Hanya segelintir orang bumiputra yang bisa menikmati pendidikan ala barat di awal politk etis. Hal inilah yang membuat Husein Djajadiningrat bisa menjadi Doktor Indologi Pribumi Pertama
Max Havelaar baru saja meneriakan kekejaman tanam paksa di Jawa. Orang-orang dinegeri Belanda-pun tersentak, termasuk kaum liberal Belanda, ramai-ramai mengutuki sistem buatan van den Bosch itu. Muncullah van Deventer, sebuah perubahan tingkat elit feodal tanah jajahan mulai bergulir, sekolah model barat mulai dibuka untuk bumiputra kelas atas. Sekolah yang akan membawa mereka ke barat.
Tersebutlah
seorang bupati Banten, kemajuan barat ingin pula diraihnya lewat
anak-anaknya. Bupati itu tidak lewatkan kesempatan dari pemerintah
kolonial itu. Sepertihalnya bupati Jepara diakhir abad XIX, ayah Kartini
dan Sosrokartono, menyekolahkannya anak-anaknya ke sekolah model
Belanda. Kedudukan bupati adalah tiket bagi anak-anak untuk dapat
sekolah dasar di Europe Lager School selama tujuh tahun, lalu melanjutkan selama tiga atau lima tahun di sekolah menengah, Hogare Burger School (HBS).
Hoesein Djajadiningrat salah satu anak bupati itu. Terlahir di Banten pada 8 Desember 1886. Nama
lengkapnya adalah Pangeran Aria Husein Djajadiningrat. Lahir di Kramat
Waru, sebuah distrik diantara Serang dengan Cilegon Banten. Beruntung
ayahnya berpandangan maju hingga bisa merasalkan pendidikan modern. Husein salah satu anak bupati Banten yang mengecap pendidikan barat sampai tingkat Hogare Burger Schoool—sekolah menengah lima tahun dan bila lulus bisa meneruskan ke universitas. Model
sekolah sekolah yang hanya bisa dinikamti segelintir anak pembesar
pribumi sampai awal abad XX. Sekolah kalangan terbatas itu juga
dinikmati saudara-saudara Husein, Ahmad dan Hasan.
Kakak
Husein, Pangeran Ahmad Djajadiningrat kemudian menjadi seorang bupati
di Serang dan Hasan menjadi tokoh Sarekat Islam berpengaruh di Jawa
Barat diawal pergerakan nasional—sebelum kahirnya meninggal di tahun
1920. Ahmad dan Husein menjadi murid Snouck Hurgronje—sang etisi paling
berpengaruh Hindia Belanda diawal abad XX. Setidaknya ada enam
orang—termasuk Husein—anak bupati Serang yang lulus HBS. Diantara semua
saudaranya itu, Husein-lah yang berhasil mencapai tingkat doktor di
Leiden, Belanda.
Keluarga
ini berusaha menyekolahkan anaknya di sekolah Belanda yang mayoritas
siswanya adalah orang-orang Belanda. Kakak Husein, Ahmad bahkan pernah
menggunakan nama Willem van Banten agar bisa memasuki HBS, ketika
kesempatan orang pribumi untuk bersekolah disitu belum terbuka dengan
baik.
Indolog Pribumi
Sekitar
pergantian abad XIX ke XX, Indonesia, kala itu masih bernama Hindia
Belanda masih berada dalam kekuasaan kolonial Belanda. Segala sesuatu di
tanah ini nyaris hanya diketahui oleh orang-orang non pribumi.
Akademisi Belanda berdatangan, dalam jumlah kecil, ke Hindia Belanda.
Mereka menggali dan mempelajari banyak hal mengenai tanah Hindia.
Mereka, akademisi barat itu, meramu apa yang mereka pelajari dari tanah
Hindia menjadi apa yang disebut Indologi, sebuah disiplin ilmu wajib
bagi calon pegawai kolonial kulit putih yang ingin jadi Meneer di tanah Hindia.
Tercatat nama besar Snouck Hurgronje diantara deretan akademisi Belanda itu. Orang yang berjasa
besar bagi perkembangan kolonialisasi Belanda di Hindia. Jiwa akademisi
Snouck ikut pula menghancurkan eksistensi sebagai sebuah negeri merdeka
, Aceh yang terus bergolak. Snouck adalah penasehat pemerintah kolonial
untuk urusan pribumi Hindia. Snouck cukup akrab dengan aristokrat lokal
macam Bupati Djajadiningrat. Semua anak-anak bupati mengenalnya,
apalagi Husein.
Atas
anjuran Snouck, selulusnya dari HBS Husein berangkat ke Belanda untuk
melanjutkan pelajarannya. Awalnya belajar bahasa latin dan Yunani Kuno
antara tahun 1904-1905 di sebuah Gymnasium kota Leiden, lalu ikut ujian
masuk Universitas Leiden. Husein lulus diterima dan menjadi mahasiswa calon sarjana pada jurusan bahasa dan sastra kepulauan Indonesia. Husein tidak berhenti pada tingkatan sarjana namun terus sampai tingkat
Doktor. Husein merasa tertarik dengan ilmu sejarah, dia berniat melihat
tanah Hindia, yang juga tanah kelahirannya dengan kacamata historis.
Minat Husein pada Sejarah Aceh berkembanag ketika ikut serta dalam lomba menulis tentang
kesultanan Aceh. Kesultanan yang pernah ikut dihajar oleh Snouck
Hurgronje lewat nasehatnya pada pemerintah kolonial. Sebelum
merampungkan disertasinya, Hoesein pernah mengikuti sayembara menulis
pada tahun 1908 di Universitas Leiden. Tulisannya berjudul Critisch Overzicht van de Maleische Werken Vervatte Gegevens van het Sultanaat van Aceh, dimuat di BKI deel 65 dan terbit tahun 1911.
Sebelum
ikut menulis itu, Husein terlebih dahulu meneliti naskah-naskah Melayu.
Usaha yang tidak sia-sia, setidaknya bagi bumiputra macam Husein budaya
Melayu tidak jauh dari dirinya sebagai orang Banten penganut Islam.
Husein akhirnya menang.
Atas kemenangan itu Husein mendapatkan hadiah Medali. Ternyata orang Asia tidaklah terbelakang dan Husein bukanlah Sickman Asia.
Setelah kemenangan itu Husein terjun semakin dalam menggali sejarah dan
kebudayaan Hindia, khususnya Aceh selama beberapa tahun sebelum beralih
pada daerah lainnya.
Sejak
Mei 1914 sampai April 1915, Husein mulai mempelajari lebih dalam bahasa
Aceh untuk membuat kamus bahasa Aceh-Belanda. Hasil kerjanya berupa Atjeh-Nederlandsche Wordenboek. Kamus
itu lalu diterbitkan tahun 1934. Kamus ini dinilai sebagai kamus bahasa
daerah terlengkap selama beberapa dekade. Tida heran jika Snouck
Hurgronje kagum pada Husein. Bahkan dianggap memiliki reputasinya sama
hebatnya sebagai Indolog dengan sang guru.
Kehidupan
mahasiswa Husein ditutup dengan disertasinya mengenai sejarah Banten,
tanah tempat dia lahir, tanah dimana keluarganya dijunjung. Husein
sendiri, dalam sejarah pendidikan modern Indonesia, adalah orang pertama
yang mempertahankan disertasi-nya di Universitas Leiden, tahun 1913,
dengan judul: Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten (Pandangan Kritis Tentang Sejarah Banten). Karena disertasinya itu, Hoesein di anggap sebagai pengganti Brandes, orang Belanda yang ahli keperubukalaan Jawa.
Prof.
H. Kern, salah seorang kolega Snouck Hurgronje, sangat memuji disertasi
Husein itu. Terlihat dalam resensinya pada majalah De Gids di
negeri Belanda. Kepada Husein, Kern sangat berharap agar ada lagi
karya-karya Husein Djajadingrat yang lainnya setelah disertasinya itu.
Disertasi
itu lalu diterbitkan oleh Jon Enschede tahun 1913 di Haarlem. Pada
halaman 201-212, Hoesein mengatakan bahwa bagi orang Jawa ramalan atau
mimpi menandakan sesuatu atau memberikan suatu kesan yang mendalam. Bertindak sebagai promoter Hoesein, adalah Snouck Horgronje.
Jadilah
Husein seorang Indolog tingkat dokter pertama bagi orang pribumi. Tidak
hanya doktor Indologi pertama, tapi juga Doktor pribumi pertama lulusan
Universitas Leiden yang menyimpan banyak bahan mengenai Indonesia itu.
Karya tulis Husein termasuk disertasinya adalah sumbangan orang pribumi
mengenai kajian tentang Hindia yang lebih didominasi oleh orang-orang
Belanda. Husein telah mensejajarkan dirinya dengan mereka, orang-orang
Belanda orientalis itu.
Karya-karya Husein sebagai Indolog antara lain; De Magische Achtergrond van de Maleische Pantoen yang
merupakan pidato ilmiah pada tanggal 28 Oktober 1933, saat acara ulang
tahun Recht Hoge School ke 9. karangan Husein tentang Islam adalah De Mohammedaansche Wet en het Geetesleven der Indonesische Mohammedaansche Wet en het Geetesleven der Indonesische Mohammedaanen, juga pidato ilmiah Husein. Pada perguruan tinggi yang sama pada tahun 1925, ketika perguruan tinggi itu baru setahun. Semuanya dihasilkan oleh Husein ketika dia sudah berada di Indonesia.
Ada sisi baik dari suksesnya studi Husein mengenai Indologi di Leiden dengan predikat camme laude.
Pemuda Indonesia ternyata bisa meraih prestasi akademik. Gagasan untuk
mendidik kader pribumi, macam Husein Djajadiningrat, sekelompok kader
yang akan membantu pemerintah kolonial menjalankan pemerintahan—dalam
posisi terbatas—di Hindia Belanda. Gagasan itu kemudian diterima dan
dijalankan oleh pemerintah kolonial, walau hanya sampai tahun 1931 saja.
Kantoor voor Inlandsche Zaken
Husein
akhirnya kembali ke Indonesia, setelah lebih dari sepuluh tahun di
negeri Belanda belajar tentang tanahnya, Hindia, tanah yang asing bagi
anak-anaknya. Mungkin tidak bagi Husein Djajadiningrat. Selama di
Indonesia , Husein tetap bergelut di dunia ilmu pengetahuan. Setamat
dari Leiden, awalnya Husein bekerja sebagai peneliti bahasa-bahasa di
Indonesia pada Kantoor voor Inlandsche Zaken (kantor Urusan Bumiputra) sampai tahun 1918. Sejak 19 Mei 1920 sampai dengan tahun 1925, Husein bekerja sebagai Adjunct Adviseur voor Inlandsche Zaken (Ajun/wakil penasehat urusan pribumi Hindia Belanda) pada kantor yang sama.
Kantor
tempat Husein bekerja, Kantoor voor Inlandsche Zaken, berdiri sejak
tahun 1899 oleh Snouck Hurgronje, pelindung Husein juga. Kantor ini
diisi oleh banyak orang antara lain ahli agama Islam, bahasa sastra
maupun bahasa. Beberapa orang Belanda terkemuka yang pernah duduk
dikator ini adalah G.A.J. Hazeu, D.A. Rinkes, R.A. Kern, E. Gobee, G.F.
Pijper juga Charles van Der Plas.
Setelah Snouck Hurgronje kembali ke Belanda tahun 1906, ditunjuklah Hazeu
sebagai pengganti untuk mengurusi permasalahan yang dihadapi pemerintah
kolonial terhadap orang-orang pribumi. Hazeu dan beberapa orang lainnya
adalah orang yang peduli dan sedang mengawasi pendidikan beberapa anak
bumiputra, termasuk pada Alimin—salah satu anak angkat Hazeu yang
belakangan menjadi tokoh PKI terkemuka di Indonesia.
Kegiatan
Husein selain bekerja di Kantoor voor Inlandsche Zaken setelah
kepulangannya dari Belanda juga bergerak dibidang jurnalistik dan
pendidikan mengenai kebudayaan Jawa. Tahun 1919 Husein mendirikan Java Institut dan menerbitkan majalah bulanan Djawa ditahun
1921. Husein menjadi redakturnya bersama J. Kats, Sam Koperberg, R.
Ngabehi Poerbatjaraka dan J.W. Teiler. Tahun 1924, Husein diangkat
sebagai guru besar di Recht Hoge School—Sekolah Tinggi Hukum—di Jakarta untuk mata kuliah bahasa Melayu dan hukum Islam. Setahun setelah menjadi pegawai di kantor itu (1925), Husein tidak lagi menjabat sebagai Adjunct Adviseur voor Inlandsche Zaken.
Karir Husein di Kantoor voor Inlandsche Zaken
terbilang baik, ada saja orang-orang Belanda yang selalu menaunginya,
walau Snouck sudah pulang ke Belanda, sebut saja beberapa orang
disekitar Kern—yang menjelang jabatannya sebagai kepala kantor itu pada
tahun 1926 mengajukan Husein sebagai Adviseur voor Inlandsche Zaken. Orang-orang itu merasa, Kantoor voor Inlandsche Zaken—yang
mengurusi urusan orang pribumi yang mayoritas Muslim—tidak pernah
dipimpin oleh orang-orang Muslim. Menurut mereka, kantor itu haruslah
dipimpin oleh orang Muslim uyang tentunya mengerti banyak mengenai
Islam.
Kantoor voor Inlandsche Zaken
pada dua dasawarsa pertama memainkan peranan yang cukup baik di
Hindia
Belanda. Dua dasawarsa itulah masa keemasan kantor itu. Setelahnya,
kantor itu tidak lebih daripada sebagai tempat pengaduan saja. Parahnya,
pegawai yang ada tidak memiliki keahlian untuk menanggapi pengaduan
tersebut. Disisi lain Bousquet—orang diluar Kantoor voor Inlandsche Zaken—mengkritik bahwa Kantoor voor Inlandsche Zaken terlalu menitikberatkan pada masalah Islam semata. Karenanya, dalam sidang Volksraad, para adviseur-nya bahkan juga Kantoor voor Inlandsche Zaken sempat menjadi pembicaraan dalam sidang dewan rakyat yang nyaris tidak merakyat itu.
Dimata orang-orang Pribumi, Kantoor voor Inlandsche Zaken sering dianggap sebagai kantor mata-mata. Tuduhan itu berlebihan, seolah memposisikan Kantoor voor Inlandsche Zaken
tidak ubahnya dengan Politieke Intellingen Dienst (PID)—polisi politik
Belanda yang rajin mengawasi ruang gerak kaum pergerakan. Alasan tuduhan
itu dikarenakan orang-orang dari Kantoor voor Inlandsche Zaken kerap
hadir dalam pertemuan yang dihadiri orang-orang pergerakan, seperti
hanya PID. Ditengah kritik dari berbagai pihak kantor ini mampu bertahan
sejak dipimpin oleh Snouck Hurgronje sampai menyerahnya Hindia Belanda
pada Tentara Pendudukan Jepang.
Husein Djajadiningrat Dengan Kaum Pergerakan
Sayang,
Husein tidak bertahan lama di kantor itu. Dirinya hanya bisa menjadi
wakil saja tanpa bisa menjadi penasehat pemerintah kolonial di Hindia
Belanda. Entah apa yang akan dilakukan oleh Husein jika dirinya menjadi
penasehat. Apapun alasannya, pemerintah kolonial tidak menginginkan
orang pribumi masuk terlalu dalam pada jajaran birokrasinya, kendati
orang pribumi yang bersangkutan adalah orang kompeten mengenai masalah
yang terjadi di tanah Hindia Belanda. Dimanapun kaum kolonialis sejati
takut perubahan
Setelah
menjadi tenaga pengajar yang cukup prestisius di RHS, Husein pernah
menjabat ‘Ketua Panitia Perbaikan Peradilan Agama” sejak 1934. Hasil
kerja Husein dan tim-nya adalah didirikannya ‘Mahkamah Tinggi Islam’
pada tahun 1937. Figur Husein kahirnya makin bersinar pada tahun 1935, Husein diangkat menjadi anggota Raad van Nederlandsche Indie (Dewan
Hindia). Lima tahun kemudian, 1940, diangkat sebagai direktur
Departemen Pengajaran dan Ibadah. Tahun 1941 sampai dengan 1946, Husein
diangkat lagi menjadi Raad van Nederlandsche Indie.. Tentunya jabatan itu hanya dipangku sampai 8 Maret 1942 karena Hindia Belanda menyerah tanpa syarat Jepang.
Husein
selalu berusaha memperhatikan perkembangan pendidikan di Hindia
Belanda. Dia pernah melaporkan diantara putra raja hanya Pengeran
Hadiwidjojo-lah yang menaruh minat pada pengetahuan mutakhir dunia yang
sedang berkembang.Pemuda pelajar dari Jong java pernah datang pada Husein, yang sudah menjadi doktor dalam bidang sastra timur dan Indologi, untuk meminta saran sebuah vandel. Posisinya sebagai
direktur
Departemen Pengajaran dan Ibadah diakhir kolonialisasi Hindia
Belanda, memberinya kesempatan lebih untuk itu, kendati dalam waktu
singkat dan hasil yang tidak terlalu signifikan.
Husein digolongkan sebagai intelektual terkemuka diakhir kolonialisasi Belanda di Indonesia.
bersama Thamrin dan Koesoemo Oetojo, Husein membuat rencana tentang
penggunaan kredit dari Bank-bank Jepang untuk membangun perusahaan
dagang di Jepang bagi Importir dari Indonesia.
Peran Husein Djajadingrat dalam pergerakan nyaris tidak terlihat,
termasuk dalam kaum koperatif sendiri. Posisinya sebagai birokrat
sebenarnya pernah menyelamtkan kaum pergerakan, seperti perlindungannya
pada Douwes Dekker yang selalu dicurigai berskongkol dengan Jepang oleh
aparat hukum kolonial.
Douwes
Dekker pernah diminta menyampaikan pada Husein sebagai direktur
Pendidikan untuk mengadakan survey Ekonomi untuk kepentingan Jepang
diakhir kekuasaan Belanda.Rupanya Dekker selamt karena Husein Djajadiningrat-lah yang memberikan izin survey itu.
Husein hadir saat Thamrin dimakamkan—setelah kematian Thamrin sebagai
tahanan rumah saat Thamrin masih menjadi anggota Volksraad. Ini bukti
bahwa Husein memiliki keterkaitan dengan pergerakan nasional, terlepas
dari besar kecilnya peran dia dalam pergerakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar