Dalam
kitab Ramayana, alkisah ada seorang raja yang mengundurkan diri dan
diserahkan pada anaknya. Raja tersebut yang menjadi Begawan Wisrawa,
menyerahkan pada putranya Prabu Danareja di kerajaan Lokapala.
Di negeri yang lain, Alengka, diperintah oleh Prabu Sumali yang dibantu oleh adiknya Arya Jambumangli, dan puterinya yang sangat cantik sedang diperebutkan oleh para raja. Namanya Dewi Sukesih.
Di negeri yang lain, Alengka, diperintah oleh Prabu Sumali yang dibantu oleh adiknya Arya Jambumangli, dan puterinya yang sangat cantik sedang diperebutkan oleh para raja. Namanya Dewi Sukesih.
Setiap raja yang melamar Dewi Sukesih ini di bunuh (harus berhadapan
dalam perang tanding) pamannya, Arya Jambumangli. Sehingga tak ada lagi
raja-raja yang mampu mengalahkan pamanda Dewi Sukesih. Satu-satunya raja
yang masih ada ialah putera Begawan Wisrawa, Prabu Danareja. Namun raja
ini kalah kuat ilmunya, kalah kuat oleh pamanda Dewi Sukesih. Oleh
karenanya Begawan Wisrawa turun dari pertapaan. ”Ada apakah anakku,
dalam tapaku, aku melihat kegelapan. Mengapa negeri ini, yang kita
cintai, dalam kesengsaraan? Air bening untuk hidup rakyat tidak lagi
ramah. Seluruh air kembali lagi pada sumbernya di bawah samudera.
Bunga-bunga layu sebelum berkembang, buah yang ada pun tak sempat masak.
Diapakan negeri kita ini, wahai anakku?”
”Wahai
ayahanda, seluruh kehidupanku dirampas oleh cinta Dewi Sukesih, dan aku
tak mampu memikirkan bangsa ini, negeri ini. Yang kupikirkan adalah
kecantikan Dewi Sukesih”, berkata Prabu Danareja.
”Wahai
anakku, Sang Dewa marah padamu. Karena engkau telah mematikan kesuburan
negara ini dengan asmara, wahai anakku, jangan jadikan asmara ke dalam
pekerjaan yang besar. Karena asmara adalah dunia kecil yang mampu menghancurkan dunia yang besar”, kata Begawan Wisrawa.
”Wahai
anakku, jangan engkau melihat kebenaran-kebenaran yang ada di muka bumi
ini, melalui perasaan asmaramu. Keluhuran nilai akan ternoda, tak
bermakna, manakala diteropong oleh perasaan asmaramu. Namun demikian,
aku ayahmu pernah merasakan perasaan asmara. Biar aku yang melamarkan,
menyunting Dewi Sukesih. Ayahnya adalah sahabatku. Cintaku untukmu wahai
anakku, biarlah aku, ayahmu mewakili datang ke kerajaan Alengka.”
Sesampainya
Begawan Wisrawa di kerajaan Alengka, kebahagiaan batin dari raja
Alengka, Prabu Sumali, menyatu dalam pelukan mesra dengan sahabatnya.
”Wahai sahabatku Prabu Sumali, ada apakah? Kesenduan di matamu tak mampu engkau sembunyikan”, bertanya Begawan Wisrawa.
”Wahai sahabatku Prabu Sumali, ada apakah? Kesenduan di matamu tak mampu engkau sembunyikan”, bertanya Begawan Wisrawa.
”Wahai sahabatku Begawan Wisrawa, gara-gara anakku, darah para raja harus mengalir di negeri yang kucintai ini, Alengka.”
”Karena itu aku datang untuk menyunting puterimu, untuk anakku.”
Maka dipanggillah Dewi Sukesih oleh ayahandanya, dan diceritakan akan disunting oleh seorang raja dari Lokapala.
Maka dipanggillah Dewi Sukesih oleh ayahandanya, dan diceritakan akan disunting oleh seorang raja dari Lokapala.
”Wahai
ayahku, aku mau dikiwini oleh seorang raja atau oleh orang miskin
sekalipun. Asal mampu memedarkan, menerangkan Sastra Jendra Hayuningrat
Pangruwating Diyu.”
”Wahai
puteri sahabatku, calon suamimu, anakku, takkan mampu. Dan siapapun
takkan mampu menerangkan Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu,
kecuali aku. Harus kutebus makna ini dengan meninggalkan gemerlap
kekayaan dan kekuasaan sebagai raja. Namun demikian, biarlah, untuk
anakku dan untuk aku, akan aku pedar Sastra Jendra tersebut”, kata
Begawan Wisrawa kepada putri Prabu Sumali sahabatnya.
Berkata Begawan Wisrawa pula pada sahabatnya, Prabu Sumali,
”Wahai sahabatku, akan aku bawa puterimu, siapkan tempat, sebuah taman sunyi yang hanya ada bunga Kenanga.”
”Wahai sahabatku, akan aku bawa puterimu, siapkan tempat, sebuah taman sunyi yang hanya ada bunga Kenanga.”
Maka
Begawan Wisrawa membawa Dewi Sukesih. Manakala masuk ke taman yang
indah, Begawan Wisrawa memandang Dewi Sukesih dengan kecintaan seorang
ayah pada anaknya.
”Kesinilah
putriku.” Saat itu pula Dewi Sukesih merasa berdiri di bumi ini, dan
dunia ini hanya ada di telapak kaki Dewi Sukesih dan Begawan Wisrawa,
serta mampu menggapai bulan yang ada, tidak hanya satu, tapi tiga.
”Wahai
Dewi Sukesih, engkau mampu menggenggam bulan. Keanggunan dan kemolekan
bulan sejak dulu selalu menghina dan memperkecil makna duniawi. Namun
dihadapanmu wahai putriku, sang bulan meronta. Cahayanya engkau ambil
alih ke dalam jiwamu.”
Saat
itu pula, Dewi Sukesih merasa retak hatinya. Sakit yang tiada sebab,
seperti benci pada seseorang tapi tak ada orangnya. Resah oleh sesuatu
tapi tak ada kesalahan, kesal akan sesuatu tapi tidak tahu sebabnya.
Emosi bergemuruh dalam diri Dewi Sukesih!
”Wahai
putriku, jangan engkau membiarkan gejolak emosimu menjadi tuan di dalam
dirimu. Bulan yang angkuh tak berdaya, karena engkau ambil alih
kemolekannya, dan energinya kembalikan pada bulan. Wahai puteriku,
engkau tak mampu menerima kemolekan bulan, karena sang rembulan,
cahayanya menjadikan bunga-bunga berkembang, menjadikan
binatang-binatang memadu cinta, maka berkembanglah keturunan kelestarian
alam ini oleh cahaya kekuatan rembulan. Jangan kau ambil alih kedalam
jiwamu. Engkau adalah yang berdarah dan berdaging. Manakala kau
menyimpan cahaya rembulan di dalam jiwamu, berarti engkau merampas hak
hidup bagi hewan dan tumbuh-tumbuhan. Itulah sebuah permulaan dari
Sastra Jendra, wahai puteriku.”
Maka
Dewi Sukesih dengan kekuatan bathinnya, mengusir luka didalam
bathinnya, kesakitan dalam perasaannya. Bulan yang redup, terampas
cahayanya oleh Dewi Sukesih, kembali bersinar terang.
”Wahai
Puteriku”, berkata Begawan Wisrawa, ”Sastra Jendra adalah bukan
kata-kata, Sastra Jendra bukan kalimat, Sastra Jendra adalah ’sesuatu’
yang mempunyai wadah, tapi ada di alam dunia ini. Ada di bumi ini, ada
dalam cakrawala dan ada dimanapun. Tapi Sastra Jendra tak mampu
tertampung karena wadahnya belum ada.”
Manakala
Begawan Wisrawa mengakhiri kata-kata ini, mengangkasalah keduanya, ke
suatu tempat yang sangat jauh. Sampailah ke suatu tempat yang sunyi,
mencekam!
”Wahai
Puteriku, jangan menjerit, karena disini tiada siapapun. Tiada orang
yang bisa dipanggil, tiada apa-apa tempat berpijak. Tidak ada sesuatupun
permasalahan.”
”Wahai
puteriku, disini kita tidak memiliki dan disini kita tidak dimiliki.
Dan engkaupun disini tidak lagi memiliki dirimu sendiri. Dirimu yang
berdarah dan berdaging, dirimu yang berjiwa dan berperasaan, adalah
ketiadaan.” Demikian sang Begawan bertutur.
”Kita
dalam ketiadaan, rasakanlah anakku, manakala engkau kehilangan rasa
memiliki, termasuk dirimu sendiri. Kita dalam kematian. Kematian adalah
melepasnya rasa memiliki. Dibalik kematian justru ada kehidupan yang
sejati. Kehidupan yang tidak dapat lagi dialas oleh definisi, kehidupan
yang tidak mulai dari awal dan tidak berakhir dari satu batasan. Itulah
Jatining Hurip.”
”Wahai
anakku, kematian adalah sebenarnya sebuah proses kehidupan yang lebih
luas dari proses kehidupan sebelumnya, kita berada dalam kehidupan yang
sejati. Tenang dan tentram, karena merasa tidak dimiliki dan tidak
memiliki”, demikian sang Begawan.
”Wahai
Puteriku, manakala engkau merasa memiliki, engkau akan menggugat pada
yang engkau miliki. Dan merasa engkau dimiliki, engkaupun akan digugat
oleh mereka yang merasa memiliki dirimu. Kini kita merdeka, kemerdekaan
bathin dan perasaan yang tiada batas.”
”Wahai Begawan, dimanakah dewa-dewa?”
”Di
sini tidak ada dewa, wahai Puteriku. Dewa pun tiada, hanya kita.
Manakala engkau ingat pada dewa, berarti kita masih ’merasa’ ingin
memiliki. Dewa pun tidak ada, hanya kita berdua.”
Maka
Dewi Sukesih merasa tenang dan tenteram. Ketenteraman yang sangat
tinggi dan indah, kesejukan bathin yang tiada tara. Maka mereka masuk
lebih jauh lagi.
”Mari kita masuk lebih jauh ke angkasa ketentraman.”
”Kita akan kemana? Bukankah kita sudah sampai ke alam ketenteraman, wahai Begawan”, tanya Dewi Sukesih”.
”Belum, diatas ketenteraman ada ketenangan, diatas ketenangan ada kemegahan kesejukan. Itu tidak terbatas, wahai Puteriku.”
”Dimanakah puncaknya, wahai Begawan?”
”Puncaknya, ada didalam cinta. Kita menuju cinta, wahai Dewi Sukesih.”
Maka sampailah ke suatu perbatasan. Alam cinta dimasuki.”
”Anakku, kita masuk ke Sastra Jendra. Tiada alam diciptakan oleh Illahi, kalau bukan karena cinta.
Manusia dan hewan tidak mungkin ada tanpa cinta. Alam raya takkan
tercipta tanpa cinta. Kita masuk, wahai anakku ke dalam cinta. Itulah
Sastra Jendra.”
Masuklah
mereka ke alam cinta. [Dalam Islam, masuk ke alam Ar-Rohman]. Masuklah
Dewi Sukesih ke alam cinta. Maka jiwa bukan lagi terbatas oleh rasa
tenteram, dibatasi oleh rasa tenang saja. Tetapi jiwanya tiada.
Ketenteraman melampaui Kebahagiaan. Tiada lagi dikatakan bahagia, tiada
lagi dikatakan nikmat, tiada lagi dikatakan enak. Diatas segalanya.
Maka
gelombang cinta itu menyibakkan rambut Dewi Sukesih yang berkonde.
Rambut terurai, bergelombang begitu indah terhempas cinta. Cinta, bisa
dirasakan, tapi tak bisa dilihat. Cinta, bisa dinikmati tidak melalui
kulit dan daging. Karena saat itu, Dewi Sukesih tidak lagi memiliki
dirinya sendiri. Cinta yang sesungguhnya, bisa diraba oleh sesuatu,
manakala manusia kehilangan eksis fisiknya, eksis fikirannya dan
eksisnya. Maka di alam itu, mengalirlah sungai yang bening. Sungai tak
bernama sebagaimana sungai Eufrat, sungai Nil ataupun sungai Ciliwung.
Namun sungai itu bening, sungai mengalir membawa energi cinta, kasih
sayang.
”Wahai
Puteriku, lihatlah sungai. Waktu tidak lagi bergerak, tapi waktu
bergerak dibawa oleh kita. Seperti sungai yang melepas air-airnya, dia
tetap diam. Waktu harus kita gerakkan, bukan kita yang digerakkan oleh
waktu, wahai anakku. Walaupun sungai itu diam, tapi selalu baru.
Kehidupan, wahai anakku, harus tetap baru. Usia menguasai kita, tapi
kita akan tetap baru, jiwa kita dan perasaan kita. Kita tidak boleh
harus tua oleh waktu, kita harus tetap muda, walau kita dirongrong oleh
waktu. Kekuatan cinta tidak lagi termakan oleh usia. Tua dan muda, gagal
menggoyangkan kemurnian cinta itu sendiri.” Demikian Begawan berkata
pada Dewi Sukesih.
”Namun
demikian sungai menurun, tidak pernah menanjak, wahai anakku. Lihatlah
kehidupan. Kita jangan cari yang menanjak. Kita harus seperti sungai
yang mengalir tanpa beban. Berbelok-belok dihimpit oleh gunung. Biasa,
kehidupan harus terhimpit namun sekecil apapun himpitan gunung, sungai
tetap mengalir, walaupun melalui celah-celah yang sempit.” lman tetap mengalir walau himpitan persoalan hidup seperti gunung yang menggencet.
”Wahai
puteriku, jangan kalah, ngalirlah tetap. Kehidupan tetap mengalir.”
Maka masuklah ke alam yang baru, lebih tinggi lagi. Di sana mereka tidak
melihat masa lalu. Masa lalu tidak ada!
”Wahai Begawan, dimanakah aku waktu dilahirkan? Aku waktu remaja, saat bermanja pada Ayah dan Ibu?”
”Wahai
Puteriku, masa lalumu tidak ada. Di sini tidak ada masa lalu, disini
tidak ada bedanya. Masa lalu adalah kehidupan dunia. Di sini tidak ada
masa lalu.”
”Wahai Begawan, manakah masa depanku?”
”Di
sini tidak ada masa depan. Masa depan adalah kehidupan dunia, karena
manusia dunia dirancang untuk bercita-cita, melihat masa depan. Dibangun
oleh keinginan maka melihat masa depan, dibentuk oleh rencana kerja. Di
sini Puteriku, tidak ada masa depan. Kita tidak ada lagi rencana
keinginan, apa dan bagaimana. Di sini adalah keberadaan yang
sesungguhnya. Bumi adalah bayang-bayang kita dalam kehidupan. Itulah
Puteriku”, kata Begawan Wisrawa.
“Kalau
demikian, wahai Begawan, apakah ’kerinduan’? Sedangkan aku merindukan
masa depan yang lebih baik. Masa depan adalah kerinduan, dimanakah
kerinduan. Ditempat ini tidak ada, wahai ayahku.”
”Wahai
Puteriku, Kerinduan di sini tidak ada. Tapi ada dalam bathinmu dan
jiwamu. Kerinduan akan sesuatu, ada dalam jiwamu. Dan dalam jiwamu lebih
besar, lebih agung, lebih hebat dari alam ini, wahai anakku. Itulah
Sastra Jendra. Sastra Jendra adalah kerinduan yang tersembunyi dalam
bathin. Kerinduan bukan kepada anak isteri, kerinduan bukan pada suami,
kerinduan bukan pada kekasih, kerinduan bukan pada harta dan kekuasaan.
Kerinduan kepada sesuatu, dimana sesuatu itu pun kita tidak tahu. Itulah
Sastra Jendra, wahai anakku.”
Kerinduan
ini dalam Islam dikatakan sebagai kerinduan dalam Nurani. Nurani yang
ada pada setiap manusia yang dilahirkan ke dunia. Dalam Al-Qur’an,
”Bahwasanya setiap bayi yang dilahirkan berfitrah Islam, adapun kalau
dia jadi Nasrani, Majusi dsb, itu adalah kesalahan orang-tuanya.” Fitrah
Islam/Nurani, inilah yang menjadi dasar lman bagi setiap manusia.
Maka,
”Wahai Puteriku, bila engkau merindukan sesuatu, jangan disini. Di sini
tidak ada masa lalu dan masa depan. Di sini tidak ada keinginan dan
harapan. Kembalilah kepada hati, wahai Puteriku. Hatimu yang ada
kerinduan.”
Dalam
Al-Qur’an, surah 2l:l3, ”Janganlah kamu berlari dan tergesa-gesa,
kembalilah kamu kepada nikmat yang telah kamu rasakan dan kepada
tempat-tempat kediamanmu (yang baik) supaya kamu ditanya”
”Masuklah kembali ke dalam hati, di sana ada kerinduan. Di sana ada kehidupan yang sesungguhnya, wahai Puteriku.”
Maka
sang Dewi masuk ke dalam bathinnya sendiri, ke dalam perasaannya
sendiri. Maka dijemputlah sang Dewi oleh cahaya gemilang, gemerlap sinar
yang keindahannya melampaui cahaya matahari. Dan seluruh cahaya
matahari di alam raya padam, tiada arti oleh cahaya yang datang dari
bathinnya sendiri.
”Wahai Begawan, cahaya apakah itu?”
”Wahai Begawan, cahaya apakah itu?”
”Itu adalah cahaya dari yang engkau rindukan. Itulah Sastra Jendra, wahai Puteriku.”
anakala
cahaya tersibak, disana ada Kebijaksanaan, kebijaksanaan yang
tersembunyi, kebijaksanaan yang tersimpan dari ribuan lapis perasaan
hati. Kebaikan hati, keikhlasan, kepasrahan, itu adalah membentang rapat
menutupi Kebijaksanaan.
”Wahai
Puteriku, sibaklah hati pasrahmu, Puteriku, sibaklah hati kebaikanmu,
sibaklah hati keikhlasanmu maka ada Kebijaksanaan. Kebijaksanaan ada di
tempat yang paling dasar dari sibakan keikhlasan. Sibaklah hati yang
baik.”
”Mengapa demikian wahai Begawan?”
”Karena kebijaksanaan adalah tetesan dari kesakitan yang tak mampu lagi menimbulkan luka.
Dari kesakitan yang tidak lagi memberikan hujan duka. Dari tetesan
kesenangan yang tak mampu lagi menggembirakan. Kegembiraan dan duka,
punah! Itulah kebijaksanaan, wahai Puteriku. Itulah Sastra Jendra.”
”Kebijaksanaan”,
kata Sang Begawan, ”Seperti malam bersayap siang, seperti siang
berparuh malam. Seperti kematian yang berkafankan kehidupan. Seperti
kehidupan yang berselimutkan kematian. Rembulan di siang hari, matahari
di malam hari, itulah kebijaksanaan. Itulah Sastra Jendra, wahai
Puteriku.”
Sang
Dewi pun tenggelam dalam kebijaksanaan. Di alam itu, sang Dewi muncul
lagi rasa sengsara yang tak bertepi. Rasa duka yang luar biasa, Namun,
manakala rasa kesakitan yang tinggi, muncul dalam jiwanya, tiba-tiba,
tanpa proses. Tenang…senang yang melonjak! …..Terus demikian! Antara
sakit dan senang diubah tiba-tiba. Proses psykologi yang tak mampu
menampung perubahan yang sangat hebat. Dari sakit ke senang, dari duka
ke tenang, dari resah ke aman, tiba-tiba. Terus demikian berganti-ganti.
”Wahai Begawan, apakah ini?”
”Ini
adalah tangga-tangga menuju jagad raya, yang tak bertepi. Kita datang
ke suatu tempat, Sumber Pencipta Alam Raya ini. Anakku, tangga-tangganya
berlapis kesengsaraan yang tidak terhingga dan kebahagiaan yang tak
terhingga.” Sang Dewi pun masuklah.
Manakala
jiwanya tak terkecoh oleh duka dan senang, oleh rasa dan tenteram.
Masuklah ke suatu alam, dimana di alam ini semuanya tidak ada lagi
proses permulaan dari kejadian. Proses awal dan akhir. Maka Sang Dewi
merasa malu kepada dirinya sendiri. Yang tadinya bangga dengan dirinya,
bangga dengan kecantikanya. Saat itu, sang Dewi malu pada dirinya
sendiri dan malu kepada alam, keadaan alam saat itu.
”Wahai Begawan, aku malu pada diriku.”
”Wahai
Puteriku, manakala engkau malu pada dirimu berarti engkau kembali
kepada kehidupan yang sesungguhnya. Manakala engkau malu pada alam ini,
engkau sebenarnya kembali pada sumber awal kehidupan. Engkau berangkat
dari sini, wahai anakku, dilahirkan ke bumi.”
”Aku pun malu yang tidak mengerti”, berkata sang Dewi.
”Wahai
Puteriku, pengertian malu adalah malu pada Penciptamu. Ada disini
Pencipta kita, kita tidak bisa melihat. Tapi kita ada dalam genggaman
sang Maha Pencipta. Kita sedang berenang di Samudera keillahian, wahai
Puteriku.”
Tidak
lama kemudian, Dewi Sukesih menemukan keindahan, keindahan sebuah
permulaan. Dimana segala sesuatu tidak lagi melalui pengertian.
Pengertian yang tidak perlu dipelajari.
Pengertian tidak perlu dipelajari, perasaan-perasaan rasa tidak lagi harus dibuat. Dia sampai pada puncak keindahan tiada tara.
”Wahai
anakku, kita sudah sampai pada puncak kebahagiaan. Tiada lagi
kebahagiaan selain di tempat ini, wahai anakku. Kebahagiaan yang tak
bisa dipetik dengan ilmu. Kebahagiaan ini, tak bisa dipetik, dipanen
dari amal ibadah. Kebahagiaan yang bukan dipetik dari pengorbanan.
Itulah puncak kebahagiaan.”
”Wahai Begawan, bilamana kebahagiaan ini yang bukan dipetik dari pengorbanan, apakah itu?”
”Itu
adalah ’Hayuningrat’ anakku, Sastra Jendra Hayuningrat. Hayuningrat
adalah kebahagiaan bukan yang dirintis dari keinginan berbuat baik, tapi
Hayuningrat adalah ’Izin Illahi’ dalam memberikan sesuatu. Bukan
keinginan kita, bukan jerih payah kita, Kehendak-Nya. Itulah Sastra
Jendra Hayuningrat, wahai anakku.”
Hayuningrat
adalah penyerahan diri total. Kebahagiaan yang begitu meresap ke dalam
jiwa sang Dewi. Maka muncul kebahagiaan baru yang berlapis-lapis. Tambah
mengangkasa tambah indah. Ternyata kebahagiaan pun berlapis-lapis tak
bersisi, kebahagiaan yang tak ada limitnya.
”Wahai Begawan, kita menuju kemana?”
”Kita arungi kebahagiaan yang tak bertepi.”
”Apakah…..apakah ada tempat puncak?”
”Ada, puncak kebahagiaan.”
”Bagaimanakah cara sampai ke sana, wahai Begawan”,
”Wahai Puteriku, adakah sisa perasaan dalam hatimu untuk dipersembahkan?”
”Ada.”
”Apa?”
”Aku rindu kepada Tuhan.”
Dewi
Sukesih merasakan, kebebasan sebebas-bebasnya tanpa rasa kekangan dari
perasaannya sendiri. Artinya, setiap manusia mengalami himpitan dalam
mengarungi kehidupan. Namun saat itu, Dewi Sukesih terbebas dari apapun
yang menghambat dalam perasaannya. Dia terbang di alam Yang Maha
Merdeka, Maha Sentosa, Gemah Ripah Loh Jinawi. Angkasa kebebasan yang
sangat demokrasi.
”Wahai Puteriku, terbanglah sejauh-jauhnya, kepakkan sayapmu.”
Maka Dewi Sukesih terbang yang sebebas-bebasnya, seperti merpati yang mengarungi angkasa luas.
”Namun
Puteriku, jangan terlalu jauh dalam terbang. Sejauh-jauh merpati
terbang, akhirnya akan lelah jua. Sebelum lelah engkau harus kembali.”
Dewi
Sukesih merasa sebagai manusia yang punya harkat, merasa dirinya
mempunyai makna. Betapa dekat dengan yang menciptakannya, kasih
sayang-Nya, terasa membeli jiwa. Sang Dewi merasa mendapat titah dari
Hyang Widhi, dan merasa seolah-olah dirinya tidak berhak lagi hidup di
dunia. Dirinya enggan pulang ke bumi.
”Wahai
Puteriku, jangan munculkan perasaan itu. Di sini adalah hak setiap
manusia, di sini adalah hak setiap makhluk. Namun bumi pun adalah hak
kita. Sekalipun engkau merasa tidak berhak lagi di dunia, namun fisikmu,
dagingmu masih terikat oleh hukum dunia. Kematian masih memijak alam
bumi ini. Engkau tidak akan mampu jauh di alam kebahagiaan ini, sedang
kau masih punya raga di dunia. Jangan lupakan itu”, berkata Begawan
Wisrawa.
Terus sang Dewi mencoba berusaha melupakan duniawi. Dunia terlalu hina dirasakan, niat baiknya sering dinodai.
”Wahai
Begawan, segala keinginan yang baik selalu terjegal oleh noda dunia,
aku enggan kembali ke bumi. Setiap pengorbanan yang kupersembahkan
dengan ikhlas, selalu dihina oleh mereka yang hidup di dunia. Wahai
Begawan, setiap bunga-bunga dihatiku kuungkapkan dalam kerinduan kepada
rakyat, kepada mereka, kepada yang aku cintai. Namun mereka tidak pernah
melihatku bahwa aku mempersembahkan keindahan, keikhlasan kepada
mereka. Aku muak kepada dunia yang penuh kehinaan dan kekotoran.”
”Wahai
Dewi Sukesih Puteriku, jangan engkau merasakan perasaan itu. Usirlah,
rasa menghina bumi. Karena bumi, Tuhan pula yang menciptakan, sama pula
menghina Tuhan, kalau engkau menghina dunia atau bumi. Stop gejolak
penjelajahan perasaan seperti itu. Kita masih di dua alam. Keterikatan
dengan bumi dan mengarungi hak kita di alam jagad ini.”
Namun
Dewi Sukesih nakal, tetap diarungi. Tidak mau kembali ke dunia.
Tiba-tiba keresahan bergelombang kembali. Keresahan bukan berasal dari
alam keindahan ini. Alam surga Nirwana yang maha nikmat, tetap dengan
segala keindahan dan kesempurnaan. Keresahan dan gejolak pilu datang
dari bathinnya sendiri. Resah, merasa kotor, merasa terhina, ternoda.
”Wahai
Begawan, aku merasa malu. Bukan malu seperti dulu, tapi aku malu
kehinaan diriku. Betapa aku kotor di tempat ini, aku tidak pantas di
tempat yang suci ini, wahai Begawan. Aku tidak pantas di tempat yang
Agung ini, karena aku ternoda, karena noda itu aku sendiri yang
menciptakan, wahai Begawan. Kenapa demikian wahai Begawan?”
”Wahai
Puteriku, engkau, aku, memang datang dari noda, berangkat dari noda.
Berangkat dari kesalahan, pergi menuju ke kesalahan. Kita menyimpan
jagad kesalahan dalam diri kita, walau di tengah surga yang indah ini.”
Demikian Begawan Wisrawa berkata. ”Karena itu Puteriku, engkau harus
’diruwat’, supaya Tuhan mensucikan jagad kita yang ternoda.
Pangruwating. Karena dalam jiwa kita penuh nafsu dan amarah. Angkara
murka yang tak bersisi, keserakahan yang tak berbentuk lagi. Itu harus
diruwat oleh Illahi. Pensucian jagad kita, karena kita tetap dalam
kekotoran, walau kita mengangkasa di jagad keindahan yang sangat permai,
yang sangat suci, yang sangat agung”, Begawan Wisrawa meneruskan
keterangannya.
”Marilah
kita kembali, Sastra Jendra sudah kupedar, Hayuningrat sudah kupedar,
Kita harus kembali ke bumi, segera! Supaya Hyang Widhi mensucikan jagad
kita yang sudah kelam dalam kekotoran dan noda.”
Namun
karena keindahan yang luar biasa. Terhanyutlah sang Dewi Sukesih dengan
Begawan Wisrawa sendiri, hingga sampai ke gerbang Kahyangan, pintu
surga, pintu Nirwana, tempat para dewa bersemayam. Gerbang ini dinamakan
Sela Menangkep (Dalam Islam, gerbang Ar-Royan) pintu masuk surga.
Menjelang gerbang Sela Menangkep, maka goyanglah jagad tersebut.
Jeritan-jeritan Raksasa datang. Berjuta raksasa datang, hawa nafsu-hawa
nafsu membentuk berjuta raksasa-raksasa. Aroma bau. Bau kematian. Lebih
bau daripada mayat basah. Erang harimau raksasa. Kemarahan para raksasa
bergelombang.
”Wahai
Puteriku, raksasa itu tidak ada di jagad ini, digerbang Kahyangan ini.
Itu ada dalam jagad dirimu. Kecantikan wajahmu, itu mengerang seperti
harimau. Sesungguhnya kecantikan adalah harimau. Senyummu sebenamya
erangan harimau, keindahan tubuhmu sebenarnya raksasa yang buruk muka.
Kemarahan mereka, sebenarnya kemarahan dirimu, wahai Puteriku, yang ada
di jagad ini. Dan bau yang melampaui bau mayat yang basah, itu hatimu
sendiri. Karena manusia tak mampu melepaskan dari rasa persaingan
sesamanya, tidak mau melepaskan dari keterpenjaraan benci, kebencian.
Perbedaan kebenaran saja, walaupun kebenaran yang sama, itu menimbulkan
kebencian. Itulah bau yang sangat buruk, aroma mayat yang rusak, wahai
Puteriku. Dan kau masih memiliki hati itu.”
Dan
tiba-tiba muncul roh-roh halus, lembut, merekah beraroma sangat wangi,
melampaui aroma wangi-wangian apapun. Berpakaian manik-manik putih,
berbusana putih murni.
”Itu
tidak ada dalam jagad ini, itu ada dalam jagadmu, wahai puteriku. Itu
adalah rukhmu, kesucianmu, kelembutanmu. Engkau memiliki kemurnian dari
Rukh yang suci.”
Dan
tiba-tiba raksasa yang jahat berperang dengan rukh yang suci.
Peperangan saling mengalahkan, tiada yang menang, tiada yang kalah. Rukh
suci dikalahkan oleh rukh jahat, maka rukh suci bangun kembali
seketika. Begitu pula sebaliknya. Maka peperangan tidak lagi dibatasi
oleh kemenangan, juga tidak diakhiri oleh kekalahan.
”Wahai
anakku, itulah kehidupan dunia. Tidak akan ada yang menang dan tidak
ada yang kalah. Cepatlah kembali pada kehidupan dunia., wahai Puteriku.”
Maka rukh halus dan rukh jahat hilang, yang ada adalah jagad ketenangan dalam hatinya, Kemudian muncullah kekuatan, berupa sinar yang datang dari dada Dewi Sukesih.
Maka rukh halus dan rukh jahat hilang, yang ada adalah jagad ketenangan dalam hatinya, Kemudian muncullah kekuatan, berupa sinar yang datang dari dada Dewi Sukesih.
”Puteriku,
itulah Kencana Rukmi. Diantara keinginan menang, diantara takut kalah,
ada sesuatu yang netral. Yang tidak ingin menang dan tidak ingin kalah.
Itulah Kencana Rukmi dalam dadamu. Kencana Rukmi inilah tempat paling
aman, tempat yang paling menyelamatkan. Di sini di Kahyangan engkau
tenteram dan aman. Di bumi pun dengan Kencana Rukmi ini kamu akan
selamat.”
[Dalam Islam, Kencana Rukmi adalah Taufik, Hidayah, Irsyad dan Tasydid].
Kencana
Rukmi, mengikis habis keresahan di malam.hari, kekelaman jiwa dalam
kegelapan. Kencana Rukmi memotong harapan-harapan illusi dari sebuah
harapan kosong tentang kenikmatan. Kencana Rukmi membenarkan kenyataan
haq dan menyalahkan kebenaran semu. Karena Kencana Rukmi, laksana sinar
yang datang dari sumber Illahi, tembus sampai ke dasar bumi.
”Ikutilah
wahai Puteriku, cahaya itu. Kencana Rukmi alat untuk mengarungi
kehidupan. Cahaya dari ALLAH, cahaya Illahi yang sampai ke dasar hati.”
[Dalam Islam, Ihdinas shirothol Mustaqim].
Begawan
Wisrawa dengan Dewi Sukesih tambah tinggi-tambah tinggi, mengarungi
lapisan-lapisan kebahagiaan yang tiada tara, melampaui ketenteraman dan
kedamaian. Makna ketenteraman dan kedamaian itu adalah ”sela” atau
batasan kecil dari rasa aman di muka bumi. Tapi dijagad tersebut, di
perbatasan alam Kahyangan, kedua orang ini terhanyut oleh alam
kebahagiaan. Di mana alam kebahagiaan ini memiliki satu kenikmatan yang
tak terhingga, walau masih kosong atau sepi dari energi Ke-Illahi-an.
Berarti alam Kahyangan atau alam surga adalah jagad nikmat kebahagiaan
yang mengandung energi ke- Illahi-an.
”Wahai Dewi Sukesih”, kata Begawan Wisrawa, ”Kita harus kembali secepatnya ke bumi.”
”Mengapa demikian wahai Begawan?”
”Karena
kita ini masih memiliki raga. Di sini, di alam Kesucian tidak ada
alatnya untuk mensucikan tubuh kita. Dan tiada mampu alam ini mensucikan
jagad kotor yang kita simpan dalam jiwa kita. Sekalipun dunia penuh
noda tapi di sana tempatnya ’pensucian’, tempat ’meruwat’.”
”Namun
Begawan, saya tak mampu melepaskan kerinduan yang sangat kepada sesuatu
yang ada di balik Kahyangan. Kita harus masuk ke pintu Kahyangan”, kata
Dewi Sukesih.
”Apakah
wahai Begawan, yang menarik jiwa ini untuk masuk ke Kahyangan. Walau
pikiranku tidak merindukan kenikmatan Surgawi. Tidak merindukan
kenikmatan Kahyangan. Bathinku merindukan yang menciptakan Kahyangan itu
sendiri. Apakah itu, wahai Begawan?”
”Itu
adalah ’Budi’, jawab Begawan Wisrawa, ”Budi yang ada dalam jiwa kita,
yang tersembunyi, karena Budi berangkat dari Ke-Illahi-an. Maka,
meronta, bergerak, selalu menuju pada sumber Ke-Illahi-an.”
Maka
manakala menjelang Sela Menangkep, pintu Ar-Royan, pintu surga terbuka,
dengan kegembiraan yang sangat, sang Dewi masuk. Yang tadinya Begawan
menasehati untuk mengajak pulang, sang Begawan pun tersedot untuk ingin
masuk ke pintu Kahyangan tersebut. Maka bumi berguncang-guncang, evolusi
matahari berubah, alam raya, acak! Samudera menggelegar, banyak
permukaan bumi tergenang air laut. Daratan menjadi lautan. Para raksasa
yang tadinya gagah, menangis pilu. Rukh jahat mengerang kesakitan,
meronta, memanggil-manggil Hyang Widhi. Memanggil-manggil Tuhannya. Maka
yang tadinya raksasa-raksasa dalam jagad sang Dewi pun keluar, masuk ke
Kahyangan. Menghalangi pintu-pintu Surga.
”Wahai
manusia, belum saatnya engkau meninggalkan dunia. Kasihan bumi kau
hina, kasihan bumi kau injak-injak, kasihan bumi kau lecehkan”, kata
raksasa-raksasa dan rukh-rukh jahat lainnya.
Para Dewa pun resah!
Maka
Batara Guru mengumpulkan para Dewa, para Batara dan para Bidadari.
”Jagad kita, jagad Nirwana ini mulai terancam”, kata Batara Guru. ”Ada
anak manusia mencoba masuk kesini, melalui tangga-tangga Sastra Jendra
Hayuningrat. Kita harus menutup pintu masuk ini, karena mereka belum
saatnya masuk ke Indra Prastha yang kita cintai ini.”
”Wahai Batara Guru, siapakah yang datang?” bertanya Batara Narada.
”Dua anak manusia, perempuan dan laki-laki”, jawab Batara Guru.
”Wahai
Batara Guru, kita tidak perlu resah. Tempat kita Kahyangan ini mana
mampu dimasuki oleh manusia sebagai perempuan dan laki-laki. Di sini
tidak ada batasan perempuan dan laki-laki, kita tidak perlu resah. Dua
manusia itu belum saatnya masuk Kahyangan”, Batara Narada melanjutkan
keterangannya, ”Karena walaupun mereka sudah masuk ke Sastra Jendra,
tetapi di balik hatinya yang terdalam masih merindukan dosa-dosa, masih
merindukan noda-noda. Walaupun mereka sudah hening dari
kerinduan-kerinduan itu sendiri.”
”Wahai Dindaku”, berkata Batara Guru pada isterinya, Betari Uma.”
”Bagaimanakah pendapatmu, tentang dua orang yang mencoba memasuki Kahyangan ini?”
”Wahai
Kakandaku, walau aku wanita tapi di sini aku kehilangan kewanitaanku.
Karena kewanitaanku sudah kukorbankan dalam Sastra Jendra yang panjang.
Aku dihadapanmu wahai suamiku, bukan lagi feminim. tapi aku adalah aku
sebagai sumber awal kehidupan”, jawab Betari Uma.
”Dan bagaimanakah dengan Dewi Sukesih yang mencoba masuk ke Kahyangan ini?”
”Biarlah,
dia masih membawa keangkuhan wanita, sang Begawan pun masih membawa
keangkuhan pria. Bukankah Nirwana ini dibentengi oleh keangkuhan rasa
wanita dan keangkuhan rasa lelaki? seperti aku, wahai suamiku. Sewaktu
aku pernah ke bumi”, kata Betari Uma selanjutnya, ”Perempuan di puncak
keanggunannya, di puncak kesuciannya. Taman bunga di jiwanya, taman
bunga di dagingnya, taman bunga di perasaannya. Bunga-bunga Menur
tercuri oleh lelaki. Maka wanita tak merasa tercuri kesuciannya oleh
lelaki. Bunga Menur, aku pun tercuri oleh lelaki saat di bumi. Namun aku
tak mampu, tak bisa, merampas bunga Menur. Karena keperawanan bukan dua
kali, hanya sekali. Keperawananku dicuri lelaki. Seperti seorang gadis
yang tidak tahu, bunganya telah dicuri dari Taman hatinya. Rasa ego
wanita, merasa tak tercuri kesuciannya. Karena rasa ego wanita, dirinya
harus mempersembahkan kepada sang suami. Itulah cinta yang aku rasakan
sebagai penduduk bumi, wahai suamiku.”
”Begitupun
seorang lelaki, wahai isteriku”, berkata Batara Guru, ”Setelah mencuri
bunga Menur dari Taman hati seorang wanita, seperti lebah yang
kehilangan sengatnya. Jangan harap mereka mampu menikmati Surga, karena
mulutpun mereka tak punya, [Hal ini harus disimak dari kejadian ”Tragedi
qolbi”]. Lelaki datang ke surga mau menikmati kenikmatan Surgawi, namun
seperti kumbang yang datang pada bunga raksasa penuh madu, tapi tak
punya alat untuk menghisap. Karena isapannya cuma satu, sudah
digunakannya untuk mencuri bunga Menur dari taman hati seorang gadis.”
”Dimanakah
Sastra Jendra wahai suamiku? Manakala seorang wanita kehilangan bunga
Menurnya, dan saat lelaki kehilangan sengatnya?” ”Sastra Jendra tetap
ada”, jawab Batara Guru, ”Menunggu sampai mengerti, kenapa kehilangan
bunga Menur dan kenapa kehilangan sengatnya. Tetap tidak berakhir
kesempatan untuk meraih Sastra Jendra, wahai isteriku.”
Maka
seluruh makhluk di alam raya, berbondong-bondong datang. Diantaranya
ada Warudoyong, Pocong, Singabarong, Jerangkong (rukh-rukh yang belum
sempat memiliki fisik).
Warudoyong adalah sejenis rukh yang mendambakan fisik, untuk makan tidur.
Singabarong, perlu fisik untuk menyatakan cintanya, untuk menyatakan kebenciannya.
Singabarong, perlu fisik untuk menyatakan cintanya, untuk menyatakan kebenciannya.
Pocong
adalah bentuk rukh yang mendambakan fisik, daging dan darah, supaya
kelaminnya bisa kimpoi, untuk menikmati seksual. Mereka merasakan
sensual, tapi tak punya kelamin karena tak berfisik.
Jerangkong, perlu fisik untuk bisa menyayangi, untuk bisa membunuh, untuk bisa menyiksa sesamanya.
Adapun rukh-rukh marakayangan, yang pernah hidup di dunia, namun kematiannya masih membawa nafsu secara sempurna.
Brakasaan,
Banaspati, Gandarwa dan seluruh rukh-rukh baik yang tidak punya fisik,
yang pernah punya fisik, rukh-rukh marakayangan, para diyu dan para jin,
kumpul. Demonstrasi!
“Wahai
Sang Dewa Batara Guru, jangan biarkan dua anak manusia ini masuk,
karena kalau mereka masuk dunia akan hancur. Kami belum siap memiliki
daging dan darah, wahai Dewa Batara”, berkata rukh-rukh yang belum
sempat mempunyai fisik.
”Wahai
Dewa Agung, jangan biarkan dua anak manusia ini masuk, karena aku masih
ingin lahir kembali ke dunia. Walau sempat hidup di dunia, aku tidak
bosannya bergumul dengan darah dan daging. Itu adalah kenikmatanku”,
kata rukh-rukh marakayangan.
Maka
darah-darah pun mengalir, darah yang aromanya bau, hitam dan kelam
berkata, ”Wahai sang Dewa, kami adalah tetesan dosa , kami menangis.
Walaupun dunia tidak hancur, manusianya kehilangan kerinduan kepada aku.
Bukankah wahai sang Dewa, kerinduan seksual adalah menghisap darah,
Kerinduan kelamin adalah penyimpanan darah? Bukankah memakan harta yang
lain adalah menghisap darah, dan mengkhianati yang lain adalah berenang
dalam darah? Kami adalah darah-darah yang masih punya hak bergenang di
bumi. Jangan engkau biarkan darah tidak dirindukan lagi oleh penduduk
bumi.”
”Wahai
Kakanda”, berkata Batara Guru pada Batara Narada, ”Bagaimanakah cara
membendung mereka supaya tidak masuk ke kahyangan ini?”
”Wahai
Dindaku, Jagad Kahyangan ini akan mengusir mereka yang masih dibatasi
oleh rasa lelaki dan rasa wanita. Memang mereka sudah terbebas dari rasa
memiliki dan rasa dimiliki oleh siapapun dan oleh apapun. Tetapi mereka
dipisahkan oleh rasa ke-dewi-an dari Sukesih dan ke-resi-an dari sang
Begawan Wisrawa. Adindaku, cobalah mereka. Benarkah tidak menyimpan lagi
batasan-batasan kerinduan untuk berbuat dosa lagi. Turunlah (masuklah)
ke salah satu bergiliran”, kata Batara Narada.
Maka
masuklah Batara Guru ke diri Dewi Sukesih, masuk ke alam jiwanya
terdalam. Batara Guru tidak masuk ke jagad fikiran dan jagad rukhnya,
karena jagad fikiran adalah dunia bumi dan jagad rukh, hanya milik Sang
Hyang wenang Allah subhanahu wa ta’ala [tentang janji rukh pada Allah
swt, Q. S. 7:l72 ’wa idz akhodzna robbuka min bani aadama, qolu balaa
syahidna]
Begitu
masuk kepada sentral terdalam jiwa dewi Sukesih, muncullah perasaan
tertentu dalam diri Dewi Sukesih. Dipuncak kesucian dari jagad
perbatasan Kahyangan, Keagungan dan Kesucian memadu dengan keagungan
dari Begawan Wisrawa. Dalam pandangan Dewi Sukesih, betapa gagah, betapa
agung, betapa indah akhlak yang dipancarkan oleh sang Begawan.
Menimbulkan kekaguman yang sangat dalam pada perasaan sang Dewi sebagai
wanita.
Keagungan
jagad Nirwana yang suci, memberi sentuhan keagungan dari sikap Begawan
Wisrawa. Maka terlihatlah laksana Dewa Batara Kamajaya, simbol
kesempurnaan seorang lelaki (nabi Yusuf as, dalam Islam). Muncullah
cinta asmara yang hebat pada sang Begawan, cinta dari anak ke Bapak,
punah! Yang ada hanyalah sebagaimana cinta wanita pada pria.
Rontaan-rontaan perasaan ini tidak kuat untuk diungkapkan.
”Wahai
Begawan, Aku cinta padamu. Betapa engkau mempesona aku, betapa
bertambah indahnya alam ini dan betapa bahagianya jiwa ini, sentuhlah
kulitku ini, wahai Begawan.” Sang Begawan pun tersentak kaget!
”Dewi
Sukesih anakku!….. Aku datang untuk anakku Danareja. Oh, Dewi Sukesih,
kenapa pipimu yang merah dan indah itu harus dipoles oleh kembang api
neraka? Dan alismu yang hitam, harus dihitamkan oleh abu neraka? Kulitmu
yang halus, mengapa harus diperhalus oleh awan-awan nafsu yang kuning?
Yang menyorot tubuhmu yang kuning.”
Maka pada saat Begawan Wisrawa bicara demikian, Dewi Sukesih kembali kepada jagad kesuciannya.
”Mohon
ampun Begawan….. Mohon ampun raja Dewa. Aku tidak mengerti, kenapa
tumbuh perasaan seperti itu. Dan akupun sadar, betapa aku belum pantas
untuk masuk ke Nirwana yang Suci”, berkata sang Dewi dengan
terbata-bata.
Begitu
kesadaran kesucian dari sang Dewi muncul, Batara Guru terpental dari
jagad jiwa Dewi Sukesih yang tersembunyi. Ternyata kekuatan yang
terpancar dari kesucian bathin, lebih hebat, lebih sakti dari segala
macam ilmu dan kesaktian apapun. Bahkan Batara Guru, seorang Dewa, bisa
terpental! Dalam keterpentalannya, Batara Guru bicara dari jarak jauh
kepada kakandanya, Batara Narada.
”Wahai
Kakanda, betapa hebat kekuatan yang ada dalam kesadaran yang tinggi
dari jagad bathin Dewi Sukesih. Memang pantaslah dia menjadi bidadari
Surgawi. Pantas Dewi Sukesih menjadi raja dari segala Bidadari.”
”Memang
benar wahai Dindaku”, kata Batara Narada, ”Dewi Sukesih lebih cantik
dari semua Bidadari yang ada di Surga. Karena, bilamana manusia bumi
mampu mencapai ketinggian harkat, itu melampaui kecantikan dan keindahan
penghuni Surga itu sendiri. Manakala anak manusia mencapai ketinggian
harkat yang suci dalam keikhlasan, suci dalam kepasrahan, suci dalam
rasa memiliki dan dimiliki. Itu adalah lebih tinggi harkatnya dari harga
Nirwana itu sendiri, harga Surga itu sendiri”, Batara Narada
menerangkan.
Perasaan
cinta sang Begawan sebagai seorang ayah, ternyata telah menyelamatkan
dirinya dari belaian maut cinta asmara. Dan ternyata kalau cinta, suami
isteri telah membuahkan anak, seharusnya ”menambah” kokoh cinta yang
ada. Sehingga apabila saat-saat kritis menghadang, terutama dari
hempasan badai asmara dari pihak ketiga, ataupun saat-saat kejenuhan
mencengkeram jiwa masing-masing, maka cinta kepada anak adalah kekuatan
yang agung, dalam menghadapi semua itu.
Ternyata
sang Dewa Batara Guru, dalam harkat kedewaannya, sangat menaruh hormat
atas kesucian bathinya.yang dimiliki oleh insan manusia.
”Namun
demikian…..lupakah engkau wahai Dindaku, bahwa Dewi Sukesih datang ke
tempat ini karena masalah mencari calon suami. Sekalipun sudah sampai ke
Sastra Jendra, sampai pada puncak nilai dan kesucian. Tapi berangkatnya
dari mencari suami. lkatlah keberangkatan mencari suami dengan kesucian
Sastra Jendra maka Dewi Sukesih akan ditarik kembali oleh aibnya, dari
kekuatan daya tarik bumi. Dan cobalah sekarang masuk lagi ke Begawan
Wisrawa, masuk ke pusat jagad lelanang-nya Begawan, keangkuhan
kelelakiannya, jagad kegagahannya. Munculkan tentang ’mandra guna’
kelelakiannya. Laki-laki ’Lelanang ing jagad mandra guna wiwaha’.
Sekalipun Dindaku tidak merasa memiliki, tapi engkau mampu membawa
’lelanang jagad’ pada jagad kelelakian Begawan Wisrawa.”
Maka
masuklah Batara Guru ke alam bathin Begawan Wisrawa, masuk ke pusat
jagad lelanangnya (ego maskulin), keangkuhan kelelakiannya, jagad
kegagahannya. Batara Guru terkagum-kagum melihat keikhlasan
kelaki-lakian sang Begawan. Ternyata dengan sukarela sang Begawan
memperlihatkan kekuatan jiwanya, karena mampu meninggalkan keangkuhan
kelelakiannya. Ada suatu keindahan didalamnya, keindahan karena sang
Begawan Wisrawa telah meninggalkan dirinya sebagai raja, meninggalkan
dirinya yang berkuasa atas rakyatnya. Meninggalkan dirinya yang
beristerikan seorang ratu. Dan telah meninggalkan semua unsur manusiawi,
terutama naluri seksual.
Betapa
Batara guru terpukau, terpesona, betapa indahnya! Kahyangan adalah
jagad yang penuh dengan kenikmatan nan mempesona, namun jagad bathin
sang Begawan ternyata lebih mempesona, lebih anggun.
Kekaguman
Batara Guru diketahui oleh kakandanya, Batara Narada. ”Wahai Dindaku,
kenapa engkau terpesona? Di jagad kita memang tidak ada pesona keindahan
seperti itu. Jagad itu ada di atas jagad Kahyangan ini. Itu sangat
dekat dengan Sang Hyang Wenang, sangat dekat dengan Yang Maha Tunggal,
Yang Maha Esa, Tuhan kita semua. Jagad bathin yang ada dalam dada sang
Begawan adalah jagad tertinggi dari surga. Jagad Illahi.”
”Wahai Kakanda, bagaimanakah cara aku menggodanya?”
”Engkau
begitu terpesona sehingga engkau lupa, wahai Dindaku. Kau lupa bahwa
jagad itu adanya dalam daging Begawan Wisrawa. Cobalah munculkan, jagad
dagingnya, jagad diyu-nya.” Jawab Batara Narada.
Begitu
dimunculkan jagad daging sang Begawan, bergetar syaraf-syarafnya,
muncul perasaan aneh dari sang Begawan. Terlihatlah, wajah cantik nan
rupawan Dewi Sukesih, bertambah cantik. Betapa keindahan jagad suci
kahyangan bertambah indah dengan kehadiran Dewi Sukesih. Pesona
Kahyangan pun bertambah mempesona oleh wajah dan keindahan tubuh Dewi
Sukesih. Terungkaplah rontaan perasaan yang tak bisa lagi dikendalikan.
Yang biasanya ”wahai anakku” tapi kini, ”wahai dindaku”
Dewi Sukesih tersentak, kaget!
”Wahai
Dindaku”, mengapa kita tidak manunggal ? Manunggal dalam jiwa,
manunggal dalam perasaan, manunggal dalam bathin. Manunggal dalam jagad
fikiran dan jagad raga kita. Supaya engkau meneteskan darah dari
rahimmu, supaya dunia bertambah indah oleh darah-darah yang indah.
Marilah kita lewati malam pertama dari sebuah perkimpoian, supaya
perkimpoian manusia di dunia tambah dirasakan indah. Dan menjadi dambaan
tertinggi dari harapan kehidupan dunia.”
”Wahai Begawan,
Aku melihat di matamu yang teduh, keluar mega-mega hitam dari nafsu
seluruh manusia. Mengapa engkau ambil alih semua nafsu manusia yang ada
di bumi? Yang katanya tak boleh dicela, wahai Begawan, walaupun engkau
berhasil untuk tidak menghina dunia, namun kau ambil alih noda nafsu
seluruh manusia di seluruh jagad bumi. Mengapa engkau isi mega-mega
hitam itu dengan birahi? Yang telah engkau mampu padamkan. Dan engkaupun
telah membawa obor birahi dari bumi, padahal aku tak melihat engkau
mengambilnya dari bumi. Mengapa demikian, wahai Begawan?”
Tersadarlah sang Begawan.
”Wahai Maha Dewa
yang ada di Kahyangan, betapa aku masih mensisakan rasa manusiaku, aku
tak pantas menjadi penghuni Kahyangan. Izinkanlah aku dan Dewi Sukesih
untuk segera kembali ke bumi, supaya kami tidak terjebak oleh sisa
manusiawi kami, yang temyata masih kuat, teguh menjadi raja dalam jiwa
kami.”
Begitu ada
kesadaran yang suci dari sang Begawan, Batara Guruh terpental jauh.
Tidak hanya keluar dari jagad bathin sang Begawan, namun terus jatuh di
hadapan Batara Narada di Kahyangan. Ternyata ada kekuatan yang dahsyat
dari miniatur Surga yang ada dalam jagad bathin sang Begawan.
”Wahai Dindaku,
ternyata engkau masih tetap kalah oleh mandragunanya kekuatan manusia
bumi”, berkata Batara Narada yang nampak kekagetan di paras mukanya.
”Mengapa demikian Kakanda?”
”Karena Sang
Hyang Wenang Hing Murbeng Agung, pencipta kita. Walaupun marah kepada
penduduk bumi (perpanjangan dampak tragedi qolbi), namun masih menyimpan
kekuatan kekuasaan-Nya, yang tersembunyi dalam nurani manusia. Yang
tidak diberikan kepada kita.”
”Kalau demikian Kakanda, Sang Begawan sangat pantas menjadi penghuni Kahyangan ini.”
”Lebih
dari pantas”, jawab Batara Narada, ”Lebih dari kita para Dewa, lebih
dari para Bidadari. Karena kita menjadi penghuni Nirwana ini adalah
Titis Tulis Hyang Widhi, sekalipun menolak kita tetap menjadi penghuni
Kahyangan ini. Kalau sang Begawan menjadi penghuni di sini, itu adalah
karena perjuangan dari sebuah makhluk. Yang dilahirkan tanpa harkat,
namun mampu meraih harkat. Itu adalah bagian pengembangan dari sisi lain
Kekuatan Kuasa Illahi.”
”Kalau demikian berarti Sastra Jendra Hayuningrat bukan milik kita”, kata Batara Guru.
”Benar,
kita tidak memiliki Sastra Jendra, walaupun Kahyangan ini adalah buah
dari Sastra Jendra Hayuningrat. Sastra Jendra Hayuningrat adalah milik
Hyang Widhi, milik Illahi, yang hanya diberikan kepada mereka penduduk
bumi yang mampu mengangkat harkat dirinya. Baiklah dinda Batara Guru,
sekarang engkau masuklah pada keduanya dalam kebersamaan dengan
isterimu, Betari Uma. Bercintalah kalian dengan menggunakan fisik kedua
anak manusia itu. Engkau tidak boleh lagi terpesona oleh alam jagad
bathin keduanya. Langsung saja kembalikan diyu keduanya. Kita para Dewa
punya hak dari Hyang Agung, untuk membangun ’diyu-diyu’ dalam jagad diri
manusia.”
Batara Guru pun memanggil isterinya, Betari Uma. ”Wahai kekasihku, kita akan bercinta melalui raga dari kedua orang ini.”
”Wahai
Kakanda”, berkata Batari Uma, ”Bukankah kita bercumbu di Surgawi ini
tanpa harus bersentuhan fisik? Bukankah keindahan kenikmatan Illahi
tanpa harus melewati kelamin? Dan kita tidak lagi memiliki kalamin,
kenapa harus memakai kelamin mereka? Bukankah kita akan menodai kesucian
yang telah lama kita lakukan.”
Ingatlah
tentang kemurkaan Allah swt, saat terjadinya tragedi qolbi, dimana
bahwa penciptaan alam raya dan isinya, melalui proses evolusi
(Yaa-Siin), diciptakan dari proses pembuatan ”alat kelamin”. Sedangkan
jasad Adam dikembalikan ke Sidrah, sebagai Atma. (Proses terusirnya Adam
dari Surga)
”Duhai Dindaku, ini adalah demi kesucian Nirwana. Jangan sampai tersentuh oleh darah dan daging kedua orang ini. Kita usir mereka melalui percintaan kita.”
Maka masuklah Batara Guru dan Betari Uma ke dalam jagad jiwa Begawan Wisrawa, dan Dewi Sukesih. Batara Guru masuk ke alam perasaan lelaki sang Begawan, sedang Betari Uma masuk ke perasaan kewanitaan dari Dewi Sukesih. Begitu masuk ke jagad manusiawi keduanya, maka bergetarlah seluruh syaraf-syaraf inderawi keduanya, memunculkan perasaan aneh yang tak mampu dibendung oleh kedua orang ini.
”Duhai Dindaku, ini adalah demi kesucian Nirwana. Jangan sampai tersentuh oleh darah dan daging kedua orang ini. Kita usir mereka melalui percintaan kita.”
Maka masuklah Batara Guru dan Betari Uma ke dalam jagad jiwa Begawan Wisrawa, dan Dewi Sukesih. Batara Guru masuk ke alam perasaan lelaki sang Begawan, sedang Betari Uma masuk ke perasaan kewanitaan dari Dewi Sukesih. Begitu masuk ke jagad manusiawi keduanya, maka bergetarlah seluruh syaraf-syaraf inderawi keduanya, memunculkan perasaan aneh yang tak mampu dibendung oleh kedua orang ini.
Reaksi
pertama muncul dari alam jiwa, alam pikiran dan alam fisik Begawan
Wisrawa. Dirasakan oleh sang Begawan, dirinya seperti masuk ke suatu
padang yang panjang. Dirinya sendiri menjadi kuda jantan yang gagah
perkasa, berlari-lari dengan congkaknya. Maka energi birahi sang lelaki
menimbulkan meregangnya semua syaraf dan pori-pori tubuh. Maka secara
fisik dan dalam alam fikiran, alam jiwa, sang Begawan merasa menjadi
kuda jantan yang gagah dengan otot-ototnya yang teguh serta urat-urat
yang menegang. Resah! Diterpa birahi. Semakin meregang tubuhnya semakin
keras pula keresahan yang menerpa. Melejitlah bak anak panah yang
tersentak dari busurnya, sang kuda jantan berlari dengan desah nafas
memburu dan keringat yang membanjir, mencari kuda betina! Sang kuda pun
meringkik dengan kedua kaki depan terangkat ke atas, menendang,
melompat-lompat, tak tahan atas desakan birahi yang maha tinggi,
melampaui kekuatan keikhlasan dan keimanan jiwanya sendiri.
Kuda
jantan semakin tegang, gelisah! Dalam larinya tidak saja tubuhnya yang
menegang dengan urat-urat menonjol, otot kelaminnya pun meregang pula
bersama dengan larinya kaki dipadang panjang yang terjal dan berliku.
Betapa hebat udara birahi yang menerpa sang Begawan, birahi yang tidak
pernah dirasakan, sekalipun dalam kehidupan remaja dan akil balikhnya.
Sang kuda pun turun, naik, di setiap celah-celah gunung, jurang-jurang
yang dilaluinya. Berlari terus bak kuda sembrani yang menjelajahi
seluruh padang panjang kegelisahan, dengan satu tujuan, mencari kuda
betina!
Maka
jagad perasaan manusiawi sang Begawan dirasakan lebih sempurna dari
puncak hawa nafsu manusia di bumi. Hal ini adalah disebabkan oleh Batara
Guru sedang masuk ke pusat jagad manusiawi sang Begawan dan
membangunkan, menggetarkan semua simpul syaraf dan indera sang Begawan.
Para Dewa punya hak untuk bangunkan diyu-diyu hawa nafsu yang ada dalam
jagad manusia.
Dalam
waktu yang bersamaan, Betari Uma pun membangun nuansa-nuansa imajiner
sang Dewi. Karena sesungguhnyalah bahwa birahi itu tak lebih dari
ilusi/imajinasi belaka. Cuma karena imajinasi itu datangnya dari pikiran
dan perasaan kita, maka seolah-olah itu adalah sesuatu yang nyata.
Maka
Dewi Sukesih pun seperti wanita telanjang yang sedang mandi di telaga
Taman Firdaus, telaga Nirmala. Kemudian tangan sang Dewi pun
menyentuh-nyentuh tubuhnya yang telanjang, menimbulkan erotisme yang
sangat tinggi. Lentik jemarinya pun menelusuri seluruh lekuk tubuhnya
sendiri. Maka seketika kesucian alam Sastra Jendra Hayuningrat, punah!
Bahkan sentuhan sibakan air pun mampu menimbulkan erotisme tersendiri.
Berenanglah sang Dewi di telaga Nirmala, dipetiknya bunga-bunga yang
tumbuh di atas telaga, sang bunga pun disentuh-sentuhkan pada tubuhnya,
sehingga menimbulkan erotisme yang maha tinggi, erotisme yang tidak ada
di dunia.
Ternyata
benda-benda saja sudah mampu menimbulkan erotisme yang sangat tinggi
bagi tubuh sang Dewi, tanpa apapun, tanpa kelamin laki-laki, tanpa pria!
Dan betapa hebat nafsu dari Dewi Sukesih ini. Sentuhan-sentuhan bunga
teratai surgawi menambah rangsangan erotisme sensual sang Dewi.
Ikan-ikan yang ada dalam telaga pun menyentuh dengan nakal tubuh
telanjang sang Dewi. Juga menimbulkan kenikmatan yang sangat indah dari
sebuah rasa sensual sang Dewi.
Maka
puncak sensual sang Dewi masih harus menuntut. Dan naiklah sang Dewi
dari telaga yang indah, berguling-guling di taman. Sentuhan-sentuhan
rumput di taman menimbulkan erotis yang begitu menggelitik. Dari
sela-sela taman muncullah ular besar, sang Dewi membiarkan sang ular
menghampiri, kemudian menjalar dan menjilati tubuhnya. Lilitan ular
mulai dari ujung kaki hingga lehernya, menimbulkan puncak erotisme yang
sangat sempurna. Tidak ada dimanapun. Maka sampailah ke puncak jeritan
yang begitu mempesona dari sang Dewi. Jeritan itu adalah kesadaran
betapa dirinya merindukan fisik lelaki, merindukan sentuhan lelaki,
ciuman lelaki dan terutama merindukan kelamin lelaki. Terlontarlah
erangan jerit sang Dewi.
Resah
jeritan, desah sang Dewi, berubah diri; membentuk kuda betina yang
sedang menggosek-gosek, berguling-guling, menggesek-gesek tubuhnya,
tersiksa deraan birahi!
Kuda
jantan yang memang sedang mencari kuda betina, bertemulah keduanya.
Berguling-guling bersama, saling menggigit sambil bersenggama. Pada saat
alat kelamin kuda jantan masuk ke alat kelamin kuda betina, sadarlah
sang Dewi! Sadarlah Sang Begawan! Namun segala sesuatunya sudah
terlambat.
Sempurnalah sudah tetesan dari fisik sang Begawan, puncak ketegangan kelamin yang masuk kedalam rahim sang Dewi mengeluarkan sperma. Hubungan suami isteri sempurna melampaui kenikmatan yang telah dirasakan dari semua itu.
Sempurnalah sudah tetesan dari fisik sang Begawan, puncak ketegangan kelamin yang masuk kedalam rahim sang Dewi mengeluarkan sperma. Hubungan suami isteri sempurna melampaui kenikmatan yang telah dirasakan dari semua itu.
Dalam
pada itu menjelang puncak hubungan dari keduanya, dengan cepat Batara
Guru dan Betari Uma keluar dari tubuh keduanya, lapor pada Batara
Narada.
”Wahai
Kakanda, benar! Ternyata mereka masih merindukan dosa-dosa yang
tersembunyi. Sekalipun sudah sampai ke jagad alam yang paling suci,
melampaui kesucian kita para Dewa. Mereka masih memiliki kelamin yang
ada dalam Jagad Sastra Jendra Hayuningrat. Wahai Kakanda, betapa
keagungan dan kesucian Sastra Jendra masih harus diperankan oleh kelamin
mereka. Mereka dengan kelaminnya harus kembali ke bumi.”
Sesungguhnyalah
bahwa pada saat keduanya didera oleh birahi yang maha dahsyat, semakin
tinggi birahi dirasakan oleh keduanya, maka semakin turunlah mereka dari
Kahyangan. Desah erang kejantanan sang Begawan dan jeritan kewanitaan
sang Dewi dipuncak hubungan kelamin sempurna, keduanya sudah berada di
Taman Arga Soka. Taman yang memang dipersiapkan bagi keduanya oleh Prabu
Sumali, ayahanda Dewi Sukesih.
Begitu
sadar, maka keduanya dalam keadaan tanpa busana. Reaksi pertama dari
keduanya adalah dengan cepat mengambil busana masing-masing yang
ternyata tergeletak di sebelah mereka, dan segera menutupi tubuh
masing-masing.
(Dalam Qur’an : ”………Adam dan Hawa segera mengenakan daun-daun surga untuk menutupi auratnya”).
Keduanya
pun dilanda, dicekam oleh rasa malu yang sangat! Setelah keduanya
selesai mengenakan busana masing-masing, nampaklah bahwa busana sang
Dewi, busana indah puteri seorang raja yang serba putih, penuh noda
darah keperawanan sang Dewi. Gugurlah Bunga Menur seorang gadis yang
suci.
Berkata
sang Begawan pada Dewi Sukesih, ”Wahai Dindaku, kita telah terikat
sebagai suami isteri dan kita tidak perlu menikah kembali atas
persetujuan orang tuamu. Kita tidak perlu akad nikah yang diresmikan
oleh rakyat, oleh umat. Dan kitapun malu minta kepada sang Dewa untuk
diresmikan dan disyahkan. Kita dinikahkan oleh syahwat kita. Bukan
dinikahkan oleh alam ini, bukan dinikahkan oleh orang-tua kita, dan
bukan pula dinikahkan oleh Sang Hyang Wenang, Tuhan yang Maha Esa.”
Dewi
Sukesih menangis dengan segala penyesalan, dan air mata pun berderai
tak henti-hentinya. Sementara sang Begawan tak berkata-kata, tak ada
kalimat yang menyatakan tentang mohon pengampunan dosa. Tiada kata-kata
yang menyatakan tentang rasa kebersalahan atau penyesalan dari sang
Begawan.
”Wahai Dindaku”, kata sang Begawan, dengan nada getir yang kering, ”Engkau masih untung, kesakitan jiwamu dan rasa bersalahmu masih bisa diwakili oleh derai air matamu. Tapi aku tak mampu lagi yang bisa mewakili rasa sakit dari rasa bersalah ini.”
”Wahai Dindaku”, kata sang Begawan, dengan nada getir yang kering, ”Engkau masih untung, kesakitan jiwamu dan rasa bersalahmu masih bisa diwakili oleh derai air matamu. Tapi aku tak mampu lagi yang bisa mewakili rasa sakit dari rasa bersalah ini.”
Ternyata
walaupun tak ada kata atau kalimat yang menyatakan perasaannya ataupun
derai air mata dari sang Begawan, ternyata sang Begawan lebih tinggi
rasa penyesalannya. Karena dia adalah pendeta, wali Allah, seorang ulama
yang sangat kasyaf, seorang resi, seorang pastur yang sangat suci.
Rasa
penyesalan tak lagi mampu dapat diwakili oleh perangkat apapun,
sekalipun dalam bentuk tangisan. Maka berkatalah sang Begawan, ”Dindaku,
menangislah sepuasmu sekalipun tidak akan mensucikan noda-noda kita.
Darah yang ada dalam busanamu menyebabkan semua anak manusia yang akan
datang ke dunia ini harus tercekam, terpenjara kerinduan malam pertama
pengantin. Biarlah, kita korban dari keserakahan nafsu kita sendiri.
Biarkanlah kita menjadi korban dari syahwat yang lebih besar dari
raksasa apapun. Biarkanlah kita menjadi tumbal, menanggung dosa semuanya
yang akan lahir ke dunia ini”, sang Begawan tercenung sejenak, kemudian
katanya,
”Wahai
Dindaku, sperma yang keluar dari kelaminku telah menetes dalam jagad
kewanitaanmu. Biarlah sperma itu menjadi makhluk baru dalam rahimmu,
menjadi makhluk baru yang penuh kemerdekaan. Apapun sang janin jadinya.
Kita serahkan kepada hawa nafsu yang telah kita ukir bersama. Biarlah
sang nafsu yang telah kita ukir bersama akan membangunkan janin bayi
yang ada didalam perutmu. Wahai Dindaku, kita harus siap mencintai,
merawat dan mendidik bayi-bayi yang akan lahir. Anakmu adalah anakku,
anakmu seharusnya cucuku, tapi anakmu adalah anakku. Apapun sifat dari
bayi ini, kita tak boleh mengurangi cinta kita pada mereka, kita didik
dengan segala pengorbanan tanpa harus menuntut. Sekalipun kita didik
sebaik mungkin, karena lahir dari dosa kita, kitapun tak mampu untuk
menjadikan mereka anak baik yang mendapat ridho dari sang Dewa.
Biarkanlah berkembang dengan sifat keangkaraannya, dengan penuh
kesalahannya. Biarkanlah anak kita berkembang dengan keinginannya, asal
kita mensisakan kasih sayang yang ikhlas untuk mereka. Dengan segala
perlindungan dan pendidikan. Dan baik tidaknya anak ini bukan tugas kita
lagi. Itu adalah tergantung kearifan dari Sang Hyang Widhi yang
menciptakan kita. Kitapun tak mampu berdoa untuk mohon itu, karena doa
itupun sudah mengutuk kita dari dalam perbuatan syahwat yang akan
mengukir sampai akhir dunia.”
Maka
rasa malu keduanya untuk berhadapan dengan mereka yang dicintai, harus
tetap dilakukan. Sang Begawan harus mohon maaf, harus mencium kaki
sahabatnya sendiri, Prabu Sumali. Dan harus minta maaf pada anaknya
sendiri, Prabu Danareja, sebagai raja Lokapala.
Sementara
itu di Alengka, di dalam istananya yang megah, Prabu Sumali muncul
kerinduannya yang sangat pada puterinya. Dan kerinduan yang
menggelisahkan Prabu Sumali, bersamaan dengan masuknya Betari Uma ke
dalam jagad kewanitaan Dewi Sukesih.
”Wahai
sang Dewa, mengapa puteriku yang kucintai hingga hari ini belum juga
pulang. Sedangkan Semua rakyat menunggu anakku dalam membawa oleh-oleh
dipedarnya Sastra Jendra Hayuningrat. Sekalipun darah para raja tidak
mengalir lagi di tanah Alengka ini, namun kerinduanku pada puteriku
laksana genangan darah yang tak mampu mengalir. Mengapa aku gelisah
wahai Dewa Maha Agung aku merindukan puteriku dengan segala kegelisahan.
Jangan Engkau jadikan kegelisahanku sebagai ayah, menjadi kenyataan,
Wahai Dewa Agung.”
Demikian
ungkapan perasaan Prabu Sumali yang sedang dilanda kegelisahan. Di
puncak kekhawatiran Prabu Sumali yang menanti penuh harap-harap cemas
kepulangan puteri tercinta. Datanglah Dewi Sukesih bersimpuh di kaki
ayahandanya, menangis dengan segala jeritan.
”Wahai Ayahanda, aku menciptakan bencana dan aku terbentur bencana, yang diciptakan dari keinginan dan keyakinanku sendiri.”
Betapa terkejut Prabu Sumali, ”Ada apakah gerangan wahai anakku.”
”Aku
menciptakan bencana wahai ayahda, bencana yang memporak-porandakan
semua yang kumiliki. Kini anakmu tak memiliki apa-apa, selain noda-noda
dosa dan berkas-berkas syahwat yang begitu agung bercokol dalam jiwaku
wahai ayahanda”, Kata Dewi Sukesih diantara sedu sedannya.
”Terangkanlah
musibah itu, wahai Puteriku”, kata sang ayah, Prabu Sumali. Namun Dewi
Sukesih diam…..terbungkam. Dalam diamnya air matanya tetap mengalir,
tapi air mata darah yang terus menetes, mengalir. Ruang-ruang megah dari
istana raja yang penuh dengan hiasan dan permadani yang indah, tegenang
darah air mata sang Dewi. Alam diam. Dunia sepi. Semua rakyat tidur
dalam kesyahduan. Bulan padam. Matahari padam. Kehidupan pun terhenti.
Tinggallah
cekam kesepian yang begitu merasuk dari jiwa ketakutan sang ayah
menimbulkan goncangan-goncangan yang sangat hebat dalam dadanya.
Terjadilah kehendak Dewa, cekam kesepian justeru bercerita tentang riwayat puterinya sendiri, tentang riwayat sahabatnya sendiri.
Terjadilah kehendak Dewa, cekam kesepian justeru bercerita tentang riwayat puterinya sendiri, tentang riwayat sahabatnya sendiri.
Pengulangan
kembali peristiwa Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih, sekaligus
”berulang” dengan melibatkan sang raja. Dari cerita dua tokoh
lelaki-wanita dari peristiwa panjang sampai bencana. Alam bercerita
kembali tentang peristiwa itu, yang langsung dirasakan oleh Prabu
Sumali.
Seusai pengulangan peristiwa itu, Prabu Sumali pun bersujud kepada Sang Dewa Agung, Sang Hyang Widhi.
”Wahai
Hyang Maha Agung, Dewa, Batara, apakah ini sebuah perbuatan dari harga
manusia, atau ada keterlibatan Engkau dalam mengobarkan, membangunkan
api-api birahi yang ada dalam diri kami. Aku tak percaya, sahabatku yang
begitu suci, yang mulia akhlaknya, yang suci ibadahnya, yang sempurna
dalam meninggalkan kekuasaan kekayaan. Harus terlena oleh peristiwa itu,
aku tak percaya! Pasti…….ada keterlibatan Engkau, wahai Dewa Agung di
Nirwana.”
Demikianlah Prabu sumali berkata dalam sujudnya. Begitu sujudnya selesai, sang Prabu pun bangkit berdiri.
Tak lama kemudian, sahabatnya, Resi Wisrawa, sujud dipelukan kaki sang Prabu. Maka diangkatnya sahabatnya, dipeluknya.
”Wahai
sahabatku, jangan engkau sesali semua ini, karena kita berangkat dari
noda, jangan terlalu berharap banyak untuk mencapai kesucian seperti
para Dewa. Biarkanlah kesucian menjadi keangkuhan para Dewa di Nirwana.”
Sang Prabu Semakin erat memeluk sahabatnya.
”Jangan
menyesal, aku tidak saja memaafkan engkau. Tapi cinta aku dalam jiwa
sebagai sahabat tambah sempurna untuk mencintai engkau, begitupun cinta
aku kepada puteriku. Puteriku korban dari harapannya sendiri. Biarkanlah
para Bidadari mengutuk puteriku, tetapi aku yakin, suatu saat puteriku
akan mengalahkan harkat Bidadari Kahyangan semuanya. Wahai puteriku,
bangunlah, peluklah aku, jangan malu.”
Sang
Dewi pun memeluk ayahandanya, di dadanya dia bersandar. Maka tumbuhlah
perasaan tentram, setentram bayi dalam pelukan pelindungnya. Sang Dewi
pun tenggelam dalam kesempurnaan cinta seorang ayah.
”Wahai
puteriku, siapapun engkau dengan noda dosa yang sangat tinggi, cintaku
tidak pernah berubah. Cintaku tambah tinggi karena aku tahu engkau
memiliki kecintaan kepada rakyat, dan aku tahu engkau memiliki kecintaan
kepada orang tuamu, melampaui saudara-saudaramu, melampaui cintanya
rakyat kepadaku sebagai raja, dulu. Dan akupun mampu meninggalkan
kekuasaan tahta, harta, serta ibumu. Itu adalah karena dorongan cintamu
yang agung untuk segera meninggalkan istana, dan segera menuju
pertapaan. Itu adalah jasamu, anakku. Dan ini akan menyelamatkan engkau
dan mengalahkan keagungan bidadari yang ada di Kahyangan. Senyumlah,
puteriku…..”, Sang Prabu mengangkat wajah Dewi Sukesih, ”Senyumlah….”,
sang Dewi pun tersenyum.
”Teruskanlah
perjalananmu bersama suamimu. Dan engkau wahai sahabatku, bertanggung
jawablah, bahwa inilah isterimu. Walaupun engkau tidak dinikahkan oleh
alam dan sang dewa. Tapi engkau akan dinikahkan oleh cinta aku sebagai
sahabatmu. Wahai Begawan dan engkau wahai Puteriku, akan kunikahkan
dengan cinta yang agung, yang pernah engkau berikan padaku, itulah
mahar.”
Tak lama kemudian, Prabu Sumali mempersilakan keduanya berangkat.
”Berangkatlah
menuju kepada kehidupan. Jemputlah darah-darah yang akan mengalir ke
muka bumi ini. Wahai puteriku, tampunglah darah-darah para wanita,
engkau membuktikan diri kepada para Dewa. Membuktikan bahwa engkau mampu
lebih agung daripada para Bidadari, bahkan dari para Dewa itu sendiri.
Berangkatlah, tundukkan dunia ini dengan darah yang engkau tampung,
jangan coba kau tundukkan dengan kesucian Sastra Jendra”, kata Sang
Prabu mengakhiri pesannya.
Setelah berpamitan maka berangkatlah keduanya, melanjutkan perjalanan.
Sedangkan dikerajaan Lokapala, sang raja Prabu Danareja duduk tercenung, melamun. Makanan yang disiapkan oleh ibundanya, tak disentuh. Hari demi hari hingga datangnya bulan, sang anak puasa.
Sedangkan dikerajaan Lokapala, sang raja Prabu Danareja duduk tercenung, melamun. Makanan yang disiapkan oleh ibundanya, tak disentuh. Hari demi hari hingga datangnya bulan, sang anak puasa.
”Wahai anakku”, kata sang Ibu, ”mengapa engkau biarkan dirimu tersiksa oleh puasa?”
”Ibu,
aku sangat merindukan kekasihku Dewi Sukesih. Kapankah Ayahanda dan
Dewi Sukesih pulang. Kerinduanku pada Dewi Sukesih melenyapkan seleraku
pada makanan apapun. Apapun kenikmatan dunia tak ada artinya
dibandingkan kerinduanku kepada kekasihku, Dewi Sukesih.”
”Wahai
anakku, ayahmu pasti berhasil membawa Dewi Sukesih. Dan aku ini, ibumu,
telah membuktikan kepatuhan dan janji yang benar dari ayahmu. Sebagai
wanita, sebagai isteri aku puas, sebagai orangtua anak-anakku, ayahmu
telah menghantar aku ke alam yang sangat tinggi dari kenikmatan harkat
wanita. Apalagi engkau sebagai anaknya, pasti diangkat lebih tinggi.”
Namun betapa kaget keduanya, ketika ada yang datang, yang ternyata adalah Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih.
”Mengapa mata ayah demikian redup?”, berkata Prabu Danareja, ”Dimana kegagahan Ayah?”
”Wahai
anakku, aku telah mencuri cinta, mencuri cinta kepada anakku sendiri.
Cintamu kepada dewi Sukesih telah aku curi. Sekarang kekasihmu adalah
ibu tirimu.” Maka sujudlah Begawan Wisrawa kepada anaknya sendiri.
Sang
anak tak mampu berkata-kata, diam seribu basa, sudah tidak ada lagi
perasaan apapun dalam jiwanya. Dirinya sudah menjadi patung yang tidak
mempunyai rasa hidup. Dirinya tak dapat menyalahkan ayahnya ataupun
menyalahkan Dewi Sukesih, karena jiwanya menjadi batu yang tak punya
rasa.
”Wahai
anakku Danareja, ampunilah ayahmu ini. Ayahmu gagal dalam memenuhi
keinginanmu. Namun biarlah semua apa yang aku raih sebagai manusia dalam
tapaku, dalam meninggalkan kemasyhuran tahta dan harta. Maka seandainya
Hyang Widhi memberikan nilai-nilai kepada aku, biarkanlah aku berikan
kepadamu, wahai anakku. Biarkanlah aku tidak ada arti selama alam raya
ada, sampai aku bertemu dengan Hyang Widhi nanti. Biar kemegahan di
hadapan Tuhan engkau yang merasakan, wahai anakku. Karena diantara noda
dosaku, aku merasa lebih cinta kepada anakku. Engkau adalah kulahirkan
dengan kesucian jiwaku. Namun engkau dihancurkan harapanmu, oleh rasa
ayah yang dapat menyelamatkan anaknya.”
Kemudian sang Begawan bersimpuh kepada isterinya,
”Maafkanlah aku, wahai isteriku.”
”Wahai
kanda”, berkata sang isteri, ”Tiada yang harus engkau ungkapkan. Namun
cintaku yang murni, dalam kerinduan begitu utuh dan indah manakala
kerinduanku sebagai wanita muncul. Dan aku tenang dengan cinta itu
karena engkau, wahai suamiku, sedang bertapa dalam Sastra Jendra
Hayuningrat. Namun kali ini cintaku merasa di uji. Yang berarti aku
tidak perlu lagi merindukan dirimu. Manakala aku paksakan merindukan
cinta pada suamiku, berarti aku harus berhadapan dengan cemburu, karena
engkau telah memiliki isteri yang baru. Biarkanlah cinta ini akan
kugenggam. Kalaupun aku rindu kepadamu, itu adalah kerinduan dari
kenangan masa lalu kita. Biarkanlah cinta ini aku persembahkan teruntuk
Sang Hyang Wenang. Maka tidak ada ampunan dariku. Pergilah, aku pun
seharusnya seperti isterimu Dewi Sukesih, namun aku lebih beruntung
karena aku telah dihantar oleh harkat.”
Dewi Sukesih dihantar kesombongannya dalam merasa dirinya mampu memedar Sastra Jendra Hayuningrat.
Maka
kedua orang ini berjalan setapak demi setapak di muka bumi ini. Hingga
di suatu saat datanglah suara atau wangsit dari Kahyangan. Batara Narada
menyampaikan wangsit Sabdo Palon pada keduanya :
”Wahai
anak-anaku, jangan sesali kemalanganmu, apakah engkau lupa wahai
anakku. Kemalangan adalah hak setiap penduduk bumi, hidup itu sendiri
adalah kemalangan. Wahai anak-anakku! Dunia adalah kemalangan, kamu
harus ramah terhadap kemalangan. Jangan engkau lawan kemalangan. Kalau
engkau ingin mendapatkan pengakuan penghormatan dari Sang Hyang Wenang,
terimalah kemalangan sebagai kesadaran kehidupan di muka bumi ini.
Karena kemalangan menyimpan rahasia kebahagiaan, kebahagiaan mereka yang
ada di muka bumi, itu ada di balik kemalangan. Jangan engkau lawan,
akrabilah, hingga kemalangan memberikan permata kebahagiaan kepada
engkau”, Sabda Batara Narada.
[Dalam GGM, ”Bahwasanya, setiap kejadian yang menimpa seseorang, itu adalah dialog Allah dengan makhluk-Nya”]
”Wahai
anakku, setinggi apapun harkat manusia, setinggi apapun ilmunya,
ibadahnya, dharmanya, itu tak akan mampu mencari jatidirinya, karena
jatidiri semakin dikejar semakin jauh. Jatidiri adalah dekat dalam jauh,
jauh dalam dekat. Kau harus pandai-pandai melihat dimana ada jatidiri,
tapi jangan mencoba memetik. Jatidiri bukan milik makhluk tapi milik
Sang Hyang Tunggal”, demikian Sabda Palon dari Batara Narada.
”Dan
engkau pun lupa wahai anak-anakku, kejahatan adalah bagian nafas
kehidupan manusia. Segala apapun nilai-nilai yang suci dan benar, itu
tetap ada dalam nafas kejahatan. Karena dagingmu menghirup udara
kejahatan, darahmu mengecap udara kejahatan, fikiranmu menerima air
kajahatan. Dan jiwamu adalah samudera kejahatan”, sabda Batara Narada,
”Dharma
yang luhur dan agung tetap harus tersimpan dalam gelombang kejahatan.
Karena itu anakku, kejahatan jangan kau lawan. lkutlah dengan kejahatan,
tetapi manakala kejahatan akan menghancurkanmu, simpan dulu kejahatan.
Biarkanlah kejahatan jadi milik hawa nafsumu, bukan milik anak-anakku.
Engkau adalah milik kebenaran. Pisahkanlah kepemilikan kejahatan dan
kebenaran, tanpa harus melawan kejahatan. Manakala engkau mencoba
melawan kejahatan, engkau akan di makan oleh kejahatan itu sendiri.
Begitulah wahai anak-anakku, dari Sabda Palon Hing Puri Agung
Hayuningrat yang ada di Puncak Tahta Kerajaan Arya Loka di Parahyangan.”
Tahta
Parahyangan adalah menyimpan tahta Kahyangan, didalammya ada Sabda
palon, yang bisa di kumandangkan oleh Batara Narada, Dewa nilai-nilai,
Dewa kesucian dan Dewa kearifan.
”Wahai
anak-anakku, kemalangan memadu dengan kejahatan. Maka hukum dunia,
hukum bumi adalah anak yang lahir dari kejahatan dan kemalangan.
Terimalah hukum dunia dari anak perpaduan perkimpoian kemalangan dan
kejahatan, dan ramahlah kepada hukum-hukum yang lahir dari keduanya.
Karena daging dan darah sangat dekat dengan hukum bumi yang dilahirkan
dari bayi-bayi dari perkimpoian kemalangan dengan kejahatan. Itulah
Sabda Palon, wahai anakku.”
”Karena
hukum dunia lahir dari kedua faktor tadi, maka kemanapun manusia pergi
dalam mencari jatidirinya, apalagi mencari Maha Pencipta, tetap
kesombongan dominan dalam diri manusia. Kalaupun memiliki
ketersembunyian Nurani, tetap kesombongan perahu besar dalam mengarungi
samudera kehidupan dunia. Terimalah itu semua sebagai takdir, wahai
anak-anakku. Itulah Sabda Palon.”
”Wahai
anak-anakku, Sastra Jendra bukanlah wedaran budi yang luhur, bukanlah
wedaran dari kesucian yang tinggi, bukanlah wedaran dari ilmu yang
sangat tinggi. Melainkan seruan kekuatan hati Nurani yang tersembunyi,
karena hati Nurani, walaupun kalah oleh kekuasaan kejahatan, tetap
suaranya mampu sampai ke Nirwana. Sampai pada puncak Nirwana, Tahta
Parahyangan. Karena hanya Nuranilah yang mampu menggedor pintu Tahta
Kahyangan.”
”Anakku,
dalam ’diri yang jahat’, dalam ’diri yang malang’, simpanlah desir
suara kecil dari Nurani. Walaupun kecil mampu sampai menggedor Tahta
Parahyangan. Supaya bumi menjadi subur oleh Parahyangan. Dan janji Hyang
Maha Tunggal, suatu saat bumi ini harus menjadi Parahyangan, baru Sang
Hyang Wenang, Hing Murbeng Agung, akan tersenyum dan melupakan
kemarahannya kepada penduduk bumi ini. Jadikanlah wahai anakku,
turunanmu membawa Amanat Tahta Parahyangan. Itulah Sabda Palon, wahai
anakku.”
”Dan mengapa engkau teruji, diuji oleh gelora syahwat yang tinggi, sehingga engkau menjadi suami isteri? Itu semua adalah suatu kekuatan yang tak mampu lagi dibendung olehmu. Terimalah darah-darah yang menetes dari setiap rahim yang akan lahir ke dunia, dengan demikian engkau telah memberikan kekuasaan kemalangan dari kejahatan lebih kokoh di dunia ini, hingga Hyang Widhi bosan kepada kekuasaan kemalangan dan kejahatan di dunia ini. Kebosanan Sang Hyang Widhi, itu akan menimbulkan ’kerinduan’ Sang Hyang Widhi datang langsung ke bumi yang hina. Itulah janji-Nya, untuk membangun Parahyangan. Wahai anakku, itulah Sabda Palon.”
”Dan mengapa engkau teruji, diuji oleh gelora syahwat yang tinggi, sehingga engkau menjadi suami isteri? Itu semua adalah suatu kekuatan yang tak mampu lagi dibendung olehmu. Terimalah darah-darah yang menetes dari setiap rahim yang akan lahir ke dunia, dengan demikian engkau telah memberikan kekuasaan kemalangan dari kejahatan lebih kokoh di dunia ini, hingga Hyang Widhi bosan kepada kekuasaan kemalangan dan kejahatan di dunia ini. Kebosanan Sang Hyang Widhi, itu akan menimbulkan ’kerinduan’ Sang Hyang Widhi datang langsung ke bumi yang hina. Itulah janji-Nya, untuk membangun Parahyangan. Wahai anakku, itulah Sabda Palon.”
”Maka
kemalangan manusia dengan noda dosa tidak lagi harus diruwat. Karena
Sang Hyang Widhi Maha Agung akan turun ke muka bumi, yang didampingi
oleh adikku Batara Guru.”
”Batara
Guru, adalah menjadi kendaraan yang indah dari Sang Hyang Wenang Hing
Maha Agung, untuk mensucikan segala darah-darah yang telah engkau
tampung, yang telah engkau simpan, supaya Parahyangan menjadi kenyataan.
Parahyangan itu hanya bisa dilakukan, dibentuk, dipersiapkan oleh
adikku Batara Guru, dan disempurnakan oleh kerinduan Yang Maha Agung
untuk menjadikan parahyangan bagian dari jagad Kahyangan. Walaupun
sesaat, tapi senyuman Hing Murbeng Agung menerpa, mengagungkan,
mensucikan semua yang suci. Dan Pangruwating Diyu sudah tidak ada lagi.
Karena Pangruwating Diyu telah menjadi Kendaraan kejahatan dan
kemalangan, untuk kembali kepada pusatnya yang amat rahasia.”
”Yang
ada adalah Batara Guru menjadi Satria Lelanang Jagad. Dialah nanti di
bumi yang akan memedar ’Naya Genggong’. Naya Genggong akan dipedar oleh
keagungan Lelanang ing Jagad dari Sang Hyang Jagad Nata, Prabu Siliwangi
Kahyangan, ngahyang (moksa) dan muncul dimuka bumi. Di bumi yang
ditentukan dalam tugasnya adalah memedar Naya Genggong.”
”Naya
Genggong anakku, adalah Gemah Ripah Loh Jinawi. Hanya Prabu Jagad Nata,
Panata Jagad, Panata Negara, Panata Manungsa, yaitu adikku sendiri
[Batara Guru] yang mampu demikian. Karena menjadi ’raga’nya Hyang
Widhi.”
”Adikku
tidak lagi sebagai Dewa, tetapi menjelma menjadi manusia yang berdarah
berdaging. Ilmu punah! Karena budi menjelma. Budi dan jatidiri bukan
lagi rahasia, tapi menjelma menjadi darah dan daging adikku sendiri,
untuk memedar Naya Genggong, Gemah Ripah Loh Jinawi.”
”Wahai
anakku, terimalah kemalangan dan kejahatan di dalam wadah keikhlasan
supaya dengan cepat dan pasti mengundang Adikku dan Sang Hyang Agung
turun ke bumi. Dan darah-darahmu, yang ditampung dari darah umat
Manusia. Tambah banyak penampungan tetes darah Perawan, tambah cepat
mengundang Sang Hyang Batara Pengasih Sukma, Panata Gama, Panata Buana,
Panata Cinta, Panata Asmara, Batara Panata Sakti untuk segera hadir.”
”Wahai
Dewa Narada”, berkata Begawan Wisrawa, ”Mengapa demikian? Kenapa Sang
Hyang Murbeng Agung turun ke bumi ini? betapa malu. Aku tenoda, noda ini
harus didekati oleh Yang Punya Kesucian, Sumber Kesucian. Mungkinkah
itu terjadi? betapa malu, aku.”
”Wahai
anakku, biarkanlah rasa malumu terkikis habis oleh senyuman dari Batara
Hing Murbeng Asih. Dan Batara Hing Murbeng Asih sudah sejak lama hendak
turun ke dunia ini, cuma Batara Narada masih malu untuk mengajak Sang
Hyang Widhi datang ke bumi ini. Karena genangan darah belum lengkap
mengisi mangkok kehidupan dunia ini.”
Mohon disimak baek-baek dialog-dialog yang cukup mendalam antara Batara
Guru dan Batara Narada …. perhatikan maknanya ….. karena itu adalah
Sabda Agung yang nyata …. tentang sosok Batara Guru yang “telah” hadir
di bumi …….
Sang Hyang Widhi
I
I
Nur Muhammad
I I
I I
Batara Narada (SAW) Batara Guru (Al Mahdi)
I
I
Nur Muhammad
I I
I I
Batara Narada (SAW) Batara Guru (Al Mahdi)
*
Sastra : adalah hidup dalam kehidupan; penghidupan dalam hidup;
enghidupi; menghidupkan segala yang hidup. (Hiru dina kahuripan;
Ngahuripkeun sagala kahuripan; Hirup kahirupan; Ngahuripan hirup
[Sunda].
*
Jendra : adalah proses kehidupan yang menghidupi, menuju hakekat
kehidupan yang sehidup-hidupnya; mengarungi puncak kehidupan tanpa batas
arti hidup.
* Hayuning : sangat bijaksana; Gelombang dari Karim dan Halim- Nya Allah swt.
Kencana Rukmi adalah : – Suatu alat (cahaya) untuk mengarungi Cahaya
Allah swt, (Ihdinas shirathal mustaqim). Ketentraman; kedamaian; tanpa
keinginan untuk menang atau mengalahkan. Bila kita mampu menjadikan
Nurani sebagai Perahu kehidupan kita, maka apapun gemerlap kehidupan
dunia dengan segala pesonanya, takkan mengecoh kita, walaupun kita ada
persoalan, namun kita sudah memiliki kepastian hidup, (Ihdinash
shirothol mustaqim).
Lahirnya : Rahwana, Sarpa Kenaka Dan Kumbakarna
Setelah Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih ke kerajaan Lokapala menemui isteri dan anaknya. Mereka kembali ke Alengka karena di Alengka-lah (Prabu Sumali), yang dapat menerima kedua orang ini.
Setelah Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih ke kerajaan Lokapala menemui isteri dan anaknya. Mereka kembali ke Alengka karena di Alengka-lah (Prabu Sumali), yang dapat menerima kedua orang ini.
Dan di suatu
malam yang kelam, mencekam, dimana seolah-olah udara diam tidak
bergerak. Gempa muncul dan berbagai gunung meletus. Pada saat demikian
perut Dewi Sukesih seperti mau meletus.
”Wahai Kakanda, betapa perut ini sepertinya mau meletus. Oh Kakanda, betapa sakit perut ini”, kata Sang Dewi.
Walaupun
kandungan tidak memperlihatkan perut membesar, tetapi terasa ada
makhluk yang bergerak-gerak dalam perutnya. Jadi selama mengandung benih
dari suaminya, Sang Dewi perutnya tidak berubah tetap langsing seperti
sediakala. Namun rupanya pertumbuhan janin sedemikian pesatnya. Maka
malam itu Sang Dewi tersiksa oleh sakit perutnya.
”Wahai
Dindaku, anak-anak, bayi-bayi yang ada dalam rahim sudah siap, ingin
keluar. Dan mengapa engkau penjarakan anak kita yang akan lahir? mengapa
engkau penjarakan dalam perutmu? mereka punya hak hidup untuk lahir ke
dunia. Biarkanlah mereka masuk ke alam kebebasan dunia ini, dan mereka
jenuh dan lelah bergaul dengan alam kesempitan perutmu”, kata Begawan
Wisrawa.
”Wahai
Kakandaku, aku malu. Aku malu pada pepohonan, pada daun-daun dan
gunung-gunung. Bukankah semua air, semua tanah, semua pepohonan akan
menertawakan kita. Bukankah bayi ini hasil nafsu kita yang diukir
bersama? Wahai Kakandaku, bukankah bayi ini hasil cinta kita? Cinta yang
tidak mendapat restu sang Dewa!”, demikian Sang Dewi.
”Terimalah
noda yang ada dalam bayi kita”, kata Begawan Wisrawa, ”Dan kejahatan
apapun yang akan dilakukan oleh anak kita, bukan kesadaran dari
anak-anak kita. Tapi itu adalah perpanjangan kesalahan kita, wahai
isteriku. Seandainya anak-anak kita nanti berpesta ria dalam syahwat,
itu bukanlah anak-anak kita. Tetapi adalah perpanjangan kerinduan
syahwat yang terpendam dari kita bersama. Terimalah semua itu sebagai
’nikmat’ dari Dewa. Kesakitan jiwa ini, jiwaku, jiwamu, obatnya adalah
penghinaan dari alam ini, dari mereka, dari semuanya. Tanpa penghinaan,
kita akan tetap terkurung oleh ketersiksaan rasa bersalah. Penghinaan
wahai Dindaku, membebaskan kesalahan kita, membebaskan keterkurungan
dari rasa noda. Kita malu mohon ampun kepada Tuhan, kita malu mohon
ampun pada para Dewa. Namun kita pun harus terbebas dari rasa bersalah.
Satu-satunya adalah menerima penghinaan. Hinaan adalah membebaskan kita
dari penjara noda, penjara rasa hina, penjara rasa bersalah, wahai
Dindaku. Bernafaslah engkau, terimalah hinaan itu. Berarti bayi itu akan
lahir ke dunia ini dengan selamat.”
Maka
diujung kepasrahan yang paling dalam, karena bagaimanapun juga Dewi
Sukesih telah sampai ke puncak Sastra Jendra. Sudah dipersiapkan arti
makna kesabaran yang paling sempurna, makna kepasrahan yang paling suci.
Dan diujung kepasrahan yang total, bayi pun lahir.
Namun
bukan sebagai jabang bayi yang sempurna, yang keluar adalah darah-darah
yang menggumpal, kemudian disusul oleh kuku-kuku, kuku kecil, kuku
besar, kuku hewan, kuku manusia. Kemudian lahir lagi telinga, untaian
telinga yang panjang.
Tak
lama kemudian, disaksikan kedua orang tuanya. Darah itupun berproses
jadi jantung, jadi paru-paru, setiap organ tubuh membentuk diri, hingga
sempurna menjadi bayi. Dan yang lainpun, telinga dan kuping, berproses
hingga sempurna menjadi tiga bayi.
Yang dari gumpalan darah menjadi Rahwana,
Yang dari Kuku, seorang wanita, menjadi Sarpakenaka,
Yang dari Kuping berproses menjadi Kumbakarna.
Namun
setelah menjadi manusia Sang Dewi enggan memeluknya. Karena proses yang
begitu cepat, dari gumpalan darah, kuku dan telinga, menjadi janin
bayi. Menimbulkan perasaan aneh, kagum, sekaligus takut!
”Wahai
isteriku, kini engkau telah menjadi seorang Ibu, aku menjadi Ayah.
Peluklah anakmu, jangan engkau biarkan diam. Cepatlah susui mereka
sebelum menangis. Seandainya bayi ini, anak ini, menangis, menjerit
sebelum engkau susui. Maka keagungan cintamu sebagai wanita takkan bisa
mengalahkan dunia ini. Cepat kalahkan dunia dengan air susumu. Karena
dunia dengan segala kegagahannya akan kalah, akan takut oleh air susumu.
Karena air susumu membuat energi cinta yang sempurna dari seorang Ibu.”
Maka dengan cepat, satu persatu ketiganya disusui oleh Sang Dewi.
Begitu
anak pertama, Rahwana, disusui maka dengan segera menangislah ia dengan
keras, pun demikian dengan yang lainnya. Namun yang unik, Rahwana,
begitu menangis, keluarlah sepuluh kepala, Dasamuka!
Sarpa Kenaka, begitu menangis tiba-tiba tersenyum, tiba-tiba membesar! Dan seketika, semuanya membesar! Sehingga Ibunya sendiri, lebih kecil dari ketiga anaknya. Jadi raksasa.
Sarpa Kenaka, begitu menangis tiba-tiba tersenyum, tiba-tiba membesar! Dan seketika, semuanya membesar! Sehingga Ibunya sendiri, lebih kecil dari ketiga anaknya. Jadi raksasa.
”Wahai
isteriku”, berkata Sang Begawan, ”Cintailah mereka. Mereka adalah
’diyu-diyu’, raksasa-raksasa dari diri kita yang belum sempat diruwat.
Mereka adalah jelmaan dari diyu-diyu yang ada dalam jiwa kita, yang
belum sempat di sucikan oleh Sang Hyang Widhi. Terimalah mereka,
raksasa-raksasa, sebagai anak kita, yang kita cintai, yang kita kasihi.”
”Wahai Kakanda, bagaimakah sifat nereka?”, tanya Dewi Sukesih.
”
bahwasanya motivasi perkawinan, gejolak (Sibak kembali Mutasyabih ”
perasaan/bathin, dan kadar keimanan, saat berhubungan intim, sangat
menentukan karakter anak yang akan terlahir).
”Rahwana
adalah dari gumpalan darah yang kita tampung, dengan kebanggaan ilmu
Sastra Jendra, dengan kebanggaan kesaktian yang kita rasakan. Dan dengan
kebanggaan kita sudah pasti masuk Nirwana. Kitapun terjatuh! Maka semua
dosa, darah-darah seluruh umat kita tampung bersama. Maka Rahwana
adalah anak kita, dosa kita yang sempurna, syahwat kita yang sempurna.
Kitapun telah meminjam semua syahwat manusia, kitapun telah meminjam
semua nafsu umat manusia ke dalam mangkok-mangkok kecil kita. Maka
Rahwana anak kita, adalah jelmaan kesempurnaan syahwat yang Tuhan
ciptakan untuk umat manusia. Rahwana adalah sumber syahwat, sumber
kejahatan, sekaligus sumber kemalangan. Rahwana adalah anak dari
kejahatan dan kemalangan, yang diikat oleh syahwat yang sangat sempurna.
Cintailah dia, wahai Dindaku. Hak anakku, hak anakmu untuk menjadi
apapun. Yang penting kita hantar mereka dengan cinta dan kasih sayang.
Kita didik mereka dengan tanggung-jawab. Hasil tidaknya itu kita
serahkan pada Tuhan Yang Esa. Yang penting cinta kita dalam mendidik,
cinta kita menghantar hingga dewasa. Itupun, penghinaan telah berkurang
dari dosa-dosa kita. Rasa kebersalahan kita akan berkurang, manakala
cinta-kasih kita, kasih-sayang, kepada anak-anak kita tidak pernah
berkurang dan utuh. Sekalipun mereka sangat mengecewakan kita. Kini
mereka milik Dewa, meskipun kita yang melahirkan.”
”Ada
pun anak kita yang wanita, Sarpa Kenaka”, lanjut sang Begawan, ”Adalah
kuku-kuku kita, wahai Dindaku. Engkau telah terangsang oleh seksual.
Kukumu mengusap-usap tubuhmu sendiri di Telaga Nirmala, kukumu
mengait-ngait, mencakar-cakar tubuhmu sendiri. Karena deru birahi betapa
kuat, menguasai jiwamu dan fikiranmu, wahai Dewi Sukesih. Dan itupun
kuku-ku, saat aku jadi kuda jantan, berlari-lari dalam birahi. Kuku kuda
itu ada dalam kandunganmu. Lahir sebagai anak kita, yang kita cintai,
Sarpa Kenaka. Sarpa Kenaka adalah lahir dari erangan-erangan,
cakaran-cakaran kuku, karena birahi yang begitu hebat, yang menggerogoti
jiwa kita. Dan kuku-kuku birahi sudah merasuk umat manusia hingga akhir
zaman, wahai Dindaku. Dan puteri kita adalah simbol dari semua kuku
yang ada di muka bumi ini. Kelak puteri kita, tidak ada yang dicari,
selain lelaki! Tidak ada yang dicari kecuali kebanggaan menguasai
lelaki. Cinta, tidak ada bagi anak kita yang wanita ini, yang ada adalah
birahi. Dia tidak pernah puas menyerahkan tubuhnya untuk disenggamai
oleh setiap lelaki, dan dia tidak pernah puas hanya dengan disetubuhi,
bahkan dia harus memperkosa setiap lelaki. Kejantanan setiap lelaki dari
anak manusia itu bisa dikalahkan oleh birahi putri kita. Dan tidak itu
saja, kuku birahi lelaki tidak boleh memiliki wanita, tetapi lelaki
harus dibeli oleh syahwat. Walaupun puteri kita berupa wajah buruk, bau,
kotor, raksasa. Tapi manakala timbul birahi pada laki-laki, dia akan
secantik bahkan melampaui kecantikan bidadari dari Kahyangan. Betapa
akan terpesona semua mereka yang merasa menjadi pria, yang merasa
menjadi lelaki. Kecantikan yang sempurna, kecantikan engkau wahai Dewi
Sukesih, telah terwariskan pada puteri kita. Namun, saat dunia engkau
menjadi kuda betina, dunia aku menjadi kuda jantan yang mengerang dalam
senggama yang sempurna. ltu lebih luas, lebih besar jagadnya dalam jiwa
puteri kita. Maka lelaki harus di beli, tidak saja fikiran dan jiwanya,
namun semuanya akan dibeli oleh puteri kita. Satu lelaki tidak cukup,
seribu lelaki lebih tidak cukup. Tidak saja fikiran dan jiwanya yang
harus menghamba pada puteri kita, tetapi puteri kita bisa menimbulkan
kebanggaan kelamin dari setiap pria, yang anak kita beli.
Jadilah puteri kita, sumber sensual dari semua pria yang ada di dunia.”
”Dan anak kita Kumbakarna dari kuping/telinga”, sang Begawan meneruskan, ”Manakala kita di perbatasan Sela Menangkep, pintu Surgawi. Kita sadar, kita merindukan Yang Menciptakan Nirwana, walau kita tidak merindukan nikmat Nirwana. Namun kitapun sadar, manakala datang cobaan-cobaan. Rayuan engkau kepadaku dan tuntutan seks dari aku kepadamu, kitapun sadar sedang dicoba oleh sang Dewa. Maka bukankah Kakang sudah mencoba mengajak engkau ke bumi ini? Telinga kita saat itu, mendengar panggilan Sang Hyang Murbeng Asih, dari puncak Nirwana. Karena saat itu kita merasa kotor, belum siap masuk ke Nirwana. Jangan sampai mendengar kesucian yang luar biasa dari panggilan Illahi, manakala jiwa kita masih kotor, ternoda. Maka telinga-telinga yang lahir dari rahimmu menjadi putera Kumbakarna. Itu adalah perpaduan kerinduan pada kesucian, kerinduan pada kebenaran namun tanpa daya dalam dunia kekotoran. Kumbakarna adalah simbol bahwa manusia merindukan kesucian, merindukan ’dharma’ yang sempurna dan merindukan ingin sempurna dalam amal ibadah. Tapi manusia pun tidak mau melepaskan jerat birahi, jerat harap, jerat nafsu yang kuat. Maka kerinduan ini, dari suatu Dharma dan kesucian hanya ada dalam pendengaran Nurani manusia, tidak dalam pendengaran kuping manusia. Maka Kumbakarna, wahai istriku, setelah besar nanti. Dia melihat angkara murka di sekelilingnya tapi dia tidak kuasa untuk memperbaiki. Lebih senang tidur! Meninggalkan angkara murka. Tidur dalam ketenangan, karena tidak mau terbawa oleh angkara murka, namun gagal untuk merubah angkara murka. Maka anak kita seperti gunung yang diam, dia tidur dalam kediamannya. Tahu semua yang ada di dunia ini, tapi tak mampu untuk mengubahnya. Dia berhasil untuk tidak terserang angkara syahwat, tapi dia tak melawan, menghabiskan angkara syahwat. Syahwatnya memang tidak disenggamakan dengan sesama manusia, tidak diungkapkan dalam hubungan suami isteri, dalam hubungan lelaki dengan wanita. Tetapi, syahwatnya di bawa ke dalam tidur dan muncul dalam ilusi yang hebat. Dalam tidurnya dia bersenggama, dalam tidurnya dia bermegah-megah. Dalam tidurnya dia merasa ketenangan. Walau tidur, nafsu tetap sempurna dalam jiwanya. ltulah manusia yang akan lahir, seperti anak kita, Kumbakarna”, demikian Begawan Wisrawa.
”Kakandaku, betapa kasihan anak-anak kita ini, betapa kasihan mereka hidupnya. Aku sebagai Ibu yang melahirkan, terlalu berat untuk menerima kenyataan ini.”
”Dan anak kita Kumbakarna dari kuping/telinga”, sang Begawan meneruskan, ”Manakala kita di perbatasan Sela Menangkep, pintu Surgawi. Kita sadar, kita merindukan Yang Menciptakan Nirwana, walau kita tidak merindukan nikmat Nirwana. Namun kitapun sadar, manakala datang cobaan-cobaan. Rayuan engkau kepadaku dan tuntutan seks dari aku kepadamu, kitapun sadar sedang dicoba oleh sang Dewa. Maka bukankah Kakang sudah mencoba mengajak engkau ke bumi ini? Telinga kita saat itu, mendengar panggilan Sang Hyang Murbeng Asih, dari puncak Nirwana. Karena saat itu kita merasa kotor, belum siap masuk ke Nirwana. Jangan sampai mendengar kesucian yang luar biasa dari panggilan Illahi, manakala jiwa kita masih kotor, ternoda. Maka telinga-telinga yang lahir dari rahimmu menjadi putera Kumbakarna. Itu adalah perpaduan kerinduan pada kesucian, kerinduan pada kebenaran namun tanpa daya dalam dunia kekotoran. Kumbakarna adalah simbol bahwa manusia merindukan kesucian, merindukan ’dharma’ yang sempurna dan merindukan ingin sempurna dalam amal ibadah. Tapi manusia pun tidak mau melepaskan jerat birahi, jerat harap, jerat nafsu yang kuat. Maka kerinduan ini, dari suatu Dharma dan kesucian hanya ada dalam pendengaran Nurani manusia, tidak dalam pendengaran kuping manusia. Maka Kumbakarna, wahai istriku, setelah besar nanti. Dia melihat angkara murka di sekelilingnya tapi dia tidak kuasa untuk memperbaiki. Lebih senang tidur! Meninggalkan angkara murka. Tidur dalam ketenangan, karena tidak mau terbawa oleh angkara murka, namun gagal untuk merubah angkara murka. Maka anak kita seperti gunung yang diam, dia tidur dalam kediamannya. Tahu semua yang ada di dunia ini, tapi tak mampu untuk mengubahnya. Dia berhasil untuk tidak terserang angkara syahwat, tapi dia tak melawan, menghabiskan angkara syahwat. Syahwatnya memang tidak disenggamakan dengan sesama manusia, tidak diungkapkan dalam hubungan suami isteri, dalam hubungan lelaki dengan wanita. Tetapi, syahwatnya di bawa ke dalam tidur dan muncul dalam ilusi yang hebat. Dalam tidurnya dia bersenggama, dalam tidurnya dia bermegah-megah. Dalam tidurnya dia merasa ketenangan. Walau tidur, nafsu tetap sempurna dalam jiwanya. ltulah manusia yang akan lahir, seperti anak kita, Kumbakarna”, demikian Begawan Wisrawa.
”Kakandaku, betapa kasihan anak-anak kita ini, betapa kasihan mereka hidupnya. Aku sebagai Ibu yang melahirkan, terlalu berat untuk menerima kenyataan ini.”
Sang
Begawan mengangkat kedua tangannya ke langit, ”Wahai Maha Dewa, aku
mensyukuri bahwa isteriku muncul kekuatan cintanya, disela cinta muncul
tanggung-jawabnya. Wahai Maha Dewa, bukankah cinta tiada arti tanpa
tanggung-jawab? Bukankah cinta tiada makna tanpa tanggung-jawab? Dan,
bukankah cinta tidak harus ada tanpa tanggung-jawab? Tanggung-jawab
adalah buah dari cinta, tapi cinta itu sendiri lahir dari
tanggung-jawab. Betapa Engkau telah menganugerahkan perasaan pada
isteriku, untuk membuahkan cinta. Wahai Sang Dewa, isteriku telah
’meruwat’ dirinya dengan tanggung-jawab.”
”Wahai
isteriku, engkau telah suci kembali, sebagaimana engkau telah sampai ke
puncak Sastra Jendra Hayuningrat. Bawalah kesucian dirimu yang sudah
pasti masuk ke Nirwana, atas jaminan Dewa. Bawalah cinta, bawalah
kesucian dan bawalah tanggung-jawab dalam menyaksikan bagaimana anak-
anak kita merusak dunia ini”, kata sang Begawan.
”Bagaimana
Kakanda, seandainya para Dewa mengubah, apa yang telah Kakanda lihat
tentang anak-anak kita. Bisakah itu?”, Sang Dewi bertanya.
”ltu,
’titis tulis’, Hing Dumadi”, jawab Sang Begawan, ”Kita membuat
tulisannya, kita mempersiapkan daun lontarnya. Kita telah menulis dengan
cinta, dengan syahwat, dengan ilmu dan dengan kesucian, pada daun
lontar. Maka para Dewa meniupkan daun lontar itu jatuh di muka bumi ini.
Memang hukum dunia dari kejahatan dan kemalangan, itu dibawa di
permukaan daun lontar yang telah kita tulis bersama, telah tertulis pula
di Nirwana. Permata-permata indah yang menghiasi Nirwana, yang
memberikan cahaya ke negeri Nirwana, yang memberikan cahaya ke alam para
Dewa, mulai redup. Karena telah kita nodai dengan air kehidupan dunia
di permata cahaya dinding-dinding perhiasan Nirwana. Maka Permata
kehidupan berkurang pancaran cahayanya oleh percikan air yang kita
siramkan ke Nirwana.”
”Oh! Kakanda. Kapankah itu? Bukankah kita tidak pernah masuk ke Nirwana ? Dijegal oleh para Dewa!?”
”Lupakah
wahai Dindaku? Ternyata perbuatan kita melakukan hubungan suami istri
dan pesta syahwat, itu adalah kehendak Dewa? Dan manakala selesai Batara
guru mempengaruhi kita untuk bersenggama, sang Dewa keluar dari jagad
jiwa kita, kembali ke Nirwana membawa air kehidupan dunia dari tubuh
kita, dari darah kita, dari daging kita. Batara Guru tak kuasa untuk
menggenggam air kehidupan dunia, maka memerciklah ke permata cahaya di
dinding Nirwana. Dan Batara Guru hanya melaksanakan tugas, titah, dari
kebenaran Nirwana. Dan air itu kita yang membawa ke Puncak Sastra
Jendra. Air dunia yang ternoda, kita bawa ke puncak Hayuningrat yang
belum saatnya tiba. Wahai Dindaku. Anak-anak kita sudah masuk ke alam
Takdir. Sudah masuk ke jagad Paria yang terendah, yang terhina, yang
terhitam dari kehidupan. Anak-anak kita sudah terlanjur kita penjarakan
di Alam Samsara. Walaupun mereka jahat, merekapun harus menerima
penderitaan. Samsara!”
”Anak
kita Rahwana, berkuasa jadi raja, apapun yang diinginkannya mampu
didatangkan. Tapi apa yang didapat tidak membahagiakan anak kita. Justru
itu alam Samsara, alam penderitaan yang lebih menderita dari kita
sendiri, wahai isteriku.”
”Sarpa
Kenaka, kecantikannya mampu membeli seribu laki-laki, menikmati seks,
pesta pora dalam birahi. Seribu lelaki yang molek mudah didapatkan.
Erang kuda kejantanan lelaki mudah dikecap, tapi puteri kita tidak
pernah, tidak bisa menikmati, karena puteri kita ada di alam jagad
Samsara, lebih mederita dari kita.”
”Anak
kita Kumbakarna, dalam tidurnya dia menikmati kehidupan illusi, dalam
tidurnya dia menikmati seks, pesta seks. Dalam tidumya dia ada dalam
Istana dengan berbagai kemewahan dan keindahan. Tapi Kumbakarna anak
kita, tidak menikmati di alam nyata. Tetapi alam illusi. Dalam tidurnya
ada di jagad Samsara, di jagad penderitaan yang sangat, melampaui
penderitaan kita, wahai isteriku.”
”Karena
itu mereka sudah terlanjur masuk ke jagad Takdir, Kehendak Hyang Widhi.
Karena kita memercikkan air noda dunia ke dinding Permata Cahaya di
Nirwana.”
”Bagaimanakah
wahai Kakanda, dalam menghadapi cinta anak-anak kita, seandainya pada
waktunya, saya ibunya harus menderita melihat penderitaan mereka,
anak-anak kita. Masihkah tetap diam?”, tanya Dewi Sukesih pada suaminya.
”Wahai
isteriku, apapun usaha perjuangan dengan segala upaya untuk memperbaiki
anak-anak kita, itu tidak mungkin menjadikan anak-anak kita lebih baik.
Kita harus menerima penderitaan mereka, karena penderitaan itu kita
pula yang mengukir.”
”Bisakah kita menyelamatkan mereka, wahai Kakanda?”
Rupanya hati seorang Ibu (Dewi Sukesih) masih selalu berharap yang terbaik bagi anak-anaknya.
”Oh
Dindaku, bukankah sewaktu kita sama-sama memedar Sastra Jendra
Hayuningrat, kitapun tak mampu menyelamatkan diri kita dari serangan
syahwat? Bagaimana kita akan mampu menyelamatkan anak-anak kita? Kita
sendiri tidak mampu menyelamakan diri kita sendiri! Terimalah azab
mereka sebagai ’cermin’ bahwa kita telah membuat tulisan dan lukisan di
cermin kehidupan ini. Dan semua anak manusia ikut serta, ma’mum, kepada
anak-anak kita, hingga keputusan Hyang Widhi, keputusan Allah bersama
Batara Guru, bersama Batara Narada, turun ke bumi ini membebaskan
Kumbakarna-Kumbakarna yang lahir. Beribu-ribu Kumbakarna akan lahir,
berjuta Sarpa Kenaka akan lahir dan berjuta Rahwana akan lahir. Hanya
Hyang Maha Asih yang mampu melepaskan dari jerat noda mereka.”
”Satu-satunya
wahai Dindaku, semua sisa kehidupan ini, kita peruntukkan bagi Tuhan
Yang Maha Esa, Maha Pencipta Nirwana, Maha Pencipta kita. Kita serahkan
semua teruntuk Hing Maha Murbeng, Allah swt.”
”Dunia
jagad jiwa kita, kita bagi dua. Jagad mencintai anak-anak kita dan
jagad yang kita persembahkan kepada Hing Murbeng Agung, Allah swt.”
Realisasi Pangruwating Diyu Dan Sejarah ” Cupu Manik Astagina ”
Ternyata
ada dendam pada Begawan Wisrawa, dari seorang yang sangat sakti yaitu
pamanda Dewi Sukesih, Jambumangli. Waktu para raja datang melamar Dewi
Sukesih, semuanya dibunuh oleh Arya Jambumangli ini. Namun setelah tahu
bahwa si keponakan diperisteri seorang resi, mengamuklah dia. Datang
kehadapan Begawan Wisrawa.
”Wahai
Begawan, aku tidak mengira, kesucian dirimu sebagai pengemban Wedha,
pengemban kebenaran, pengemban kesucian, ternyata hanyalah srigala yang
berbadankan kebenaran dan kesucian. Wahai Begawan! Ternyata
kependetaanmu hanyalah sandiwara. Padahal, aku cukup lama di puncak
penghormatan hati ini, menyimpan penghormatan kepadamu, penghormatan ini
runtuh dalam jiwa ini ! Ternyata penghormatan kepadamu sebagai Resi tak
pantas! Dan engkau tidak malu menghancurkan puteri Kakandaku, mencuri
cinta anakmu sendiri! Dan engkau menodai dirimu sendiri di hadapan
rakyat Alengka. Menghitamkan segala kesucianmu di hadapan rakyat
Lokapala. Karena itu, aku memiliki ilmu yang belum pernah kugunakan.
Seribu Ksatria akan mati, akan hancur oleh ilmuku ini. Aku tidak takut!
Sekalipun engkau sakti mandraguna, wahai Resi.”
Ternyata
segala caci-maki dan hinaan ini diterima sebagai ’nikmat’ oleh Begawan
Wisrawa. Sang Begawan tunduk, malah bersimpuh kepada Arya Jambumangli.
Sang Arya yang sedang mengamuk ini memanah sang Resi, dengan panah yang
sakti. Berbagai panah menusuk ke tubuh sang resi. Beratus pusaka
ditusukkan ke tubuh sang resi, sang resi membiarkan. Diam tak melawan.
Karena ini semua dianggap qishash (karma), siksa dunia atas noda yang
diciptakannya.
Dalam
hati sang Begawan berkata, ”Terima kasih wahai Dewa, Engkau telah
menjadikan pengadilan di Nirwana, di dunia ini. Engkau mendahulukan
pengadilan di Nirwana, di dunia ini. Bagiku ini adalah kehormatan yang
sangat tinggi, wahai Sang Dewa. Ternyata Engkau masih menghormati diriku
yang ternoda. Ternyata engkau tidak rela mengadili aku di Nirwana, tapi
mengadili aku di jagad bumi ini. Betapa Engkau dan semua para Dewa
menghormati aku. Biarkanlah siksaan ini membawa noda-noda dosa yang ada
dalam jiwa dan fikiranku, wahai Dewa-Dewa .”
Dan
ternyata, setiap senjata yang masuk dan keluar dari tubuhnya, tidak
mengeluarkan darah setetes pun. Tambah disiksa oleh Jambumangli, tambah
ikhlas, tambah nikmat dan tambah tinggi kesaktian yang ada dalam diri
sang Begawan ini. Sampai ilmu apapun telah dikeluarkan, habis semua
kesaktian Jambumangli.
”Wahai
Resi, Pendeta yang melacur! Pendeta yang bersyahwat! Ternyata engkau
sakti. Dan aku tidak menyimpan lagi kesaktian, karena aku tahu,
kesaktian engkau karena kekuatan birahi yang engkau agungkan bersama
keponakanku, Dewi Sukesih! Ternyata kesaktian engkau melampui kesaktian
semua ksatria, karena engkau beli dengan syahwat yang tinggi. Karena
engkau beli dengan tapa yang lama di dunia, dengan keserakahan cinta dan
keserakahan syahwat menundukkan Dewi Sukesih. Aku mengaku atas
kesaktianmu dan aku mengakui, kesaktian itu kau dibeli oleh syahwat dan
puasa untuk mengejar syahwat, tapa untuk mengejar syahwat”, demikian
Jambumangli.
Yang tadinya hinaan sebuah kenikmatan bagi sang Begawan. Tapi fitnah ini, sanggup menimbulkan rasa sakit di jiwanya. Maka manakala sakit di jiwanya karena tidak merasa seperti itu muncul dengan deras, justru saat itu anak-anaknya yang tiga itu, tambah besar, tambah dewasa dengan cepat, tanpa lagi melalui proses waktu. Ketersinggungan sang Resi, cepat mendewasakan mereka. Sang Resi kembali ke jagad kesuciannya. Hanya jagad kesuciannyalah sebagai Iman seorang resi yang sempurna, yang dapat mengalahkan perasaan – perasaan ketersinggungan tersebut.
Yang tadinya hinaan sebuah kenikmatan bagi sang Begawan. Tapi fitnah ini, sanggup menimbulkan rasa sakit di jiwanya. Maka manakala sakit di jiwanya karena tidak merasa seperti itu muncul dengan deras, justru saat itu anak-anaknya yang tiga itu, tambah besar, tambah dewasa dengan cepat, tanpa lagi melalui proses waktu. Ketersinggungan sang Resi, cepat mendewasakan mereka. Sang Resi kembali ke jagad kesuciannya. Hanya jagad kesuciannyalah sebagai Iman seorang resi yang sempurna, yang dapat mengalahkan perasaan – perasaan ketersinggungan tersebut.
Datanglah
suara dari Nirwana, ”Wahai Begawan Wisrawa, bunuhlah Arya Jambumangli.
Karena keangkara murkaan yang telah disebar oleh anak-anakmu, cukup
melampaui kemurkaan dunia, melampui noda dunia. Jangan sampai ditambah
noda-noda angkara Jambumangli. Namun, bunuhlah Jambumangli, bukan dengan
siksaan. Tapi bunuhlah dengan kenikmatan yang telah engkau bawa dari
Sastra Jendra!”
Maka
Sang Begawan mengeluarkan ”alat” dari tubuh dirinya sendiri. Pusaka itu
bukan tersimpan di luar tubuhnya, tapi di dalam tubuh fisiknya.
Diambillah sebuah pusaka dari perutnya, maka keluarlah satu cahaya
kuning yang menyilaukan Jambumangli. Jambumangli yang tadinya marah,
mengamuk. Tiba-tiba, tersenyum, keluarlah keringat dari sekujur tubuhnya
terus membuka bajunya sendiri, telanjang bulat! Maka tampaklah suatu
pandangan yang ganjil. Jambumangli sebagaimana seseorang (laki-laki)
yang sedang dipermainkan oleh suatu birahi yang maha dahsyat, seksnya
terangsang, nafasnya mendengus sebagaimana nafas kuda jantan yang binal,
gelisah!
Ternyata
cahaya kuning dari Pusaka ini, membawa kabar, rekaman-rekaman peristiwa
jadi kudanya Begawan sewaktu hubungan suami-isteri, pesta pora seks
dengan Dewi Sukesih. Peristiwa itu, terulang kembali! Jambumangli ikut
serta dalam pengulangan peristiwa tersebut. Dan di puncak syahwat,
Jambumangli berguling-guling di tanah, yang disaksikan oleh sang
Begawan. Akhirnya terungkaplah desah Jambumangli.
”Wahai
Dewi Sukesih, ternyata aku berhasil memiliki dirimu, engkau jadi
isteriku. Aku menyentuh tubuhmu, aku mencium tubuhmu, engkau mencintai
aku Dindaku, isteriku. Engkau berhasil menjadi milikku dan aku puas
hidup di dunia ini. Kekasihku, Cintaku, Dewi Sukesih”, demikian
Jambumangli sambil tersenyum.
Maka
senyuman itu sekaligus tarikan nafas yang terakhir. Jambumangli mati
dalam kesempurnaan nikmat syahwat bersama Dewi Sukesih, seolah-olah.
Padahal memang sesungguhnya terjadi seperti itu, karena Rahmat Allah
terlalu luas ”Nafidad Kalimatullah”. Tetap diberikan kenikmatan dan
kenyataan memiliki Dewi Sukesih. Tetapi yang dimiliki bukan keikhlasan
kesucian ilmu Sastra Jendra yang sudah ada dalam diri Dewi Sukesih. Yang
dimiliki adalah fisik syahwatnya dan kewanitaan Dewi Sukesih. Dibawa
serta dalam kematiannya.
Maka datanglah suara dari Nirwana.
”Wahai
Begawan, engkau telah menyelesaikan tugasmu membunuh Jambumangli, demi
ketenteraman dunia, dengan ilmumu. Dibunuh oleh peristiwa hidupmu,
dibunuh oleh pengalaman hidupmu, oleh nafasmu, oleh cintamu. Dibunuh
oleh keikhlasanmu dan dibunuh oleh kesaktian engkau. Namun bagian-bagian
syahwat yang tersisa dari dirimu, karena peristiwa ’senggama’ telah
engkau wariskan kepada Jambumangli. Dan oleh Jambumangli telah dibawa
kembali ke sumbernya. Biarkanlah Jambumangli, kematiannya di alam
kenikmatan seksual, karena itu semua kehendak Dewa Yang Agung.”
Dewi Sukesih menyaksikan peristiwa ini.
”Kakanda,
betapa tragis! Aku takut, aku dibawa. Syahwatku, fisik tubuh
kewanitaanku. Aku takut. Bukankah aku manusia yang harus menyertakan
perasaan kewanitaanku?”
”Wahai
Dewi Sukesih isteriku kau harus mensyukuri”, jawab Begawan Wisrawa.
”Engkau telah diruwat oleh pamanmu sendiri, yang mencintai syahwatmu,
yang mencintai kewanitaanmu. Pesona tubuhmu telah sirna kini, di dunia,
kembali ke tempat asalnya. Dibawa oleh kendaraan cinta yang ada dalam
diri pamanmu.”
Batara Narada pun datang menyampaikan sabdanya.
Batara Narada pun datang menyampaikan sabdanya.
”Anak-anakku,
engkau telah menghantar bayi-bayi hingga besar. Seiring dengan usia
bayi yang membesar, seiring pula dengan ampunan dari Yang Maha Murbeng,
menyertai engkau. Kini engkau terbebas dari dosa, noda. Engkau suci dari
ujung rambut hingga ujung kaki. Suci segala gejolak jagad fikiranmu,
suci segala gejolak jagad bathinmu, jagad jiwamu, dan suci pula rukhmu.
Aku kirimkan ’Atma’ dari puncak Surgawi, ’Atma’ dirimu. Atma dirimu akan
Kukembalikan wahai Begawan, dan Atma dirimu wahai Dewi Sukesih.
Pakailah kembali Atma dirimu, jati dirimu, yang telah lama engkau simpan
di arsip Kahyangan, atas kehendak Hyang Widhi.”
Maka datanglah cahaya yang persis wajahnya, yang persis fisiknya. Dan sang Atma itupun mengucapkan salam.
”Wahai
sang Begawan, aku terlalu lama engkau tinggalkan. Dan aku terlalu lama
engkau lupakan, namun aku rindu padamu. Kerinduan ini dapat izin dari
Hyang Widhi untuk kembali kepadamu. Terimalah aku, dalam rumah jiwamu,
dalam rumah fikirarmu.”
Berkata sang Begawan.
”Selamat
datang wahai diriku yang sudah lama kurindukan. Selamat datang hatiku
yang sudah lama kulukis dengan kerinduan kepada kebenaran. Selamat
datang, wahai jiwaku yang selama ini kugapai, masuklah ke dalam rumahmu,
yang sudah lama engkau aku kotori. Masuklah ke dalam rumahmu, yang
sudah lama aku nodai. Dan tidurlah dengan nyenyak, di tempat tidur yang
terpercik oleh spermaku, Wahai diriku. Masuklah ke jagad yang lama
kosong di dunia ini.”
Maka masuklah Atma itu ke dalam diri keduanya, Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih.
Bersabda Batara Narada.
”Wahai
Begawan, engkau telah kembali pada dirimu. Engkau telah kembali kepada
haq yang telah engkau genggam. Penderitaan yang telah engkau genggam,
usai sudah. Pengorbanan yang harus engkau bayar telah selesai, dharma
tak perlu lagi karena sang Atma adalah dharma. Ibadah sudah tak perlu
lagi, karena sang Atma, adalah ibadah. Engkau menjadi bagian dari kami,
para dewa di Surgawi. Dan engkau telah menjadi dewa di dunia ini, di
bumi ini. Wahai Begawan, segeralah berkunjung ke Nirwana. Tapi engkau,
wahai Dewi Sukesih, masih punya tugas untuk membesarkan anak-anakmu.
Maka manakala engkau rindu kepada Hyang Widhi, datanglah ke Nirwana
dalam tapamu. Dan manakala engkau terpanggil oleh tanggung-jawab kepada
cinta anak-anakmu, bangunlah dari tapamu.”
Sang Dewi menjerit
”Wahai sang Dewa Narada, kenapa aku tak diundang ke Nirwana?”
Batara Narada menjawab.
”Wahai
Ratu Bumi, wahai Ratu Dunia, cinta kasihmu masih diperlukan oleh umat
manusia. Cinta kasihmu masih diperlukan untuk mengembangkan keturunan
manusia untuk mengembangkan semua habitat hewan dan tumbuh-tumbuhan.
Supaya daun tetap lestari, supaya bumi tetap berjalan. Engkau harus
terima dharma ini sebagai penghormatan dari kami para Dewa. Biarkanlah
suami lebih dulu berkunjung ke Nirwana. Tunggulah, sampai sang Dewa
mengajak engkau ke Nirwana. Dengan rukhmu, dengan tubuhmu, dengan
jiwamu.”
Sang Begawan pun bolak-balik, Nirwana Dunia (bumi) di dalam tapanya.
”Hal ini merupakan dambaan para filosof, para sufi, para pertapa, para ahli yoga, termasuk penganut kejawen. Menjadi dambaan keinginan melanglang buana dalam sepinya, dalam tapanya, di dalam mati raganya. Umat Islam memiliki yang sempurna dalam tapa, yaitu ’Shalat’ dengan segala kekhusu’an. Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw, ’Isra’ Mi’raj’ umatku adalah ’Shalat’. Karena shalat adalah Puncak nilai-nilai yang tidak diberikan kepada umat lain. Hanya diberikan kepada umat Rasulullah SAW.”
”Hal ini merupakan dambaan para filosof, para sufi, para pertapa, para ahli yoga, termasuk penganut kejawen. Menjadi dambaan keinginan melanglang buana dalam sepinya, dalam tapanya, di dalam mati raganya. Umat Islam memiliki yang sempurna dalam tapa, yaitu ’Shalat’ dengan segala kekhusu’an. Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw, ’Isra’ Mi’raj’ umatku adalah ’Shalat’. Karena shalat adalah Puncak nilai-nilai yang tidak diberikan kepada umat lain. Hanya diberikan kepada umat Rasulullah SAW.”
Manakala
Begawan Wisrawa dijemput di Nirwana oleh para Dewa, para Bidadari,
khususnya Batara Narada dan Batara Guru, dan Batara-batara lainnya.
Mereka bertanya kepada sang Begawan ini yang namanya bukan lagi Begawan
atau Resi, tetapi sudah menjadi Batara. Batara Wisrawa (Dalam wayang
Batara Ismaya).
”Wahai
Batara Wisrawa, apakah engkau bisa membersihkan air-air noda dunia dari
Permata Kehidupan, Permata yang ada di dinding Nirwana ini? Kami para
Dewa tak mampu membersihkan air noda dunia ini, cahaya surga berkurang
oleh air noda dunia. Hanya engkau, Batara Wisrawa. Yang mampu
membersihkan, dan bawalah kembali air noda dunia ini ke bumi, karena
engkau bisa kembali ke bumi.”
Tak
ada dalam Wedha, atau kitab agama apapun, hanya bisa diwedar dengan
menggunakan, ”Senter Besar Mutasyabih” dari rahasia-rahasia Al-Qur’an.
Karena kita sudah memberi wedaran ”Cupu Manik Astagina.”
Maka
Batara Wisrawapun mengumpulkan air noda dunia yang memercik pada
permata cahaya di dinding surga. Namun, setelah dibersihkan ternyata
cahaya yang berkurang dari surga tak bisa terang kembali.
Berkatalah
para dewa, ”Wahai Batara Wisrawa, engkau telah berhasil menyimpan
kembali air noda dunia dalam mangkok jagad jiwamu. Tetapi cahaya
gemerlap yang biasa ada di Surgawi berkurang. Permata-permata indah yang
biasanya mengeluarkan cahaya gemerlap di alam Kahyangan, agak buram.
Tetap buram walaupun air noda dunia itu sudah diambil.”
Bersabda Batara Narada, ”Wahai para Dewa, lihatlah! Karena peristiwa anak manusia yang mencoba masuk ke Nirwana, disebabkan oleh ketinggian ilmu Sastra Jendra Hayuningrat, menyebabkan cahaya Nirwana berkurang. Walau sang Batara Wisrawa telah mengambil air noda dunia itu ke mangkok bathinnya, cahaya tetap buram. Permata-permata itu sendu. Permata indah di dinding surga menjadi sendu.”
Batara
Narada memberikan istilah kepada sumber cahaya yang ada di surga
menjadi redup, permata menjadi sendu, adalah ”Air permata sendu.”
Jadilah Air Permata Sendu, permata air kehidupan yang sendu.
Selanjutnya Batara Narada, mohon pada Sang Hyang Widhi di puncak Nirwana,
”Duhai Hyang Widhi Yang Agung, Dewata Sang Pencipta Segala Dewa, hanya Engkaulah yang mampu mengembalikan cahaya yang telah memudar di Nirwana ini.”
”Duhai Hyang Widhi Yang Agung, Dewata Sang Pencipta Segala Dewa, hanya Engkaulah yang mampu mengembalikan cahaya yang telah memudar di Nirwana ini.”
Terdengarlah firman dari Allah swt :
”Memang,
hanya Aku-lah yang mampu mengembalikan cahaya semua surya yang Aku
ciptakan. Hanya Aku-lah yang mampu mengembalikan cahaya. Aku akan turun
ke Nirwana, dalam membawa cahaya.”
Maka,
Sang Hyang Wenang Maha Dewata Agung, Hing Murbeng Agung, Allah
subhanahu wa ta’ala, turun ke Nirwana. Turun dari Puncak Muntaha ke
Nirwana membawa serta cahaya, firman-Nya :
”Siapakah
yang bisa menerima ’Ijab Qabul’, dari cahaya ini?” Semua bungkam.
Batara Guru bungkam, Batara Narada bungkam, semua Dewa bungkam, Batara
Wisrawa pun bungkam.
”Engkau
Wisrawa?”, firman Hyang Agung, ”Bisa membawa Ijab Qabul cahaya ini?
Engkau telah menyimpan kembali air noda dunia ke dalam jagad jiwamu.
Maka Aku terpanggil untuk turun ke Nirwana ini. Berarti engkau bisa
mewakili semua dewa-dewa untuk menerima cahaya Nirwana ini.”
Batara Wisrawa tunduk tak berkata-kata, sampai-sampai keindahan perasaannya yang sucipun, padam! Betapa malu. Malu kepada Yang Maha Menciptakan.
”Berarti, siapapun tak mampu menerima cahaya, sumber cahaya dari segala cahaya ini”, kembali Hyang Widhi berfirman :
”Cahaya
puji-pujian dari Negeri-Ku, dari Istana-Ku. Cahaya puji-pujian, cahaya
yang terpuji, Nur yang terpuji, Nur Muhammad. Berarti Aku yang harus
tentukan siapa yang mewakili sumber Cahaya Terpuji ini. Biarkanlah, Aku
lebih tahu, kepada siapa Aku lebih mencintai dari semua Dewa di sini.”
Hing
Murbeng Agung memandang semua Dewa, satu persatu. Akhirnya, tatapan
kesempurnaan Sang Hyang Widhi terhenti pada Batara Guru.
”Wahai
Batara Guru, engkaulah yang paling Aku cintai dari semua makhluk, dari
pada Nirwana yang Aku ciptakan dengan segala isinya. Aku pun hampir
mengalahkan cinta-Ku pada diri-Ku sendiri. Bawalah Kekuasaan Cahaya ini
oleh engkau, wahai Batara Guru.”
Batara
Guru sujud. Dan setelah Batara Guru bangun, maka Kecintaan Allah pada
Diri-Nya sendiri, pindah, ke jagad jiwa Batara Guru. Cinta Allah pada
Diri-Nya sendiri ada dalam diri Batara Guru. Cahaya Terpuji dari segala
Yang Terpuji, diterima.
”Simpanlah dalam jagad dirimu, wahai Batara Guru.”
Maka
cahaya Surgawi yang pudar kembali terang, lebih terang dari semula,
sebelum terkena air noda dunia. Permata Sendu, kembali gemerlap!
Ternyata Cahaya yang ada dalam Jagad Bathin Batara Guru, lebih cemerlang
dari cahaya Nirwana itu sendiri.
Firman Hyang Widhi, pada Batara Guru.
”Wahai Batara Guru, serahkanlah kembali pada-Ku cahaya itu.”
Batara
Guru pun menyerahkan kembali cahaya yang terpuji dari segala yang
terpuji, bersama jagad bathinnya sendiri, sebagai wadah. Inilah yang
dinamakan Cupu Manik Astagina.
Di
dalamnya ada Kekuasaan Allah, Cinta Allah Yang Maha sempurna. Demikian
dipersembahkan kembali pada Allah, cahaya tetap cahaya di Nirwana.
Cahaya dalam bathin Batara Guru pun tetap bercahaya.
Firman-Nya
: ”Cupu Manik Astagina ini Ku-bawa dulu sementara waktu, ke tempat-Ku.
Manakala engkau turun ke bumi, bawalah Cupu Manik Astagina ini. Guna
mempersiapkan turunnya Aku di negeri dunia.”
Begitu semuanya usai, Batara Wisrawa menangis.
”Wahai
Dewa-dewa, aku tak mau pulang! Ternyata selama waktu yang panjang,
engkau, Dewa-Dewa, belum pernah bersua dengan Sang Hyang Widhi, bertatap
muka dengan Hing Murbeng Asih. Kebetulan aku ke Nirwana ini, bersama
engkau aku bertemu. Akupun bertemu, bertatap muka dengan Hyang Agung.”
Ternyata semua dewa belum pernah bersua, bertatap muka dengan Sang Hyang tunggal. Batara Wisrawa sangat beruntung, namun dampaknya tak mau kembali pulang kebumi.
Ternyata semua dewa belum pernah bersua, bertatap muka dengan Sang Hyang tunggal. Batara Wisrawa sangat beruntung, namun dampaknya tak mau kembali pulang kebumi.
Akhirnya datanglah Firman-Nya :
”Wahai
Batara Wisrawa, belum saatnya engkau meninggalkan dunia, engkau masih
dibutuhkan oleh dunia. Bawalah Cupu Manik Astagina yang telah
Ku-genggam, namun cupunya saja. Isilah dengan air kehidupan dunia yang
telah tersimpan dalam jiwamu. Cukuplah dunia akan diruwat oleh air yang
telah Ku-simpan pada jagadmu yang diisi ke dalam wadah, Cupu Manik
Astagina.”
Isi
Cupu Manik Astagina yaitu : Nuur, tetap digenggam oleh Allah swt. Maka
turunlah Begawan Wisrawa, dari Nirwana kembali ke bumi. Dengan membawa
Cupu Manik Astagina yang isinya Air Kehidupan Dunia.
Untuk selanjutnya, Cupu Manik Astagina yang berisi air kehidupan dunia ini, kita sebut sebagai Cupu Manik Banyu Kahuripan.
Adalah sebuah hukum yang belum selesai dari setiap Nabi dan Rasul, turun ke muka bumi ini.
Cupu Manik Banyu Kahuripan ( Cupu Manik Astagina II )
Setelah Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih dengan sempurna menggunakan
Atma yang dikirim oleh Batara Narada dari puncak Nirwana. Sang Begawan
naik harkat, jadi Batara.
Batara
Wisrawa berkunjung ke Nirwana membawa amanah Hing Murbeng Agung, untuk
membawa Cupu Manik Banyu Kahuripan. Yaitu ”Cupu” yang berisi paduan air
kehidupan dunia dengan cahaya permata sendu yang ada di Nirwana.
Pada
saat Batara Wisrawa berkunjung ke Nirwana, sang Atma membawa fisiknya
yang asli, jiwanya yang asli, fikirannya yang asli. Walaupun fisiknya
yang biasa, yang dilahirkan bersila, bertapa di dalam pengosongan raga,
mati raga. Namun manakala tugas mendidik anak-anaknya memanggil, maka
sang Batara harus membawa serta fisik yang dilahirkan, bukan fisik atma.
Karena fisik yang dilahirkan lebih pandai dalam menyampaikan
ungkapan-ungkapan, ucapan-ucapan, kata-kata. Jadi, kebohongan manusia
pada dasarnya berangkat dari ingin memperindah kata-kata dalam semua
masalah. Ingin ”memoles” permasalahan yang diungkapkan, supaya lawan
bicara tertarik.
Hal
ini, sekalipun pas dengan kebenaran hakiki, ungkapan-ungkapan estetika,
dialektika manusia, itu di hadapan Allah adalah dosa-dosa kecil yang
tidak terasa. Oleh karenanya Rasulullah saw bersabda : ”Bahwa diam itu
adalah emas.” Diam yang dimaksud di sini bahwa pada dasarnya fisik
manusia kalau ada keinginan, tidak menyatakan secara langsung yang
sesungguhnya. Harus melalui cara penyajian yang berhiaskan
kalimat-kalimat yang memberikan keyakinan pada lawan bicaranya.
Demikianlah
Batara Wisrawa, dalam mendidik anak-anaknya, tanggung-jawab pada
masyarakat, harus bangun dari tapanya. Sepenuhnya dengan fisik daging
hasil proses pembuahan kedua orangtua-nya.
Dan
manakala Cupu Manik Banyu Kahuripan di bawa kembali, mengalirlah
cahaya-cahaya permata surgawi. Menyinari alam raya ini, menyinari semua
planet. Dan anehnya, planet-planet lain, begitu terbiasi, teradiasi oleh
cahaya Cupu Manik Banyu Kahuripan, maka dengan jelas kegelapan planet
tersibak! Benderang oleh cahaya Cupu Manik Banyu Kahuripan ini, bukan
oleh cahaya matahari.
Namun
manakala sang Batara sampai ke bumi, cahaya itu lebih banyak lagi yang
keluar, meradiasi, menyoroti, tapi tidak benderang di muka bumi ini,
tidak bercahaya, diterima oleh muka bumi ini. Karena cahaya ini ternyata
masuk langsung ke dalam hati manusia, ke dalam jiwa manusia, ke dalam
kerinduan secara massal kepada Yang Menciptakan di bawah sadar manusia.
Menyinari pemikiran-pemikiran manusia untuk berbuat baik, menciptakan
strategi untuk menyajikan kebaikan.
Maka
seluruh umat manusia memiliki keinginan untuk menjadi baik, ingin
menyayangi semua umat, walaupun cahaya ini bergelombang di balik
kesadaran masing-masing manusia.
Manakala
sang Batara bertapa, cahaya itu semakin bersinar, meradiasi semua
permukaan bumi dan manusia itu sendiri. Yang tadinya induk-induk hewan
hanya menyusui, tanpa kuasa untuk terus mendampingi hingga anaknya
besar. Dan diam tak berdaya, tatkala baru saja melahirkan, harus
melayani ajakan senggama dari pejantan. Namun Hikmah dari Cupu Manik
Banyu Kahuripan ini, membuat induk-induk hewan dengan sabar menanti,
menghantar anak-anaknya hingga besar. Dan ada kekuatan untuk berjuang
melawan ajakan senggama sang pejantan. Dalam Islam, lahirnya Hukum
Syariat ”Nifas.”
Bunga-bunga
yang tadinya cepat kuncup, enggan kuncup! Dia menuntut pada pencipta
untuk menjadi buah. Maka beribu habitat jenis bunga, yang tadinya hanya
sampai mekar dan layu, berlanjut menghasilkan berupa buah. Buah-buahan
pun yang tadinya sekedar manis, menjadi sangat manis. Sebuah proses
alam, evolusi alam raya.
Manakala
sang Batara bertapa, saat itu pula jiwa-jiwa manusia berbunga dengan
harapan-harapan masa depan yang gemilang, bergerak dalam membangun
Dharma, amal Ibadah. Untuk menghasilkan buah bagi dirinya sendiri, buah
keimanan bagi dirinya sendiri ataupun buah keimanan bagi umat manusia.
Manakala sang Batara bangun dari tapanya, hewan dan tumbuh-tumbuhan riang gembira dalam memperbesar masing-masing fungsinya.
Manakala sang Batara bangun dari tapanya, hewan dan tumbuh-tumbuhan riang gembira dalam memperbesar masing-masing fungsinya.
Namun
demikian, Batara Wisrawa sendu. Batara Wisrawa melihat keberkahan
cahaya ini diterima oleh semua pihak. Mengapa anak-anakku tidak menerima
cahaya ini?
Sebuah
pertanyaan yang paling menyakitkan, yang tersembunyi di balik jiwa
Batara Wisrawa. Kesakitan bertambah sakit dan luka, karena tak mampu
mengadu kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tak mampu memohon kepada-Nya, kalau
ada hubungannya dengan anak-anaknya. Jeritan hatinya hanya diobati oleh
kesempurnaan cinta kepada anak-anaknya. Suara hatinya bergelora, dalam
kesakitan.
”Wahai
anakku Rahwana, hanya cinta ayahmu yang dapat menghantarmu. Hanya cinta
ibumu yang dapat menghangatkan, dalam membesarkan dirimu.”
”Wahai
anakku Sarpa Kenaka, aku tak mampu menghantar engkau dengan cahaya
cinta yang kugenggam, tetapi engkau akan kuhantar dengan kekuatan cinta
yang kukumpulkan, yang aku besarkan, yang aku rawat dengan segala
pengorbanan.”
”Wahai anakku Kumbakarna, tidurlah engkau dalam cintaku, tidurlah engkau dalam genggaman ibumu.”
Itulah. Hanya suara hati yang meronta!
Karena Titis tulis Hing Widhi, tak mampu diubah. Anak-anaknya mengalir, terpenjara oleh takdir yang tak mampu dibedah.
Sang
waktu pun bergulir terus, Batara Wisrawa membelainya dengan tapa dan
tugas membesarkan anak-anaknya, serta berangkat dan pulang ke Nirwana.
Setiap pulang dari Nirwana, cahaya Kesucian Permata Sendu bertambah
camerlang, yang tersimpan dalam Cupu manik Banyu Kahuripan. Maka habitat
hewan dan tumbuhan terus berkembang dan berkembang. Manusia pun
keturunannya bertambah dan berkembang, meramaikan hiruk pikuk kehidupan
di muka bumi.
Cupu Manik Hayuningrat (Cupu Manik Astagina III)
Sementara
Batara Wisrawa mengisi waktunya dengan tapa dan tugas mendidik
anak-anaknya. Di lain tempat, ada satu negeri. Kerajaan, yang memiliki
seorang Puteri yang sangat cantik jelita, Dewi Windradi (Retna Windradi,
dalam wayang), tengah diperebutkan oleh para raja, para pangeran, para
satria ataupun para pembesar negeri lainnya. Dan
sang raja, ayahanda Dewi Windradi begitu terpukau oleh kegagahan
raja-raja yang melamar. Sang Dewi pun dipanggil oleh ayahandanya.
”Wahai
anakku, Dewi Windradi. Engkau telah mekar, Wanodya yang sangat cantik.
Betapa seluruh dunia mengagumi kejelitaanmu, sudah saatnya memilih
mereka, menjadi calon suamimu.”
”Anakku
Dewi Windradi”, berkata pula ibunya, ”Ibumu dulu memilih ayahmu sebagai
tempat menumpahkan kasih sayang. Sebagai kawan dalam berjalan, sebagai
sahabat di dalam kegembiraan. Dan, Engkau lahir karena itu semua wahai
anakku.”
Namun sang anak meronta, menangis. Menolak!
Dan
semua raja, semua pangeran, semua ksatria atau siapapun yang melamar di
tolaknya. Marahlah kedua orang-tuanya, hingga ia pun akhirnya diadili
oleh kedua orang-tuanya.
”Anakku
Dewi Windradi, engkau telah mencemari namaku sebagai Raja. Penolakan
engkau adalah penghinaan. Penghinaan engkau kepada ayahmu berarti
penghinaan raja-raja kepada aku. Engkau telah melawan ayahmu!”
”Wahai
ayahku, engkau bapakku ternyata lebih mencintai penghomatan sebagai
raja, daripada cinta kepada anakmu”, jawab Dewi Windradi.
”Engkau
lebih mencintai penghormatan dari umat, dari masyarakat, daripada cinta
padaku. Aku pun, anakmu, harus mengakui bahwa aku lebih menghormati
cinta Hing Murbeng Asih daripada aku menerima cintamu sebagai ayah. Dan
matahatiku lebih jelas sekarang, wahai ayahku. Engkau tidak mencintai
aku, tapi engkau memanfaatkan aku demi ambisimu sebagai raja! Namun
hatiku bertambah peka. Betapa cinta Hing Murbeng Agung lebih tinggi,
lebih agung, daripada engkau wahai ayahku.”
”Dewi
Windradi!” sang ibu terpekik, ”Oh anakku, engkau jangan melawan ayahmu,
walau bagaimanapun juga engkau sudah kami besarkan dalam pelukan cinta
dan belaian kasih, mengapa engkau melawan?”
Dengan tenang, bahkan terlalu tenang, Dewi Windardi menatap Ibunya, namun dengan bibir yang agak tergetar.
Dewi Windradi menjawab.
”Wahai
Ibuku, aku tahu. Ibu, di dalam kamar hatimu, tersimpan cinta kepada
suamimu dan kepadaku sebagai anakmu. Engkau tersudut oleh dua kekuatan
cinta, yang kadang-kadang seimbang, yang kadang bertengkar. Wahai Ibuku,
Engkau menderita karena pertengkaran cinta kami. Karena itu Ibu,
persembahkan kembali pertengkaran itu pada Hing Murbeng Asih. Jangan Ibu
tersiksa oleh cinta pada suami dan cintamu kepada aku.”
Sang ayah bertambah murka!
”Dewi
Windradi, ternyata engkau adalah anak yang sia-sia, berarti engkau
adalah anak yang durhaka! Maka enyahlah dari Istana ini! Aku sudah tidak
memiliki anak seperti engkau. Adik-adikmu, kakak-kakakmu, masih banyak
yang akan mencintai aku. Dan juga adik-adikmu akan lahir. Akan lahir
kembali bayi yang lain. Yang akan lebih mencintai aku daripada Engkau.
Enyahlah engkau dari Istana ini!”
Sang
Ibu terpekik! Sang Dewi tercekat! Sekilas tampak kilatan di matanya
yang bening dan tenang, namun dalam sekejap sinar matanya kembali
tenang. Setenang permukaan danau tanpa riak oleh buaian sang bayu,
dengan tatap seolah tanpa ada kejadian apapun yang menimpa dirinya. Dewi
Windradi, sambil langsung menatap mata sang ayah, dia berkata/
”Wahai
ayahku, terima kasih atas jasamu dan perlindunganmu selama ini, itu
tidak akan kulupakan, menggores dalam jiwa ini. Dan suatu saat akan aku
ungkapkan kepada Hing Murbeng Agung bahwa engkau telah mencintai dan
menyayangi aku. Namun akupun akan mengadu pada Sang Dewata Agung, bahwa
engkau pun telah menjualku demi ambisimu. Aku, bukan barang, tapi harkat
dan hati yang diciptakan oleh Hing Murbeng Agung. Karena ayah
menganggapku barang, maka izinkanlah sang barang ini mengucapkan selamat
tinggal.”
Maka
Dewi Windradi pun meninggalkan istana. Sang Ibu menangis, meronta!
Cinta kepada anaknya diputuskan oleh cinta kepada suaminya.
”Suamiku, mengapa engkau kejam seperti itu. Aku lebih tersiksa dari kedurhakaan anak kita, dan cinta inipun mudah-mudahan tidak selamanya utuh padamu. Semoga cinta aku kepadamu wahai suamiku, dibawa oleh cinta Dewi Windradi.”
”Suamiku, mengapa engkau kejam seperti itu. Aku lebih tersiksa dari kedurhakaan anak kita, dan cinta inipun mudah-mudahan tidak selamanya utuh padamu. Semoga cinta aku kepadamu wahai suamiku, dibawa oleh cinta Dewi Windradi.”
”Isteriku”,
kata Sang Prabu, ”Engkaupun harus tunduk padaku. Seorang isteri adalah
kaki dari tubuhku, seorang isteri adalah lutut dari tubuhku, seorang
isteri adalah dada dari tubuhku. Aku tidak takut kehilangan jari dari
tubuhku, masih ada dada yang lain, masih ada punggung yang lain. Beribu
kecantikan wajah, siap untuk diperisteri olehku. Enyahlah engkau! Kalau
memang kau lebih mencintai Dewi Windradi.”
”Wahai
suamiku cintaku tak utuh, kalau aku bersujud pada Hyang Widhi, namun
cintaku utuh kembali, manakala aku menyujudi dirimu sebagai suamiku.
Biarkanlah, aku memilih menyujudi Hing Murbeng Asih, supaya aku tidak
tersiksa oleh cinta kepadamu. Izinkanlah cinta ini, yang telah
kupersembahkan kepada Tuhan. Mengucapkan salam perpisahan, wahai
suamiku.”
Sang
isteri pun meninggalkan istana. Kepergian kedua wanita ini,
masing-masing dengan langkahnya, dengan tujuannya yang belum jelas. Dewi
Windradi dan Ibunya, masing-masing melangkah, pergi tak tentu arah.
Sekedar mengikuti ujung jari kakinya.
Sang
Prabu di Istananya yang megah. Resah, gelisah, berbagai perasaan
bergolak di dadanya membakar jiwanya. Sebagai raja, dia merasa tak
disujudi oleh hambanya, sebagai suami dia merasa betapa kelelakiannya
dicampakkan begitu saja, sebagai ayah betapa dirinya dianggap sepi oleh
sang anak. Pergolakan perasaan yang demikian dahsyat dimana antara
keangkuhan, merasa terhina dan dilecehkan, silih menyusul, memadu, dan
tumpang-tindih dalam jiwanya. Hingga menghempaskan sang Prabu pada suatu
dendam. Dendam yang sangat tinggi! Dendam yang menghanguskan jiwanya,
dendam yang menghujat dirinya sebagai raja! Dendam sang Prabu kepada
Isterinya, untuk sementara waktu terobati dengan mengambil wanita cantik
sebagai selir. Nafsu syahwat, keangkuhan lelaki dari sang raja, itu
adalah hiburan dalam mengurangi dendam kepada mantan isterinya.
Tetapi
dendam kepada Puterinya, tak ada obatnya! Cinta kepada anak tak mampu
digantikan atau dialihkan kepada siapapun manusianya. Secinta apapun
pada orang lain yang dianggap sebagai anak, tidak seindah dan sekokoh
cinta kepada anak yang dilahirkan. Ini hukum alam. Namun, Seandainya
manusia bisa mencintai anak yang tidak dilahirkan, itu berarti sedang
meraih cinta Allah subhanahu wa ta’ala.
Dendam
Sang Prabu sebagai ayah, tak mampu terobati. Karena cinta pada anak
yang dilahirkan tak bisa dipungkiri, lebih tinggi gejolaknya daripada
cintanya kepada anak yang tidak dilahirkan. Dan pada puncak dendamnya,
sang raja pun menjatuhkan perintah kepada pasukan pilihan, melalui
Senopati tertinggi untuk menangkap Dewi Windradi.
Maka
langkah gontai dengan segala penderitaan Dewi Windradi berhadapan
dengan pasukan pilihan dari ayahandanya. Sang Dewi pun dikembalikan ke
Istana, sebagai tawanan! Dan dipenjarakan di bawah tanah, di bawah
istananya sendiri.
”Anakku
engkau harus menerima ganjaran atas dosa-dosamu. Bagi Sang Dewa, wahai
anakku, lebih senang kepada aku sebagai raja daripada kepadamu, kepada
anak durhaka. Supaya sang Dewa membebaskan dosa-dosamu. Sang Dewa
bersabda kepadaku, supaya memenjarakan engkau di bawah tanah.”
”Ayah. Aku terima, aku siap dipenjara. Bukan atas nama Dewa, tapi atas nama cinta Ayah, cinta Ibu. Aku siap dipenjarakan karena hutang cinta dan perawatan saat aku dilahirkan hingga dewasa. Dan akupun yakin sang Dewa akan membebaskan diriku, manakala hutang ini telah selesai.”
”Ayah. Aku terima, aku siap dipenjara. Bukan atas nama Dewa, tapi atas nama cinta Ayah, cinta Ibu. Aku siap dipenjarakan karena hutang cinta dan perawatan saat aku dilahirkan hingga dewasa. Dan akupun yakin sang Dewa akan membebaskan diriku, manakala hutang ini telah selesai.”
Sang
Dewi pun dipenjara dengan senyum kepasrahan. Dan disuatu saat, dalam
salah satu kunjungan Ayahandanya ke tempat dia dipenjarakan, Sang Dewi
menyampaikan isi hatinya kepada sang Prabu.
”Wahai
Ayahanda”, ujar sang Dewi, ”Izinkanlah aku mengungkapkan isi hatiku.
Ayahku, kenapa aku menolak dijodohkan. Aku tak mengerti apa yang
dikatakan cinta kepada lelaki. Jiwaku dan perasaanku tidak tahu tentang
cinta itu sendiri, walau kawan-kawanku berkata tentang Ksatria yang
gagah dengan segala keceriaan dan perasaan. Di relung jiwaku, tak ada
perasaan cinta seperti itu. Manakala kawan-kawanku bercerita tentang
kegagahan lelaki, tubuhnya, keindahan wajahnya dan kesaktiannya. Sekali
lagi, di relung hatiku tak mempunyai perasaan kagum kepada mereka. Dan,
saudara-saudaraku yang telah menikah, bercerita tentang kenikmatan
hubungan suami-Isteri di ranjang. Akupun tak punya perasaan seperti itu,
wahai Ayahku. Cinta dan syahwat, barangkali bukan milikku. Biarkanlah
aku merdeka dari cinta dan syahwat. Hanya itulah wahai Ayahanda, yang
perlu engkau ketahui kenapa aku menolak permintaanmu. semoga hal ini
mengurangi murkamu”, Demikian Dewi Windradi.
Dalam penjara bawah tanah, dalam ruang yang sempit, sang Dewi bertapa.
Dalam penjara bawah tanah, dalam ruang yang sempit, sang Dewi bertapa.
Diantara
kerinduan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kerinduan kepada Ibundanya yang
telah tiada di istana dan rasa memaafkan kepada ayahandanya. Memadu
dalam tapanya. Maka rukhnya, jiwanya, keluar dari badannya.
Fisiknya
di penjara tapi rukh dan jiwanya keluar, bebas dari penjara. Begitu
keluar dari penjara, ternyata rukh dan jiwanya melihat cahaya. Cahaya
itu pun diikutinya. Dan akhirnya dari perjalanan mengikuti cahaya itu
adalah, tatkala ternyata cahaya tersebut masuk ke dalam diri seorang
wanita, seorang ibu yang sedang menjaga anak-anaknya. Begitu masuk ke
tubuh wanita tersebut yang ternyata adalah Dewi Sukesih, Dewi Windradi
bertanya, ”Kakanda. Aku datang mengejar cahaya. Cahaya itu masuk ke
dalam tubuhmu, cahaya apakah itu?”
Dewi
Sukesih karena sudah memakai Atma, lulus dalam Sastra Jendra dan sudah
mendapat ridho para Dewa. Cepat menangkap maksud Dewi Windradi ini.
”Wahai
anakku, engkau telah hadir. Kerinduan aku tentang anak, dambaan aku
tentang anak yang memiliki keindahan bathin dan keindahan hati. Sang
Dewa mengutus engkau sebagai anakku. Engkau adalah anakku yang tidak
pernah kulahirkan. Rukhmu, Jiwamu adalah anakku. Manakala aku menjelang
masuk ke Surgawi. Dalam tubuhku meronta seorang bayi, namun aku belun
tersentuh lelaki. Tubuhku meronta, menolak engkau hadir dalam kehamilan.
Engkau adalah anakku, bayi yang kurasakan sejak di perbatasan Nirwana.
Karena sang Dewa mendengar rontaan hatiku. Kehamilanku diambil alih oleh
seorang wanita yang kau kenal sebagai ibmu. Engkau adalah anakku, darah
dagingku, jiwaku”, Dewi Windradi pun dipeluknya.
Dalam
Mutasyabih…….., Adam dan Hawa sebelum ”tragedi qolbi”, diperintah Allah
swt untuk saling berkasih sayang atas dasar kasih sayang kepada-Nya,
Allah subhanahu wa ta’ala (seks suci dalam ridho-Nya) Adam dan Hawa
saling berpelukan, saling meremas tangan. Pembuahan pertama terjadi di
surga. Pembuahan ini ”terpotong” oleh tragedi qolbi. Maka saat Adam dan
Hawa di bumi, diperintahkan kembali untuk saling meremas tangan dalam
semacam buah, sebesar buah kelapa, dan beberapa tahun kemudian, lahirlah
Nabi Tsys as.
Begawan
Wisrawa dan Dewi Sukesih, saat gagal digoda oleh Batara Guru,
sebenarnya jiwa masing-masing sudah saling bermesraan. Walau tanpa
sentuhan fisik. Saat ini terjadilah ”pembuahan” di bumi, terlahir jabang
bayi, Dewi Windradi.
”Yang
Maha Agung, Yang Maha Esa. Betapa Engkau mengabulkan kerinduan kepada
anak-anakku. Sarpa Kenaka, biarlah terpenjara oleh kemurkaan Engkau.
Tetapi anakku yang satu ini adalah Sarpa Kenaka yang telah Engkau
selamatkan. Terima kasih, Duhai, Yang Maha Agung”, Demikian doa syukur
dari Dewi Sukesih.
”Ibuku,
akupun merasa, betapa saat aku dibesarkan oleh ayahku dan ibuku. Aku
merasa terasing dalam Istana. Kasih sayang mereka tetap kurasakan,
tetapi keterasingan jiwa ini, keterasingan fikiran ini seolah-olah aku
bukan anak mereka. Hari ini, ternyata Maha Dewa telah mempertemukan aku
dengan Ibuku sejati.”
Demikianlah proses Ibu dan anak yang tidak pernah dilahirkan, namun dititipkan sebagai ”anak titipan.”
”Wahai Ibuku”, kata Dewi Windradi, ”Cahaya yang lebih terang, telah hadir di hadapanku. Izinkan aku nengikuti cahaya ini.”
Dan
setelah mendapat restu dari sang Ibu, Dewi Windradi pun mengikuti
cahaya itu. Ternyata, cahaya itu berasal dari Batara, Wisrawa yang
sedang bertapa. Dan Batara Wisrawa ternyata lebih memahami makna
kehadiran sang Dewi.
”Selamat
datang wahai anak jatidiriku. Engkau telah menggembirakan aku dari
kesakitan tentang anak-anaku yang terpenjara. Selamat datang Puteriku,
engkau telah membebaskan penderitaan aku dari kecintaan yang dalam
kepada Sarpa Kenaka. Engkau adalah jelmaan Sarpa Kenaka yang telah
terbebas dari penjara. Engkau lahir dari ukiran cinta kami berdua,
engkau lahir dari keikhlasan kami berdua, engkau dari kepasrahan kami
berdua. Dan saudaramu Sarpa Kenaka adalah lahir dari ukiran syahwat kami
berdua, syahwat yang telah kami renda bersama. Engkau adalah hasil
ukiran keikhlasan kami di hadapan para Dewa. Izinkanlah, aku memelukmu,
wahai Puteriku.”
Manakala
Batara Wisrawa memeluk Dewi Windradi, terjadilah kekuatan yang hebat!
Dewi Windradi naik, mengangkasa. Jejak-jejak dari sang Begawan Wisrawa
dan Dewi Sukesih, jejaknya sampai ke Nirwana. Diulang kembali oleh Dewi
Windradi.
Sang
Dewi pun berangkat. Langit demi langit, alam demi alam, nilai demi
nilai, terarungi. Sastra Jendra Hayunjngrat jelas mengalir di jiwa dan
perasaannya. Langsung dimengerti dan dipahami, tanpa terjemah dan tanpa
penjelasan. Karena Nurani Sang Dewi adalah suara para Dewa di Kahyangan.
Nurani Dewi Windradi adalah perwakilan cinta yang diukir oleh Begawan
Wisrawa dan Dewi Sukesih. Maka sampailah Dewi Windradi di perbatasan
Kahyangan. Sampai di pintu Ar-Royan, Sela Menangkep. Gerbang Loka dari
Surga, Gerbang loka dari kesempurnaan nikmat.
Para Dewa gempar! Para Bidadari ramai!
”Itu ada anak manusia datang kembali akan mencoba masuk ke Nirwana ini”, kata salah satu dari para Dewa.
Sebagaimana biasa, Batara Narada bicara dengan adiknya, Batara Guru.
”Dindaku Batara Guru, engkau ada tugas. Halangilah anak manusia itu. Masuklah ke jagad jiwanya, godalah kewanitaannya. Agar dia gagal masuk ke Nirwana ini.”
”Dindaku Batara Guru, engkau ada tugas. Halangilah anak manusia itu. Masuklah ke jagad jiwanya, godalah kewanitaannya. Agar dia gagal masuk ke Nirwana ini.”
Namun
betapa kaget batara Guru, tatkala dirinya mencoba masuk ke jagad jiwa
Dewi Windradi. Batara Guru mental kembali ke Nirwana.
”Wahai
kakanda Batara Narada, aku gagal masuk ke jagad jiwanya. Pintu
kewanitaannya tertutup rapat, segala daya sudah kuusahakan. Namun
kekuatan tak terlihat keluar dari jagad bathinnya.”
Batara Narada bingung. Mengapa hal seperti ini bisa terjadi?
”Adikku Batara Guru, barangkali engkau terpukau oleh pintu kewanitaannya?”
”Oh tidak Kakanda! Aku mengerti tentang keangkuhan wanita, tentang feminim, tentang harkat wanita. Tentang wanita yang merindukan, aku mengerti, aku memahami. Tetapi ada kekuatan yang mengusirku kembali ke tempat ini”, kata Batara Guru.
”Oh tidak Kakanda! Aku mengerti tentang keangkuhan wanita, tentang feminim, tentang harkat wanita. Tentang wanita yang merindukan, aku mengerti, aku memahami. Tetapi ada kekuatan yang mengusirku kembali ke tempat ini”, kata Batara Guru.
”Kalau demikian, aku akan mengadu kepada Hing Murbeng Agung yang berada dipuncak Surga”, demikian Batara Guru.
”Kahatur
Hing Murbeng Agung, apa dan bagaimana Engkau tahu tentang semua, yang
ada dalam jagad tamu yang satu ini. Berikanlah penerangan.”
Maka Hing Murbeng Agung, Tuhan Yang Maha Esa, berfirman :
Maka Hing Murbeng Agung, Tuhan Yang Maha Esa, berfirman :
”Para
Dewa yang berada di Nirwana, engkau semua harus malu pada manusia yang
akan masuk ke Nirwana ini. Dewi Windradi, sebuah nama yang sudah
tertulis di Marcapada, Kahyangan. Namanya sudah tertulis dengan jelas.
Wahai Para Dewa! Dewi Windradi adalah nama, yang sudah terukir dalam
kalam-kalam-Ku, tulisan-Ku. Manusia itu masuk ke Nirwana ini oleh daya
tarik tulisan-Ku. Kalau engkau menahannya, berarti engkau harus melawan
Aku, Yang Menciptakanmu.”
Maka semua para Dewa bersujud patuh, para Bidadari menangis pilu, tangisan rindu untuk menjemput Dewi Windradi.
Dalam pada itu, firman turun lagi :
”Wahai
para Dewa, sebenarnya Dewi Windradi hanya mengambil tulisan namanya
yang ada di Nirwana. Tetapi Dewi Windradi masih punya tugas di muka
bumi, belum saatnya menikmati kenikmatan surgawi, belum saatnya
bercengkerama dengan rahmat-Ku. Terimalah sementara, di singgasana
Nirwana bersamamu. Namun Aku akan menciptakan Dewa baru untuk menemani
sang Dewi.”
Kembali
pada ”Cupu Manik Astagina.” Astagina ini isinya adalah puji-puji untuk
Allah, Nuur Muhammad. Kesempurnaan cinta Allah berkumpul dalam ”Cupu
Manik Astagina.”
Maka
cahaya yang diambil kembali, cahaya dari Permata. Dan air kehidupannya,
diambil oleh Begawan Wisrawa. Cahayanya diambil kembali oleh Allah
subhanahu wa ta’ala. Didalamya ada sumber cahaya dari segala cahaya.
Astagina adalah Maha Terpuji, dari energi Asma-Nya mengalir puji-pujian
Astagina.
Hing Murbeng Agung menciptakan Dewa baru dari cahaya tersebut yang namanya Batara Surya (Batara Indra).
Manakala
para Dewa, para Bidadari terpekik kagum, dewi Windradi pun tak
terkecuali. Terpesona kepada Batara Surya. Dalam jiwanya sang Dewi
berkata :
”Betapa indah yang satu ini. Lebih indah dari Nirwana ini.” Dan ternyata ungkapan bawah sadar ini, terucapkan secara lisan.
”Benar wahai Dewi Windradi”, kata Batara Narada.
”Betul wahai Dewi Windradi”, kata Batara Guru,
”Lebih indah dari keindahan Nirwana beserta isinya.”
Ksatria lelanang Jagad, Batara Surya, tersenyum. Senyuman yang menggelisahkan para Bidadari yang ada di surga.
Sang Dewi pun berkata,
” Wahai,……Dimanakah cahaya yang aku kejar sejak dari bumi?”
”Cahaya itu tidak ada di surga ini”, jawab Batara Narada, ”Sudah diambil oleh Hing Murbeng Agung, dalam Cupu Manik Astagina.”
”Izinkanlah aku masuk ke sana”, pinta sang Dewi.
”Tidak bisa”, berkata Batara Guru, ”Kami pun tak mampu, apalagi engkau, wahai Dewi Windradi.”
”Wahai
wanita”, berkata Batara Surya, ”Hadapi aku, kalau mampu menghadapi aku,
maka engkau berhak untuk naik lebih tinggi lagi. Menuju Yang Maha
Pencipta.”
Pada saat Batara Surya berkata-kata, jiwa sang Dewi bergetar!
”Inikah cinta, yang tidak pernah aku miliki selama ini? lnikah syahwat? Yang tidak pernah mampu aku miliki di bumi?”
Getaran-getaran ini melumpuhkan sang Dewi. Sang Dewi terduduk, merunduk.
”Wahai para Dewa, aku kalah! Jangankan datang pada surga yang lebih tinggi tempat Cupu Manik Astagina. Berhadapan dengan Batara Surya pun, aku sudah tak mampu.”
”Wahai para Dewa, aku kalah! Jangankan datang pada surga yang lebih tinggi tempat Cupu Manik Astagina. Berhadapan dengan Batara Surya pun, aku sudah tak mampu.”
”Wahai Batara Surya, apakah perasaan, seperti yang aku rasakan ini?”
”Itu adalah cinta”, kata Batara Surya.
”Dan apa yang menggetarkan darah dagingku?”
”Itu adalah syahwat.”
”Wahai Batara Surya, dosakah aku memiliki ini semua?”
”Tidak dosa, malah anugerah. Cinta dekat di tempat ini, namun syahwat engkau harus buang dari tempat ini.”
”Bagaimakah cara membuangnya, wahai Batara Surya?”
”Karena
itu engkau belum saatnya menikmati surgawi ini. Kau harus membuang
syahwat di muka bumi, supaya kegairahan kehidupan manusia bumi
bertarnbah gejolaknya dan cepat menurunkan keturunan sebagai khalifah di
muka bumi.”
”Berikanlah
keindahan hubungan suami-isteri dengan illusi-ilusi yang hadir dalam
perasaan. Buanglah syahwatmu wahai Dewi Windradi, supaya para isteri
bertambah mesra dengan suaminya.”
”Buanglah
syahwatmu wahai sang Dewi, supaya para isteri walaupun sakit oleh
suaminya, tetap setia dalam menghadapi rumah-tangga. Syahwatmu akan
mengikat rumah-tangga agar tetap setia sebagai isteri. Supaya anak
manusia terlindungi dan terawat oleh Ibu dan Ayahnya. Karena asmara yang
engkau buang pada jiwa-jiwa mereka.”
”Tumpahkanlah
wahai sang Dewi Asmara ini, Asmaradana akan merekah di muka bumi. Dan
engkau bisa kembali tanpa syahwat. Hanya cinta”, Demikian Batara Surya.
”Wahai Batara Surya, cinta ini, untuk siapa?”
”Wahai sang Dewi. Cintamu untuk siapa. Tanyakan pada hatimu, cinta itu untuk siapa.”
”Untuk tempat ini, dengan segala kenikmatan”, kata sang Dewi.
”Bisa, tapi bukan”, jawab Batara Surya.
”Untuk para Dewa yang berada di sini?”
”Benar, tapi tidak.”
Dan dengan malu-malu, ”Untuk engkau, Batara Surya.”
”Kuterima. Tapi aku tak mampu menerima.”
”Lalu untuk siapa wahai Batara Surya?”
”Untuk Yang Menciptakan kita, Hing Murbeng Agung. Maka ungkapkanlah perasaan itu pada Sang Maha Pencipta.”
Dewi Windradi mengerti dan memahami. Maka bersujudlah memohon ijab qabul denganTuhan Yang Maha Esa.
”Wahai Sang Hyang Agung, Rajanya para Dewa, Terimalah cinta ini, hanya untuk Engkau.”
Turunlah f irman-Nya :
”Dewi
Windradi, betapa aku tak sia-sia menciptakan engkau. Betapa aku bangga
pada diriku sendiri. Engkau telah membuktikan bahwa Aku adalah
Segalanya. Bagi-Ku sendiri apalagi bagi mereka, para Dewa ciptaanku. Dan
engkau adalah milik Aku, Kuberikan dengan izin-Ku pada semua para Dewa.
Dan akan aku berikan keindahan cintamu, hanya pada seseorang.”
”Siapa?”
”Dia ada di hadapamu, mengerti Dewi Windradi? Dia itu, Batara Surya.”
Batara Surya menjawab :
”Aku
menerima. Yang tadinya aku menerima tapi tak bisa merangkul, tapi
sekarang aku terima. Engkau adalah isteriku. Kita telah dinikahkan oleh
Yang Menciptakan kita. Aku adalah suamimu. Dan mereka, para Dewa dan
para Bidadari adalah saksi, pernikahan agung di surgawi ini.”
Dewi
Windradi dengan puncak kebahagiaan di atas Sastra Jendra Yang paling
bahagia, Hayuningrat. Hayuningrat kewanitaannya sempurna.
Dikatakan
Hayuningrat adalah : Suasana-suasana dialog ini semua, mulai dari Dewi
Windradi naik ke Nirwana, dialog dengan para Dewa, Firman Allah. ltu
semua adalah Hayuningrat. Tanpa ada lagi ”pangruwating” karena sang Dewi
dilahirkan tanpa diruwat lagi. Lahir dari ukiran-ukiran cinta,
kasih-sayang Batara Wisrawa dan Dewi Sukesih.
Bisakah
kita melahirkan anak tanpa diruwat lagi?…..Bisa. Dewi Windradi adalah
bukti, anak yang langsung tanpa ruwat. Langsung ada dalam wadah
Hayuningrat Sastra Jendra adalah proses pencarian nilai-nilai, dalam
mengejar sinar.Penjelajahan Ihdinas shirothol Mustaqim.
Dialog
Dewi Windradi dengan Bapaknya, dengan Ibunya, diusir dari Istana, di
penjara tubuhnya. Keluar rukh dan jiwanya dari penjara, bertemu dengan
orang-tua sejati, berangkat ke langit-langit sampai masuk Nirwana. lni
semua adalah Hayuningrat.
Suasana
dialog selanjutnya adalah Hayuningrat. ltu adalah kebahagiaan yang
sesungguhnya, bukan kenikmatan illusi. Kenikmatan duniawi sebenarnya
adalah kenikmatan illusi, manakala kita makan, lidah kita merasakan
nikmat. Kita menikmati dengan kenyang. Kenikmatan seksual suami-isteri.
ltu semua adalah kenikmatan illusi. semua kenikmatan dunia pada dasarnya
adalah illusi, bayang-bayang atau wayang. Senda-gurau dan permainan.
Dalam Al-Qur’an dikatakan ”lahun walaib.” Saat sang Dewi akan mengecap
kebahagiaan yang sempurna, dirangkullah Batara Surya, suaminya. Saat itu
pula turun firman :
”Wahai
Dewi, wahai Batara Surya, belum waktunya engkau menikmati kebahagiaan,
walaupun Aku yang telah menikahkan. Tapi engkau belum mampu bersenggama
dengan rasa, bersenggama dalam rukhani, bersenggama dalam fikiran. Di
surga tidak ada daging dan kelamin. Pulanglah engkau Dewi, bawalah ’Cupu
Manik Astagina’ yang isinya cahaya Hayuningrat.”
Maka sejak saat ini, telah datang duplikat kedua ”Cupu Manik Astagina.”
Untuk selanjutnya Cupu Manik ini kita sebut dengan ”Cupu Manik Hayuningrat”, yang dibawa oleh Dewi Windradi.
Untuk selanjutnya Cupu Manik ini kita sebut dengan ”Cupu Manik Hayuningrat”, yang dibawa oleh Dewi Windradi.
Sebagaimana firman-Nya :
”Wahai
Dewi Windradi, bawalah ’Cupu Manik Hayuningrat’, supaya kehidupan di
bumi walaupun illusi, akan ’adem-ayem’. Hayuningrat, akan membangunkan
mimpi-mimpi indah dari kenyataan, akan membangunkan nikmat illusi
menjadi kenyataan. Dan supaya Aku pun rindu, pada makhluk yang ada di
muka bumi. Bawalah wahai Dewi Windradi.”
Dan manakala sang Dewi menerima Cupu Manik Hayuningrat. Batara Surya berkata :
”Wahai
Dindaku menikahlah engkau dengan seorang lelaki di bumi. Engkau pun,
akan punya anak tiga. Menikahlah dengan seorang lelaki Lelanang Jagad,
Mandra Guna, Ksatria yang sakti, yang kini sedang bertapa. Namanya Resi
Gotama. Engkau menikahlah dengan ksatria tersebut. Hiduplah sebagaimana
seorang isteri, sebagaimana wanita yang dicintai oleh suami. Dan
manakala suamimu meminta tubuhmu, berikanlah. Manakala benih suamimu
hadir dalam rahimmu, terimalah sebagai anakmu yang akan lahir di muka
bumi. Namun aku minta, anakmu yang akan hadir di perutmu, isilah dengan
Hayuningrat. Suamimu Resi Gotama, biarkanlah, lepaskanlah dari
Hayuningrat, karena sang Resi bertapa bukan mencari nilai. Sudah seratus
tahun ksatria ini bertapa mohon pada sang Dewa agar diutus seorang
isteri, bidadari dari Kahyangan. Maka hadirlah sebagai bidadari dari
Kahyangan. Jangan berikan Hayuningrat pada suamimu karena sang Resi
tafakur, berdoa, mohon pada sang Hyang Widhi, dalam tapa seratus tahun,
untuk kepentingan syahwatnya, akan kerinduan kecantikan wanita surga.
Tugasmu hanya satu, ruwatlah suamimu! ’angruwating Diyu’, keangkuhan
lelakinya, dalam bertapa ruwatlah oleh engkau, wahai Dindaku”, demikian
Batara Surya.
Sang
Dewi pun berpamitan pada suaminya, Batara Surya, kepada para dewa yang
berada di Nirwana. Turun dengan segala keindahan kecantikan. Seluruh
kecantikan wanita yang dilahirkan di bumi, cahayanya di ambil alih ke
dalam wajah rupawan dan keagungan dari Dewi Windradi ini.
Dewi Windradi Menikah Dan Lahirnya Guarsa (Subali), Guarsi (Sugriwa), Dan Retna Anjani.
Hari
terakhir dari seratus tahun tapanya Resi Gotama. Pada hari jum’at jam
l6.00, sore hari, terdengarlah sabda dari Batara Narada : ”Anakku Resi
Gotama, tapamu di terima oleh kami. Terimalah persembahan kami, ini,
telah datang dari Nirwana, Dewi Windradi.”
Selama
seratus tahun, satu abad! Sang Resi tak pernah membuka matanya, namun
saat itu, manakala matanya dibuka. Bersimpuhlah seorang wanita cantik di
hadapannya.
”Sujud
simpuhku, wahai Dewa Agung di Nirwana. Engkau mendengar jeritan
kerinduan hatiku pada Bidadari Surga. Engkau memberikan penghormatan
kepada kami wahai dewa-dewa Agung. Puji syukur untuk-Mu.” Maka
bersujudlah Resi Gotama. Begitu sang Resi bangkit dari sujudnya :
”Selamat datang wahai isteriku.”
”Tidak
perlu mengucapkan selamat datang”, jawab sang Dewi, ”Karena aku hadir
lebih dulu. Dari dulu pun aku datang ke hadapanmu. Aku datang, terundang
keyakinanmu. Engkau, suamiku dan aku, isterimu. Dekaplah aku, wahai
suamiku.”
Tatkala
sang Dewi dipeluk oleh Resi Gotama, maka munculah cahaya yang indah
keluar memancar dari dalam diri kedua orang ini. Dan cahaya-cahaya ini,
cahaya yang berasal dari Cupu Manik Hayuningrat, menggulirkan anak-anak
manusia, dalam perut sang Dewi, walaupun belum bersenggama dengan
suaminya. Tiga anak sekaligus hadir dalam rahim sang Dewi, dan langsung
diberi nama oleh sang ayah, Batara Surya, di surgawi.
”Wahai Dindaku, anak kita telah hadir berilah nama Retna Anjani, Guarsa dan Guarsi.”
Hayuningrat,
cahayanya menggelora. Cinta kasih dan syahwat sang Resi tertolak oleh
cahaya Hayuningrat. Tetapi cinta yang dibawa dari surga, cinta kepada
Batara Surya diterima oleh jagad bathin sang Dewi. Maka dalam rahimmya
menetes benih-benih anak manusia.
Sang
Dewi pun mengandung, disinari oleh cahaya Hayuningrat. Namun sang Resi
merasa itu semua adalah anak kandungnya. Cinta pun menggelora,
mengiringi dalam membesarkan ketiga anaknya. Perempuan satu, laki-laki
dua. Yang paling besar Guarsa, kedua Guarsi dan Retna Anjani sebagai
anak bungsu.
Dan
manakala saat bersenggama dengan suaminya, sang Dewi pun memberikan
tubuhnya. Yang berarti, tubuh Dewi Windradi yang sedang di penjara bawah
tanah, dibawah Istananya sendiri. Pindah tempat ke peraduan di ranjang
sang Resi, dan setelah selesai dengan suaminya maka tubuh sang Dewi pun,
raganya, kembali ke penjara. Sang Ayah pun tetap melihat bahwa anaknya
masih ada di penjara, di bawah istana.
Meskipun
sang Dewi memberikan tubuhnya pada suaminya saat bersenggama namun
tubuh Atma sang Dewi berkumpul kembali di Nirwana dengan suami
sejatinya, Batara Surya. Atau masuk ke dalam Cupu Manik Hayuningrat,
karena dalam cupu manik ini ada alam raya dan isinya, termasuk alam
Nirwana bersama para Batara dan para Dewa.
Demikianlah
Dewi Windradi menjalani hidupnya, menjadi isteri yang dicintai oleh
suaminya Resi Gotama, dan memberikan tubuh aslinya (tubuh yang di
lahirkan) manakala kewajiban sebagai isteri memanggilnya dalam
persenggamaan dengan sang Resi. Dan manakala sang Dewi merindukan suami
sejatinya, Batara Surya, Sang Dewi masuk ke dalam Cupu Manik
Hayuningrat, menjelajahi alam raya, bersua dengan para dewa termasuk
suaminya. Hingga anak-anaknya dewasa. Hingga suatu saat, Dewi Windradi
merindukan suami sejatinya, Batara Surya.
Namun
manakala masuk ke dalam Cupu Manik Hayuningrat, Cupu Manik terkunci
dari dalam! Kerinduan yang tak tertahankan kepada Batara Surya, tak
mampu diekspresikan karena Cupu Manik rapat terkunci dari dalam. Maka
sang Dewi pun mengangkasa, melalui jalur yang jauh. Di puncak
kegelisahannya, sang Dewi menggenggam Cupu Manik Hayuningrat ini, di
bawa ke taman. Padahal selama ini tak ada yang tahu kalau sang Dewi
memiliki Cupu Manik Hayuningrat. Karena Cupu Manik Hayuningrat ini oleh
sang Dewi disimpan di jagad bathinnya. Namun saat itu, saat dilanda
kegelisahan karena sang Dewi rindu kepada Batara Surya, Cupu Manik
Hayuningrat dikeluarkannya dari jagad bathin, digenggam dan dibawa ke
taman. Dan tanpa dikehendakinya, anak perempuannya, Retna Anjani yang
sedang bermain-main di taman. Melihat keindahan cahaya yang sedang
digenggam oleh Ibunya.
”Apakah itu, Ibu?”
”Ini adalah benda pusaka warisan Dewa.”
”Pinjamilah aku, Ibu.”
”Jangan anakku, ini milik Sang Dewi, bukan milik ibu.”
”Tapi berikanlah padaku, ibu”, Retna Anjani mulai merajuk.
”Jangan anakku.”
Retna
Anjani adalah anak yang sedang lucu-lucunya. Maka dengan segala
kelucuan dan kamanjaan rengekan seorang anak, Retna Anjani merebut
pusaka dari tangan Ibunya. Dewi Windradi tak mampu melepaskan diri dari
rasa kasih sayang seorang Ibu, kelucuan sang anak melonggarkan tangan
dalam menggenggam Cupu Manik Hayuningrat.
Bagi
seorang Ibu yang sudah berputra, dapat merasakan hal ini. Kelucuan dan
rengekan anak ternyata menggoyahkan apa saja. Keangkuhan, kebanggaan
seorang ayah dan ibu akan goyah oleh lucunya sang anak. Termasuk hal
prinsip yang sedang digenggam dengan kokoh.
Pun
demikian yang terjadi pada Dewi Windradi. Cupu Manik Hayuningrat lepas
dari genggaman tangannya, karena kalah oleh rayuan lucu dari sang anak,
Retna Anjani. Cupu Manik Hayuningrat dibawa bermain-main oleh Retna
Anjani. Dan tanpa sengaja, terbukalah Cupu Manik Hayuningrat, sang anak
pun masuk ke dalamnya (tersedot)
Retna
Anjani mengangkasa, langit demi langit, alam dami alam dilaluinya
hingga sampai ”Sela Menangkep” di Kahyangan dan bertemu dengan para
Dewa. Maka terdengarlah firman dari Hing Murbeng Agung :
”Wahai
para Dewa ! jangan engkau terpesona oleh kelucuan anak ini. Hai para
Dewa ! betapa engkau melihat, betapa indah anak ini lebih indah daripada
kenikmatan Nirwana dan cepat kembalikan ke bumi. Belum saatnya anak ini
menikmati, akan merusak keindahan ”angkasa Nirwana”. Jangan biarkan
anak ini menggagalkan keindahan Nirwana. Karena keindahan lucu anak-anak
hanya milik mereka, manusia bumi. Tidak kuberikan kepadamu, wahai para
Dewa.”
Retna Anjani pun turun kembali ke bumi dan keluar dari Cupu Manik Hayuningrat. Maka dimain-mainkan kembali Cupu Manik ini. Tatkala Retna Anjani tengah memainkan Cupu Manik ini datanglah kakak-kakaknya Guarsa dan Guarsi.
Retna Anjani pun turun kembali ke bumi dan keluar dari Cupu Manik Hayuningrat. Maka dimain-mainkan kembali Cupu Manik ini. Tatkala Retna Anjani tengah memainkan Cupu Manik ini datanglah kakak-kakaknya Guarsa dan Guarsi.
”Hai! Apa itu?”
Terjadilah
perebutan diantara ketiganya. Masing-masing ingin memiliki, tidak ada
yang mau mengalah, sampai salah seorang mengadu kepada ayahnya.
Sang Ayah, Resi Gotama, juga merasa aneh terhadap benda yang diperebutkan anak-anaknya. Maka ia pun bertanya kepada isterinya :
”Dindaku, benda apakah itu? Jangankan anak-anak kita, aku pun terpesona oleh benda itu.”
Sang isteri, Dewi Windradi tidak berkata-kata. Diam seribu bahasa.
”Wahai isteriku, berkatalah, jangan bungkam seperti itu. Benda apakah ini?”
”Ayah”,
tiba-tiba Retna Anjani berkata pada ayahnya, ”Tadi aku telah pergi ke
Nirwana. Aku bertemu dengan Dewa yang bernama. Batara Surya, katanya dia
suami Ibu.”
Resi
Gotama adalah seorang yang sangat sakti dan seorang yang teguh dalam
kemauan. Cepat menangkap apa makna dari semua ini. Maka muncullah
kecemburuan, merasa dikhianati, merasa dihancurkan sendi-sendi
kehidupannya sebagai suami. Di puncak emosinya sang Resi melemparkan
Cupu Manik Hayuningrat.
Cupu
Manik Hayuningrat dilemparkan oleh rasa dikhianati dan rasa kecemburuan
pada Batara Surya. Cupu Manik pun melayang di udara dengan derasnya dan
jatuh di suatu tempat dalam keadaan terpisah. Tutupnya masuk ke dalam
suatu hutan sedangkan badannya jatuh di lain tempat, di negeri Ayodya.
Tutup Cupu manik Hayuningrat menjadi telaga Sumala, sedangkan badan dari
Cupu Manik Hayuningrat menjadi telaga Nirmala. Dan cahaya yang ada di
dalamnya memancar membias, menghiasi angkasa bumi ini. Menghiasi seluruh
cakrawala dan isinya.
Ternyata cahaya ini meradiasi Alam Raya ini dan intinya masuk ke dalam diri isterinya, Dewi Windradi.
Sang Dewi diam, bungkam, dan menjadi batu! Menjadi Arca! Menjadi patung!
Manakala
Dewi Windradi menjadi arca. berarti tugas dirinya membawa Hayuningrat
untuk meruwat suaminya dan melahirkan anak-anaknya, selesai sudah. Dewi
Windradi dengan cintanya pergi ke Nirwana dan meninggalkan syahwatnya di
bumi ini. Pernikahan Agung dirayakan kembali dengan para dewa. Dewi
Windradi hidup dengan bahagia yang sempurna di Nirwana.
Resi
Gotama, walaupun sudah membuang Cupu Manik Hayuningrat beban emosinya
masih dirasakan begitu berat. Maka arca dari Dewi Windradi ini
dipukulnya, diinjak dengan segala kemarahannya. Tidak hanya sampai di
sini, sang resi pun mengerahkan segala ilmunya, segala kesaktiannya.
Patung Dewi Windradi dilemparkannya! Patung Dewi Windradi melayang
tinggi sekali hingga membelah awan dan akhirnya jatuh, di negeri
Alengka.
Cupu Manik Hayuningrat :Tutupnya jatuh di sebuah hutan, kemudian berubah menjadi telaga Sumala. Yang berisi air kehidupan dunia yang keruh. Keruh oleh berbagai polusi nafsu manusia di dunia.
Cupunya
jatuh di negeri Ayodya, berubah menjadi telaga Nirmala. Yang berisi air
kesucian. Perpaduan air kehidupan dunia dengan ”sinar permata surgawi.”
Manakala Dewi Windradi menjadi patung, saat itu pula sang Dewi sempurna fisik yang berdarah dan berdaging, dan fisik ”Atma-nya” hadir di Nirwana bertemu dengan suami tercinta Batara Surya. Pernikahan Agung dirayakan kembali, para Dewa sebagai saksi, sampai menikmati kebahagiaan yang paling sempurna.
Dalam waktu yang bersamaan, saat sang Dewi menjadi patung. Tubuh Dewi Windradi yang di penjara di bawah istana ayahnya, hilang! Moksa. Manakala sang ayah datang seperti biasa, menengok anaknya. Sang Dewi lenyap tanpa bekas. Maka menangislah sang ayah dengan penyesalan yang dalam dan jerit permohonan ampun kepada para dewa. ”Betapa mulianya anakku, moksa, tak berbekas.”
Manakala Dewi Windradi menjadi patung, saat itu pula sang Dewi sempurna fisik yang berdarah dan berdaging, dan fisik ”Atma-nya” hadir di Nirwana bertemu dengan suami tercinta Batara Surya. Pernikahan Agung dirayakan kembali, para Dewa sebagai saksi, sampai menikmati kebahagiaan yang paling sempurna.
Dalam waktu yang bersamaan, saat sang Dewi menjadi patung. Tubuh Dewi Windradi yang di penjara di bawah istana ayahnya, hilang! Moksa. Manakala sang ayah datang seperti biasa, menengok anaknya. Sang Dewi lenyap tanpa bekas. Maka menangislah sang ayah dengan penyesalan yang dalam dan jerit permohonan ampun kepada para dewa. ”Betapa mulianya anakku, moksa, tak berbekas.”
Jadi
definisi dari ”moksa” adalah, seperti yang terjadi demikian. Moksa
adalah kembalinya tubuh, jiwa dan rukh anak manusia ke alam yang lebih
suci dari bumi ini. Mungkin masih di bumi, mungkin di Barzah, mungkin di
Mahsyar, mungkin di Surga. Tanpa mensisakan daging tubuhnya sebagai
mayat. Hal ini sering terjadi di kalangan Pendeta, para Resi, wali-wali
Allah, di abad-abad yang telah lalu. Abad sekarang? Non sense!
Resi
Gotama setelah melempar patung isterinya, Dewi Windradi, emosinya yang
semula bergemuruh mulai mereda. Sang Resi mencari-cari anak-anaknya,
namun ketiganya sudah tidak ada. Ternyata anak-anaknya mengejar-ngejar
Cupu Manik Hayuningrat yang dilempar oleh ayahnya sendiri.
Guarsa
dan Guarsi mengejar Cupu Manik Hayuningrat, hingga masuk ke dalam
sebuah hutan, sampai di sebuah telaga. Telaga Sumala. Demikian pula
dengan Retna Anjani yang mengejar Cupu Manik Hayuningrat, telah sampai
di satu telaga. Telaga Nirmala.
Guarsa
dan Guarsi melihat ikan-ikan membawa benda yang sedang diburu oleh
keduanya. Maka Guarsa dan Guarsi, dari sisi yang berbeda, menceburkan
dirinya ke dalam telaga itu.
”Wahai ikan, bukan hakmu, Cupu Manik itu. Itu hakku.”
Ternyata
dalam pandangan keduanya, ikan-ikan yang ada di telaga itu, di mulutnya
membawa-bawa Cupu Manik Hayuningrat. Padahal ikan itu ada dalam ”energi
Cupu Manik Hayuningrat” yang berubah menjadi telaga.
Karena
bayang-bayang Cupu Manik Hayuningrat terus menerus menggoda ketiganya
maka Guarsa dan Guarsi yang masuk ke telaga Sumala, dari tempat yang
berbeda berenang terus mengejar ikan hingga ke dasar telaga. Keduanya
tenggelam di telaga Sumala yang keruh. Pun demikian dengan Retna Anjani,
di tempat yang lain, tenggelam berenang di telaga Nirmala, telaga air
kesucian.
Maka
terdengarlah sabda dari Nirwana, dari Dewa yang tidak memperkenalkan
eksis nama dan identitas namanya. Bersabda kepada Guarsa, Guarsi dan
Retna Anjani :”Wahai anak-anak manusia yang berani! Keberanianmu itulah,
ombak yang akan mengubur dirimu sendiri. Dan ingatlah! Ketampananmu,
kecantikanmu, akan ditelan oleh kegelapan malam.”
Dan
ikan-ikan pun bemyanyi bersama :”Oh! Dua anak manusia”, ditujukan
kepada Guarsa dan Guarsi,”Dunia akan kegirangan menjemput
kedatanganmu,sebagai dua ekor kera.”
Ternyata
Guarsa dan Guarsi gagal menemukan Cupu Manik Hayuningrat, walau
keduanya telah menyelami telaga Sumala hingga ke dasamya. Maka keduanya
keluar, naik dari telaga, dari sisi yang berbeda. Masing-masing tidak
merasa dan tidak menyadari telah berubah menjadi kera. Pada saat
keduanya bertemu :
”Siapa dirimu wahai Kera?”, kata Guarsa.
”Engkau yang kera!” kata Guarsi.
”Kamu yang kera!”
Air
keruh telaga Sumala ternyata memberikan perasaan kepada anak manusia,
kepada penduduk bumi. Untuk saling berprasangka buruk diantara
sesamanya. Warisan air noda kehidupan dunia yang ada dalam Cupu Manik
Hayuningrat. Maka keduanya mewarisi ”saling curiga.”
Terdengarlah suara dari Nirwana :
”Wahai engkau berdua! Berkacalah kepada air yang sedang bercanda dengan cahaya mentari.”
Begitu keduanya mengaca di atas air. Kagetlah, keduanya!
”Mengapa aku menjadi kera? Mengapa engkau adikku, menjadi kera?”
”Mengapa engkau menjadi kera, Kakanda?”
Maka
keduanya pun berpelukan, berangkulan sambil menangis. Bagaimana pun
cinta sebagai adik dan sebagai kakak tetap utuh dalam diri
keduanya.”Mengapa kita menjadi kera?”
Terdengar kembali suara dari Nirwana :
”Wahai Guarsa, Guarsi, Engkau kini memiliki nama.Guarsa sebagai Subali dan Guarsi sebagai Sugriwa.”
”Duhai dewa! Kenapa melaknat kami,yang tidak berdosa menjadi kera?”
Para dewa menjawab dari nirwana :
”Engkau
harus bersyukur, wahai Subali dan Sugriwa. Jiwa serakahmu sebagai
manusia, akan disucikan kembali oleh Hayuningrat. Ketidak mengertianmu
untuk memahami dalam mengejar-ngejar Cupu Manik Hayuningrat. Itu akan
disucikan oleh Hayuningat syahwatmu yang menggelegar sebagai lelaki,
akan disimpan dulu oleh Hayuningrat. Dan semua batas-batas kamar
syahwat, batas-batas keserakahan, batas-batas kamar saling ingin
mengalahkan diantara sesamamu sebagai manusia. Batas-batas itu diambil
alih oleh kami, para dewa. Karena ada cahaya Hayuningrat di telaga
Sumala tersebut. Dan keindahan wajahmu, adalah alat dalam membawa
keserakahan, rayuan-rayuan syahwat. Hanya ingin nikmat saja, menolak
duka. Menggapai harap akan lebih jelas oleh keindahan wajahmu. Karena
itu engkau menjadi kera. Supaya habis semua ambisi sebagai manusia di
bumi.”
Dalam
pada itu, di tempat yang lain. Retna Anjani sedang menangis, menangisi
dirinya sendiri. Karena dirinya pun ternyata menjadi kera juga, walaupun
tidak seluruh tubuhnya sebagaimana Subali dan Sugriwa, kakaknya. Retna
Anjani wajahnya tetap utuh, tapi badannya adalah badan kera. Karena
Retna Anjani berenang di telaga Nirmala, di mana air dunia yang suci
bercampur dengan Hayuningrat. Retna Anjani menjadi wanita yang tabah dan
mempesona.
Sementara
itu Resi Gotama, lari-lari mencari anak-anaknya. Dan dalam pencarian
itu, sang dewa bersabda kepada resi Gotama :”Anakku resi Gotama, engkau
telah membuang patung isterimu. Batu yang keras, arca yang diam. Jelmaan
dari isterimu. Jelmaan dari yang kau cintai. Tahukah engkau, wahai
anakku? arca itu adalah egomu. Isterimu engkau perkosa dengan kelamin
syahwatmu, menjadi batu! Kesucian dan kelembutan daging dari isterimu,
terampas energinya, karena keserakahan seksmu, hingga ampasnya menjadi
batu. Dan engkaupun tidak menerima isterimu yang cantik menjadi batu.
Bukan persoalan menerima atau tidak, tetapi engkau menangisi syahwatmu,
mengapa isterimu menjadi batu, karena engkau tidak mampu lagi
melampiaskan cinta dan syahwatmu. Ketahuilah, wahai resi Gotama. Dan
engkaupun membuang korbanmu sendiri. Namun demikian, wahai resi,
syahwatmu telah di bawa oleh batu arca ke Alengka. Dan engkau wariskan
syahwatmu ini kepada anak-anak Wisrawa. Terutama kepada yang berwajah
sepuluh, Dasamuka, Rahwana. Batu dari isterimu yang jatuh di Alengka,
menyebarkan energi syahwat yang sempurna. Berarti engkau terbebas dari
syahwat yang sempurna. Berarti engkau terbebas dari syahwat
kelaki-lakianmu, yang dipuja, dipuji dalam seratus tahun dalam tapamu.
Mengapa demikian? Karena engkau telah di ruwat oleh isterimu sendiri,
Dewi Windradi. Dengan Hayuningrat”, demikian kata dewa dari Nirwana.
Maka berkata-katalah, dalam sabda para dewa, ilmunya mengalir. Wejangan-wejangan para dewa, yang ilmunya tak mampu di tulis. Berkumpul dalam nurani sang resi. Akhirnya tahulah, mengertilah sang resi. Mengapa dan apa, anak-anaknya sampai demikian.
Maka berkata-katalah, dalam sabda para dewa, ilmunya mengalir. Wejangan-wejangan para dewa, yang ilmunya tak mampu di tulis. Berkumpul dalam nurani sang resi. Akhirnya tahulah, mengertilah sang resi. Mengapa dan apa, anak-anaknya sampai demikian.
Resi Gotama pun
akan mencari anak-anaknya, yang sudah diketahuinya telah berubah jadi
kera. Akhirnya, bertemulah ayah dan anak dalam satu tangis yang indah
dan haru.
Kesempurnaan kasih sayang bapak, menyempurnakan Hayuningrat putera puterinya.
”Ayah, mengapa aku menjadi kera?”, bertanya Retna Anjani.
”Anak-anakku”,
kata resi Gotama, ”Zaman telah menjadi tua dan waktu telah lelah. Tapi
manusia dan turunannya selalu bisa dilahirkan dengan cepat. Semakin
lelah waktu, semakin cepat turunan manusia dilahirkan. Dan waktu pun
akan membawa anak manusia kembali melalui gerbang kematiannya. Dalam
membawa bekunya sebuah hati dari syahwat yang tak terjaga. Dalam membawa
bekunya sebuah jiwa dari ambisi yang belum selesai. Engkau anak-anakku,
terbebas dari semua itu. Karena engkau merasa malu dengan wajah dan
badan kera-mu.”
”Oh
dunia! Bersinarlah karena penderitaan anak-anakku. Wahai dunia!
Teguklah airmata mereka, anak-anakku. Supaya kamu semua dapat keberkahan
dari Hayuningrat, yang ada dalam diri kami dan anak-anakku.” Wahai
dunia! jemputlah airmata-airmata kami, sisa dari kebenaran yang nyata,
yang sukar ada dan jelas di muka bumi.Dunia akan semakin kokoh dengan
sedu-sedan anak-anak manusia. Penderitaan umat manusia mengokohkan zaman
dan mengangkuhkan, ’harga diri’. Namun api-api itu! semoga air mata
kami bisa, menghabiskan panasnya jiwa-jiwa yang serakah. Kau akan
melihat dunia dengan isinya melalui Cupu Manik Hayuningrat, tapi
ingatlah! Kesaktian tak dapat di rebut dengan begitu saja.”
”Wahai
anak-anakku, Cupu Manik Hayuningrat, yang kalian perebutkan adalah
sebuah pergulatan yang panjang dalam mencapai buah yang nikmat. Mana
mungkin engkau dengan mudah meraihnya, anak-anakku. Namun atas kemurahan
sang dewa, engkau menjadi kera, karena jagad ambisi yang ada dalam
dirimu itu adalah warisan dariku selama bertapa seratus tahun.
Maafkanlah ayahmu ini, wahai anak-anakku.”
”Wahai
anak-anakku, kesaktian bukan dari usaha manusia. Kesaktian bukan dari
usaha pengorbanan apapun. Kesaktian adalah datang tanpa di sadari, dari
sebuah hati yang tak mampu lagi merasa berkorban. Kesaktian akan datang
manakala manusia sudah tidak rindu lagi untuk dipuja dan dipuji. Karena
kesaktian datang tanpa melalui ucapan salam, tapi hadir dalam jiwa
manusia. Kesaktian tidak ada dalam dunia ramai, karena kesaktian, wahai
anak-anakku, hanya datang kepada mereka yang teraniaya. Maka engkau
mendapat kesaktian, wahai anak-anakku, dari rasa rendah diri sebagai
kera. Terimalah itu semua. Anak-anakku jangan duka dan sedih, sebab
penderitaan sangat di inginkan oleh dunia. Supaya dunia terbebas dari
penderitaan yang sia-sia dari umat manusia, supaya Sang Dewata Hing
Murbeng Agung menerima. Dan engkau secara tidak langsung mendapat
’titah’ dari Sang Dewata Hing Murbeng Agung, Tuhan Yang Maha Esa. Dan
engkau sebenarnya diangkat harkatnya, oleh rasa rendah diri sebagai
kera.”
”Tengoklah
wahai anak-anakku. Di seberang sana anak manusia berpesta pora dalam
kesombongan, berpesta pora dalam syahwat. Siapa yang kuat itu yang
menang! Seolah-olah kekuatan adalah miliknya. Seolah mereka mendapat
’titah’, padahal bukan. Tetapi hawa nafsunya sendiri yang mengatas
namakan dewa. Dan engkau menjadi kera anakku, kesombongan akan punah.
Kesombongan akan sirna. Akan hilang dan musnah. Karena di jiwamu hadir
rasa bersalah dan rasa rendah diri sebagai kera. Kerendah-dirian takkan
mungkin hadir dalam diri manusia, manakala manusia masih merasa memiliki
sesuatu kelebihan, dalam wajahnya, dalam perasaannya juga dalam
ilmunya. Demikianlah wahai anak-anakku”, demikian resi Gotama.
”Wahai ayahku”, berkata Subali, ”Kenapa kami ditakdirkan jadi kera? Dimanakah keadilan? Di manakah keadilan jagad raya ini?”
”Anak-anakku,
kera adalah ’titah’ yang merindukan kesempurnaan menjadi manusia.
Berjuta kera bergelayut di hutan-hutan, beribu kera menangis pilu,
karena merindukan jadi manusia. Dan kera-kera itu di ciptakan oleh Hyang
Widhi untuk menghantar lahirnya manusia. Dan engkau akan menunggu.
Menanti kelahiran manusia suci, yang berangkat dari kera.”
(Simak
kembali Mutasyabih, tentang ”psikologi embrio” di mana Pithecanthropus
Erectus, Alban Aljan, yang menerima ”sperma surga.” Adalah kera dari
golongan ”non perkosaan” atau ”non pelecehan seksual”).
”Engkau
menjadi kera karena menunggu kelahiran kesucian manusia yang akan
sempurna. Yang harkatnya melebihi harkat para dewa. Para kera selalu
prihatin, dengan keprihatinan supaya di angkat kesempurnaan, sebagai
kerinduan akan kesempurnaan. Kera merindukan ’limitnya pipi yang
berbulu’. Dalam pikirannya itu adalah kesucian manusia yang harkatnya
tinggi. Wahai anakku, para kera tidak tahu, bahwa limitnya pipi dan
indahnva wajah manusia itu adalah topeng-topeng keangkuhan, yang di
pinjam dari api-api neraka. Bahagialah anak-anakku, karena kerinduan itu
hadir dalam hatimu dan jiwamu.”
”Dan
engkau telah mengambil alih kerinduan para kera dan kerinduan para kera
yang sia-sia, yang tak mungkin menjadi manusia. Tetapi dalam dirimu,
menjadi keagungan yang akan mengangkat harkat umat manusia, dan
menjadikan dirimu sebagai bunga di surgawi kelak.”
”Anak-anakku,
namamu terukir sebagai bunga di surga yang paling indah. Pergilah
engkau bertapa, wahai anak-anakku. Bermati-ragalah kamu. Tinggalkanlah
perasaan dirimu sebagai kera yang buruk rupa. Bawalah kepasrahan pada
Hyang Widhi, cinta dari ayah ibumu, simpanlah sebagai kekuatan dalam
jiwamu, wahai anakku.”
”Dan
ingatlah, ibumu kini kembali ke surga. Dan suatu saat kelak kau
menziarahi makamnya, aku menyimpan arca ibumu di Alengka, dalam
menjunjung harkat. Peperangan mempertahankan keadilan, menumpas
keangkara-murkaan, yang nanti akan dibangun oleh Rahwana. Engkau akan
menemukan panutan yang datang dari surgawi, sujud patuhlah pada panutan
itu. Karena panutan itu Batara Guru, yang sementara waktu membawa Cupu
Manik Astagina. Dia lahir sebagai Rama.”
”Anak-anakku, berbahagialah engkau menjadi kera yang berhati manusia, daripada manusia yang berhati kera.”
Setelah
berpamitan pada ayahandanya, maka berangkatlah Subali, Sugriwa dan
Retna Anjani bertapa, hidup dalam keheningan mati raga.
Subali
pergi ke puncak gunung Sunyapringga, melaksanakan ”tapa ngalong.” Kaki
di atas berpegangan pada kayu jati dan kepala menghadap ke bumi.
Manakala Subali tapa ngalong, maka terlihatlah kesedihan para kera yang
merindukan ingin menjadi manusia.
Sugriwa
tapa seperti laku kijang (kidang/menjangan/rusa), disebut ”tapa
ngidang.” Berakrab-akrab dengan bumi yang diam. Maka Sugriwa merasakan
bagaimana bumi yang selalu memberi makan tanpa beban, kepada manusia.
Bagaimana bumi selalu melahirkan buah-buahan dan bunga-bunga untuk
kenikmatan manusia dan selalu melindungi manusia dari ”angkara murka.”
Retna Anjani bertapa seperti katak (kodok). Sang Dewi masuk ke dalam Cupu Manik Hayuningrat, jiwanya dalam angkasa keindahan cakrawala, dan tubuhnya, berendam, seperti katak, di telaga Sumala ”tapa nyantuka.”
Retna Anjani bertapa seperti katak (kodok). Sang Dewi masuk ke dalam Cupu Manik Hayuningrat, jiwanya dalam angkasa keindahan cakrawala, dan tubuhnya, berendam, seperti katak, di telaga Sumala ”tapa nyantuka.”
Tapa – nya ; Subali, Sugriwa Dan Retna Anjani
Kekuatan
kasih yang yang tinggi dari resi Gotama, kepada putera-puterinya berat
untuk dipisahkan di dalam tugas. Yang tadinya cintanya terpaut, terampas
oleh isterinya, Dewi Windradi. Anak-anak hanyalah mendapat cinta yang
sifatnya ”sisa” dari cinta kepada isterinya. Cinta kepada anak, lahir
dari aliran sungai kecil dari sebuah samudera. Cinta sang ayah adalah
bagian terkecil, karena cinta yang suci kepada anak anaknya yang
seharusnya hadir sebelum anak-anaknya lahir itu, terbius oleh cinta
segalanya kepada isterinya sendiri.
Namun
saat itu sang Resi merasakan bahwa kehadiran cinta kepada anaknya, yang
cukup lama terbius oleh kebesaran cinta kepada isterinya, muncul
perasaan cinta yang suci kepada anak-anaknya dan tambah memuncak saat
dirinya menyadari, betapa selama ini dirinya kurang memperhatikan
anak-anaknya.
Ternyata
asmara, ”jagad asmara”, mengeruhkan jagad cinta seorang ayah kepada
anak-anaknya yang dilahirkan. Seandainya jagad cinta sang ayah memenuhi
permukaan bathin seorang anak, sukar memindahkan cinta baru, cinta
asmara baru kepada wanita lain. Karena kebeningan cinta seorang ayah
kepada anak yang sesungguhnya itu, menghalangi sikap keangkuhan lelaki
dalam melangkah di alam dunia ini, dalam mengisi alam dunia ini.
Kebeningan
cinta sang Resi kepada anaknya, menggugat jiwa dan fikirannya, betapa
dirinya akrab dengan harkat kelaki-lakiannya. Dan terlalu akrab dengan
cinta egonya, kepada isterinya. Saat itu pula sang Resi merasa berdosa
yang sangat, kepada putera puterinya. Maka dirangkullah
putera-puterinya, Subali, Sugriwa dan Retna Anjani.
”Anak-anakku,
maafkanlah dosa ayahmu ini, yang telah lama menyimpan kebeningan cinta
yang seharusnya ada, telah kuselipkan di ’gunung kemurkaan’ aku sebagai
laki-laki, wahai anakku! Cinta yang bening kepadamu kusembunyikan di
sela nafas kelaki-lakianku, di sela nafas syahwatku. Tak mungkin engkau
kehilangan kebeningan cinta yang ada dalam dadaku, tak mungkin sirna,
kalau aku tak mengejar-ngejar syahwat selama seabad. Karena itu
anak-anakku, maafkanlah ayahmu”, kata resi Gotama.
”Ayahku,
apapun dosa yang dirasakan, kesalahan yang dipanggul oleh punggung
jiwamu, itu adalah bukan hak kami untuk menilai”, jawab Retna Anjani,
”Itu adalah hak engkau dengan jatidirimu dan dengan segala alam yang
telah membesarkan kami semua.”
”Namun
demikian, kami sebagai anak-anakmu, tak mampu mengelak untuk tidak
memaafkan engkau, ayahku. Kami tidak akan mempersembahkan maaf kepadamu,
tapi kami akan berikrar kepada Hyang Widhi, Hing Murbeng Agung. Bahwa
engkau adalah ayah yang baik bagi kami semua. Engkau adalah ayah yang
sempurna dan berharkat tinggi, telah membesarkan kami semuanya. Kami
bersaksi, atas segala kebaikan yang telah engkau berikan kepada kami.
Semoga alam pun bersaksi atas kebaikan engkau, wahai ayahku tercinta.”
”Ayahanda,
tak mungkin kami menerima keluh kesah tentang dosa masa lalu, tentang
keresahan kebeningan cinta yang tak mampu engkau ungkapkan, engkau
ekspresikan kepada kami”, Subali menyambung kata-kata adiknya, ”Karena
kami terlahir dari betapa cintanya engkau kepada ibuku. Tanpa cinta
kepada ibuku, tak mungkin kami terlahir ke dunia ini. Dan biarlah, wahai
ayahku, cintamu kepada ibu kami, sebagai pembelian kembali beningnya
cinta engkau, untuk kami, dan menghantar ayahanda untuk melangkah ke
Nirwana yang dituntun oleh para dewa. Tinggalkanlah kami wahai ayahanda,
menuju keagungan singgasana maaf yang diberikan kepada ibu.”
Betapa
sang ayah terharu mendengar kebesaran jiwa anak anaknya. Padahal
sebelumnya, anaknya bertanya, ”Mengapa kami berwajah kera? Bertubuh
monyet?” Sang resi telah memberi kebanggaan nurani, bahwa rendah diri
adalah kekuatan untuk mengalahkan keangkuhan dunia ini. Namun kali itu,
anak-anaknya membutuhkan dirinya tentang ungkapan sebuah hati yang
rendah diri. Dari buruk rupa dan jelek tubuh sang kera. Dan sang ayah
merasa, kemanusiaan dirinya yang gagah, yang mampu bertapa, sakti
mandraguna, merasa menjadi ”lelanang jagad.” Sirna sesaat oleh ungkapan
kesucian, keikhlasan bathin anak-anaknya.
Manakala
anak-anaknya selesai mengikrarkan itu semua, saat itu pula sang resi,
moksa. Ilmunya kembali, tapanya satu abad hanya untuk meminta bidadari
kepada Hyang Widhi, terhapus oleh rasa maaf yang sangat kepada
isterinya. Dan dimaafkan oleh putera-puterinya. Kembali kepada jati diri
yang paling bening dari jiwanya. Kembali kepada jati diri yang paling
suci dalam hatinya. Maka beliau moksa pergi ke Suralaya.
Suralaya
adalah puncak kebahagiaan, berbatasan dengan nirwana. Puncak yang
diraih oleh Sastra Jendra dari Wisrawa dan isterinya. Suralaya adalah
tempat surgawi yang sudah terisi energi ke-Illahi-an, tapi masih
terhalang oleh pintu Ar-Royan atau ”Sela Manangkep.”
Tatkala
resi Gotama ke angkasa sambil menangis, tetes airmatanya membasahi
ketiga putera-puterinya. Maka lenyaplah sang ayah dari pandang mata
kepala putera-puterinya. Akhirnya masing-masing melaksanakan tapanya,
sebagaimana di amanatkan sang ayah.
Subali menuju gunung Sunyapringga, melaksanakan ”tapa ngalong.”
Sugriwa ke hutannya Sunyapringga, melaksanakan ”tapa ngidang.”
Retna Anjani di telaga Nirmala, melaksanakan ”tapa nyantuka.”
SUBALISubali, dalam kesunyian tanpa cinta ibunda dan tanpa cinta sang ayah. Keheningan gunung Sunyapringga, menambah mencekamnya kerinduan cinta yang ditinggalkan oleh kedua orangtuanya.
”Wahai gunung, siapakah yang mengisi kekosongan cinta ini?”
”Aku
sendiri hening dari kekayaan cinta kepada diriku sendiri, jangankan aku
mencintai diri sendiri, aku ini pun terkoyakkan oleh cinta orangtua
kami, wahai gunung Sunyapringga. Sempurnakanlah kesunyian kami,
sempurnakanlah kekosongan cinta kami. Supaya kami, masuk ke alam
rahasia, supaya kami masuk ke alam yang oleh dunia dirahasiakan. Ke alam
yang oleh hutan dirahasiakan, ke alam yang oleh tumbuh-tumbuhan
dirahasiakan. Wahai gunung, gunakanlah kesepian kami sesepi-sepinya,
supaya kami melupakan diriku sendiri. Janganlah engkau biarkan tubuh
kami, jiwa kami, dan fikiran kami, terpenjarakan oleh kesepian yang
kepalang tanggung. Kesepian yang sempurna mampu membebaskan diriku dari
rasa memiliki tubuh dan jiwa ini.”
Demikianlah Subali dalam ”tapa ngalong-nya”, kaki ke atas berpegangan pada dahan pohon dan kepala! Menghadap ke bumi.
Di
puncak kesepian Subali yang paling pekat, sang daging seperti
meninggalkan dirinya, bukan daging yang ditinggalkan oleh dirinya.
Satu-persatu, tangannya meninggalkan dirinya, daging di perutnya, tulang
di kakinya, satu-persatu organ tubuh meninggalkan dirinya, yang tersisa
adalah jantung dan hati, yang terasa masih ada.
”Mengapa
jantung dan hati tidak mau pamit dariku? Bukankah karena engkau, aku
merasa memiliki tubuh ini? Bukankah karena engkau, aku merasa memiliki
denyut daging dan getar syaraf? Bukankah karena engkau, wahai hati, aku
dapat memandang dengan mataku pesona dunia ini? Cepatlah engkau
berjalan! Tinggalkan aku.”
Hati dan jantung menjawab :
”Bukan
aku tak mau berpamitan kepadamu, namun katakanlah, bahwa aku pernah
hadir dalam dirimu, dalam memperkenalkan dunia ini dengan isinya.
Tanpaku, engkau tak mengerti arti duniawi, tanpa kami, engkau tak mampu
bercengkerama dengan dunia. Izinkanlah kami pamit dan isilah jejak kami
oleh dirimu. Dan suatu saat kami akan datang lagi mengisi tempat ini.”
Maka jantung dan hati pamitan tanpa kesedihan dan kegembiraan. Subali pun melepas organ tubuhnya yang terakhir.
Maka jantung dan hati pamitan tanpa kesedihan dan kegembiraan. Subali pun melepas organ tubuhnya yang terakhir.
Manakala
hati dan jantung meninggalkan dirinya. Saat itu pula seluruh
pohon-pohon di hutan Sunyapringga berbicara menyampaikan rahasia
dirinya. Menyampaikan rahasia dirinya. Menyampaikan rahasia alam ini dan
menyampaikan rahasia para dewa.
Hingga
setiap pohon bercerita, aku ditakdirkan berbuah sampai sekian. Berapa
yang gugur, berapa yang matang dan berapa yang dimakan ulat. Kami
ditakdirkan berdaun sekian, dari pucuk pertama dan daun terakhir yang
gugur.
Dan hewan-hewan pun, bercerita tentang kerahasiaan dirinya secara sempurna.
Maka telinga-telinga dari bathinnya, mendengar semua suara yang ada di dunia ini. Penglihatan mata bathinnya, tembus membelah samudera, masuk ke langit. Subali mulai masuk ke alam kebahagiaan bertemankan rahasia-rahasia. Dikatakan rahasia, karena terhalang oleh daging. Namun saat itu bukan rahasia lagi. Ternyata di balik daging, ada keindahan yang lebih sempurna, dari syahwat itu sendiri, dari indera itu sendiri, dari fikiran itu sendiri.
Dan hewan-hewan pun, bercerita tentang kerahasiaan dirinya secara sempurna.
Maka telinga-telinga dari bathinnya, mendengar semua suara yang ada di dunia ini. Penglihatan mata bathinnya, tembus membelah samudera, masuk ke langit. Subali mulai masuk ke alam kebahagiaan bertemankan rahasia-rahasia. Dikatakan rahasia, karena terhalang oleh daging. Namun saat itu bukan rahasia lagi. Ternyata di balik daging, ada keindahan yang lebih sempurna, dari syahwat itu sendiri, dari indera itu sendiri, dari fikiran itu sendiri.
Subali
menuju alam pertapaan yang sangat ramai. Sendiri dalam kesepian tetapi
ramai dalam kehidupan. Subali dalam ”tapa ngalong-nya” menyaksikan
kehidupan dunia. Setiap manusia terlihat takdimya. Tingkah laku, gerak
tubuh yang menghasilkan problematik hidup setiap individu manusia, jelas
di saksikan. Persoalan umat pun dilihatnya secara sempurna.
Maka
pengetahuan-pengetahuan, ilmu, bukan datang dari pelajaran-pelajaran
yang didapatkan dari ayahandanya. Semua memberikan pelajaran, semuanya
yang dilihat memberikan pengertian. Dunia bukan lagi sekedar benda.
Dunia adalah kalam Illahi yang bergerak-gerak. Dunia adalah ungkapan
wahyu Allah yang bercerita. Firman-Nya mengalir tanpa perantara. Firman
yang bukan melalui Jibril, tapi firman yang berasal dari isyarat alam,
sebagai perwakilan-perwakilan sang Maha Kuasa.
SUGRIWA
Sugriwa di dalam ”tapa ngidang-nya”, tak
seperti Subali. Kalau Subali, dalam ”tapa ngalong-nya”, ditinggalkan
oleh seluruh organ tubuhnya. Maka yang dialami Sugriwa adalah organ
tubuhnya tetap dirasakan utuh, tapi dirinya ditinggalkan oleh
fikirannya.
Yang
pertama kali meninggalkan dirinya adalah illusinya, ”Selamat tinggal
wahai diriku”, kata ilusi, ”Aku akan mengangkasa dan akan kembali ke
alamku sendiri, di awang-awang jagad raya, di mega-mega yang tak
bersisi. Karena kami bercerita tanpa ada awal dan akhir, karena kami
mengungkap masalah tanpa judul. Dan engkau mengenal aku, karena rekayasa
perasaamu sendiri. Yang sesungguhnya, aku tidak ada. Aku adalah embun
yang kembali kepada embun. Aku adalah asap yang kembali kepada awan. Aku
tidak memiliki judul, kalaupun berjudul, bukan aku yang membuat. Tapi
engkau yang membuat judul atas angan-anganmu tentang kehidupan ini.”
”Selamat
jalan daya khayalku. Engkau terlalu kucintai, dan engkau jangan terlalu
jauh melayang-layang di angkasa. Tanpa engkau, aku tidak mampu memahami
dunia ini. Tanpa engkau, aku akan terpenjara oleh kenyataan hidup. Tapi
engkau membebaskan diriku dari keterpenjaraan kehidupan yang
sesungguhnya. Engkau adalah memberikan kemerdekaan semantara kepadaku”,
demikian Sugriwa.
Perpisahan ini adalah tangisan, walau daya khayal dari illusi, tetapi tetap ditangisi, dan perpisahan ini terasa menyakitkan.
”Tanpamu,
aku kehilangan diriku sendiri. Karena aku dikatakan sebagai manusia
karena dirimu, yang telah hadir dalam diriku sebelum aku dilahirkan di
muka bumi ini.”
Maka
setelah kepergian daya cipta illusi, daya lamun, berpamitan pada
logika. Logika berkata tentang atas dan bawah, sisi dan ujung, jumlah,
matematika, sebab akibat, analisa-analisa, kesimpulan-kesimpulan,
penjelasan mengapa begini, mengapa begitu, mengapa demikian.
”Selamat
tinggal wahai Sugriwa. Aku matematika harus berpisah dari fikiranmu.
Engkau sering resah karena perhitungan-perhitungan dariku. Engkau sering
bergulana, karena aku menari dalam hitungan jumlah, dan engkau sakit
oleh kekurangan-kekurangan. Dan engkaupun sering gembira manakala aku
menambah. Engkau dipenjarakan olehku, dari sebuah sebab akibat. Yang
paling menggoda kekhawatiran adalah aku, Sugriwa. Namun ingatlah aku,
kenanglah aku! Tanpa aku, engkau tidak akan dapat mengerti, mengapa
engkau harus mengejar-ngejar Cupu Manik Hayuningrat, karena aku, engkau
dipicu dalam usaha dan ikhtiar.”
”Selamat jalan, wahai sebab akibat, suatu saat aku merindukanmu.”
”Ya!
Aku akan datang manakala sang dewa telah mensucikan engkau. Dan akupun
akan datang dengan sebab akibat dan matematika, jumlah dan kurang. Namun
aku akan berbakti kepada ’kesucian’ engkau, yang telah disucikan dalam
pertapaan yang panjang.”
”Berilah
aku keleluasaan untuk mencari rahasia-rahasia alam, untuk mencari
rahasia-rahasia mega-mega mengangkasa. Supaya manakala aku kembali, bila
engkau mengenal aku 3+2=5, tapi 3+2 adalah 5+x+n+n, aku adalah kaya.
Kalau pun aku matematik, tapi mampu membelah rahasia gaib, kalau engkau
menambah kesucian dirimu. Karena aku harus diperkosa oleh kesucian
dirimu. Bukan aku yang memperkosa dirimu, wahai Sugriwa”, demikian kata
logika.
Yang terakhir pamit adalah fikirannya :
”Aku
pamit Sugriwa. Telah lama aku bercokol dalam ruang-ruang fikiranmu. Aku
adalah rencana yang panjang dari dirimu. Penggalan- penggalan kamar
yang telah kau isi dari rencana kerja itu adalah aku. Biarlah aku
kembali kepada pusat perencanaan Yang Maha Sempurna, Sang Pencipta
Rencana itu sendiri, Hyang Agung Mahesa. Hing Murbeng Mahesa, adalah
tempat aku kembali karena di sana ada rencana Yang Maha Sempurna. Aku
adalah bayangan-bayangan kecil dari rencana-Nya. Aku adalah wayang dari
rencana, dan engkau mau menggapai rencana dalam bayangan dirimu sendiri.
Aku mengucapkan salam kepada dirimu. Dan aku pun, terima kembali suatu
saat, manakala engkau telah membuat ’Istana kesucian’ di dalam
fikiranmu. Fikiranmu adalah rukh, fikiranmu adalah sayap-sayap yang ku
isi. Tanpa rukh, aku tak mampu hadir dalam sayap rukh. Kau kembali
kepada jati yang tersuci dari rukhmu sendiri. Hewan tanpa rukh, aku pun
tak mampu hadir di alam mereka.”
Maka
menangislah Sugriwa dalam tapanya. Betapa kesepian panjang tanpa
perhitungan, tanpa rencana, tanpa obsesi. Obsesi adalah kenakalan alam
fikiran, gejolak alam fikiran akibat rencana yang diperhitungkan secara
rinci dan sangat matematis. Sangat berfungsi dalam matematik dan
pengetahuan alam.
Maka
keheningan mengiringi Sugriwa, dan di puncak kesepiannya Sugriwa
melihat perhitungan lain. Sugriwa mengetahui jauhnya bumi dengan bulan,
mengetahui berapa banyak energi matahari yang selama ini telah mengalir
ke bumi, berapa usia dunia ini dengan matematika yang tanpa batas
logika. Bulan pun bercerita telah berapa kali mengelilingi bumi ini dan
mengelilingi matahari. Matahari pun bercerita berapa jumlah energi panas
yang disimpan dalam tubuhnya. Oksigen dan hidrogen menari-nari,
memberikan informasi tentang eksis dirinya.
Maka
rahasia jumlah dari hari dan tahun yang telah terlalui oleh alam ini,
dari berapa jumlah yang akan lahir dari tahun dan bulan, diketahuinya
dalam jumlah. Rencana pun teraba, kapan kiamat, kapan gunung hancur,
kapan planet bertemu planet, meteor dengan meteor, komet dengan komet.
Dan berapa jumlah planet yang ada di cakrawala ini, diketahui dengan
pasti dan sistematis. Karena rukh, ternyata sumber logika yang paling
murni. Yang terpandai dari otak. Otak ternyata jagad terkecil dari
transfer fikiran, kepandaian rukh itu sendiri.
Sugriwa dalam tapa ngidangnya, menemukan rahasia jumlah dan perencanaan, mengetahui sebab dan akibat, awal dan akhir dari sesuatu proses.
Sugriwa dalam tapa ngidangnya, menemukan rahasia jumlah dan perencanaan, mengetahui sebab dan akibat, awal dan akhir dari sesuatu proses.
Subali mata bathinnya bertambah tajam dalam dialog dengan alam dan sifatnya.
Sugriwa kepandaian rukhnya, menghitung dan membuat rencana dari sisi jumlah dan dimensi.
Subali adalah makna sifat yang dimensional dari fisik alam ini.
Sugriwa adalah dimensi jumlah dari fisik sifat alam ini.
Tapa
ini ”wajib” bagi makhluk di muka bumi. Karena ”khalifatul fil ardh”,
adalah tanggung jawab kepercayaan Allah kepada manusia. Manusia sebagai
khalifatul fil ardh, perawat dunia dengan bermodalkan dua faktor
tersebut di atas. Tanpa modal dua faktor ini, adalah tinja yang ada di
bumi, kotoran yang menodai bumi ini.
Sabda Batara Narada dari Nirwana :
”Cucuku,
Subali dan Sugriwa. Engkau pantas merawat dunia, engkau pantas
mencintai bumi ini, pantas sebagai penghuni yang syah dari alam yang
Tuhan telah ciptakan. Engkau adalah jagad, dimana dunia akan bersekutu
dengan jagad dirimu. Bukan engkau yang bersekutu dengan bumi. Tapi bumi
kembali bersekutu ke dalam jagad rukh dan jiwamu. Karena Hing Murbeng
Agung, Sang Hyang Wenang, tak mungkin memberikan kepercayaan kepada
penghuni yang namanya manusia, kalau tidak lebih mulia dari alam dan
isinya.”
RETNA ANJANI
Retna
Anjani, tapa nyantuka, seperti kodok yang berendam di air Sumala. Air
kehidupan yang sudah keruh. Retna Anjani dalam kesunyian.
Kesunyian
hatinya, kesunyian jiwanya, tambah mencekam dengan dinginnya telaga
Sumala. Malam hari bertemankan kodok-kodok yang bernyanyi, menambah
kerinduan dan keharuan kepada bundanya. Gigil tubuh Retna Anjani dan
dinginnya air keruh Sumala, menghantar dirinya pada puncak kesempurnaan
dari kesepiannya. Retna Anjani, tidak seperti Subali dan Sugriwa, yang
diperlihatkan seluruh rahasia alam ini. Di puncak kesempurnaan
kesepiannya, Retna Anjani :
- fisiknya tidak lagi memberikan perasaan,
- fikirannya tidak lagi memberikan pengertian, namun
- jiwanya sebagai wanita yang feminim, yang lembut, yang penuh kebijaksanaan, terbuka.
- agad kesucian seorang wanita, pintunya terbuka.
Retna Anjani, masuk ke jagad cinta yang tertinggi. Dan dijemput oleh sebentuk cinta.
”Selamat
datang Ratu Retna Anjani, aku adalah kerinduanmu. Tanpa aku, engkau
tidak akan merindukan sesuatu, tidak akan merindukan apapun. Mengapa aku
ada dalam jagad dirimu? Mengapa aku bertemu dengan dirimu? Padahal aku
sering, aku tak pernah memperkenalkan diri kepada penghuni bumi yang
namanya wanita. Karena aku tersembunyi, bisa di rasakan tak mungkin di
raba. Bisa dihayati tak mmgkin di fikirkan. Karena aku, tersembunyi
dalam emosi. Kalau pun aku datang memperkenalkan diri, membentuk diriku
sendiri di hadapanmu, karena engkau telah masuk, mengalami terpaksa,
hadir di dalam Cupu Manik Hayuningrat. Hayuningrat menyebabkan
ketersem-bunyian aku di dalam emosimu sebagai wanita, tak kuasa tidak
menjelmakan diri di hadapanmu.”
Hayuningrat :
- mampu menjelmakan sesuatu nilai-nilai menjadi nyata,
- sesuatu perasaan menjadi benda,
- sesuatu khayal menjadi teraba.
”Dan
kerinduan yang engkau rasakan, karena aku adalah kerinduan kepada
kesejukan kasih sayang ibu. Dan semua manusia merasakan kesejukan kasih
sayang ibu, dan kenyataan perlindungan ayah. Dan untukmu wanita,
merindukan perlindungan ksatria seorang lelaki. ltu adalah aku,
kerinduan.”
”Selamat
berjumpa wahai kerinduan, maafkan aku. Karena seusai tragedi aku
menjadi kera, kerinduan apapun tak pernah hadir lagi dari jiwaku.
Kalaupun kau ada dan memperkenalkan diri kepadaku, akupun terpaksa
mengucapkan selamat datang, wahai kerinduan. Wahai kerinduan, ajaklah
aku kepada misteri yang ada dalam jagad cinta. Jagad cinta wanita yang
ada dalam jiwaku.”
Maka kerinduan, memperkenalkan perasaan lain, datanglah rasa nyaman, rasa terlindungi.
”Siapakah engkau?”, kata Retna Anjani.
”Aku adalah rasa tenteram karena kenyamanan, rasa aman karena perlindungan.”
”Siapa dirimu?”
”Aku
adalah Hawa. Karena aku, terlahir generasi manusia. Karena aku manusia
mewariskan cinta kepada keturunannya. Tanpa aku, manusia akan
meninggalkan keturunannya. Aku adalah ’hawa kasih sayang’ yang
tersembunyi dalam rasa aman, yang diam di dalam kerinduan. Dan aku
sebenarnya cahaya dari perlindungan Hyang Widhi. Kerinduan kepada orang
tua, kepada anak, kepada kekasih itu pun anak-anak yang dariku, Hawa.
Dan aku adalah percik cahaya dari rasa aman yang datang dari Sang Hyang
Widhi, kepada makhluk-Nya”, demikian sang kerinduan memperkenalkan
dirinya.
Dan
kerinduan tidak akan berfungsi. Kerinduan akan mati, manakala kerinduan
hanya sampai kepada suami, hanya sampai kepada isteri, manusia. Hanya
sampai kepada anak-anak dan kekasih. Kerinduan yang terhenti, adalah
memotong cinta yang panjang dari makhluk kepada Penciptanya.
”Wahai
ratu, jangan engkau terhenti di belokan cinta, terhenti di tikungan
cinta. Karena engkau akan diperbudak oleh kerinduan itu sendiri.
Kerinduan seperti itu meresahkan dan menyiksa, karena kerinduan belum
usai, belum pulang kembali kepada sumbernya, Sang Hyang Widhi. Maka
jadikanlah aku, Hawa, sebagai jembatan cahaya yang panjang. Supaya
engkau melaju, mengalir menuju sumber Cinta. Bawalah cinta engkau kepada
orangtuamu bersama aku, kembalikan dengan cahayaku kepada sumbemya.
Bawalah cinta asmaramu kepada ksatria, idamanmu, memakai perahu cahaya
yang mengalir di samudera yang panjang. Menuju pulau-pulau Sumber Cahaya Cinta Sang Hyang Murbeng Asih. Jangan
engkau biarkan, dirimu dalam cinta, tenggelam dalam samudera cinta yang
terseok-seok di bawah samudera asmara. Namun asmara akan menjadi lebih
indah, manakala aku mengisinya dengan cahaya yang panjang sebagai
jembatan cinta kepada sumbernya, Hing Murbeng Asih, Tuhan Yang Maha
Esa.”
”Wahai Hawa”, kata Retna Anjani, ”Adakah dibalik engkau yang aku ingin kenal padanya?”
”Ada,
di belakangku adalah dirimu yang sejati. Diri sejati yang merindukanmu
yang ingin memberikan cinta kasih kepada semua yang ada. Tidak saja
ksatria yang engkau berikan cinta, tidak saja ayah ibumu yang engkau
berikan cinta. Tapi alam raya dan isinya, menunggu dengan sangat, dari
abad ke abad, berjuta tahun, alam raya dan isinya, menunggu belaian
kasih sayang dari jati dirimu sebagai wanita.”
Manakala
Hawa tersibak, tampaklah di belakangnya. Dimana Retna Anjani rasanya
seperti mengaca di kaca yang besar, segalanya persis. Persis wajah, sama
persis tubuhnya. Sebagaimana Retna Anjani sendiri.
”Ucapkanlah
salam kepada dirimu sendiri. ltu bukan bayangan, itu adalah dirimu yang
sesungguhnya, wahai Retna Anjani”, kata Hawa.
Retna
Anjani membanding-banding dirinya, dengan tubuh yang ada di depannya.
Mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki, ternyata ada bedanya.
”Mengapa payudara yang di depanku bersinar terang?”
”Oh
Retna Anjani”, kata Hawa, ”Cahaya itu adalah warisan dari cinta
sebening kaca, cinta yang sempurna, yang telah disimpan oleh Bundamu
yang telah melahirkanmu. Dan engkau pun akan mewariskan cahaya itu,
memberikan kehidupan kepada anak-anak manusia. Beribu bayi bergantung
kepada cahaya dari payudara, karena kesaktian alam berkumpul dalam
cahaya itu. Memberikan vitamin dan kesegeran (air susu), kepada setiap
bayi yang dilahirkan. Dan engkau telah menghisap kesaktian ibumu sendiri
dengan keikhlasan yang sempurna. Cinta ibumu, membuat iri semua dewi di
Kahyangan. Karena mereka tak memiliki cahaya dari payudara. Yang mereka
miliki adalah keagungan nilai dari payudara, yang tidak bisa memberikan
susu kepada bayi-bayi. Kalau pun bidadari diturunkan ke dunia, matilah
setiap bayi, karena tak mampu memberikan susu. Berbahagialah engkau,
wahai Retna Anjani, sebagai manusia yang berharkat bidadari.”
”Bisakah aku bertemu ibuku di payudara yang bercahaya?”
”Bisa, wahai Retna Anjani, mengapa tak kau panggil kalau rindu pada ibu?”
”Karena aku tak mampu, tak sempat mengungkapkan maaf dan terima kasih.
Bahwa
aku telah dilahirkan, pernah dikandung dan telah dibesarkan. Tragedi
Cupu Manik Hayuningrat, menyebabkan aku tak sempat mengungkapkan
terimakasih dan sujudku kepada bundaku.”
”Wahai ratu, panggillah bundamu”, kata Hawa.
Maka
dipanggil bundanya. Susu yang bening dan bercahaya itu, seperti alam
yang di dalamnya ada bundanya. Dewi Windradi tersenyum.
”Peluklah aku, anakku.”
Maka
dengan tangisan yang menjerit, dipeluknya ibunya. Namun yang ada hanya
bayangan sinar saja. Ternyata Retna Anjani meninggalkan tubuhnya
sendiri, kembali kepada dirinya yang sejati.
Retna
Anjani berjalan dan berjalan semakin jauh, di jagat dirinya yang
sungguhnya. Maka sampailah kembali kepada dirinya yang sedang bertapa.
Ternyata perjalanan Retna Anjani di dalam jagad dirinya yang
sesungguhnya, terlihat sebagai cahaya yang gemilang. Maka cahaya gilang
gemilang ini adalah cahaya yang mengeluarkan kasih sayang, cahaya yang
menebarkan serta merangsang kerinduan semua alam yang menebarkan rasa
kasihan yang tinggi. Rasa kasihan yang tinggi ini, sampai ke Marcapada,
menembus perbatasan Sela Manangkep, Suralaya dan terus sampai ke
Kahyangan.
Para dewa gempar! Cahaya apa ini?
Dan sebagaimana biasa, Batara Narada berdialog dengan adiknya, Batara Guru.
”Dinda
Batara Guru, engkau mengerti apa dan bagaimana cahaya ini. Sepertinya
cahaya ini bukan milik nirwana, datang dari luar nirwana. Tapi mengapa
memberikan benderang yang lebih gemilang dari cahaya yang ada di
nirwana?”
”Aku pun tak melihat cahaya ini datang dari puncak nirwana.”
”Wahai Dindaku, ikutilah cahaya itu, darimana datangnya.”
Batara
Guru mengikuti cahaya itu yang ternyata sampai ke bumi, yang kemudian
sampailah kepada sumbemya, Retna Anjani. Maka terharulah Batara Guru.
Cinta yang sempurna yang ada dalam bathin Batara Guru, hampir dikalahkan
oleh pesona cinta yang datang dari Retna Anjani.
Proses kembalinya suatu cinta kepada sumbernya.
”Retna
Anjani”, sabda Batara Guru, ”Keangkuhanku yang menyebabkan lelaki di
lahirkan, goyah dan hampir kalah oleh cahaya yang datang dari dirimu.
Kukatakan, engkau kucintai dan engkau kumiliki.”
Batara Guru, muncul kecintaan yang mendalam, melampaui keindahan nirwana.
Dan bersabda Batara Guru :
”Terimalah
cintaku ini, cahaya yang sebenarnya belum saatnya ada di bumi. Namun
cahaya yang keluar dari dirimu ’mempercepat proses’ untuk segera cahaya
ini hadir di muka bumi ini. Dan terimalah bagian dari diriku ini, dan
berubah ujud menjadi ’ron jati malela’, daun jati malela.”
Retna
Anjani, dalam ”tapa Nyantuka-nya”, memakan makanan apa saja yang
mendekati dirinya. Buah yang mengambang, daun yang mengambang. Dan
minumnya adalah uap-uap udara, embun pagi. Ron jati malela mengambang,
dan masuk ke dalam mulutnya.
Begitu di telan oleh Retna Anjani, dirinya merasakan keindahan yang mempesona. Sebagaimana yang dirasakan oleh Dewi Sukesih sewaktu melayang-layang di puncak kenikmatan cinta dan puncak kebahagiaan di perbatasan kahyangan. Cinta, kerinduan, kerinduan yang tadi memperkenalkan diri, menemukan siapa yang dirindukan.
”Izinkanlah
wahai Batara Guru, ternyata engkau kurindukan. Bayanganmu telah lama
hadir dalam jiwa ini. Saat aku kecil, bayanganmu seringkali hadir di
telaga hatiku. Dan engkau menjadi kenyataan di telaga Sumala ini.”
Sabda Batara Guru :
”Engkau
akan mengandung anak kita. Anak kita, bukan lahir dari syahwat. Diukir
bukan dari cinta kerinduan, bukan dari ’hawa’, bukan cinta dari
jatidirimu sendiri. Tapi perpaduan Hayuningrat yang sudah engkau sucikan
di Sumala, bersekutu dengan cahaya yang kubawa dari kahyangan.”
”Telaga Sumala,
telaga kehidupan yang kotor, yang cemar. Kini suci kembali, kesucian
yang datang dari dirimu dan yang datang dari cahaya permata surgawi.
Maka anak kita, menjelma dari kekuatan keduanya.”
Tatkala
sang bayi lahir, Batara Guru datang lagi dari nirwana, menaiki Lembu
Andhini. Begitu Lembu Andhini melihat Retna Anjani dan bayinya, Lembu
Andhini lari kembali ke nirwana, dan mendobrak Sela Menangkep!
Batara Guru terkejut!
Batara Guru terkejut!
”Wahai Andhini. Engkau kurang ajar! Mengapa tanpa izinku engkau kembali ke nirwana? dan engkau menghancurkan Sela Menangkep!”
Maka terdengarlah sabda Batara Narada :
”Dindaku,
Andhini adalah kesempurnaan cinta yang tidak pernah berkata-kata,
biarlah aku mewakili Andini. Tahukah engkau? Andhini merasa, bahwa Retna
Anjani secepatnya dibawa sebagai penghuni nirwana. Dan Andhini kecewa,
dan berontak. Mengapa anak sesuci dan seagung itu harus lahir sebagai
kera. Andhini tak mampu membendung kemarahan, dari kenyataan seperti
ini, kekaguman yang sangat kepada pribadi sang bayi, dikecewakan oleh
wajah kera.”
Batara Guru memahami itu semua, dan menghampiri Retna Anjani.
”Isteriku,
penghuni nirwana, termasuk tungganganku Lembu Andhini, merindukan
kehadiranmu. Karena penderitaamu sudah pindah pada bayimu. Anakmu akan
menanggung semua deritamu dalam pertapaan yang panjang. Engkau usailah!
Bangunlah wahai isteriku dari tapamu yang panjang. Dosa-dosamu, karena
ambisi memiliki Cupu Manik Hayuningrat. Di bawa oleh anakmu, karena dia
mampu menghabiskan dan menghilangkan semua dosa.”
”Wahai
isteriku, setiap anak yang lahir membawa dosa orang-tuanya dan mampu
membuangnya. Namun, karena anak kebanyakan lahir dari dosa, bagaimana
bisa membuangnya? Anakmu lahir dari kesucian hatimu, mampu membawa,
membuang dan sekaligus melenyapkan dosa, tanpa bekas.”
”Manusia,
sekali berdosa, maka dosa itu akan dibawa oleh mereka yang mencinta.
Sekali berdosa, maka akan disebarkan oleh yang kau cinta. Sekali berdosa
akan diturunkan kepada anak-cucumu. Maka dosa pun bertambah panjang.
Hanya Hayuningrat yang mampu mengakhiri.”
”Anak
kita, bayimu Hanoman. Mampu melenyapkan dosa turunan, dosa yang dibawa
oleh yang dicintainya. Pangruwating Diyu, tak mampu mengakhiri dosa.
Hanya memperkecil dosa. Demikianlah wahai isteriku”, sabda Batara Guru.
”Hanoman,
anak kita itu. Berilah nama sesuatu yang agung, hatinya seagung gunung
yang bening. Kesucian hatinya melampaui, keagungan gunung yang agung.
Berilah nama Giri Suci. Keikhlasannya sebening air Sumala, air keruh
yang menjadi sebening air surgawi.”
”Ia memiliki kewibawaan. Wibawa dalam jiwanya mampu mengalahkan kewibawaan samudera. Katakanlah namanya, Jaladri Prawat.”
”Budinya
lebih terang dari semua mentari, lebih cemerlang dari semua cahaya
cakrawala. Tutur katanya, selembut cahaya yang tak terlihat. Berilah
sebuah nama, Surya Sasangka.”
”Rasa
juangnya sangat tinggi, tak pernah menyerah kalah, tak mau menyerah,
tak mau mengakui akan segala penderitaannya. Penderitaan adalah
pengakuan. Anak kita tak pernah mengakui akan rasa kekalahan. Sekali
menentukan sikap, seperti angin prahara yang tak mampu dibendung oleh
apapun juga. Sebutlah Anita Tanu.”
”Dan
apabila saatnya tiba, anak kita harus kembali kepada alam, bergaul
dengan penghuni hutan ini. Engkau harus kembali kepada kesempurnaan
Hayuningrat, yang sudah menunggu di kahyangan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar