Karena
merasakan tindakan kompeni yang sewenang-wenang terhadap rakyat
Kerajaan Mataram di Kartasura, maka pada tahun 1741 RM. Said
meninggalkan Keraton Kartasura menuju Desa Nglaroh untuk menyusun
pemberontakan melawan Belanda.
RM.
Said yang berganti nama menjadi RM. Suryakusuma mulai membangun
perlawanan di Desa Nglaroh dengan bermodalkan pasukan permulaan yang
berjumlah 40.orang. Pada awal
perjuangannya, RM. Suryakusuma bergabung dengan RM. Garendi atau yang
terkenal dengan Sunan Kuning bersama Laskar Cina di bawah pimpinan
Kapitan Sepanjang. Pada tahun 1743, RM. Garendi tertawan oleh Belanda di Surabaya dan di buang ke Afrika Selatan. Pasukan dapat di tumpas oleh Belanda sedangkan Kapitan Sepanjang hilang dalam pengejaran.
Tahap berikutnya, RM. Said bergabung dengan Pangeran Mangkubumi yang kelak menjadi Sultan dengan gelar Sultan Mangkubumi I. RM.
Said yang juga terkenal dengan sebutan Pangeran Samber Nyawa akhirnya
memisahkan diri dari Pangeran Mangkubumi dan memimpin pasukannya sendiri
melanjutkan perjuangannya melawan Kompeni Belanda.
Pangeran Mangkubumi pada th 1755 melakukan perundingan dengan pihak Belanda di Giyanti. Perjanjian tersebut menghasilkan kesepakatan
yang antara lain memberi hak pada sang Pangeran untuk memerintah
sebagian dari wilayah Kartasura ,dan oleh beliau kerajaan yang baru ini
di namakan Ngayogjakarta Hadiningrat yang populer di sebut sebagai
Yogyakarta, sedang rajanya bergelar Sultan Hamengkubuwono I.
Di
saat RM. Said atau Pangeran Samber Nyawa mulai melakukan perlawanannya,
Kerajaan Mataram yang berpusat di Kartasura diperintah oleh Pakubuwono
II. Namun, sejak Keraton Kartasura dapat di rebut oleh RM. Garendi beserta laskar Cina pada tahun 1742, ibukota kerajaan pindah ke Surakarta. RM. Garendi beserta laskar Cinanya dapat di usir oleh Belanda setelah menduduki Keraton Kartasura selama 9 bulan. Pangeran Samber Nyawa tetap melanjutkan perjuangannya mulai dari daerah Kabupaten Sukoharjo, ke daerah Klaten,Wonogiri, Madiun, Karanganyar dan Sragen. Pakubuwono II wafat dan digantikan putranya yang bergelar Pakubuwono III dan berkedudukan di Surakarta. Raja baru ini mempunyai kebijaksanaan yang agak berbeda dengan pendahulunya. Beliau ingin mengakhiri pemberontakan Pangeran Samber Nyawa dengan melalui perundingan. Pemikiran demikian timbul antara lain karena saran dari Kompeni yang sudah kewalahan menghadapi Pangeran Samber Nyawa.
Sinuhun
Pakubuwono III di paroh akhir tahun 1756 menulis surat kepada Pangeran
Samber Nyawa agar kembali ke Surakarta untuk membantu beliau menjalankan
pemerintahan, adapun mengenai hal-hal yang berkaitan dengan wilayah
pemerintahan dan kedudukan Pangeran Sambernyawa dapat dirundingkan
kelak. Akhirnya pada hari Kamis Pahing tanggal 4 Jumadilakir, tahun 1682
(M.1756), Pakubuwono III menjemput Pangeran Sambernyawa di Desa Tunggon
untuk di ajak kembali ke Surakarta.
Pada awal tahun 1757, Gubernur Jenderal Belanda di Batavia menulis surat kepada Pakubuwono III di Surakarta, Sultan Hamengkubuwono I diYogyakarta ,dan RM. Said atau Pangeran Sambernyawa. Surat tersebut berisi undangan agar ketiganya bertemu di Salatiga untuk mengadakan perundingan.
Pada
tanggal 17 Maret 1757 di dusun Kalicacing, Salatiga, perundingan
tersebut dapat terlaksana. Menurut buku Babad KGPAA.Mangkunegara
I,susunan formasi para peserta perundingan adalah sebagai berikut : Nicholas Harting sebagai wakil dari Gubernur Jenderal Belanda, yang
dalam hal ini bertindak sebagai fasilitator duduk di tengah, di apit
oleh Pakubuwono III, disebelah kanan dan Hamengkubuwono I dikirinya. Di hadapan mereka duduk Pangeran Sambernyawa. Perundingan ini disaksikan oleh kepala perwakilan VOC dan kedua patih, baik dari Surakarta maupun Yogyakarta, yaitu Mangkupraja dan Suryanegara.
Perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan sebagai berikut :
- Pangeran Sambernyawa di angkat sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Adipati Mangkunegara I
- Beliau berhak menguasai tanah seluas 4000 karya, serta semua daerah yang pernah dilewati selama mengadakan pemberontakan dan menjalankan roda pemerintahannya.
- Beliau berhak mendirikan sebuah istana atau Puro sebagai pusat pemerintahannya di Surakarta, tetapi dengan syarat :
- Dilarang membuat singgasana
- Dilarang membuat alun-alun dengan beringin kurung
- Dilarang membuat “Siti Inggil” dan balaiurung
- Dilarang menjatuhkan hukuman mati
Istana dan Praja Mangkunegaran selanjutnya di kenal dengan nama “Pura Mangkunegaran”. Kesepakatan
tersebut di atas di kenal dengan nama “Perjanjian Salatiga” DENGAN
DEMIKIAN PADA TG 17 MARET 2007, USIA PURA MANGKUNEGARAN MENCAPAI GENAP
250 TAHUN.
Pemerintah Indonesia sangat menghargai jasa Pangeran Sambernyawa atau Mangkunegara I sebagai pejuang kemerdekaan nasional. Hal itu terbukti dengan pengangkatan beliau sebagai pahlawan kemerdekaan nasional seperti yang
tertuang dalam keputusan Presiden RI. No. 048/TK tahun 1988, tanggal 17 Agustus 1988.
Setelah
Mangkunegara I wafat, beliau digantikan oleh Mangkunegara II dan
seterusnya, hingga saat ini yang menjabat sebagai pimpinan Pura
Mangkunegaran adalah Sri Paduka Mangkunegara IX.
Sejak
pemerintahan Mangkunegara I hingga Mangkunegara IX, Pura Mangkunegaran
telah memberikan sumbangan yang besar bagi bangsa dan kebesaran nama Indonesia.
Karya-karya tari dan sastra, serta berbagai ragam seni budaya bermutu tinggi banyak yang lahir dari lingkungan Mangkunegaran. Peranan Pura Mangkunegaran di bidang pendidikan menghasilkan tokoh-tokoh nasional, serta putera bangsa yang berbobot.
Dalam
perjuangan kemerdekaan nasional, banyak kerabat Mangkunegaran yang
langsung terlibat dalam perjuangan fisik maupun non fisik.
Sebagai
ungkapan terima kasih kepada mereka semua, serta untuk memupuk rasa
persatuan dan kebangsaan yang akhir-akhir ini dirasakan agak pudar, maka
seluruh jajaran Pura Mangkunegaran mengajak masyarakat luas untuk
bersama-sama berpartisipasi merayakan “250 tahun Pura Mangkunegaran”.
Dalam rangka mereaktualisasi Budaya Mangkunegaran, maka panitya
mempunyai rencana untuk mengadakan Pagelaran-pagelaran , seminar-seminar, pameran-pameran, dan kegiatan lainnya.
Dengan memohon Ridho Allah SWT., Tuhan Yang Maha Pengasih, Peringatan “250 tahun Pura Mangkunegaran”, akan dimulai dengan acara selamatan di Kalicacing, Salatiga pada tanggal 17 Maret 2007, dan disusul dengan kegiatan2 lainnya yg akan berlangsung sepanjang tahun 2007
"Pahlawan Nasional RM Said berjuang melawan penjajah bersama para Ulama, Pendekar, laskar Tionghoa dan prajurit wanita"
PANGERAN SAMBERNYAWA
Masalah tersebut, maka RM. Said atau Pangeran Sambernyawa, karena menyaksikan penderitaan rakyat Mataram akibat penindasan Kompeni, beliau memilih keluar dari Istana Kartasura dan membangun perlawanan terhadap VOC. Kompeni
merasa kewalahan dan mengajak berdamai, tetapi selalu ditolak oleh
Pangeran Sambernyawa. Namun setelah Paku Buwono III meminta beliau
pulang ke Surakarta dengan maksud agar beliau membantu Sinuhun PB.III
didalam mengendalikan Kerajaan Mataram, Pangeran Sambernyawa menerima
ajakan tersebut dan selanjutnya bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Ario
Adipati Mangkunegara, Menurut Babad Panambangan, pada saat PB.III
menjemput RM.Said dari medan perang, beliau berkata bahwa segala sesuatu
yang menyangkut kedudukan KGPAA. Mangkunegara akan dibicarakan di
kemudian hari. Sebagai realisasi penyelesaian, maka diadakanlah perundingan di Desa Kalicacing Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757.
Pada
dasarnya perundingan yang diadakan adalah perundingan antara RM.Said
dengan PB.III. Namun, karena sejak Perjanjian Giyanti Tahun 1755 wilayah
Kerajaan Mataram sudah terbagi menjadi dua kerajaan, yaitu Surakarta
dan Yogyakarta, maka dalam perundingan tersebut, diikuti juga perwakilan
dari Keraton Yogyakarta dan Perwakilan dari VOC yang bertindak sebagai
saksi. Perundingan ini menghasilkan suatu perjanjian yang dikenal dengan
nama PERJANJIAN SALATIGA. Sejak itu maka secara defacto dan dejure
terbentuklah PRAJA MANGKUNEGARAN
BARISAN ULAMA
“Subhanullah Subhanullah Subhanullah Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar”. Kalimat ini senantiasa dikumandangkankan oleh Pangeran Sambernyawa dimanapun beliau berada. RM.Said
mengangkat senjata bukan karena ingin menjadi raja, tetapi karena
didorong oleh cita-cita luhur untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Mulat
sariro hangrasa wani, melalui introspeksi diri yang terus menerus, maka
akan menimbulkan keberanian untuk bertindak demi keadilan dan
kebenaran. Bagi beliau, menjaga kebersihan batin adalah merupakan hal yang mutlak yang harus dilakukan dalam hidup ini. Para Kyai dan ulama tanpa ragu mendukung perjuangan beliau. Kyai
Penambangan selalu berada disamping beliau dalam suka dan duka. Raden
Penghulu, pimpinan ulama dari Bayat gugur ditembus peluru Belanda di
saat bertempur bersama RM.Said. Pangeran Sambernyawa merupakan sosok pribadi yang tabah dan pemberani, tetapi penuh dengan welas asih.
Ada
ungkapan “witing klapa Jawata ing ngarsa pada, salugune wong wanita
dasar nyata”. Wanita adalah bagaikan dewi yang turun ke bumi.
Keberadaannya di dunia ini harus dihormati. Mereka diibaratkan sebagai pohon kelapa yang kokoh, tetapi luwes. Prinsip-prinsip inilah yang dipegang oleh Mangkunegara I dalam memperlakukan para wanita. Di
saat dunia masih mempermasalahkan kesetaraan gender, beliau telah
membentuk pasukan wanita yang bertempur dengan gagah berani disamping
para pasukan pria. Pasukan ini dinamakannya “Ladrang Mangungkung”, yang berarti Pasukan yang mengepung musuh hingga tak berdaya dan itu telah terbukti di berbagai pertempuran melawan VOC.
PASUKAN PRIA
Rakyat Kerajaan Mataram adalah rakyat yang cinta damai, tetapi lebih cinta kemerdekaan. Hal ini terbukti sejak Sultan Agung Hanyakra Kusuma memimpin rakyatnya melawan penjajah. Semangat untuk melawan penindasan tersebut diwariskan kepada keturunan beliau yang bernama RM.Said. Para prajurit RM.Said bukanlah prajurit bayaran. Sebagian
besar dari mereka adalah para petani, tukang penebang kayu, pemburu dan
rakyat kecil lainnya. Mereka tergerak hatinya ketika mendengar pekik
perjuangan yang dikumandangkan oleh RM.Said. Berjuang dan berjuang demi keadilan. Darah mereka tertumpah, dalam pertarungan demi pertarungan.
“Jer Basuki Mawa Bea, Rawe-Rawe rantas malang malang putung,
ojo nganggu gawe, marang kamardikan”.
ojo nganggu gawe, marang kamardikan”.
"Semua tujuan harus ditebus melalui pengorbanan dan segala yang penghalang untuk tercapainya kemerdekaan, akan tersapu".
PRAJURIT TIONGHOA
Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, perjuangan melawan penindasan tidak mengenal sekat ethnis, suku dan agama. Pangeran Sambernyawa sangat memahami hal tersebut. Beliau
berhasil mengajak seluruh masyarakat untuk “Hanebu Sa’uyun” Bersatu
kokoh bagaikan seikat tebu melawan segala bentuk kejahatan. Sejarah
mencatat bahwa seluruh rakyat Mataram termasuk ribuan etnis Tionghoa
dibawah kepemimpinan Kapitan Sepanjang dan Tan Sin Ko alias Sinshe,
bersatu padu, bahu membahu, bersama RM.Said dalam berjuang mengenyahkan
penjajah dari bumi Nusantara. Darah para pejuang laskar Tionghoa ini
tumpah menggenangi bumi pertiwi, menyatu dengan darah saudara-saudaranya
dari suku Jawa. Darah yang telah tergenang berbaur tanpa dapat
dibedakan lagi, apakah itu darah Tionghoa atau darah Jawa.
W A R O K
Pada saat RM.Said tiba didaerah Keduwang, Wonogiri, beliau bertemu dengan para pejuang yang gagah berani. Mereka menamakan dirinya sebagai warok. Mereka menyatakan keinginannya untuk mengikuti RM.Said berjuang melawan Kompeni. Kesaktian para pendekar ini telah terbukti dalam berbagai pertempuran.
“Suro Diro Jayaningrat lebur dening pangastuti”.
Segala kesaktian akan pudar kalau tidak menyatu dengan kebaikan.
Segala kesaktian akan pudar kalau tidak menyatu dengan kebaikan.
KEMERDEKAAN
Tanggal 17 Agustus 1945, Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Mulai saat itu bangsa Indonesia memasuki babak kehidupan yang baru dan Praja Mangkunegaran meleburkan diri pada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Cita-cita
agung dari para pejuang bangsa yang telah mendahului kita, termasuk
Pahlawan Nasional RM.Said dan mereka yang telah berjuang bersamanya,
perlu kita ujudkan secara nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
dengan semboyan :
· Rumongso Melu Handarbeni
· Wajib Melu Hanggrumengkepi
· Mulat Sariro
· Angrosowani
Marilah kita jaga tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai diakhir jaman. Semoga darah para martir yang telah membasahi tanah air, di
saat mereka melaksanakan kewajibannya yang berupa “Melu
Hanggrumengkepi” selalu mengingatkan kita akan pentingnya menjaga
Persatuan dan Kesatuan Bangsa.
(1740-1743)
Peristiwa yang terjadi di Salatiga pada tahun tersebut sangat erat hubungannya dengan apa yang terjadi di Keraton Kartasura. Pada masa itu yang bertahta di Kartasura adalah Paku Buwono II. Beliau
mempunyai beberapa saudara, antara lain bernama Pangeran Arya
Mangkunegoro, yang kemudian di buang ke Afrika Selatan oleh Kompeni dan
wafat disana. Sebelum di buang, beliau berputra seorang laki-laki yang di beri nama RM.Said (Pangeran Sambernyawa). Pada masa itu kekejaman Kompeni mencapai puncaknya. Para petani di peras dan di Batavia lebih kurang 10.000 orang Tionghoa di bantai karena tidak mampu dibebani pajak yang tinggi. Sebagian dari mereka yang hidup, melakukan perlawanan terhadap Kompeni dan lari ke Jawa Tengah. Keadaan yang demikian menimbulkan keresahan rakyat dan para pemimpin dilingkungan Kerajaan Mataram. Para Bupati membakar semangat rakyatnya untuk berontak melawan Kompeni. Pemberontakan
terhadap Kompeni tersebut dipelopori antara lain oleh Bupati
Mengunoneng dari Pati, Bupati Martapura dari Grobogan dan Bupati dari
Lasem yang bernama Martawijaya. Dalam
waktu yang hampir bersamaan, RM.Said meninggalkan Keraton Kartasura
menuju Desa Nglaroh, mengumpulkan pasukan permulaan yang berjumlah 40
orang dan melakukan serangan pada pos-pos Kompeni. Tindakan RM.Said diikuti oleh RM.Garendi, cucu Amangkurat III, raja yang di kudeta oleh Pakubuwono I. Ayah
RM.Garendi yang bernama Pangeran Teposono terbunuh dalam suatu
persekongkolan dan RM.Garendi lari kearah Grobogan dan Demak, membangun
perlawanan terhadap Kompeni. Dengan
demikian ada dua Pangeran yang keluar dari keraton dan mengadakan
perlawanan terhadap kompeni pada saat itu yaitu, RM.Said dan RM.Garendi.
Laskar Cina pelarian dari Batavia di bawah pimpinan Kapiten Sepanjang bergabung dengan Laskar Cina lokal Jawa Tengah, di bawah pimpinan Sin She alias Tan Sin Ho.
Gabungan Laskar Cina ini bersatu dengan Laskar para bupati pemberontak di dalam melakukan perlawanan terhadap Kompeni. Sunan Pakubuwono II pada mulanya mendukung perjuangan mereka. Benteng Salatiga diduduki oleh Pasukan Kartasura, dibawah pimpinan Patih Pringgalaya. Namun
tidak beberapa lama pasukan dimaksud di tarik ke Kartasura untuk
membendung bala tentara Kompeni yang mengancam Keraton Kartasura.
Sebagai gantinya Salatiga di pertahankan oleh satu detasemen Laskar Cina
yang didatangkan dari Semarang.
Kompeni merasa tidak senang atas berpihaknya PB.II kepada pemberontak dan mengeluarkan berbagai ancaman. Disebabkan
Pringgalaya takut atas ancaman Kompeni yang demikian itu dan untuk
membuktikan bahwa dia tidak bersekongkol dengan Laskar Cina, maka pada
tahun 1741 ia memenggal kepala seorang juru tulis Tionghoa, yang bernama
Gow Ham Ko di Salatiga. Kepala Gow Ham Ko oleh Patih Pringgoloyo diserahkan kepada Kompeni. Hal ini membuat marah Patih Notokusumo, seseorang yang lebih senior dari Pringgalaya. Secara
diam-diam dia memerintahkan semua pengikutnya untuk bergabung dengan
pasukan Tionghoa dan pemberontak lainnya untuk menyerang kompeni di Semarang. Sayang, serangan
terhadap kompeni yang di Semarang mengalami kegagalan. Pasukan pemberontak mundur dan Patih Notokusumo di tangkap Belanda.
Sebagian besar pasukan yang mundur bertahan didaerah Salatiga dengan pertahanan Kali Tuntang. Berbagai
kekuatan pemberontak, seperti pasukan Pringgalaya berada di Kalicacing,
Pasukan Kyai Mas Yudonegoro, seorang ulama dari Semarang berada di bagian timur dan pasukan Cina di sekitar Kali Tuntang.
Kekalahan pasukan pemberontak di Semarang membuat PB.II ragu dan akhirnya memutuskan berbalik berpihak pada kompeni. Ia memerintahkan pasukannya di bawah Pringgalaya menggempur para pemberontak. Menanggapi
situasi demikian itu, para bupati pemberontak dan pimpinan laskar
Tionghoa berkumpul untuk mengangkat RM.Garendi sebagai raja Mataram pada
tanggal 6 April 1742. Mereka berikrar akan melawan kompeni sampai ajal tiba. Sasaran mereka merebut benteng kompeni di Kartasura. Pertempuran
pertama yang harus mereka hadapi ialah di Salatiga, dimana mereka harus
berhadapan dengan Pringgalaya di Kalicacing yang sekarang berpihak pada
VOC.
Setelah Salatiga jahtuh ketangan RM.Garendi, dengan mudah mereka merebut benteng kompeni di Kartasura dibawah Van Hohendorf. RM.Garendi di Kartasura bertemu dengan RM.Said yang selanjutnya keduanya bergabung melawan kompeni pada pertengahan 1742. Sementara
itu Salatiga telah dikuasai oleh pasukan pemberontak yang terdiri dari
laskar Cina, pasukan dibawah Kyai Mas Yudonegoro dan pasukan para bupati
yang setia pada Patih Notokusumo.
Belanda merencanakan mengirim pasukan gerak cepat yang terdiri dari 300 prajurit Eropa dan 500 prajurit pribumi
ke Salatiga, tapi mengalami kegagalan karena pasukan yang akan
menjemput mereka sebelum memasuki Salatiga telah dipukul mundur ke
Ampel.
Pada tanggal 19 Juni 1742 serangan besar-besaran akan dilancarkan ke kota Salatiga. Namun sebelum sampai tujuan, mereka ketakutan dan kembali ke Semarang, karena Kompeni melihat konsentrasi kekuatan pasukan Kyai Mas Yudonegoro. Pasukan gabungan dari RM.Garendi atau Sunan Kuning terus melakukan perlawanan pada kompeni di seluruh wilayah Jawa Tengah. Kali ini yang menjadi sasaran adalah Tanjung, Jepara. RM.Said
bersama laskar Cina yang berkekuatan 800 orang bertempur melawan
pasukan kompeni dibawah Kapten Mom di Welahan pada tanggal 24 Agustus
1742, namun pasukan ini karena kekuatan persenjataan yang tak seimbang
terpaksa mundur. Sebagian diantaranya membuat pertahanan di Salatiga dan memasang barikade di Kali Tuntang. Pasukan kompeni dibawah Hohendorf gagal menembus barikade ini. Ditempat
ini komandan dan laskar Cina, yaitu Kapitan Sepanjang telah
mengeksekusi anak buahnya yang bernama Swa Ting Giap karena mau
menyeberang ke pihak Kompeni.
Sunan Kuning atau RM.Garendi beserta Laskar Cina, Kyai Mas Yudonegoro, Bupati Mangunnoneng, serta Bupati
Martapura, melakukan serangan ke Salatiga dan memaksa Patih Pringgalaya
yang sudah berbalik membantu Kompeni, mundur ke Tengaran, kemudian
Ampel.
Pasukan RM.Garendi terus mengejar pasukan Kartasura dibawah Pringgalaya dan akhirnya menyerbu benteng Kompeni di Kartasura. Di tempat ini, RM.Garendi beserta Laskar Cina bersatu dengan RM.Said melakukan perlawanan terhadap Kompeni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar