Syarif Hidayatullah atau yang sering disebut dengan
Sunan Gunung Jati merupakan salah satu anggota Wali Songo; penyebar
agama Islam di Jawa di era Majapahit akhir. Dia adalah seorang raja
(pemimpin rakyat), sekaligus wali (pemimpin spiritual, muballigh, da’i)
dan sufi.
Dia adalah Putra dari Maulana Ishaq Syarif
Abdillah, penguasa kota Isma’iliyah Arab Saudi –bukan dari Aceh. Dia
juga bukan Fatahillah atau Faletehan seperti yang disebut-sebut dalam
sebagian catatan sejarah. Faktanya adalah terdapat makam Fatahillah (Ki
Bagus Pasai) di sisi makam Sunan Gunung Jati. Lagipula, Sunan Gunung
Jati hidup di era Raden Patah, Sultan Demak pertama. Sedangkan
Fatahillah datang dari Aceh pada masa pemerintahan Sultan Trenggana,
sultan Demak ke-3 setelah Dipati Unus. Repotnya, pembuktian oleh
masyarakat umum sangatlah sulit akan keberadaan makam dua tokoh yang
berbeda tersebut, karena adanya batasan masyarakat umum tidak diijinkan
untuk bisa masuk mencapai pintu ke-9, tapi hanya sampai pintu ke-2 saja.
Di sinilah menariknya isi dari buku ini. Buku
karya lokal yang membahas orang paling berpengaruh di Cirebon tersebut
dibagi dalam 5 bab; “Gunung Jati sebagai pangguron Islam”,
“Pertamanan Gunung Sembung”, “Sunan Gunung Jati bukan Fatahillah”,
“Komplek pemakaman Gunung Sembung”, dan “Tradisi Ziarah” disertai
lampiran “Do’a silsilah Gunung Jati dan Ratib Al-Haddad”.
***
Permulaan abad XV agama Islam sudah berkembang di Jawa, terutama di Gresik, Jawa Timur dengan Maulana Malik Ibrahim -anggota sekaligus sesepuh Wali Songo- yang membuka pesantren bagi siapa saja yang berminat belajar Islam. Para santri datang dari berbagai penjuru, dan hanya sedikit yang datang dari Jawa Barat. Saat itu, Jawa Barat di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran yang Hindu, termasuk Gunung Jati yang masuk wilayah administratif Singapura (Celancang), bawahan Pajajaran (Bab I).
Permulaan abad XV agama Islam sudah berkembang di Jawa, terutama di Gresik, Jawa Timur dengan Maulana Malik Ibrahim -anggota sekaligus sesepuh Wali Songo- yang membuka pesantren bagi siapa saja yang berminat belajar Islam. Para santri datang dari berbagai penjuru, dan hanya sedikit yang datang dari Jawa Barat. Saat itu, Jawa Barat di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran yang Hindu, termasuk Gunung Jati yang masuk wilayah administratif Singapura (Celancang), bawahan Pajajaran (Bab I).
Gunung Jati yang terletak di tepi pelabuhan Muara
Jati sangat ramai dikunjungi oleh para pedagang dari manca negara.
Penguasa negerinya sangat bijaksana, adalah Ki Gede Surawijaya dengan
syahbandar bernama Ki Gede Tapa atau Ki Jumajan Jati yang juga santri di
Pangguron Islam Syekh Quro’ Krawang. Pedagang banyak yang datang dari
Cina, Gujarat (barat India), dan Arab yang berdagang sambil berdakwah
Islam. Lambat-laun, terjadi evolusi perubahan agama dari Budha ke Islam.
Sekitar tahun 1420M datanglah serombongan pedagang
dari Baghdad yang dipimpin Syekh Idlofi Mahdi. Oleh Ki Surawijaya, Syekh
Idlofi diijinkan menetap dan tinggal di kampung Pasambangan yang
terletak di Gunung Jati. Dia berdakwah, dan ajaran Islam berkembang
begitu cepat. Itulah awal mula Gunung Jati sebagai Pangguron
Islam. Muridnya diantaranya adalah Raden Walangsungsang dan adiknya,
Ratu Rarasantang, serta istrinya Nyi Endang Geulis. Keduanya adalah
putra Raja Pajajaran, Raden Pamanarasa (Prabu Siliwangi) dengan Nyi Mas
Subanglarang putri Ki Jumajan Jati, Syahbandar Pelabuhan Muara Jati.
Karena pengaruhnya yang sangat besar bagi masyarakat sekitar, Syekh
Idlofi juga disebut Syekh Dzatul Kahfi (“sesepuh yang mendiami gua”)
atau Syekh Nur Jati (“sesepuh yang menyinari atau menyiarkan Gunung
Jati”).
Setelah dianggap mumpuni, Walangsungsang bersama
adik dan istrinya diperintahkan oleh Syekh Idlofi agar membuka hutan
untuk dijadikan pedukuhan yang lokasinya di selatan Gunung Jati (Bab II). Setelah selesai babat alas, pedukuhan itu disebut Tegal Alang-Alang dan Walangsungsang diangkat sebagai Kepala Dukuh dengan gelar Ki Kuwu dan dijuluki Pangeran Cakrabuana.
Pedukuhan itu berkembang pesat. Banyak pedagang
membuka pasar dan kemudian menetap di pedukuhan itu. Karena multi ras,
maka nama Tegal Alang-Alang lambat-laun luntur menjadi Caruban
(pertautan). Di samping itu, nama ini disebabkan karena sebagian besar
warganya bekerja sebagai pencari ikan dan mmebuat petis dari air udang
yang dalam bahasa Sunda disebut “Cai Rebon”, maka lama-lama menjadi
Cirebon.
Atas perintah Syekh Idlofi, Cakrabuana dan
Rarasantang pergi ibadah haji, sementara istrinya yang lagi mengandung
tetap di Caruban. Pedukuhan kemudian diserahkan ke Ki Pengalang-Alang
(Ki danusela). Di Mekkah, keduanya bermukim beberapa bulan di rumah
Syekh Bayanillah. Rarasantang kemudian disunting oleh seorang pembesar
Kota Isma’iliyah bernama Syarif Abdillah bin Nurul Alim dari suku Bani
Hasyim. Rarasantang kemudian berganti nama Syarifah Muda’im. Dari
perkawinan ini lahirlah Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah.
Sekitar tahun 1456 M, Cakrabuana pulang kampung.
Pedukuhan Caruban yang berkembang pesat kemudian diganti namanya menjadi
Nagari Caruban Larang. Negeri ini diresmikan oleh Prabu Siliwangi
-meskipun secara prinsip Raja Pajajaran ini kurang berkenan atas
tindakan anaknya tersebut- dan Cakrabuana diberinya gelar “Sri Manggana“. Cakrabuana lalu membangun Istana Pakungwati, sesuai nama puterinya yang lahir ketika dia masih di Mekkah.
Untuk kunjungan tetapnya ke Syekh Idlofi,
Cakrabuana membangun tempat peristirahatan yang disebut pertamanan
Gunung Sembung. Lokasinya berada di sebelah barat Gunung Jati, jaraknya
sekitar 200m. Pada akhirnya pertamanan ini menjadi pemakaman pendirinya
berikut keturunannya.
***
Syarifah Muda’im dan Syarif Hidayatullah -yang saat itu berusia 20 tahun- mudik ke Cirebon, sementara Syarif Nurullah sang adik, menggantikan posisi ayahnya sebagai pembesar Kota Isma’iliyah (Bab III). Sekitar tahun 1475 M mereka tiba di Caruban. Oleh Cakrabuana, keduanya diperkenankan menetap di pertamanan Gunung Sembung, sekaligus sebagai penerus Pangguron Gunung Jati yang saat itu Syekh Idlofi sudah wafat.Pangeran Cakrabuana kemudian menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Nyi Ratu Pakungwati. Tahun 1479M, Cakrabuana yang sudah berusia lanjut digantikan oleh keponakan sekaligus menantunya, Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan atau Sunan.
Syarifah Muda’im dan Syarif Hidayatullah -yang saat itu berusia 20 tahun- mudik ke Cirebon, sementara Syarif Nurullah sang adik, menggantikan posisi ayahnya sebagai pembesar Kota Isma’iliyah (Bab III). Sekitar tahun 1475 M mereka tiba di Caruban. Oleh Cakrabuana, keduanya diperkenankan menetap di pertamanan Gunung Sembung, sekaligus sebagai penerus Pangguron Gunung Jati yang saat itu Syekh Idlofi sudah wafat.Pangeran Cakrabuana kemudian menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Nyi Ratu Pakungwati. Tahun 1479M, Cakrabuana yang sudah berusia lanjut digantikan oleh keponakan sekaligus menantunya, Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan atau Sunan.
Di awal pemerintahannya, Syarif Hidayatullah sowan
ke kakeknya, Prabu Siliwangi sekaligus mengajak untuk memeluk agama
Islam. Namun, Sang Prabu menolak, tapi tetap mengijinkan cucunya untuk
menyebarkan Islam di wilayah Pajajaran. Dia kemudian mengembara ke
Banten. Di sana, dia disambut dengan baik, bahkan dinikahkan dengan
putri Adipati Banten, Nyi Ratu Kawungaten. Dari pernikahan ini lahirlah
Nyi Ratu Winaon dan Pangerang Sabakingking.
Peran dakwah Syarif Hidayatullah didengar sampai di
Kerajaan Demak yang baru berdiri 1478M. Dia kemudian diundang ke Demak
dan ditetapkan sebagai “Penetap Panata Gama Rasul” di
tanah Pasundan dengan gelar Sunan Gunung Jati, sekaligus berdirilah
Kesultanan Pakungwati dengan gelar Sultan. Karena merasa mendapatkan
dukungan dari Demak, Cirebon tidak lagi mau membayar upeti -sebagai
bukti ketundukan- pada Pajajaran. Marahlah Prabu Siliwangi. Dikirimlah
60 pasukan di bawah pimpinan Tumenggung Jagabaya untuk menangkap
cucunya. Tapi usaha ini sia-sia. Pasukan Pajajaran itu berhasil
dilumpuhkan oleh Cirebon. Mereka menyerah bahkan bergabung dengan
Cirebon. Wilayah Cirebon semakin luas. Negeri-negeri yang sebelumnya di
bawah Pajajaran seperti Surantaka, Japura, Wanagiri, Galuh, Talaga dan
Singapura melebur bergabung dalam kedaulatan Cirebon.
Pembauran multi ras terjadi di Cirebon. Kakak Ki
Gede Tapa (Ki Jumajan Jati) -kakek Sunan Gunung Jati, Nyi Rara Rudra
menikah dengan saudagar Tiongkok/Cina, Ma Huang yang kemudian bergelar
Ki Dampu Awang. Oleh Kaisar Tiongkok, Sunan Gunung Jati dijadikan
menantu dinikahkan dengan Ong Tien (1481M), yang kemudian ganti menjadi
Nyi Ratu Rara Sumanding. Pernikahan ini dilakukan setahun setelah Mesjid
Agung Sang Ciptarasa dibangun (1480M).
***
Malaka diduduki Portugis pada tahun 1511M. Kerajaan Demak mengirim pasukan yang dipimpin Dipati Unus (Pangeran Sabrang Lor) dengan dibantu oleh negeri-negeri sahabat. Cirebon bertugas mempertahankan Sunda Kelapa (Jayakarta). Pasukan Demak bisa dipukul mundur. Mereka balik ke Jawa. Di antara rombongan tersebut, terseliplah Kyai Fathullah atau Fatahillah atau Feletehan, ulama dari Aceh. Pasca Dipati Unus gugur 1521M, Demak dipegang oleh Sultan Trenggono. Fatahillah diangkat sebagai panglima pasukan Demak untuk mempertahankan Sunda Kelapa.
Malaka diduduki Portugis pada tahun 1511M. Kerajaan Demak mengirim pasukan yang dipimpin Dipati Unus (Pangeran Sabrang Lor) dengan dibantu oleh negeri-negeri sahabat. Cirebon bertugas mempertahankan Sunda Kelapa (Jayakarta). Pasukan Demak bisa dipukul mundur. Mereka balik ke Jawa. Di antara rombongan tersebut, terseliplah Kyai Fathullah atau Fatahillah atau Feletehan, ulama dari Aceh. Pasca Dipati Unus gugur 1521M, Demak dipegang oleh Sultan Trenggono. Fatahillah diangkat sebagai panglima pasukan Demak untuk mempertahankan Sunda Kelapa.
Dengan dibantu pasukan Cirebon, Fatahillah mampu
memukul mundur Pajajaran yang berkolaborasi dengan Portugis. Mereka bisa
diusir dari Sunda Kelapa di tahun 1522M. Banten di bawah kendali
Pangeran Sabakingking, putra Sunan Gunung Jati juga memberikan dukungan
yang hebat. Karena keberhasilan Fatahillah dalam memimpin Sunda Kelapa,
maka ia juga disebut Kyai Bagus Pasai. Hanya beberapa bulan saja,
Fatahillah kemudian kembali ke Cirebon -alasan utamanya adalah ditunjuk
oleh Sunan Gunung Jati dalam rangka memperluas wilayah Isllam ke
negeri-negeri sekitar Cirebon (seperti: talaga, Rajagaluh). Padat saat
yang bersamaan, Sunan Gunung Jati menikah lagi dengan Nyi Ageng Tepasari
putri Ki Ageng Tepasan, seorang mantan pembesar Majapahit. Hal ini
karena Nyi Pakungwati meninggal -tidak punya anak- dan Nyi Ong Tien juga
tidak dikaruniai anak. Dari perkawinan ini lahirlah Ratu Wulung Ayu dan
Pangeran Muhammad Arifin (Pangeran Pasarean) yang kelak akan
menggantikannya.
Selesai penaklukan negeri sekitar, Fatahillah
menikah dengan putri Sunan Gunung Jati, Ratu Wulung Ayu. Bupati
Jayakarta diserahkan ke Ki Bagus Angke. Pangeran Pasarean naik
menggantikan Sunan Gunung Jati menjadi Sultan ke-2 Cirebon dengan
penasehat politiknya, Fatahillah. Pangeran Sabakingking dinobatkan
sebagai Sultan Banten pertama dengan gelar Sultan Maulana Hasanuddin.
Tahun 1552M, Pasarean meninggal mendahului ayahnya. Karena anak-anaknya
masih kecil, Sunan Gunung Jati kemudian mengangkat anak angkatnya, Aria
Kamuning sebagai Sultan ke-3 Cirebon dengan gelar Dipati Cirebon I.
Menikah dengan Nyi Ratu Wanawati putri Fatahillah, Aria Kamuning
dikaruniai empat putra, yaitu: Nyi Ratu Ayu, Pangeran Mas, Pangeran
Manis dan Pangeran Wirasaba.
Tahun 1568M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120
tahun. Dua tahun kemudian Fatahillah menyusul. Keduanya dimakamkam
secara berdampingan dan tidak diperantarai apapun. Ini menjadi bukti
bahwa kedua tokoh tersebut memanglah beda.
Pada masa pemerintahan Sultan ke-VI Pangeran Karim
(Panembahan Girilaya), Mataram yang sudah pro-VOC (Sunan Amangkurat I)
mengundang menantunya itu untuk datang ke Mataram. Bersama istri dan
kedua anaknya -kecuali Pangeran Wangsakerta- hadir ke Mataram. Karena
kecurigaan Mataram, keempatnya ditahan untuk tidak kembali ke Cirebon.
Panembahan Girilaya meninggal dan dimakamkan di Bukit Wonogiri (1667M),
sedang kedua putranya pulang ke Cirebon. Atas kebijakan Sultan Banten,
An-Nasr Abdul Kohar, agar tidak terjadi pertumpahan darah, maka
dipecahlah Cirebon menjadi tiga bagian; Kasepuhan dipegang Pangeran Martawijaya yang kemudian bergelar Sultan Raja Syamsudin, Kanoman dipegang Pangeran Kertawijaya bergelar Sultan Moh. Badridin, dan Pangeran Wangsakerta diberi bagian Kacirebonan
dengan gelar Panembahan Tohpati. Peristiwa ini terjadi di tahun 1667M.
Sesuai kesepakatan, hanya Kasepuhan dan Kanoman yang memakai gelar
Sultan.
Ketiga, tiga kali seminggu makam-makam tersebut dibersihkan dan diperbarui bung-bunganya oleh para juru kuncen. Secara rutin pintu Selamatangkep (pintu ke-2) yang membuka pemandangan ke cungkup makam Sunan Gunung Jati dibuka setiap Jum’at. Dan juga dibuka setiap pergantian petugas pada sore hari setiap setengah bulan. Pada saat terbukanya pintu inilah yang biasanya dimanfaatkan oleh pengunjung umum untuk bisa melihat makam Sunan Gunung Jati.
Keempat, juru kuncen makam berjumlah 108 orang yang berprofesi secara turun-temurun. Mereka berasal dari Keling (Kalingga) -kira-kira Kediri, Jawa Timur saat ini.
Berikut denah komplek pemakaman Gunung Sembung:
1. Sunan Gunung Jati, 2. Fatahillah, 3. Syarifah Muda’im, 4.Nyi Gedeng Sembung (Nyi Qurausyin), 5. Nyi Mas Tepasari, 6. Pangeran Cakrabuana, 7. Nyi Ong Tien, 8. Dipati Cirebon I, 9. Pangeran Jakalelana, 10. Pangeran Pasarean, 11. Ratu MAs Nyawa, 12. Pangeran Sedang Lemper, 13. Komplek Sultan Panembahan Ratu, 14. Adipati Keling, 15. Komplek Pangeran Sindang Garuda, 16. Sultan Raja Syamsudin (Sultan Sepuh I), 17. Ki Gede Bungko, 18. Komplek Adipati Anom Carbon (Pangeran Mas), 19. Komplek Sultan Moh. Badridin, 20. Komplek Sultan Jamaludin, 21. Komplek Nyi Mas Rarakerta, 22. Komplek Sultan Moh. Komarudin, 23. Komplek Panembahan Anom Ratu Sesangkan, 24. Adipati Awangga (Aria Kamuning), 25. Komplek Sultan Mandurareja, 26. Komplek Sultan Moh. Tajul Arifin, 27. Komplek Sultan Nurbuwat, 28. Komplek Sultan Sena Moh. Jamiudin, 29. Komplek Sultan Saifudin Matangaji PINTU SEMBILAN:
I. Pintu Gapura, II. Pintu Krapyak, III. Pintu Pasujudan, IV. Pintu Pasujudan, IV. Pintu Ratnakomala, V. Pintu Jinem, VI. Pintu Raraoga, VII. Pintu Kaca, VIII. Pintu Bacem, IX. Pintu Teratai
LAIN-LAIN:
A. Masjid Sunan Gunung Jati (sebelah timur No. 26),
B. Karas/Lunjuk (tempat istirahat keluarga Kraton setelah naik makam Sunan Gunung Jati),
C. Pintu Mergu (tempat ziarah orang-orang Tionghoa, D. Komplek Sultan Raja Sulaiman,
E. tempat Juru Kuncen menerima tamu-tamu umum, F. Pelayonan: tempat jenasah keluarga Kraton disholati,
G. Balemangu Pajajaran: hadiah dari Prabu Siliwangi, H. Pintu masuk para peziarah
I. Paseban Soko: tempat permusyawaratan, J. Gedung Jimat: tempat penyimpanan guci-guci Tiongkok
K. Balemangu Trusmi, L. Balemangu Pos Penjagaan, M. Gapura Timur: pintu masuk pertama peziarah umum,
N. Balemangu Majapahit: hadiah Demak, O. Paseban Besar : pendopo tempat penerimaan tamu-tamu kehormatan
***
Beberapa hal yang menjadi catatan (baca: kritikan) saya tentang sejarah yang dicatat dalam buku ini adalah: Pertama, adanya pengeramatan makam Sunan Gunung Jati secara berlebihan. Kalau bukan keluarga kraton atau keturunan kasultanan Cirebon, tidak boleh masuk sampai ke makam. Levelisasi/kastanisasi pengunjung terlihat jelas dengan dibuatnya 2 pintu masuk yang berbeda. Jika untuk pengunjung umum, maka melalui pintu “Gapura Timur” (pintu umum/pintu timur), yakni pintu ke-2 dari 9 pintu yang ada. Sedangkan bagi pengunjung/tamu kehormatan boleh melewati “Paseban Besar” (pintu tengah).
Apakah karena Sunan Gunung Jati itu seorang
wali sekaligus raja sehingga akses peziarah sangat dibatasi? Tentu
tidak, karena Sunan Giri yang seorang pemimpin pemerintahan pun akses
ziarah langsung ke makam tidak sesulit seperti di Cirebon. Pihak
pengelola makam (kebijakan kraton) beralasan, agar barang-barang di
dalam makam tidak hilang, sehingga pengunjung umum cukup sampai di
pintu-2 saja.
Kedua, banyaknya pengemis di sekitar lokasi
makam dengan tingkah laku yang sangat tidak sopan, bahkan sedikit
memaksa para pendatang (penziarah) untuk memberikan sedekah.
Ketiga, komersialisasi yang terlalu berlebihan.
Juru kuncen (penunggu makam) seperti “terlalu berharap” (mengarahkan)
agar para tamu sebelum melakukan ziarah untuk memberi sedekah
seikhlasnya. Begitupun tukang parkirnya.
Ketiga catatan di atas, belum pernah saya
temukan jika berziarah ke makam-makam Wali Songo yang lain. Kalaupun ada
pengemis, masih sangat sopan dan tidak memaksa. Tidak seribet di Cirebon ini!
hemmmm,..adi tau sejarahnya neh...tks berat,...inilah yg aku cari-cari selama ini,...
BalasHapusmohon ijin untuk di copy artikelnya...
BalasHapus