitimasi
kekuasaan (seperti sekarang ini juga). Yang mengajarkan syari’at juga
tidak lagi memahami makna dan manfaat syari’at itu, dan tidak memiliki
kemampuan mengajarkan aplikasi syari’at yg hidup dan berdaya guna.
Sehingga syari’at menjadi hampa makna dan menambah gersangnya kehidupan
rohani manusia.
Nah, yg dikritik Syekh Siti Jenar adalah shalat yg sudah
kehilangan makna dan tujuannya itu. Shalat haruslah merupakan praktek
nyata bagi kehidupan. Yakni shalat sebagai bentuk ibadah yg sesuai dgn
bentuk profesi kehidupannya. Orang yg melakukan profesinya secara benar,
karena Allah, maka hakikatnya ia telah melaksanakan shalat sejati,
shalat yg sebenarnya. Orientasi kepada yang Maha Benar dan selalu
berupaya mewujudkan Manunggaling Kawula Gusti, termasuk dalam karya,
karsa-cipta itulah shalat yg sesungguhnya.
Makna Ihsan
“Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat
baik dan menyembah atas kehendak-NYA. Tekad lahiriahnya dihapus. Tingkah
lakunya mirip dengan pendapat yg ia lahirkan. Ia berketetapan hati
untuk berkiblat dan setia, teguh dalam pendiriannya, kukuh menyucikan
diri dari segala yg kotor, untuk sampai menemui ajalnya tidak menyembah
kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar berpendapat dan menggangap
dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul yg sejati, sifat Muhammad
yg kudus.”
“Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan sangat sakti, yg
berkuasa maha besar, lagipula memiliki dua puluh sifat, kuasa atas
kehendak-NYA. Dialah yg maha kuasa, pangkal mula segala ilmu, maha
mulia, maha indah, maha sempurna, maha kuasa, rupa warna-NYA tanpa cacat
seperti hamba-NYA. Di dalam raga manusia Ia tiada nampak. Ia sangat
sakti menguasai segala yg terjadi dan menjelajahi seluruh alam semesta,
Ngidraloka”.
Dua kutipan di atas adalah aplikasi dari teologi Ihsan menurut
Syekh Siti Jenar, bahwa sifatullah merupakan sifatun-nafs. Ihsan
sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam salah satu hadistnya (Sahih
Bukhari, I;6), beribadah karena Allah dgn kondisi si ‘Abid dalam keadaan
menyaksikan (melihat langsung) langsung adanya si Ma’bud. Hanya sikap
inilah yg akan mampu membentuk kepribadian yg kokoh-kuat, istiqamah,
sabar dan tidak mudah menyerah dalam menyerukan kebenaran.
Sebab Syekh Siti Jenar merasa, hanya Sang Wujud yg mendapatkan
haq untuk dilayani, bukan selain-NYA. Sehingga, dgn kata lain, Ihsan
dalam aplikasinya atas pernyataan Rasulullah adalah membumikan
sifatullah dan sifatu-Muhammad menjadi sifat pribadi.
Dengan memiliki sifat Muhammad itulah, ia akan mampu berdiri kokoh
menyerukan ajarannya dan memaklumkan pengalamannya dalam “menyaksikan
langsung” ada-NYA Allah. “Persaksian langsung” itulah terjadi dalam
proses manunggal.
“Hyang Widi, wujud yg tak nampak oleh mata, mirip dengan ia
sendiri, sifat-sifatnya mempunyai wujud, seperti penampakan raga yg
tiada tampak. Warnanya melambangkan keselamatan, tetapi tanpa cahaya
atau teja, halus, lurus terus-menerus, menggambarkan kenyataan tiada
berdusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat dahulu yg meniadakan
permulaan, karena asal dari diri pribadi.”
Ihsan berasal dari kondisi hati yg bersih. Dan hati yg bersih
adalah pangkal serta cermin seluruh eksistensi manusia di bumi.
Keihsanan melahirkan ketegasan sikap dan menentang ketundukan
membabi-buta kepada makhluk. Ukuran ketundukan hati adalah Allah atau
Sang Pribadi. Oelh karena itu, sesama manusia dan makhluk saling
memiliki kemerdekaan dan kebebasan diri. Dan kebebasan serta kemerdekaan
itu sifatnya pasti membawa kepada kemajuan dan peradaban manusia, serta
tatanan masyarakat yg baik, sebab diletakkan atas landasan Ke-Ilahian
manusia. Penjajahan atas eksistensi manusia lain hakikatnya adalah
bentuk dari ketidaktahuan manusia akan Hyang Widhi…Allah (seperti Rosul
sering sekali mengatakan bahwa “Sesungguhnya mereka tidak mengerti”).
Karena buta terhadap Allah Yang Maha Hadir bagi manusia itulah,
maka manusia sering membabi-buta merampas kemanusiaan orang lain. Dan
hal ini sangat ditentang oleh Syekh Siti Jenar. Termasuk upaya
sakralisasi kekuasaan Kerajaan Demak dan Sultannya, bagi Syekh Siti
Jenar harus ditentang, sebab akan menjadi akibat tergerusnya ke-Ilahian
ke dalam kedzaliman manusia yang mengatasnamakan hamba Allah yg shalih
dan mengatasnamakan demi penegakan syari’at Islam.
Pribadi adalah pancara roh, sebagai tajalli atau pengejawantahan
Tuhan. Dan itu hanya terwujud dengan proses wujudiyah, Manuggaling
Kawula-Gusti, sebagai puncak dan substansi tauhid. Maka manusia
merupakan wujud dari sifat dan dzat Hyang Widi itu sendiri. Dengan
manusia yg manunggal itulah maka akan menjadikan keselamatan yg nyata
bukan keselamatan dan ketentraman atau kesejahteraan yg dibuat oleh
rekayasa manusia, berdasarkan ukurannya sendiri. Namun keselamatan itu
adalah efek bagi terejawantah-NYA Allah melalui kehadiran manusia.
Sehingga proses terjadinya keselamatan dan kesejahteraan manusia
berlangsung secara natural (sunnatullah), bukan karena hasil sublimasi
manusia, baik melalui kebijakan ekonomi, politik, rekayasa sosial dan
semacamnya sebagaimana selama ini terjadi. Maka dapat diketahui bahwa
teologi Manuggaling Kawula Gusti adalah teologi bumi yg lahir dengan
sendirinya sebagai sunnatullah. Sehingga ketika manusia
mengaplikasikannya, akan menghasilkan manfaat yg natural juga dan tentu
pelecehan serta perbudakan kemanusiaan tidak akan terjadi, sifat merasa
ingin menguasai, sifat ingin mencari kekuasaan, memperebutkan sesama
manusia tidak akan terjadi. Dan tentu saja pertentangan antar manusia
sebagai akibat perbedaan paham keagamaan, perbedaan agama dan sejenisnya
juga pasti tidak akan terjadi.
Tafsir Kisah Musa dan Khidir (Syekh Siti Jenar)
“Sesungguhnya, Khidir AS bukanlah sosok lain yg terpisah sama
sekali dari keberadaan manusia rohani. Apa yg disaksikan sebagai tanah
menjorok dgn lautan di sebelah kanan dan kiri itu bukanlah suatu tempat
yg berada di luar diri manusia. Tanah itulah yg disebut perbatasan
(barzakh). Dua lautan itu adalah Lautan Makna (bahr al-ma’na),
perlambang alam tidak kasatmata (‘alam al-ghai dan lautan Jisim (bahr al-ajsam), perlambang alam kasatmata (‘alam asy-syahadat).”
“Sedangkan kawanan udang adalah perlambang para pencari
Kebenaran yg sudah berenang di perbatasan alam kasatmata san alam tidak
kasatmata. Kawanan udang perlambang para penempuh jalan rohani (salik)
yg benar-benar bertujuan mencari Kebenaran. Sementara itu, kawanan udang
yg berenang di lautan sebelah kiri, di antara batu-batu, merupakan
perlambang para salik yg penuh diliputi hasrat-hasrat dan pamrih-pamrih
duniawi.”
“Sesungguhnya, peristiwa yg dialami Nabi Musa AS dgn Khidir AS,
sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an Al-Karim, bukanlah hanya
peristiwa sejarah seorang manusia bertemu manusia lain. Ia adalah
peristiwa perjalanan rohani yg berlangsung di dalam diri Nabi Musa AS
sendiri. Sebagaimana yg telah saya jelaskan, yg disebut dua lautan di
dalam Al-Qur’an tidak lain dan tidak bukan adalah Lautan Makna (bahr
al-ma’na) dan Lautan Jisim (bahr al-ajsam). Kedua lautan itu dipisahkan
oleh wilayah perbatasan atau sekat (barzakh).”
“Ikan dan lautan dalam kisah Qur’ani itu merupakan perlambang
dunia kasatmata (‘alam asy-syahadat) yg berbeda dengan wilayah
perbatasan yg berdampingan dgn dunia gaib (‘alam al-ghai.
Maksudnya, jika saat itu Nabi Musa AS melihat ikan dan kehidupan yg
melingkupi ikan tersebut dari tempatnya berdiri, yaitu di wilayah
perbatasan antara dua lautan, maka Nabi Musa AS akan melihat sang ikan
berenang di dalalm alamnya, yaiu lautan. Jika saat itu Nabi Musa AS
mencermati maka ia akan dapat menyaksikan bahwa sang ikan yg berenang
itu dapat melihat segala sesuatu di dalam lautan, kecuali air
(dilambangkan manusia juga sama). Maknanya, sang ikan hidup di dalam air
dan sekaligus di dalam tubuh ikan ada air, tetapi ia tidak bisa melihat
iar dan tidak sadar jika dirinya hidup di dalam air. Itulah sebabnya,
ikan tidak dapat hidup tanpa air yg meliputi bagian luar dan bagian
dalam tubuhnya. Di mana pun ikan berada, ia akan selalu diliputi air yg
tak bisa dilihatnya.”
“Sementara itu, seandainya sang ikan di dalam lautan melihat
Nabi Musa AS dari tempat hidupnya di dalam air lautan maka sang ikan
akan berkata bahwa Musa AS di dalam dunia-yang diliputi udara
kosong-dapat menyaksikan segala sesuatu, kecuali udara kosong yg
meliputinya itu. Maknanya, Nabi Musa AS hidup di dalam liputan udara
kosong yg ada di luar maupun di dalam tubuhnya, tetapi ia tidak bisa
melihat udara kosong dan tidak sadar jika dirinya hidup di dalam udara
kosong. Itu sebabnya, Nabi Musa AS tidak dapat hidup tanpa udara kosong
yg meliputi bagian luar dan dalam tubuhnya. Di mana pun Nabi Musa AS
berada, ia akan selalu diliputi udara kosong yg tidak bisa dilihatnya.”
“Sesungguhnya, pemuda (al-fata) yg mendampingi Nabi Musa AS dan
membawakan bekal makanan adalah perlambang dari terbukanya pintu alam
tidak kasatmata. Sesungguhnya, dibalik keberadaan pemuda (al-fata) itu
tersembunyi hakikat sang Pembuka (al-Fattah). Sebab, hijab gaib yg
menyelubungi manusia dari Kebenaran sejati tidak akan bisa dibuka tanpa
kehendak Dia, sang Pembuka (al-Fattah). Itu sebabnya, saat Nabi Musa AS
bertemu dgn Khidir AS, pemuda (al-fata) itu disebut-sebut lagi karena ia
sejatinya merupakan perlambang keterbukaan hijab ghaib.”
“Adapun bekal makanan yg berupa ikan adalah perlambang pahala
perbuatan baik (al-‘amal ash-shalih) yg hanya berguna untuk bekal menuju
ke Taman Surgawi (al-jannah). Namun, bagi pencari Kebenaran sejati,
pahala perbuatan baik itu justru mempertebal gumpalan kabut penutup hati
(ghain). Itu sebabnya, sang pemuda mengaku dibuat lupa oleh setan
hingga ikan bekalnya masuk ke dalam lautan.”
“Andaikata saat itu Nabi Musa AS memerintahkan si pemuda untuk
mencari bekal yg lain, apalagi sampai memburu bekal ikan yg telah masuk
ke dalam laut, niscaya Nabi Musa AS dan si pemuda tentu akan masuk ke
Lautan Jisim (bahr al-ajsam) kembali. Dan, jika itu terjadi maka setan
berhasil memperdaya Nabi Musa AS.”
“Ternyata, Nabi Musa AS tidak peduli dgn bekal itu. Ia justru
menyatakan bahwa tempat di mana ikan itu melompat ke lautan adalah
tempat yg dicarinya sehingga tersingkaplah gumpalan kabut ghain dari
kesadaran Nabi Musa AS. Saat itulah purnama rohani zawa’id berkilau dan
Nabi Musa AS dapat melihat Khidir AS, hamba yg dilimpahi rahmat dan
kasih sayang (rahmah al-khashshah) yg memancar dari citra ar-Rahman dan
ar-Rahim dan Ilmu Ilahi (ilm ladunni) yg memancar dari Sang Pengetahuan
(al-Alim).”
“Anugerah Ilahi dilimpahkan kepada Khidir AS karena dia
merupakan hamba-NYA yg telah mereguk Air Kehidupan (ma’ al-hayat) yg
memancar dari Sang Hidup (al-Hayy). Itu sebabnya, barang siapa di antara
manusia yg berhasil bertemu Khidir AS di tengah wilayah perbatasan
antara dua lautan, sesungguhnya manusia itu telah menyaksikan
pengejawantahan Sang Hidup (al-Hayy), Sang Penyayang (ar-Rahim). Dan,
sesungguhnya Khidir AS itu tidak lain dan idak bukan adalah ar-roh
al-idhafi, cahaya hijau terang yg tersembunyi di dalam diri manusia,
“Sang Penuntun” anak keturunan Adam AS ke jalan Kebenaran Sejati. Dialah
penuntun dan penunjuk (mursyid) sejati ke jalan Kebenaran (al-Haqq).
Dia sang mursyid adalah pengejawantahan yang Maha Menunjuki (as
–Rasyid).”
“Demikianlah, saat sang salik melihat Khidir AS sesungguhnya ia
telah menyaksikan ar-roh al-idhafi, mursyid sejati di dalam diri manusia
sendiri. Saat ia menyaksikan kawanan udang di lautan sebelah kanan,
sesungguhnya ia telah menyaksikan Lautan Makna (bahr-al-ma’na) yg
merupakan hamparan permukaan Lautan Wujud (bahr al-wujud). Namun, jika
terputus penglihatan batiin (bashira itu pada titik ini, berarti perjalanan menusia itu menuju ke Kebenaran Sejati masih akan berlanjut.”
Sesungguhnya, perjalanan rohani menuju Kebenaran Sejati penuh
diliputi tanda kebesaran Ilahi yg hanya bisa diungkapkan dalam bahasa
perlambang. Sesungguhnya, masing-masing menusia akan mengalami
pengalaman rohani yg berbeda sesuai pemahamannya dalam menangkap
kebenaran demi kebenaran. Yang jelas, pengalaman yg akan manusia alami
tidak selalu mirip dgn pengalaman yg dialami Nabi Musa AS.”
“Setelah berada di wilayah perbatasan, Khidir AS dan Nabi Musa
AS digambarkan melanjutkan perjalanan memasuki Lautan Makna, yaitu alam
tidak kasatmata. Mereka kemudian digambarkan menumpang perahu.
Sesungguhnya, perahu yg mereka gunakan untuk menyeberang itu adalah
perlambang dari wahana (syari’ah) yg lazimnya digunakan oleh kalangan
awam untuk mencari ikan, yakni perlambang perbuatan baik (al ‘amal
ash-shalih). Padahal, perjalanan mengarungi Lautan Makna menuju
Kebenaran Sejati adalah perjalanan yg sangat pribadi menuju Lautan
Wujud. Itulah sebabnya, perahu (syari’ah) itu harus dilubangi agar air
dari Lautan Makna masuk ke dalam perahu dan penumpang perahu mengenal
hakikat air yg mengalir dari lubang tersebut.”
“Setelah penumpang perahu mengenal air yg mengalir dari lubang
maka ia akan menjadi sadar bahwa lewat lubang itulah sesungguhnya ia
akan bisa masuk ke dalam Lautan Makna yg merupakan permukaan Lautan
Wujud. Andaikata perahu itu tidak dilubangi, dan kemudian perahu
diteruskan berlayar, maka perahu itu tentu akan dirampas oleh Sang Maha
Raja (malik al-Mulki) sehingga penumpangnya akan menjadi tawanan. Jika
sudah demikian, maka untuk selamanya sang penumpang perahu tidak bisa
melanjutkan perjalanan menuju Dia, Yang Maha Ada (al-Wujud), yg
bersemayam di segenap penjuru hamparan Lautan Wujud. Penumpang perahu
itu mengalami nasib seperti penumpang perahu yg lain, yakni akan
dijadikan hamba sahaya oleh Sang Maha Raja. Bahkan, jika Sang Maha Raja
menyukai hamba sahaya-NYA itu maka ia akan diangkat sebagai penghuni
Taman (jannah) indah yg merupakan pengejawantahan Yang Maha Indah (al
Jamal).”
“Adapun Atas Pernyataan kenapa wahana (syariah) harus dilubangi
dan tidak lagi digunakan dalam perjalanan menembus alam ghaib manuju
Dia? Dapat dijelaskan sebagai berikut.”
“Sebab, wahana adalah kendaraan bagi manusia yg hidup di alam
kasatmata untuk pedoman menuju ke Taman Surgawi. Sedangkan alam tidak
kasatmata adalah alam yg tidak jelas batas-batasnya. Alam yg tidak bisa
dinalar karena segala kekuatan akal manusia mengikat itu tidak bisa
berijtihad untuk menetapkan hukum yg berlaku di alam gaib. Itu sebabnya,
Khidir AS melarang Nabi Musa AS bertanya sesuatu dgn akalnya dalam
perjalanan tersebut. Dan, apa yg disaksikan Nabi Musa AS terdapat
perbuatan yg dilakukan Khidir AS benar-benar bertentangan dgn hukum suci
(syari’at) dan akal sehat yg berlaku di dunia, yakni melubangi perahu
tanpa alasan, membunuh seorang anak kecil tak bersalah dan menegakkan
tembok runtuh tanpa upah.”
“Namun jika wahana (syari’ah) tidak lagi bisa dijadikan
petunjuk, sebenarnya pedomannya tetaplah sama, yaitu Kitabullah dan
Sunnah Rasul. Tetapi pemahamannya bukan dgn akal (‘aql) melainkan dgn
dzauq, yaitu cita rasa rohani. Inilah yg disebut cara (thariqah). Di
sini, sang salik selain harus berjuang keras juga harus pasrah kepada
kehendak-NYA. Sebab, telah termaktub dalam dalil araftu rabbi bi rabbi
bahwa kita hanya mengenal Dia dgn Dia. Maksudnya jika Tuhan tidak
berkehendak kita mengenal-NYA maka kita pun tidak akan bisa
mengenal-NYA. Dan, kita mengenal-NYA pun maka hanya melalui Dia
(walaupun kita tidak mau tetapi semua telah kehendak-NYA). Itu sebabnya,
di alam tidak kasatmata yg tidak jelas batas dan tanda-tandanya itu
kita tidak dapat berbuat sesuatu kecuali pasrah seutuhnya dan mengharap
limpahan rahmat dan hidayah-NYA.”
“Tentang makna di balik kisah Khidir AS membunuh seorang anak (ghulam) dapat saya jelaskan sebagai berikut.”
“Anak adalah perlambang keakuan kerdil yg kekanak-kanakan.
Kedewasaan rohani seorang yg teguh imannya bisa runtuh akibat terseret
cinta kepada keakuan kerdil yg kekanak-kanakan tersebut. Itu sebabnya,
keakuan kerdil y kekanak-kanakan itu harus dibunuh agar kedewasaan
rohani tidak terganggu.”
“Sesungguhnya, di dalam perjalanan rohani menuju Kebenaran
Sejati selalu terjadi keadaan di mana keakuan kerdil yg kekank-kanakan
(ghulam) dari salik cenderung mengikari kehambaan dirinya terhadap
Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad) sebagai akibat ia belum fana ke dalam
Sang Rasul (fana fi rasul). Ghulam cenderung durhaka dan ingkar
terhadap kehambaan kepada Sang Rasul. Jika keakuan yg kerdil dan
kekanak-kanakan itu dibunuh maka akan lahir ghulam yg lebih baik dan
lebih diberbakti yg melihat dengan mata batin bahwa dia sesungguhnya
adalah “hamba” dari Sang Rasul, pengejawantahan Cahaya Yang Terpuji (Nur
Muhammad).”
“Sesungguhnya, keakuan kerdil yg kekanak-kanakan adalah
perlambang dari keberadaan nafsu manusia yg cenderung durhaka dan ingkar
terhadap Sumbernya. Sedangkan ghulam yg baik dan berbakti merupakan
perlambang dari keberadaan roh manusia yg cenderung setia dan berbakti
kepada Sumbernya. Dan sesungguhnya, perbuatan Khidir AS itu adalah
perlambang yg sama saat Nabi Ibrahim AS akan menyembelih Nabi Ismail AS
‘Pembuhunan’ itu adalah perlambang puncak dari keimanan mereka yg
beriman (mu’min).”
“Adapun dinding yg ditinggikan Khidir AS adalah perlambang Sekat
Tertinggi (al barzakh al ‘a’la) yg disebut juga dgn Hijab Yang Maha
Pemurah (hajib ar-Rahman). Dinding itu adalah pengejawantahan Yang Maha
Luhur (al-Jalil). Lantaran itu, dinding tersebut dinamakan Dinding
al-Jalal (al jidar al-Jalal), yg dibawahnya tersimpan Khazanah
Perbendaharaan (Tahta al-Kanz) yg ingin diketahui.”
“Sedangkan dua anak yatim (ghulamaini yatimaini) pewaris dinding
itu adalah perlambang jati diri Nabi Musa AS, yg keberadaannya
terbentuk atas jasad ragwi (al-basyar) dan rohani (roh). Kegandaan jati
diri manusia itu baru tersingkap jika seseorang sudah berada dalam
keadaan tidak memiliki apa-apa (muflis), terkucil sendiri (mufrad) dan
telah berada di dalam waktu tak berwaktu (ibn al-waqt). Dua anak yatim
itu adalah perlambang gambaran Nabi Musa AS dan bayangannya di depan
Cermin Memalukan (al-mir’ah al-haya’I).”
“Adapun gambaran tentang ‘ayah yg salih’ dari kedua anak yatim,
yakni ayah yg mewariskan Khazanah Perbendaharaan , adalah perlambang
diri dari Abu halih, Sang Pembuka Hikmah (al-hikmah al-futuhiyyah),
yakni pengejawantahan Sang Pembuka. Dengan demikian apa yg telah dialami
Nabi Musa AS dalam perjalanan bersama Khidir AS (QS. Al-Kahfi : 60-82)
menurut penafsiran adalah perjalanan rohani Nabi Musa AS ke dalam
dirinya sendiri yg penuh dgn perlambang (isyarat).”
“Memang Nabi Musa AS lahir hanya satu. Namun, keberadaan jati
dirinya sesungguhnya adalah dua, yaitu pertama keberadaan sebagai
al-basyar ‘anak’ Adam AS yg berasal dari anasir tanah yg tercipta; dan
keberadaannya sebagai roh ‘anak’ Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad) yg
berasal dari tiupan (nafakhtu) Cahaya di Atas Cahaya (Nurun ‘ala Nurin).
Maksudnya, sebagai al-basyar, keberadaan jasad ragawi nabi Musa AS
berasal dari Yang Mencipta (al-Kha-liq).”
“Sehingga tidak akan pernah terjadi perseteruan dalam
memperebutkan Khazanah Perbendaharaan warisan ayahnya yg shalih. Sebab,
saat keduanya berdiri berhadap-hadapan di depan Dinding al-jalal
(al-jidar al-Jalal) dan mendapati dinding itu runtuh maka saat itu yg
ada hanya satu anak yatim. Maksudnya, saat itu keberadaan al-basyar
‘anak’ Adam AS akan terserap ke dalam roh ‘anak’ Nur Muhammad. Saat
itulah sang anak sadar bahwa ia sejatinya berasal dari Cahaya di Atas
cahaya (Nurun ‘ala Nurin) yg merupakan pancaran dari Khazanah
Perbendaharaan. Sesungguhnya, hal semacam itu tidak bisa diuraikan dgn
kaidah-kaidah nalar manusia karena akan membawa kesesatan. Jadi, harus
dijalani dan dialami sendiri sebagai sebuah pengalaman pribadi.”
Mantabz Nyai.....
BalasHapus