Nyi Silabrangti amuwus aris
“Bibi Candhini sira mantuka
maring Wanamarta rekeh
warakaken sanakisun
miwah rekeh ing rama kalih
warakaken yen wis pejah
pemi dipun katur
lawan sira mradikaa
angungsia wangsa kadangira bibi
‘lah, sira mradikaa”.
- Kidung Candhini Bab III pasal 31.
SUARA kemerdekaan masih terngiang di kalangan jiwa para santri Cerbon yang
telah kalah perang melawan Kolonialis Belanda. Kepedihan dan
keterhinaan akibat dinjak-injak kaki penjajah membuat mereka seperti
kehilangan harga dirinya. Mereka ingin bebas, merdeka tanpa harus tunduk
pada kekuasaan asing. Suara kebebasan itu mereka tuangkan dalam sebuah
puisi panjang dalam bentuk kidung. “Kidung Candhini” nama puisi
yang terdiri dari 17 bab dan 538 bait itu. Ditulis para santri dalam
pengembaraannya di tahun 1838 M (1760 Jawa) dengan menggunakan bahasa Cerbon Pegon – bahasa Cirebon pertengahan.
Seputar
tahun itu memang merupakan tahun penderitaan panjang para santri di
Jawa. Setelah kekalahan santri Cirebon pada tahun 1818 yang kemudian
disusul dengan kekalahan para ulama Jawa yang dipimpin Pangeran
Diponegoro (1825 – 1830). Dalam kekalahnnya itu, mereka melakukan
pengembaraan ke berbagai pelosok daerah.
Dalam
kidung itu pula disinggung tentang kegalauan jiwa yang tak terperikan.
Seperti keterkekangan untuk membebaskan diri dari pembelengguan pihak
penjajah. Meski Kidung Candhini sendiri ditulis sebagai buku
untuk kepentingan dakwah Islamiyah dengan gaya puisi, namun akar dari
permasalahannya adalah “gugatan” kemerdekaan terhadap penjajah Belanda.
Seperti pada bait puisi di atas :
Nyi Silabrangti menjawab dengan nada lembut
“Bibi Candhini, datanglah kamu
ke Wanamarta
berikan kabar kepada sanak keluargaku
juga kepada ayah bunda
katakanlah, bahwa aku telah mati
jangan lupa, katakanlah
dan kamu kuberi kebebasan
pergilah kamu kepada sanak saudaramu sendiri
nah, kamu merdeka.
Kidung Candhini sangat
mungkin merupakan alat bukti yang monumental dari pergerakan santri di
sekitar Cirebon ketika berperang untuk melepaskan diri dari kekangan
pemerintah Hindia Belanda. Sejak awal abad ke-19 hingga awal abad ke-20,
gerakan kaum santri ini, bukan tak ditengarai pihak Belanda, sehingga
mereka (Belanda) bahkan melakukan penggrebekan secara militer di
tempat-tempat tertentu. Meski kidung panjang tersebut ditulis dengan
bahasa tersamar, namun gerakan “pensucian” jiwa kalangan santri dari
pengaruh sekularisme Eropa nampak terasa. Warakaken yen wis pejah/pemi dipun katur/lawan sira mradikaa. Katakan, bahwa aku telah mati/jangan lupa, katakanlah/dan kamu kuberi kebebasan (kemerdekaan).
Kata
“mati” bisa jadi dalam artian gerakan fisik. Kematian pemberontakan,
memang tak harus dibarengi dengan kematian jiwa. Maka jika para santri
itu masih terus bersemangat untuk menumbangkan penjajahan, pesan yang
diberikannya adalah “Kamu Merdeka.” Pemberontakan rakyat terjadi di
antaranya akibat ketidakpuasan kalangan santri yang telah dikecewakan
pemerintah kolonial dengan cara-cara penetrasi yang tak sesuai dengan
perilaku agama. Penetrasi birokrasi yang Eropa sentris, termasuk bidang
pendidikan, sekularisasi, komersialisasi yang notabene sebagai wujud westernisasi.
Dalam
kondisi seperti itu, para ulama, kyai, haji dan guru-guru agama Islam
yang memiliki kharisma besar semakin menjadi tumpuan harapan rakyat
Jawa. Melalui gerakan tarekat – seperti dinyatakan DH Burger yang
dikutip H. Ibnu Qoyim Isma’il dalam Kiai Penghulu Jawa (Gema
Insasi Pers – Jakarta 1997), orang-orang Jawa dengan cepat merambat
hampir merata ke seluruh pelosok perdesaan menjadi pengikutnya.
Pemberontakan Besar
DESEMBER 1816
Daerah
Cirebon yang tenang, tiba-tiba dikejutkan dengan adanya suatu berita
yang menghebohkan. Ada huru-hara di daerah itu. Ratusan tentara
disiagakan di berbagai sudut kota. Terutama di ibukota Cirebon, Tangkil
penjagaan mulai diperketat. Setiap orang yang lewat selalu diperiksa
tentara Belanda. Mereka yang dicurigai segera ditangkap dan dipisahkan
dalam sel khusus. Tak terkecuali di gedung Karesidenan, pusat kekuasaan
yang dipegang Servatius saat itu setiap saat selalu dipenuhi para
petinggi pemerintahan, baik sipil maupun militer.
Dari
gedung bercat putih itu acapkali keluar perintah-perintah penangkapan.
Sementara puluhan meriam yang siap tembak moncongnya selalu diarahkan ke
jalan raya. Dari Pelabuhan Cirebon yang jaraknya kurang dari empat
kilometer dari gedung itu, Residen seringkali menerima para pembesar dan
bantuan militer dari Batavia.
Ternyata
Cirebon tengah dilanda suatu pemberontakan rakyat yang cukup besar.
Suatu pemberontakan yang mampu menarik perhatian Gubernur Jenderal
Hindia Belanda saat itu, sehingga ia harus mengundang tentara bantuan
dari Semarang dan Ambon. Peristiwa besar yang digalakkan kalangan santri
itu, memang hanya berlangsung beberapa bulan saja. Tetapi dampaknya
cukup luas bagi kalangan militer Belanda sendiri. Puluhan tentaranya
tewas, demikian pula perwira menengah dan bintara harus dipecat secara
tidak hormat lantaran tak mampu menjalankan perintah atasannya.
Ketidakpuasan rakyat, terutama kalangan santri yang berpusat di sekitar daerahCiwaringin dan Kedondong terhadap
pemerintah Hindia Belanda yang semena-mena. Penarikan pajak yang
berlebihan dan tatacara Eropa yang diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari membuat kalangan santri tersinggung atas cara-cara mereka.
Akibat dari sikapnya yang tak pantas itulah, masyarakat santri dipimpin
Ki Bagus Serrit dan Ki Bagus Rangin mengangkat senjata dan melakukan
pemberontakan besar-besaran.
Namun
di pihak Belanda tak kalah akal. Mereka tak mau kehilangan citra di
bumi jajahannya. Maka seperti yang dituliskan PH van der Kemp dalam Pemberontakan Cirebon Tahun 1818(Penerbit
dan penerjemah Yayasan Idayu – Jakarta 1979), mereka justru menuduh
pemberontakan Cirebon yang terjadi Februari 1818, akibat raja-raja di
Cirebon dari zaman VOC menjadi sumber kemelaratan dan kekacauan. Terlalu
banyak bangsawan yang tak bekerja, hidup dari perasan keringat rakyat
yang menyebabkan timbulnya kegelisahan dan gangguan keamanan.
Bertitik-tolak
dari kesimpulan seperti itulah di tahun 1792, Residen Cirebon J.L.
Umbgrove memandang perlu untuk mengurangi jumlah pangeran dan ratu
dengan mengubah fungsi mereka menjadi abdi masyarakat agar dengan begitu
dapat diharapkan, negeri itu tidak lagi dihisap habis-habisan dan dapat
memperoleh lebih banyak berkat demi kepentingan penduduknya. Sejak
pemerintahan Rafles yang menggantikan Daendels, ketiga kesultanan di
Cirebon dihapuskan, meskipun gelar sultan dan keturunannya tetap diakui.
Para sultan hanya mendapatkan pensiun dari pemerintah. Sultan
Kacirebonan mendapatkan dana pensiun 600 gulden sebulan. Jumlah yang
paling kecil dibandingkan dengan kedua kesultanan lainnya, mengingat
keturunannya tak sebanyak Sultan Kasepuhan dan Kanoman.
Akibat
tekanan dan aturan yang tak masuk akal itulah, ketiga kesultanan di
Cirebon menyatakan ketidakpuasannya. Meskipun secara politis mereka
telah diturunkan kedudukannya, namun pengaruh ketiga kesultanan tersebut
masih tetap kuat. Para bangsawan kesultanan dengan sembunyi-sembunyi
melakukan “gerakan bawah tanah” menyusun kekuatan bersama rakyat.
Kondisi panas ini makin menunjukkan temperamen sejak akhir November dan
Desember 1816, tak lama setelah masa pemulihan kekuasaan oleh Inggris
terhadap Belanda.
Desember
1816, seorang tokoh masyarakat yang oleh pihak Belanda disebut “Begal
Jabin” dilaporkan telah melakukan kekacauan di daerah Kandanghaur
Indramayu. Ia bersama 20 anak buahnya telah pindah dari Laummalang
(Orimalang) ke Desa Legun di wilayah Cirebon. Melalui Keputusan
Pemerintah no. 41 tanggal 8 Desember 1816 kepada residen diberitahukan
agar jangan melakukan penahanan “kalau tidak terpaksa.” Namun segala
sesuatu diserahkan kepada kewaspadaannya. Jabin harus diikuti secara
seksama, diperiksa semua alasan dan sebabnya ia pindah tempat dan
diusahakan agar ia kembali ke tempatnya semula.
Tanggal
19 Juni 1817 Inggris meninggalkan pulau Jawa, begitu catatan dalam
arsip Van der Kemp, pemerintah kita memperkeras peraturan bagi tuan-tuan
partikelir untuk mencegah ksewenang-wenangan menghadapi pajak landrente(tanah) di Cirebon, pemerintah mengambil sikap seluwes mungkin.
Hanya
beberapa hari setelah itu, timbullah kerusuhan besar-besaran di distrik
Blandong – diduga nama lain dari Balongan, Indramayu – Cirebon. Oleh
masyarakat setempat, nama Jabin diperhalus menjadi “Bagus Jabin”. Jabin
sendiri diduga pihak Belanda mendapat perlindungan dari Kepala Desa
Pamanukan dan Ciasem (kini kedua daerah itu masuk dalam wilayah
Kabupaten Subang, pen).
Sementara
itu di saat yang hampir bersamaan, Demang Desa Pedagangan (Pagedangan,
pen) Distrik Indramayu bernama Nairem atau Neirem bersama para
pengikutnya juga melakukan pemberontakan kepada Belanda. Neirem sendiri
merupakan bekas anak buah Bagus Rangin yang pada masa pemerintahan
Gubernur Jenderal daendels di tahun 1811 melarikan diri ke hutan-hutan
sekitar Karawang, setelah banyak membuat “kerusuhan.” Bersama dia ikut
pula seorang pegawai dari Distrik Semarang bernama Rono Diwongso. Induk
semangnya memberikan nama kepada anak buahnya dengan julukan “Bagus
Serrit.” Ia konon dipercaya masyarakat setempat sebagai seorang
bangsawan yang memiliki kekuatan supranatural.
Lewat
tangan besi Daendels, Belanda berhasil membangun jaringan ekonomi
antarkota. Jalur-jalur ekonomi terpenting di Jawa Barat saat itu di
antaranya jalan raya yang menghubungkan antara Bogor – Sukabumi –
Cianjur – Bandung – Sumedang. Terus ke arah timur laut menuju Tomo –
Karangsambung di pinggir Kali Cimanuk yang merupakan perbatasan
Karesidenan Priangan dan Cirebon.
Di
jalur-jalur penting itulah Belanda membangun gudang-gudang penyimpan
kopi. Jalur penting lainnya adalah Majalengka mengarah ke timur hingga
ibukota Cirebon, Tangkil melalui Desa Leuwimunding dan Palimanan hingga
Tegal. Van der Kemp, pegawai arsip pemerintah Hindia Belanda yang turut
pula dalam penumpasan gerakan tersebut mencatat, bahwa pergolakan
terjadi pada dua tingkat. Masing-masing terjadi pada Januari – Februari
dan Juli – Agustus.
Hanya
dalam tempo empat bulan pemberontakan terjadi. Saat itu pemberontak
Neirem telah ditangkap dan ketika ditahan tanpa ada kepastian mengenai
kesalahannya sebagai pemimpin dan perencana pemberontakan. Sedangkan
nama Bagus Serit pada pemberontakan yang pertama belum dikenal namanya
sama sekali. Dalam pemeriksaan pengadilan, Neirem menjadi terdakwa
utama. Namun dalam surat keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda
tanggal 12 Oktober 1818 no. 3 dinyatakan, ada cukup alasan untuk
menetapkan bahwa tahanan yang bernama Bagus Serit dalam bulan Februari
tahun ini terang-terangan menimbulkan pemberontakan dan mengangkat
dirinya sebagai kepala pemberontak. Ia menggerakkan anak buahnya yang
dipersenjatai melawan pasukan yang dikirim pemerintah ke sama untuk
mengembalikan ketenteraman dan bertempur dengan mereka. Selama
pemberontakan itu telah terbunuh pegawai-pegawai pemerintah atas
perintahnya. Menurut bukti-bukti sementara, terjadi perampokan dan
pembakaran yang menimbilkan kekacauan besar, tidak mengindahkan sama
sekali perintah yang dikeluarkan pemerintah.
Surat
itu juga memuat nama-nama keluarga Sultan Cirebon yang terlibat dalam
pemberontakan. Di antaranya Sominta Raja, kelahiran Cirebon. Ia menyebut
dirinya sebagai Pangeran Ario dan termasuk keluarga Sultan Kanoman. Ia
disertai wanita-wanita dan dua orang anak, beserta dua orang haji.
Kesemuanya berasal dari Cirebon.
KERUSUHAN JANUARI 1818
JANUARI 1818.
Pertengahan
kedua bulan Januari 1818 pecahlah kerusuhan besar. Kepala Distrik
Blandong, Demang Among Pances bersama jurutulisnya dibunuh pemberontak
yang berjumlah 100 orang. Pusat pemberontakan berada di Kedondong – kini
berada di wilayah Kecamatan Susukan Cirebon. Pihak Belanda menyebutnya
sebagai negorij (kampung)utama yang terpenting di daerah
itu. Seperti dilaporkan Residen Cirebon, Servatius, 21 Januari 1818
kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, sulit untuk pergi ke daerah
itu. “ Saya kira ini adalah ibukota Distrik Jatiwangi terletak di
Kabupaten Majalengka.” Ternyata Kedondong bukan merupakan ibukota
distrik, tetapi hanya sebuah desa kecil yang jaraknya kira-kira 15
kilometer dari Jatiwangi.
Di
Desa Jatiwangi berkedudukan kepala distrik yang memakai nama yang sama.
Di tempat itu berdiri sebuah pabrik (pabrik gula – pen) yang sekarang
masih ada. Terletak antara Cirebon dan Palimanan. Kerusuhan kemudian
berkembang ke daerah Majalengka yang merupakan perbatasan dengan
Priangan. Saat itu Van Motman menjabat sebagai Residen Priangan.
Pada
waktu berita kerusuhan pertama diterima, tak diketahui bahwa
pemberontak memulai tindakannya dari daerah Karawang, seperti yang
terjadi pada tahun 1816, karena mereka telah menyeberangi Kali Cimanuk.
Belanda memang masih diliputi perasaan teka-teki untuk menebak, siapa
sebenarnya pemimpin pemberontakan tersebut. Servatius – Residen Cirebon –
menyatakan dalam laporannya tanggal 23 dan 24 Januari 1818, menyebut
nama Bagus Kundor. Residen menduga sebagai anak dari Bagus Rangin yang
pada tahun 1816 pernah memimpin pemberontakan di Cirebon.
Mengenai
sebab-sebab terjadinya pemberontakan, Residen pun masih belum bisa
memberikan jawaban pasti. Ia hanya menjelaskan, para pemberontak
seringkali mempengaruhi para kepala desa agar memihak mereka. Ajakan
tersebut nampaknya tidak sia-sia, meski banyak kepala desa yang berusaha
“menghindar” dari pengaruh para “perampok”. Namun ada juga di antara
mereka yang memperkuat barisan pemberontak. Menjelang akhir Januari,
baru didapatkan informasi bahwa dalam pemberontakan tersebut terdapat
nama-nama baru sebagai tokoh yang mengangkat senjata.
Setelah
menerima berita pertama tentang timbulnya kerusuhan, Servatius segera
mengutus Bupati Bengawan Wetan (Brebes – pen), Raden Adipati Nitidingrat
ke daerah pusat pemberontakan. “Ia seorang bupatu yang telah beruban,
usianya sekitar 70 tahun dan dihormati semua bawahannya,” kutip
suratkabar Hindia Belanda Bataviaasche Courant.Karena itu ia
dipilih residen sebagai urusan pendamai. Turut dalam misi itu seorang
opsiner kehutanan Banyaran bernama Prudant. Nama Prudant saat itu
dikenal sebagai orang yang sangat disegani dan sanggup mempertahankan
nama baiknya. Konon tempat kediamannya seringkali diserbu pemberontak,
namun ia selalu bisa menyelematkan diri.
Bupati Nitidiningrat Terbunuh
Keperkasaan
Jabin, Bagus Rangin, Bagus Serit dan Bagus Kundor ternyata membuat
pasukan yang dipimpin Bupati Bengawan Wetan, Raden Adipati Nitidiningrat
kocar-kacir. Walaupun pasukan mereka atas perintah Residen Cirebon
Servatius diperkuat dengan pasukan Bupati Linggajati (Kuningan).
Diungkapkan dalam arsip PH van der Kemp, kondisi yang lebih buruk
dilaporkan residen 26 Januari 1818 – termaktub dalam beslit pemerintah
no.13 tanggal 30 Januari 1818, bahwa Bupati Nitidiningrat terpaksa
mundur ke Palimanan. Nasib malang menimpa sang bupati yang sepuh itu.
Mereka akhirnya tak sanggup lagi berhadapan dengan pemberontak dan ia
terbunuh di sana bersama dua orang mantrinya.
Mayat
mereka diangkut ke Desa Cikal dan menunjukkan tanda-tanda penganiayaan
yang berat. Enam bulan kemudian “abdi setia” itu diberi penghargaan oleh
Komisariat Jenderal. Sedangkan pada kejadian itu, Prudant – opsiner
kehutanan Banyaran – dilaporkan melarikan diri ke daerah Leuwimunding.
Melihat kondisi seperti itu Residen Cirebon segera mengambil keputusan
untuk melakukan tindakan militer. Dengan alasan kaum pemberontak begitu
berani melakukan gerakannya. Demikian pula penjara Palimanan dan
Banyaran – tempat tinggal Prudant – diacak-acak hingga menimbulkan
kerugian harta yang tak sedikit.
Sedangkan
Asisten Residen Cirebon, Heyden berusaha menyelamatkan diri ternyata
membuat langkah yang sangat berbahaya. Dengan menunggang kuda, ia pergi
bersama 60 orang pembantunya tanpa diiringi tentara menyerbu
tempat-tempat yang diduga menjadi sarang pemberontak. Namun apa yang
terjadi ? Ia mendapat serangan yang berlangsung secara tiba-tiba dan
pada 27 Januari 1818 pagi, asisten residen itu terbunuh. Mayatnya
ditemukan di sekitar Rajagaluh dan dimakamkan dengan penghormatan
militer yang cukup besar.
Dalam
laporan Residen Priangan, 27 Januari 1818, dinyatakan bahwa Heyden
tertangkap di tangan pemberontak. Heydenreich – nama lengkap sang
asisten itu – menyerbu dengan bantuan beberapa kepala desa di sekitar
Rajagaluh. Namun ia telah menjadi korban akibat “keikhlasan”nya sendiri
dalam memikul beban berat yang sangat berbahaya. Residen juga meminta
agar daerah Indramayu diperkuat. Rumah residen di Rajagaluh dan rumah
Prudant di Banyaran dilaporkan pula telah musnah dimakan api. Namun
opsiner hutan itu selamat. Sangat ajaib, ungkap PH van der Kemp dalam
bukunya De Cheribonsche Onlusten van 1818. Naar Oorpronkelijke Stukken.
Sebelumnya pada tanggal 21 Desember 1817 sebuah kapal kecil milik Amerika Serikat bernama Retrievetelah
sampai di Semarang dalam perjalanannya dari Batavia. Kaptennya bernama
Joseph Gerris, justru tidak turut dalam kapal tersebut. Ia lebih memilih
jalan darat. Namun malang, di tengah perjalanan ia dihadang kawanan
pemberontak. Kapten itu pun akhirnya jatuh ke tangan kaum pemberontak.
Pemberontak tak mengetahui, jika kapten kapal tersebut berkebangsaan
Amerika. Bagi mereka siapapun yang berkulit bule dianggap sebagai orang
Belanda.
Bataviaasche Courant memberitakan,
bahwa kapten kapal bersama beberapa orang kepala kampung telah menjadi
korban nafsu membunuh kaum pemberontak. Tanggal 20 Januari ia bertemu
dengan pemberontak di jalan raya 15 pal sebelah barat Cirebon. Setelah
dianiaya ia dibawa ke Desa Kedondong sebagai markas besar para
pemberontak. Di sana ia telah disiapkan untuk dieksekusi. Namun
syarat-syarat yang diberikannya telah menimbulkan rasa kasihan para
pemberontak, sehingga salah seorang pimpinan pemberontak mengerti dan
menjaganya baik-baik hingga 4 Februari 1818.
Ketika
terjadi pertempuran, seorang Cina memberikan petunjuk padanya agar ia
meloloskan diri. Setelah mengembara selama 36 jam, ia bertemu dengan
pasukan Belanda pada 5 Februari 1818. Residen Servatius dalam laporannya
23 dan 24 Januari menyatakan, penjara Palimanan telah diobrak-abrik
bersama beberapa jembatan yang ada di sekitarnya. Namun perusakan itu
hanya terbatas sampai di situ saja, karena menurut dugaan residen tidak
mendapat dukungan rakyat dalam penyerangan mereka di daerah Cirebon.
Keadaan itu membuat gerakan mereka terhenti.
Sementara
itu Residen Priangan, Van Motman, seperti juga di tahun 1816, setelah
mendengar adanya kerusuhan tidak tinggal diam. Ia segera berangkat ke
perbatasan untuk melindungi gudang-gudang di daerah Tomo –
Karangsambung. Residen bermaksud akan terus ke Cirebon untuk berunding
dengan sejawatnya Residen Cirebon Servatius. Namun ia tertahan di
Karangsambung, karena pemberontak telah memutuskan segala sarana
perhubungan yang ada.
KEKALAHAN PASUKAN HINDIA BELANDA
Atas
perintah Kepala Staf Angkatan Perang Hindia Belanda, Van Schelle,
ditugaskan seorang perwira muda yang baru dipromosikan sebagai ajudan
kepala staf, Letnan Kolonel Taets van Amerongen. Melalui Surat
Keputusan (beslit) no.1 tanggal 25 Januari 1818, ia diperintahkan
berangkat melalui laut dengan membawa pasukan infantri, kompi pribumi
dari Batalyon 19 Infantri dan 30 anggota artileri yang dilengkapi dua
meriam.
Mereka
berangkat dengan menumpang kapal Helena pada 26 Januari dan dua hari
kemudian tiba di Cirebon. Pasukan tersebut dipimpin Letkol Richemont
dari Resimen V Batalyon 1 yang berada di Weltevreden. Melalui darat juga
dikirim pasukan dari Bogor. Di sana terdapat dua macam pasukan kavaleri
(pasukan berkuda). Di antaranya satu pasukan tombak Benggal yang
terdiri dari tentara yang telah diberhentikan dan menetap di Jawa.
Kompi
ini berangkat atas perintah lisan Gubernur Jenderal yang berangkat
lewat Sumedang di bawah pimpinan Halshuher von Harlach. Pasukan tersebut
ditugaskan hanya sampai di perbatasan Cirebon sebagai bantuan untuk
Residen Cirebon dan Priangan. Gubernur Jenderal memerintahkan pula
kepada Laksamana Muda Wolterbeek agar memberangkatkan kapal meriam no.7
ke Cirebon di bawah pimpinan Letnan WH Hunther. Hunther juga membawa
pesan kilat untuk Residen Cirebon, bahwa pasukan akan segera datang.
Surat
Residen Cirebon kepada Gubernur Jenderal tanggal 30 Januari yang
memberitakan pendaratan pasukan dari Batavia juga berisi pemberitahuan
yang penting, yakni bahwa serangan umum ditetapkan pada tanggal 2
Februati 1818. Residen yang menunggu surat balasan dari Gubernur
Jenderal dengan harap-harap cemas itu, makin dicemaskan lagi dengan
munculnya berita pada suratkabar Bataviaasche Courant terbitan 7
Februari 1818. Koran itu memberitakan, bahwa untuk pertama kali tentang
pecahnya pemberontakan pada tanggal 23 Januari yang telah diketahui di
Bogor.
Pengiriman
pasukan ternyata sangat perlu – karena adanya pemberontakan tidak dapat
lebih lama lagi dirahasiakan terhadap umum, walaupun dengan “rasa puas”
orang mendengar , bahwa hanya sedikit penduduk Cirebon yang ikut ambil
bagian dalam pemberontakan yang telah terjadi di bagian barat. Sedangkan
daerah-daerah Cirebon lainnya tetap menikmati adanya ketenangan yang
tidak terganggu. Pembunuhan terhadap Bupati Nitidingrat, Among Pances,
Heydenreich dan pelancong asing, juga diberikan suratkabar tersebut.
Dalam
laporan komisariat jenderal kepada pemerintah tinggi pada 5 Februari
1818, dikatakan di bagian barat Cirebon pada hari-hari terakhir bulan
Januari secara tak terduga terjadi beberapa gerakan kerusuhan. Untuk
menenangkan pihak atasan, dalam surat itu pula dinyatakan rasa optimisme
dalam menghadapi pemberontak. Melalui tindakan militer yang segera
diambil akan segera memulihkan kembali daerah itu dalam waktu yang
singkat.
Letkol
Richemont yang memimpin ekspedisi itu mulai melakukan operasinya pada 1
Februari 1818. Ia berangkat dari Cirebon menuju Desa Camblang (Jamblang).
Di tempat itu ia dan pasukannya menunggu dengan harapan pada hari
berikutnya bisa melancarkan serangan. Namun pada saat itu juga muncul
Overste Hoorn dengan menunjukkan putusan panglima untuk mengangkat dia
sebagai komandan operasi. Richemont dengan pasrah mematuhi perintah
panglima tentara, walaupun ia lebih tua dan diangkat atas dasar surat
keputusan dari Gubernur Jenderal sebagai Wali Negara Hindia Belanda.
Dengan perasaan tersinggung ia menyerahkan tongkat komandonya. Namun di
balik sikapnya yang terpuji itu ia melakukan tindakan desersi. Ia
meninggalkan detasemennya dan kembali ke Tangkil, ibukota Cirebon.
Hari
itu juga – masih tanggal 1 Februari 1818 – Richemont menulis kepada
Gubernur Jenderal yang menjelaskan duduk perkara yang sesungguhnya.
Sudah tentu Gubernur Jenderal merasa “dikerjai” oleh Panglima Perangnya
Jenderal Anthing. Tak lama kemudian keluarlah Keputusan Pemerintah No. 8
tanggal 6 Februari 1818 yang memerintahkan kepada panglima tentara
untuk mengirim penjelasan tentang alasan-alasan penyerahan komando
kepada Letkol Hoorn atas pasukan-pasukan yang berada di Cirebon.
Jenderal
Anthing kemudian menjawabnya lewat surat no. 31 tanggal 17 Februari,
bahwa Reichmont telah menunjukkan sikap yang tercela pada saat itu.
Hoorn juga menerima peringatan keras tentang tingkah lakunya. Namun hal
itu dianggap sebagai hukuman yang paling ringan baginya. Sebab hukuman
yang berat adalah kegagalan dalam ekspedisinya lantaran kepemimpinan
yang kurang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar