PANGERAN BANTEN MENOBATKAN DIRI MENJADI SULTAN
(pupuh LXX.20 - LXXI.11)
Kita tinggalkan kisah di Pakungwati, dikisahkan lagi keturunan wali dari Banten yang bernama Pangeran Kenari.
Sang Pangeran pergi ke tanah Arab untuk naik haji ke Baitullah.
Sekembalinya dia mendapat ijin dari Sultan Mekah untuk bertahta sebagai
raja di negara Banten, serta diberi pakaian pusakanya Nabi Ibrahim.
Setibanya di Banten, Pangeran lalu mengumpulkan sanak keluarganya, para
kaum dan para sentana. Kemudian Pangeran mengangkat dirinya menjadi raja di Banten.
Sultan
Mataram mendengar hal tersebut menjadi sangat murka dan tidak dapat
menerima pengangkatan tersebut. Di Jawa setiap pengangkatan menjadi
Sultan itu harus dengan ijin dari Mataram, kalau tidak maka dia akan
diperangi oleh Mataram. Sultan Banten pun sudah bersiap-siap menyambut
serbuan Mataram karena Banten tidak mau tunduk kepada Mataram. Kemudian
terjadilah peperangan yang lama, berlangsung selama beberapa tahun
antara Banten dengan Mataram.
Kemudian ada seseorang yang dapat mendamaikan peperangan ini, dia adalah seorang Belanda yang bernama Kapten Morgel
. Dalam perdamaian itu Mataram mau mengakui pengangkatan itu dan
sebagai imbalannya Banten harus mengirimkan tugur, pasukan penjaga, ke
Mataram setiap tahun. Pasukan ini bergantian datang ke Mataram untuk
tugas jaga. Setelah tercapai perdamaian itu ternyata Kapten Morgel
meminta upah berupa daerah, upah untuk jasanya yang telah mendamaikan
orang perang itu. Dia minta diberi daerah di tanah Betawi. Atas
permintaan itu baik Sunan Banten dan Mataram keduanya menyetujuinya.
Itulah awal adanya orang Belanda di Betawi yang kemudian mengatur dan
mengurus para raja di Jawa .
Masuknya
Belanda itu bagaikan racun yang menyusup ke tanah Jawa. Para raja Jawa
belum sadar bahwa dalam tubuhnya telah masuk racun itu yang kemudian
akan merusaknya. Belanda mencari kesempatan untuk malang melintang dan
mengatur raja-raja di Jawa itu merupakan warisan dari leluhurnya. Dahulu
Dewi Mandapa, anak raja Pajajaran yang terakhir, yang tak mau masuk
agama Islam, anaknya bernama Dewi Tanuran Gagang tinggal di Pulau
Inggris. Tanurang Gagang itu bercampur dengan orang kulit putih dan
sekarang sudah sampai pada buyutnya, yaitu yang diceritakan bernama
Kapten Morgel yang datang minta kedudukan di tanah Jakarta. Dia terikat
oleh warisannya yang dahulu, melanjutkan kekuasaan negara Pakuan dan
akan mengusik raja-raja Jawa di kemudian hari.
Di Banten mulai ada Sultan yaitu pada babad jaman 1519 (1597 M.), pada waktu itulah awal bertahtanya keturunan
raja wali di Banten. Sultan Agung Kanantun lalu ingin membangun Mesjid
Agung. Nama kaumnya yaitu Kyai Abdul Mahmud, Kyai Abdul Al Mapakir dan
Abdul Al Kodariyah, mesjidnya dibangun tepat pada babad jaman 1532 (1610
M.), sebuah mesjid yang indah. Adapun awalnya keberadaan orang Belanda
di Betawi, yang bernama Kapten Morgel, yaitu pada babad jaman 1530 (1608
M.).
Adapun
di Carbon pada waktu itu Panembahan masih berada di bawah pengawasan
Mataram. Walaupun demikian sebagai keturunan dari raja wali, dalam
hatinya sang Panembahan selalu bersyukur, dan keadaan Carbon pun masih
makmur. Pada waktu itu belum ada orang Belanda ataupun orang Cina,
tembok kota Carbon masih berdiri dengan kokoh.
CATATAN:
1. Pangeran Kenari atau Pangeran Kanantun, Sultan Agung Kanantun (1596 – 1651).
2. Kapten Morgel.
Tokoh ini tidak dikenal dalam sejarah. Nama ini merupakan nama
traditional untuk Gubernur-gubernur Jendral Hindia Belanda. Panggilan
ini berasal dari kata Kapten Mur, yang asalnya dari bahasa Portugis
Capitao Mor, yang berarti panglima tertinggi. Dalam babad ini tokoh
Kapten Morgel hadir sejak tahun 1608, yaitu yang dikisahkan
menyelesaikan perselisihan antara Banten dengan Mataram sehingga sebagai
upahnya dia memperoleh daerah di Jakarta. Tokoh Kapten Morgel ini masih
berkuasa sebagai Gubernur Jendral pada masa pemerintahan Sultan
Kasepuhan ketika diminta bantuan oleh Pangeran Emas untuk dinobatkan
menjadi Sultan Kacarbonan (lihat bab XXXII). Mungkin, diciptakannya
tokoh Kapten Morgel ini adalah sebagai panggilan umum untuk penguasa
Belanda atau seperti yang dikatakan oleh Prof. Hoesein Djajadiningrat,
yaitu sebagai "pengesahan" atas penguasaan Belanda atas raja-raja Jawa
karena tokoh "Kapten Morgel" itu dimitoskan sebagai keturunannya raja
Pajajaran yang menuntut balas.
Kedatangan Belanda dan VOC. Sekitar tahun 1600 kapal dagang Belanda dibawah pimpinan Cornelis de Houtman mendarat di pelabuhan Banten. Dimana kemudian mereka tinggal dari tahun 1596 - 1598. Kemudian VOC didirikan Belanda dan mengangkat Peter Both sebagai Gubernur Jendral untuk Timur Jauh dan Jan Piterzoon Coen sebagai Gubernur Jendral di Jawa. Pada tahun 1618 dia datang ke Jakarta dan menghadap kepada Pangeran Jaketra untuk memperoleh izin mendirikan gudang dan benteng di Jaketra.
3. Pagarage.
Sejarah Banten memberitakan adanya percobaan Carbon untuk menaklukan
Banten yang konon terjadi pada tahun 1650, yang dikenal sebagai
Pagarage. Menurut sumber diatas, di Banten datang dua orang utusan dari
Carbon yang bertujuan untuk membujuk Sultan Banten supaya bersama Carbon
mau menghadap Mataram. Akan tetapi jawaban yang mereka peroleh adalah
"Sultan Banten tidak mau mengakui raja manapun diatasnya selain Sultan
Mekkah yang sering mengirimkan surat kepadanya berisi
pelajaran-pelajaran yang berhikmah". Selanjutnya sejarah mencatat perang
antara Carbon dan Banten pada tanggal 22 Desember 1650, yaitu pada masa
pemerintahan Panembahan Girilaya dimana Carbon mengalami kekalahan.
Kemungkinan ketidak berhasilan Carbon untuk membujuk dan kemudian
memaksa Banten ini yang menyebabkan turunnya kredibilitas Panembahan
Girilaya di mata Amangkurat-I. Disamping itu kemungkinan pertempuran ini
pula yang menyebabkan menjadi renggangnya hubungan antara kedua
keturunan Sunan Gunung Jati ini, sehingga Banten tidak mengambil
tindakan pada waktu Panembahan Girilaya diculik dan dibunuh di Mataram
pada tahun 1662, dan baru mengambil tindakan setelah 16 tahun kemudian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar