NASKAH KUNINGAN: KISAH KI GEDENG TRUSMI
Sebelumnya
dalam naskah ini dikisahkan mengenai perjalanan spiritual sang Anom
bersama gurunya Syekh Mad Kurullah, untuk melihat keadaan di dalam bumi.
Kemudian sang Anom melepaskan lelah di puncak Gunung Jati yang
dinamakan Jabul Muqamat, tempat bertapa lahir bathin. Jalannya
tyembus ke Gunung Sembung, dan kelak tempat tersebut akan dipakai
sebagai pemakaman. Dua buah gunung menjadi satu, hubungannya satu,
gunung Sembung – gunung Jati.
Kisah Nyi Rara Konda anak Pangeran Cakrabuana.
Ketika sang Anom tengah duduk tafakur di Jabul Muqamat,
di bawah pohon Bambu Gading, dia melihat ada seorang gadis berlalu di
kaki bukit, yaitu Nyi Rara Konda, anaknya Nyi Gedeng Jati. Melihat gadis
itu hati sang Anom tergetar tiada hentinya, sebagaimana halnya jejaka
melihat gadis, hatinya merasa berbahagia sekali, sang Anom kemudian
meraga sukma.
Rara
Konda pulang dan menangis tersedu-sedu di hadapan ibundanya, dia
merajuk tak bisa dibujuk lagi menginginkan rebung (anak pohon bambu)
mangsa katiga. Nyi Gedeng Jati sangat masygul hatinya melihat putrinya
resah seperti itu. Maka dia pun pergi mencari rebung hingga ke puncak
bukit.
Ketika
itu, sang Anom telah meninggalkan tempat itu, dia turun dan kembali
menerobos masuk ke dalam bumi. Dia pergi ke arah barat pantai, menerobos
ke arah barat ke sebelah utaranya jalan yang menuju ke bawah Gunung
Surandil di negara Pasai, ke Madinah terus ke Gunung Baitul Kadas,
menerobos lagi ke atas ke arah barat laut ke Pulau Majeti tempat
makamnya Nabi Sulaiman. Setelah berkelana di dalam bumi, Sang Anom naik
ke atas dan muncul kembali di Gunung Gundul.
Anak keturunan Pangeran Cakrabuana dari Nyi Gedeng Jati
(pupuh XII.07 – XII.24)
Kita
tinggalkan dahulu sang Anom yang sedang melakukan perjalanan,
dikisahkan kembali mengenai Rara Konda. Sang ibu akhirnya memperoleh
anak pohon bambu (rebung) Gading dari puncak bukit yang besarnya hanya
sekepal. Kemudian rebung itu diberikan kepada putrinya. Nyi Rara
Konda sangat gembira dan tidak menunggu dimasak lagi, didorong oleh
keinginannya yang demikian besar dia segera menyantapnya mentah-mentah.
Nyi Rara Konda
Setelah
makan rebung tersebut, konon Rara Konda menjadi hamil tanpa bersuami,
dan melahirkan seorang anak laki-laki. Nyi Gedeng Jati sangat berbahagia
karena memperoleh seorang cucu laki-laki. Mengenai peristiwa rebung
tunggal ini, semua orang pernah mendengarnya. Anak itu lah yang kelak
bernama Gedeng Trusmi , dan kelak dia akan menggugat waris pusaka dari Wali. Permintaan itu ditolak dengan jawaban ‘ora olih sing konone’ (tidak dapat dari sana-nya), sehingga kemudian dikenal ada peribahasa ‘ora olih sing Konda’, ya dari situlah asal mulanya. Gedeng Trusmi kenyataannya bukan anak dari perkawinan, itulah yang disebut ‘yuga’,
bukan anak sebenarnya, sehingga dia tidak memperoleh pusaka. Tapi itu
adalah masalah duniawi, karena tak ada yang menyamai dengan derajat yang
diwarisinya, yaitu kewaspadaan nya dalam hal ilmu pengetahuan.
CATATAN:
Versi yang sedikit berbeda dikisahkan dalam naskah “Carios Ki Gedeng Trusmi”, sebagai berikut:
Tersebutlah
Ki Gedeng Jati yang mempunyai seorang anak gadis. Ketika gadis itu
lewat ke Kedaleman, kebetulan di situ, di Gunung Jati Kulon, Sinuhun
sedang duduk – duduk di bawah rindangnya awi gading (bambu gading).
Ketika melihat gadis cantik itu, teteslah titisnya dan jatuh di atas
rebung.
Pada
suatu hari gadis itu berkata kepada ayahnya bahwa ia ingin sekali makan
rebung bambu gading. Ki Gedeng Jati pun pergilah memintanya ke
Kadaleman. Tidak lama kemudian gadis itu hamil dan setelah sampai
waktunya, lahirlah seorang bayi laki-laki yang diberi nama Bungcikal.
Tidak dikisahkan masa kecilnya anak itu, tetapi setelah menginjak dewasa
ia datang menghadap ke Kedaleman untuk meminta warisan. Pada waktu itu
yang menjadi sultan adalah Panembahan Cerbon I, karena Sinuhun Gunung
Jati sudah meninggal.
Sunan
Kalijaga yang kebetulan sedang berada di situ menolak permintaan
Bungcikal dengan mengatakan. “He Bungcikal sia teu boga waris sabab lain
putra (He Bungcikal kamu tidak punya waris sebab bukan anak)”, dan
kemudian memerintahkan membersihkan atau membuka leuweung kulon (hutan barat). Bungcikal
menebas semua pepohonan yang ada di hutan itu sehingga berubah menjadi
tegalan gundul. Setelah terlihat demikian keadaannya, Bungcikal
diperintahkan lagi untuk mengolahnya. Maka ditanamilah lagi tegalan yang
telah gundul itu dengan pohon buah-buahan. Lama kelamaan daerah yang
dahulu hutan belantara itu kini berubah menjadi dataran yang amat subur
dan menjadi pemukiman baru yang diberi nama dayeuh Trusmi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar