Angkawijaya atau Pangeran Kusumahdinata II, lebih dikenal dengan
sebutan Geusan Ulun di nobatkan pada tanggal 10 bagian terang bulan
Posya tahun 1502 Saka, bertepatan dengan tanggal 18 November 1580. Ia
menggantikan Pangeran Santri yang wafat pada tahun 1579 M.
Lajimnya seorang raja, biasanya memiliki simbul-simbul tertentu
dari tradisi dikerajaannya sehingga dengan penguasaan simbol tersebut
maka seorang raja akan lengkap mendapat legitimasi, baik secara de facto
maupun de jure.
Sama dengan peristiwa yang dialami Geusan Ulun, pengganti Pangeran
Santri. Ia bukan sekedar penguasa Sumedang Larang melainkan juga
“diistrenan” sebagai pewaris syah tahta Pajajaran. Masalah ini menjadi
sangat menarik untuk dibahas, mengingat saat itu eksistensi Cirebon dan
Banten masih ada, bahkan selain memiliki kekuatan riil juga masih trah
raja Sunda.
Ada dua simbol yang dapat melengkapi pengesahan pelantikan
raja-raja di Pajajaran, yakni : Mahkota raja dan atrbutnya (kalung
bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger,
tampekan, dan kilat bahu) serta batu palangka, tempat dilantiknya
raja-raja Pajajaran. Memang yang digunakan Angkawijaya pada saat
pelantikannya adalah seperangkat Mahkota dan pakaian raja, sedangkan
batu palangka telah diboyong Panembahan Yusuf ke Surasowan.
Didalam Pustaka Kertabhumi ½ dikisahkan :
-
“Geusan Ulun nyakrawati mandala ning Pajajaran kang wus pralaya, ya ta sirna, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang heneng Kutamaya ri Sumedangmandala” (Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahyangan. Keraton raja Sumedang ini terletak di Kutamaya dalam daerah Sumedang).
Kemudian ditegaskan pula, bahwa: “Rakyan Samanteng Parahyangan
mangastungkara ring sirna Pangeran Ghesan Ulun” (Para penguasa lain di
Parahyangan merestui Pangeran Geusan Ulun).
Simbol raja Pajajaran.
Pasca penyerangan Banten ke Pakuan dan Pakuan sudah tidak berfungsi
sebagai ibukota. Sebagian penduduk telah mengungsi ke wilayah pantai
selatan, membuat pemukiman baru didaerah Cisolok dan Bayah (mungkin juga
cerita komunitas Abah Anom didaerah Ciptarasa mulai dari sini),
sebagian lagi mengungsi ke timur, diantaranya terdapat pembesar
kerajaan, seperti Senapati Jayaprakosa atau Sanghyang Hawu, Batara
Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan
Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.
Mahkota Raja Pajajaran
Ketika meloloskan diri dari Pakuan, Jayaperkosa membawa
(menyelamatkan) Mahkota dan atribut raja Pajajaran ke Sumedang Larang,
yang menjadi simbol raja Pajajaran. Atribut sebagai simbol yang perlu
dimiliki raja-raja Pajajaran. Selain itu biasanya raja-raja Pajajaran
diistrenan diatas batu Gilang batu gilang atau palangka batu sriman
sriwacana.
Berakhirlah jaman Pajajaran (1482 – 1579), ditandai pula dengan
diboyongnya Palangkan Sriman Sriwacana (Tempat duduk tempat penobatan
tahta) dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.
Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu di boyong ke Banten karena tradisi
politik waktu itu “mengharuskan” demikian. Pertama, dengan dirampasnya
Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru.
Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus
kekuasaan Pajajaran yang “sah” karena buyut perempuannya adalah puteri
Sri Baduga Maharaja.
Tentang sakralitas batu tersebut diceritakan pula dalam Carita Parahiyangan di beritakan sebagai berikut :
-
• “Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka
-
• Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja
-
• Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima
-
• Punta Narayana Madura Suradipati,
-
• inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata
(Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana untuk
Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di
keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana
Sanghiyang Sri Ratu Dewata).
Batu Pangcalikan bisa ditemukan, misalnya di makam kuno dekat Situ
Sangiang di Desa Cibalanarik, Kecamatan Sukaraja, Tasikmalaya dan di
Karang Kamulyan bekas pusat Kerajaan Galuh di Ciamis. Sementara Batu
Ranjang dengan kaki berukir dapat ditemukan di Desa Batu Ranjang,
Kecamatan Cimanuk, Pandeglang (pada petakan sawah yang terjepit pohon).
Kata Palangka secara umum berarti tempat duduk (pangcalikan). Bagi
raja berarti Tahta. Dalam hal ini adalah Tahta Nobat yaitu tempat duduk
khusus yang hanya digunakan pada upacara penobatan. Di atas Palangka
itulah ia diberkati (diwastu) oleh pendeta tertinggi. Tempatnya berada
di Kabuyutan Kerajaan, tidak di dalam istana. Sesuai dengan tradisi,
tahta itu terbuat dari batu dan digosok halus mengkilap. Batu Tahta
seperti ini oleh penduduk biasanya disebut Batu Pangcalikan atau Batu
Ranjang (bila kebetulan dilengkapi dengan kaki seperti balai-balai
biasa).
Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan
bekas Keraton Surasowan di Banten. Karena mengkilap, orang Banten
menyebutnya Watu Gigilang. Kata Gigilang berarti mengkilap atau berseri,
sama artinya dengan kata Sriman.
Kehancuran Pakuan berdasarkan versi Banten dikarenakan ada
pengkhianatan dari “orang dalam yang sakit hati”. Konon terkait dengan
masalah jabatan. Saat itu ia bertugas menjaga pintu gerbang dan
membukanya dari dalam untuk mempersiapkan pasukan Banten
memporakporandakan Pakuan. Benteng Pakuan akhirnya dapat ditaklukan.
Penduduk Pakuan yang dengan susah payah membangun kembali kehidupannya
pasca penyerangan kedua kembali dilanda bencana maut. Mereka dibinasakan
tanpa ampun. keraton Sri Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati yang
dijadikan simbol Pajajaran dibumi hanguskan.
Sebagian penduduk Pakuan yang ada pertalian darah dengan keluarga
keraton, ikut mengungsi dengan satu-satunya raja yang bersedia
meneruskan tahta Pajajaran, yaitu Sang Ragamulya Suryakancana, putra
Prabu Nilakendra. Ia mengungsi ke wilayah barat laut, tepatnya di lereng
Gunung Pulasari Pandeglang, Kampung Kadu Hejo, Kecamatan Menes,
Kabupaten Pandeglang.
Menurut legenda “Kadu Hejo”, di daerah Pulasari (tempat situs
Purbakala) terdapat peninggalan seorang raja tanpa membawa mahkota. Ia
kemudian memerintah sebagai raja pendeta, tetapi akhirnya dihancurkan
oleh Pasukan Banten yang menyerang kerajaan itu.
Ketiadaan pakaian dan perangkat raja dimaksud dapat pula dikaitkan
dengan cerita lain. Dalam kisahnya disebutkan bahwa mahkota dan pakain
kerajaan Pajajaran disimpan di musium Sumedang (Musium Geusan Ulun).
Menurut riwayat mahkota tersebut dibawa oleh Jaya Perkosa dari Pakuan
dan adik-adiknya, yakni Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan,
Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot,
kemudian diserahkan untuk digunakan oleh Geusan Ulun pada saat
pelantikannya. Dengan penggunaan perangkat tersebut maka Geusan Ulun
dianggap syah sebagai pewaris tahta Pajajaran.
Pasca penghancuran Pakuan kemudian Banten mengarahkan serangannya
ke Pulasari, Prabu Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya yang setia
berupaya melawan sekuat tenaga. Namun pada akhirnya Ragamulya
Suryakancana bersama pengikutnya gugur di Pulasari.
Menurut Wangsakerta dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa
III sarga I halaman 219. : Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci
cuklapaksa Wesakhamasa saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala.
(Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka
tahun 1501 Saka” bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul’awal 987 Hijriyah,
atau tanggal 8 Mei 1579 M).
Geusan Ulun Penerus tahta
Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan
kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Ia menetapkan Kutamaya sebagai
ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota.
Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi
(Priangan) kecuali Galuh (Ciamis).
Luas daerah Sumedang Larang pada masa Geusan Ulun dapat diteliti
dari surat Rangga Gempol 3 yang ditujukan kepada Gubernur Jendral Willem
Van Outhorn, yang dibuat pada tanggal 31 Januari 1691. Dalam surat
tersebut ia meminta agar luas wilayah Sumedang dipulihkan sebagai jaman
Geusan Ulun. Yang membawahi 44 penguasa daerah yang terdiri dari 26
Kandaga lante dan 18 umbul (menurut babad hanya 4 buah yang berstatus
kanda lante). Pada waktu itu Rangga Gempol III hanya menguasai 11 dari
Kandage Lante.
Jika dibentangkan dalam peta, daerah kekuasaan Geusan Ulun meliputi
wilayah Kabupaten Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Bandung. Sebelah
timur berbatasan dengan garis Cimanuk – Cilutung dan Sindangkasih
(Cideres – Cilutung), sebelah barat garis Citarum – Cisokan. Memang pada
saat itu telah ada beberapa daerah yang masuk Cirebon, seperti Ciamis
dan Majalengka yang direbut Cirebon dari Pajajaran pada tahun 1528 M,
serta Talaga pada tahun 1530 M.
Sebagaimana diuraikan diatas, Geusan Ulun mendapat dukungan dari
para Veteran Senapati Pajajaran, yakni Jayaperkosa dan adik-adiknya.
Mereka merasa gagal mempertahankan pakuan dan berniat membangun kembali
kejayaan Pajajaran melalui Sumedang Larang. Alasan ini pula yang
menyebabkan mereka menyerakan perangkat dan simbol-simbol raja Pajajaran
ke Sumedang Larang.
Didalam Pustaka Kertabhumi menjelaskan mengenai para senapati tersebut, bahwa :
-
“Sira paniwi dening Pangeran Ghesan Ulun. Rikung sira rumaksa wadyabala, sinangguhan niti kaprabhun mwang salwirnya” (Mereka mengabdi kepada Prabu Geusan Ulun. Di sana mereka membina bala tentara, ditugasi mengatur pemerintahan dan lain-lainnya). Konon kabar para senapati tersebut masih keturunan Sang Bunisora (Sunda Galuh).
Suatu hal yang menarik tentang pelantikan Geusan Ulun, ketika itu
ia masih berumur sangat muda (23 tahun), namun ia disepakati oleh 44
penguasa di tatar Parahyangan untuk menjadi penguasa Parahyangan.
Padahal ayahnya sendiri, yakni Pangeran Santri tidak memiliki kekuasan
yang luas demikian.
Tentunya ada suatu gerakan yang mampu meyakinkan para penguasa
daerah untuk mengabdi kepada Geusan Ulun sebagai penerus tahta
Pajajaran. Konon inilah salah satu keberhasilan Jayaperkosa dan saudara –
saudaranya dalam upayanya mempersatukan puing-puing wilayah Pajajaran.
Disini pula dapat dinilai tentang kebesaran pengaruh Jayaperkosa bersama
adik-adiknya terhadap para penguasa di Parahyangan.
Menurut buku rpmsjb : “Dengan tokoh Jayaperkosa bersama
adik-adiknya sebagai jaminan, para raja daerah Parahyangan dapat
menerima dan merestui tokoh Geusan Ulun menjadi narendra baru pengganti
penguasa Pajajaran yang telah sirna. Faktor Geusan Ulun dan faktor
politik inilah yang mungkin yang telah “menunda” penobatan Geusan Ulun
menjadi penguasa Sumedang Larang sampai setahun lebih sejak kemangkatan
Pangeran Santri”.
Secara politis penobatan Geusan Ulun dapat diartikan sebagai suatu
bentuk memproklamirkan kebebasan Sumedang dan mensejajarkan diri dengan
Kerajaan Banten dan Cirebon. Selain itu menurut rpmsjb dapat pula
disimpulkan adanya pernyataan, bahwa : “Sumedang menjadi ahli waris
serta penerus yang sah dari kekuasaan Pajajaran di Bumi Parahyangan.
Mahkota dan beberapa atribut kerajaan yang dibawa oleh Senapati
Jayaperkosa dari Pakuan dengan sendirinya dijadikan bukti dan alat
legalisasi sama halnya dengan pusaka kebesaran Majapahit menjadi ciri
keabsahan Demak, Pajang, dan kemudian Mataram”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar