Kerajaan Islam di Indonesia diperkirakan kejayaannya berlangsung antara abad ke-13 sampai dengan abad ke-16. Timbulnya kerajaan-kerajaan tersebut didorong oleh maraknya lalu lintas perdagangan laut dengan pedagang-pedagang Islam dari Arab, India, Persia, Tiongkok, dll. Kerajaan tersebut dapat dibagi menjadi berdasarkan wilayah pusat pemerintahannya, yaitu di Sumatera, Jawa, Maluku, dan Sulawesi.
Kerajaan Islam di Sumatera
Periode tahun tepatnya kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera masih simpang siur dan memerlukan rujukan lebih lanjut.
Peureulak diarahkan
ke halaman ini. Untuk kecamatan di Kabupaten Aceh Timur, lihat Peureulak, Aceh Timur
Kesultanan
Peureulak
adalah kerajaan
Islam di Indonesia
yang berkuasa di sekitar wilayah Peureulak, Aceh Timur, Aceh sekarang antara
tahun 840 sampai
dengan tahun 1292. Perlak atau Peureulak terkenal sebagai suatu daerah penghasil kayu perlak, jenis kayu yang sangat bagus
untuk pembuatan kapal,
dan karenanya daerah ini dikenal dengan nama Negeri Perlak. Hasil alam
dan posisinya yang strategis membuat Perlak berkembang sebagai pelabuhan
niaga yang maju pada abad ke-8, disinggahi oleh kapal-kapal yang antara lain
berasal dari Arab dan Persia. Hal ini membuat berkembangnya masyarakat Islam di
daerah ini, terutama sebagai akibat perkawinan campur antara
saudagar muslim dengan
perempuan setempat
Naskah Hikayat Aceh mengungkapkan bahwa
penyebaran Islam di bagian utara Sumatera dilakukan oleh seorang ulama Arab
yang bernama Syaikh Abdullah Arif pada tahun 506 H atau 1112 M. Lalu berdirilah
kesultanan Peureulak dengan sultannya yang pertama Alauddin Syah yang
memerintah tahun 520–544 H atau 1161–1186 M. Sultan yang telah ditemukan
makamnya adalah Sulaiman bin Abdullah yang wafat tahun 608 H atau 1211 M.[1]
Chu-fan-chi, yang ditulis Chau Ju-kua tahun
1225, mengutip catatan seorang ahli geografi, Chou Ku-fei, tahun 1178 bahwa ada
negeri orang Islam yang jaraknya hanya lima hari pelayaran dari Jawa.[2]
Mungkin negeri yang dimaksudkan adalah Peureulak, sebab Chu-fan-chi menyatakan
pelayaran dari Jawa ke Brunai memakan waktu 15 hari. Eksistensi negeri
Peureulak ini diperkuat oleh musafir Venesia yang termasyhur, Marco Polo, satu
abad kemudian. Ketika Marco Polo pulang dari Cina melalui laut pada tahun 1291,
dia singgah di negeri Ferlec yang sudah memeluk agama Islam
Perkembangan dan pergolakan
Sultan pertama Perlak adalah Sultan Alaiddin Syed
Maulana Abdul Aziz Shah, yang beraliran Syiah dan merupakan
keturunan Arab dengan perempuan setempat, yang mendirikan Kesultanan Perlak
pada 1 Muharram 225 H (840
M). Ia mengubah nama ibukota kerajaan dari Bandar Perlak menjadi Bandar
Khalifah. Sultan ini bersama istrinya, Putri Meurah Mahdum Khudawi, kemudian
dimakamkan di Paya
Meuligo, Peureulak, Aceh Timur
Pada masa pemerintahan sultan ketiga, Sultan
Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah, aliran Sunni mulai masuk ke
Perlak. Setelah wafatnya sultan pada tahun 363 H (913 M), terjadi perang
saudara antara kaum Syiah dan Sunni sehingga selama dua tahun berikutnya
tak ada sultan.
Kaum Syiah memenangkan perang dan pada tahun
302 H (915 M), Sultan
Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah naik tahta. Pada akhir
pemerintahannya terjadi lagi pergolakan antara kaum Syiah dan Sunni yang kali
ini dimenangkan oleh kaum Sunni sehingga sultan-sultan berikutnya diambil dari
golongan Sunni.
Pada tahun 362 H (956 M), setelah
meninggalnya sultan ketujuh, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan
Berdaulat, terjadi lagi pergolakan selama kurang lebih empat tahun antara Syiah
dan Sunni yang diakhiri dengan perdamaian dan pembagian kerajaan menjadi dua
bagian:
Perlak
Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah
Johan Berdaulat (986 – 1023)
Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah meninggal
sewaktu Kerajaan Sriwijaya menyerang Perlak dan seluruh
Perlak kembali bersatu di bawah pimpinan Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim
Shah Johan Berdaulat yang melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun
1006.
Penggabungan dengan Samudera Pasai
Sultan ke-17 Perlak, Sultan Makhdum Alaiddin
Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat (memerintah 1230 – 1267) menjalankan
politik persahabatan dengan menikahkan dua orang putrinya dengan penguasa
negeri tetangga Peureulak:
· Putri
Ratna Kamala, dikawinkan dengan Raja Kerajaan
Malaka, Sultan Muhammad Shah (Parameswara).
· Putri
Ganggang, dikawinkan dengan Raja Kerajaan Samudera Pasai, Al Malik Al-Saleh.
Sultan terakhir Perlak adalah sultan ke-18,
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (memerintah 1267 – 1292). Setelah ia
meninggal, Perlak disatukan dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah
pemerintahan sultan Samudera Pasai, Sultan Muhammad Malik Al Zahir, putra Al
Malik Al-Saleh.
Daftar Sultan Perlak
Sultan-sultan Perlak dapat dikelompokkan
menjadi dua dinasti:
dinasti Syed Maulana Abdul Azis Shah dan dinasti Johan Berdaulat. Berikut
daftar sultan yang pernah memerintah Perlak.
Kesultanan Malaka (1402 - 1511) adalah sebuah kesultanan
yang didirikan oleh Parameswara, seorang putera Sriwijaya yang melarikan diri dari perebutan Palembang
oleh Majapahit.
Ibu kota
kerajaan ini terdapat di Melaka, yang terletak pada penyempitan Selat
Malaka. Kesultanan ini berkembang pesat menjadi sebuah entrepot dan menjadi
pelabuhan terpenting di Asia Tenggara pada abad ke-15
dan awal 16.
Malaka runtuh setelah ibu kotanya direbut Portugis pada 1511.
Kegemilangan yang dicapai oleh Kerajaan
Melaka adalah daripada beberapa faktor yang penting. Antaranya, Parameswara
telah mengambil kesempatan untuk menjalinkan hubungan baik dengan negara Cina ketika Laksamana Yin Ching mengunjungi Melaka
pada tahun 1403. Malah, salah seorang daripada sultan Melaka telah menikahi
seorang putri dari negara Cina yang bernama Putri Hang Li Po. Hubungan erat
antara Melaka dengan Cina telah memberi banyak manfaat kepada Melaka. Melaka
mendapat perlindungan dari Cina yang merupakan sebuah kuasa besar di dunia
untuk mengelakkan serangan Siam.
Sejarah
Parameswara pada awalnya mendirikan kerajaan
di Singapura
pada tahun 1390-an. Negeri ini kemudian diserang oleh Jawa dan Siam, yang memaksanya
hijrah lebih ke utara. Kronik Dinasti Ming mencatat Parameswara telah berdiam
di ibukota baru di Melaka
pada 1403, tempat
armada Ming yang dikirim ke selatan menemuinya. Sebagai balasan upeti yang
diberikan Kekaisaran Cina menyetujui untuk memberikan perlindungan pada
kerajaan baru tersebut. [1]
Parameswara kemudian menganut agama Islam
setelah menikahi putri Pasai. Laporan dari kunjungan Laksamana Cheng Ho pada
1409 menyiratkan bahwa pada saat itu Parameswara masih berkuasa, dan raja dan
rakyat Melaka sudah menjadi muslim. [2]. Pada 1414 Parameswara digantikan putranya, Megat Iskandar Syah.[1][2]
Megat Iskandar Syah memerintah selama 10
tahun, dan digantikan oleh Muhammad Syah. Putra Muhammad Syah yang kemudian
menggantikannya, Raja Ibrahim, tampaknya tidak menganut agama Islam, dan
mengambil gelar Sri Parameswara Dewa
Syah. Namun masa pemerintahannya hanya 17 bulan, dan dia mangkat karena
terbunuh pada 1445. Saudara seayahnya, Raja Kasim, kemudian menggantikannya
dengan gelar Sultan Mudzaffar Syah.
Di bawah pemerintahan Sultan Mudzaffar Syah
Melaka melakukan ekspansi di Semenanjung Malaya
dan pantai timur Sumatera (Kampar dan Indragiri). Ini memancing kemarahan Siam yang
menganggap Melaka sebagai bawahan Kedah, yang pada saat itu menjadi vassal Siam. Namun
serangan Siam
pada 1455 dan 1456 dapat dipatahkan.
Di bawah pemerintahan raja berikutnya yang
naik tahta pada tahun 1459, Sultan Mansur Syah, Melaka menyerbu Kedah dan Pahang, dan
menjadikannya negara vassal. Di bawah sultan yang sama Johor, Jambi dan Siak juga takluk.
Dengan demikian Melaka mengendalikan sepenuhnya kedua pesisir yang mengapit
Selat Malaka.
Mansur Syah berkuasa sampai mangkatnya pada
1477. Dia digantikan oleh putranya Alauddin Riayat Syah. Sultan memerintah
selama 11 tahun, saat dia meninggal dan digantikan oleh putranya Sultan Mahmud
Syah. [3]
Mahmud Syah memerintah Malaka sampai tahun
1511, saat ibu kota
kerajaan tersebut diserang pasukan Portugis di
bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque. Serangan dimulai
pada 10
Agustus 1511 dan
berhasil direbut pada 24 Agustus 1511. Sultan Mahmud Syah melarikan diri ke Bintan
dan mendirikan ibukota baru di sana.
Pada tahun 1526
Portugis membumihanguskan Bintan, dan Sultan kemudian melarikan diri ke Kampar, tempat dia
wafat dua tahun kemudian. Putranya Muzaffar Syah kemudian menjadi sultan Perak,
sedangkan putranya yang lain Alauddin Riayat Syah II mendirikan kerajaan baru
yaitu Johor.
[sunting] Daftar raja-raja Malaka
1.
Parameswara
(1402-1414)
2.
Megat Iskandar Syah (1414-1424)
3.
Sultan Muhammad Syah (1424-1444)
4.
Seri Parameswara Dewa Syah(1444-1445)
5.
Sultan Mudzaffar Syah (1445-1459)
6.
Sultan Mansur Syah (1459-1477)
7.
Sultan Alauddin Riayat Syah
(1477-1488)
8.
Sultan Mahmud Syah (1488-1528)
Kesultanan Aceh
Darussalam
berdiri menjelang keruntuhan dari Samudera Pasai yang pada tahun 1360 ditaklukkan oleh Majapahit
hingga kemundurannya di abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan
ibu kota Kutaraja (Banda Aceh) dengan sultan pertamnya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan
pada pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada
tanggal 8
September 1507.
Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903),
Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan,
terutama karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan
militer, komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem
pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian
ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan
negara lain.[1]
Sejarah
Awal mula
Kesultanan Aceh
didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Diawal-awal masa
pemerintahannya wilayah Kesultanan Aceh berkembang hingga mencakup Daya, Deli,
Pedir, Pasai, dan Aru.
Pada tahun 1528, Ali
Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa
hingga tahun 1537.
Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang
berkuasa hingga tahun 1568.
Masa kejayaan
Kesultanan Aceh mengalami masa keemasan pada
masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636). Pada masa
kepemimpinannya, Aceh telah berhasil memukul mundur kekuatan Portugis dari
selat Malaka. Kejadian ini dilukiskan dalam La Grand Encyclopedie bahwa pada
tahun 1582, bangsa Aceh sudah meluaskan pengaruhnya atas pulau-pulau Sunda
(Sumatera, Jawa dan Kalimantan) serta atas
sebagian tanah Semenanjung Melayu. Selain itu Aceh juga melakukan hubungan
diplomatik dengan semua bangsa yang melayari Lautan Hindia. Pada tahun 1586,
kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada
yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini
dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat
Malaka dan semenanjung Melayu. Walaupun Aceh telah berhasil mengepung
Melaka dari segala penjuru, namun penyerangan ini gagal dikarenakan adanya
persekongkolan antara Portugis dengan kesultanan
Pahang.
Dalam lapangan pembinaan kesusasteraan dan
ilmu agama, Aceh telah melahirkan beberapa ulama ternama, yang karangan mereka
menjadi rujukan utama dalam bidang masing-masing, seperti Hamzah
Fansuri dalam bukunya Tabyan Fi Ma'rifati al-U Adyan, Syamsuddin
al-Sumatrani dalam bukunya Mi'raj al-Muhakikin al-Iman, Nuruddin ar-Raniry dalam bukunya Sirat
al-Mustaqim, dan Syekh Abdul Rauf Singkili dalam bukunya Mi'raj
al-Tulabb Fi Fashil.
Kemunduran
Kemunduran Kesultanan Aceh bermula sejak
kemangkatan Sultan Iskandar Tsani pada tahun 1641. Kemunduran Aceh disebabkan
oleh beberapa faktor, diantaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di
pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau,
Siak, Deli dan Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting
lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan diantara pewaris tahta kesultanan.
Traktat
London yang ditandatangani pada 1824 telah memberi kekuasaan kepada Belanda
untuk menguasai segala kawasan British/Inggris di Sumatra sementara Belanda
akan menyerahkan segala kekuasaan perdagangan mereka di India dan juga berjanji
tidak akan menandingi British/Inggris untuk menguasai Singapura.
Pada akhir Nopember 1871, lahirlah apa yang
disebut dengan Traktat Sumatera, dimana
disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk
perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatera.
Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak
itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri
Belanda maupun Batavia.
Setelah melakukan peperangan selama 40 tahun, Kesultanan Aceh akhirnya jatuh ke
pangkuan kolonial Hindia-Belanda. Sejak kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Aceh
menyatakan bersedia bergabung ke dalam Republik indonesia atas ajakan dan bujukan
dari Soekarno
kepada pemimpin Aceh Tengku Muhammad Daud Beureueh saat
itu[rujukan?].
Perang Aceh
Perang Aceh
dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan
beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang besar.
Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda
menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.
Dr.
Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil
mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran
kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada
sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, J.B.
van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh, dan bersama letnannya, Hendricus Colijn, merebut
sebagian besar Aceh.
Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan diri
kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu
ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Saat itu, hampir
seluruh Aceh telah direbut Belanda.
Sultan Aceh
Sultan Aceh merupakan
penguasa / raja dari Kesultanan Aceh,
tidak hanya sultan, di Aceh juga terdapat Sultanah / Sultan Wanita. Daftar Sultan yang pernah
berkuasa di Aceh dapat dilihat lebih jauh di artikel utama dari Sultan Aceh.
Tradisi kesultanan
Gelar-Gelar yang Digunakan dalam Kerajaan Aceh
· Teungku
· Tuanku
· Pocut
· Teuku
· Cut
· Meurah
Kerajaan Malayu adalah
nama sebuah kerajaan yang pernah ada di Pulau
Sumatra. Pada umumnya, kerajaan ini dibedakan atas dua periode, yaitu Kerajaan Malayu Tua pada abad ke-7
yang berpusat di Minanga Tamwa, dan Kerajaan
Malayu Muda pada abad ke-13 yang berpusat di Dharmasraya.
Berdasarkan letak ibu kotanya, Kerajaan
Malayu Tua atau Malayu Kuno sering pula disebut dengan nama Kerajaan Malayu Jambi, sedangkan
Kerajaan Malayu Muda sering pula disebut dengan nama Kerajaan Dharmasraya.
Sumber Berita Cina
Berita tentang Kerajaan Malayu antara lain
diketahui dari kronik Cina berjudul T’ang-hui-yao karya Wang
P’u. Disebutkan bahwa ada sebuah kerajaan bernama Mo-lo-yeu yang mengirim duta besar ke Cina pada tahun 644 atau 645. Pengiriman duta ini
hanya berjalan sekali dan sesudah itu tidak terdengar lagi kabarnya.
Pendeta I Tsing dalam
perjalanannya pada tahun 671–685 menuju India juga sempat
singgah di pelabuhan Mo-lo-yeu. Saat ia berangkat, Mo-lo-yeu masih berupa
negeri merdeka, sedangkan ketika kembali ke Cina, Mo-lo-yeu telah menjadi
jajahan Shih-li-fo-shih (ejaan Cina untuk Sriwijaya).
Menurut catatan I Tsing, negeri-negeri di Pulau
Sumatra pada umumnya menganut agama Buddha aliran Hinayana,
kecuali Mo-lo-yeu. Tidak disebutkan dengan jelas agama apa yang dianut oleh
Kerajaan Malayu.
Lokasi Malayu Tua
Dr. Rouffaer berpendapat bahwa ibu kota Kerajaan Malayu
menjadi satu dengan pelabuhan Malayu, dan sama-sama terletak di Kota Jambi.
Sedangkan menurut Ir. Moens, pelabuhan Malayu terletak di Kota Jambi, namun
istananya terletak di Palembang. Sementara itu, Prof. George Coedes lebih yakin
bahwa Palembang
adalah ibu kota
Kerajaan Sriwijaya, bukan ibu kota Malayu.
Prof. Slamet Muljana berpendapat lain. Istilah
Malayu berasal dari kata Malaya
yang dalam bahasa Sansekerta bermakna “bukit”. Nama sebuah
kerajaan biasanya merujuk pada nama ibu kotanya. Oleh karena itu, ia tidak
setuju apabila istana Malayu terletak di Kota Jambi, karena daerah itu
merupakan dataran rendah. Menurutnya, pelabuhan Malayu memang terletak di Kota
Jambi, tetapi istananya terletak di pedalaman yang tanahnya agak tinggi.
Prasasti Tanyore menyebutkan bahwa ibu kota Kerajaan Malayu
dilindungi oleh benteng-benteng, dan terletak di atas bukit. Slamet Muljana
berpendapat bahwa istana Malayu terletak di Minanga Tamwa sebagaimana yang tertulis dalam prasasti Kedukan
Bukit. Menurutnya, Minanga Tamwa adalah nama kuno dari Muara Tebo (atau Kabupaten
Tebo di Provinsi Jambi).
Dikalahkan Sriwijaya
Prasasti Kedukan Bukit tahun 683 mengisahkan
perjalanan Dapunta Hyang membawa 20.000
orang prajurit meninggalkan Minanga Tamwa dengan perasaan suka cita penuh
kemenangan. Prof. Moh. Yamin berpendapat bahwa prasasti ini
merupakan piagam proklamasi berdirinya Kerajaan Sriwijaya di bawah pimpinan Dapunta
Hyang.
Pendapat Moh. Yamin ternyata tidak sesuai
dengan berita dalam catatan I Tsing bahwa pada tahun 671 Kerajaan Sriwijaya
sudah ada. Dikisahkan, bahwa I Tsing mendapat bantuan dari raja Shih-li-fo-shih
sehingga dapat memasuki pelabuhan Malayu dalam perjalanan menuju India.
Prof. Slamet Muljana yang telah
mengidentifikasi Minanga Tamwa sebagai ibu kota Kerajaan Malayu berpendapat bahwa,
prasasti Kedukan Bukit merupakan piagam penaklukan Malayu oleh Sriwijaya.
Naskah prasasti tersebut menunjukkan bahwa dengan kekuatan 20.000 prajurit,
Dapunta Hyang berhasil menguasai Minanga Tamwa, dan meninggalkan kota itu dalam
suka cita.
Jadi, penaklukan Malayu oleh Sriwijaya
terjadi pada tahun 683. Pendapat ini sesuai dengan catatan I Tsing bahwa, pada
saat berangkat menuju India tahun 671, Mo-lo-yeu masih menjadi kerajaan
merdeka, sedangkan ketika kembali tahun 685, negeri itu telah dikuasai oleh
Shih-li-fo-shih.
Pelabuhan Malayu merupakan penguasa lalu
lintas Selat
Malaka saat itu. Dengan direbutnya Minanga Tamwa, secara otomatis pelabuhan
Malayu pun jatuh ke tangan Kerajaan Sriwijaya. Maka sejak tahun 683, Kerajaan
Sriwijaya tumbuh menjadi penguasa lalu lintas dan perdagangan Selat Malaka
menggantikan peran Kerajaan Malayu.
Tentang Raja Chan-pi
Setelah beberapa abad berkuasa, akhirnya Kerajaan Sriwijaya mengalami kekalahan akibat
serangan Rajendra Coladewa dari India sekitar tahun 1025. Kekuasaan Wangsa
Sailendra di Pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya pun berakhir. Sejak saat itu
Sriwijaya menjadi negeri jajahan Rajendra.
Dalam berita Cina
berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa Kerajaan San-fo-tsi tahun 1082 mengirim duta
besar ke Cina yang
saat itu di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut
menyampaikan surat dari raja Chan-pi bawahan San-fo-tsi, dan surat dari putri
raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil
perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian.
Pada zaman Dinasti Sung, istilah
San-fo-tsi identik dengan Sriwijaya. Tidak diketahui dengan pasti apakah putri
raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi adalah keturunan Rajendra, yang
saat itu telah menguasai Sumatra dan
Semenanjung Malaya. Sementara itu, raja Chan-pi kemungkinan besar adalah ejaan
Cina untuk istilah Jambi.
Munculnya Wangsa Mauli
Kekalahan Kerajaan Sriwijaya akibat serangan Rajendra
Coladewa telah mengakhiri kekuasaan Wangsa
Sailendra atas Pulau Sumatra dan
Semenanjung Malaya sejak tahun 1025. Beberapa waktu kemudian muncul sebuah dinasti baru yang
mengambil alih peran Wangsa Sailendra, yaitu yang disebut dengan nama Wangsa
Mauli.
Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas
nama raja Mauli adalah prasasti Grahi tahun 1183. Prasasti itu
berisi perintah Maharaja Srimat
Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada bupati Grahi yang bernama
Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10
tamlin. Yang mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten Sri Nano.
Prasasti kedua berselang lebih dari satu
abad kemudian, yaitu prasasti Padangroco tahun 1286. Prasasti ini
menyebut adanya seorang raja bernama Maharaja
Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Ia mendapat kiriman arca
Amoghapasa dari atasannya, yaitu Kertanagara
raja Kerajaan Singhasari di Pulau Jawa.
Arca tersebut kemudian diletakkan di kota
Dharmasraya.
Dharmasraya dalam Pararaton
disebut dengan nama Malayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja dapat pula disebut
sebagai raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan besar adalah keturunan
dari Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun bisa juga dianggap
sebagai raja Malayu, meskipun prasasti Grahi tidak menyebutnya dengan jelas.
Yang menarik di sini adalah daerah kekuasaan
Trailokyaraja pada tahun 1183 telah mencapai Grahi, yang terletak di perbatasan
Kamboja. Itu
artinya, setelah Sriwijaya mengalami kekalahan, Malayu bangkit kembali sebagai
penguasa Selat Malaka. Namun, kapan kiranya kebangkitan
tersebut dimulai tidak dapat dipastikan, karena raja Jambi pada tahun 1082
masih menjadi bawahan keluarga Rajendra.
Istilah Srimat yang ditemukan di
depan nama Trailokyaraja dan Tribhuwanaraja berasal dari bahasa Tamil yang bermakna
”tuan pendeta”. Dengan demikian, kebangkitan kembali Kerajaan Malayu dipelopori
oleh kaum pendeta. Namun, tidak diketahui dengan jelas apakah pemimpin
kebangkitan tersebut adalah Srimat Trailokyaraja, ataukah raja sebelum dirinya,
karena sampai saat ini belum ditemukan prasasti Wangsa Mauli yang lebih tua
daripada prasasti Grahi.
Daerah Kekuasaan Dharmasraya
Istilah San-fo-tsi pada zaman Dinasti Sung sekitar tahun 990–an identik dengan Kerajaan Sriwijaya. Namun, ketika Sriwijaya
mengalami kehancuran pada tahun 1025, istilah San-fo-tsi masih tetap dipakai dalam naskah-naskah
kronik
Cina untuk menyebut Pulau Sumatra secara umum.
Dalam naskah berjudul Chu-fan-chi
karya Chau Ju-kua tahun 1225 disebutkan bahwa
negeri San-fo-tsi memiliki 15 daerah bawahan, yaitu Pong-fong, Tong-ya-nong,
Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Ki-lan-tan
(Kelantan),
Fo-lo-an, Ji-lo-ting, Tsien-mai, Pa-ta (Batak ?, Patani ?), Tan-ma-ling,
Kia-lo-hi (Kamboja),
Pa-lin-fong (Palembang),
Sin-to (Sunda), Kien-pi, Lan-mu-li, dan Si-lan (Sailan ?).
Dengan demikian, wilayah kekuasaan San-fo-tsi membentang dari Srilangka
(Si-lan), Kamboja
(Kia-lo-hi), sampai Sunda
(Sin-to).
Apabila San-fo-tsi masih dianggap identik
dengan Sriwijaya, maka hal ini akan bertentangan dengan prasasti Tanyore tahun 1030, bahwa saat itu
Sriwijaya telah kehilangan kekuasaannya atas Sumatra dan Semenanjung Malaya.
Selain itu dalam daftar di atas juga ditemukan nama Pa-lin-fong yang identik
dengan Palembang.
Karena Palembang sama dengan Sriwijaya, maka tidak mungkin Sriwijaya menjadi
bawahan Sriwijaya.
Sebaliknya, daftar tersebut tidak
menyebutkan nama Mo-lo-yeu ataupun nama lain yang mirip Dharmasraya. Yang
disebut adalah Kien-pi, yang mungkin identik dengan Jambi. Sementara itu, Jambi
sendiri tidak sama dengan Dharmasraya karena kedua tempat tersebut terletak
berjauhan.
Dengan demikian, istilah San-fo-tsi pada
tahun 1225 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan identik dengan
Dharmasraya. Jadi, daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan
daftar jajahan Kerajaan Dharmasraya, karena saat itu masa kejayaan Sriwijaya
sudah berakhir.
Jadi, istilah San-fo-tsi yang semula
bermakna Sriwijaya tetap digunakan dalam berita Cina untuk menyebut Pulau
Sumatra secara umum, meskipun kerajaan yang berkuasa saat itu adalah
Dharmasraya. Hal yang serupa terjadi pada abad ke-14, yaitu zaman Majapahit dan
Dinasti
Ming. Catatan sejarah Dinasti Ming masih menggunakan istilah San-fo-tsi,
seolah-olah saat itu Sriwijaya masih ada. Sementara itu, catatan sejarah
Majapahit berjudul Nagarakretagama tahun 1365 sama sekali tidak
pernah menyebut adanya negeri bernama Sriwijaya.
Itu artinya, San-fo-tsi yang dikenal oleh
Dinasti Ming memang bukan Sriwijaya, melainkan sebutan umum untuk Pulau
Sumatra yang di dalamya antara lain terdapat negeri Dharmasraya dan Palembang.
Dikalahkan Singhasari
Pada tahun 1275 raja Kerajaan Singhasari di Pulau Jawa yang bernama Kertanagara
memutuskan untuk menguasai lalu lintas perdagangan Selat
Malaka. Tujuan utamanya ialah untuk membendung pengaruh kekuasaan Khubilai
Khan penguasa Dinasti Yuan atau bangsa Mongol.
Menurut Nagarakretagama,
rencana tersebut semula hendak dijalankan secara damai. Akan tetapi, raja
Malayu menolak hal itu, sehingga Kertanagara terpaksa mengirim pasukan untuk
menyerang Sumatra.
Serangan tersebut terkenal dengan sebutan Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Kebo
Anabrang sebagai komandan.
Pasukan Kebo Anabrang mendarat dan merebut
pelabuhan Malayu di Jambi.
Mereka kemudian merebut daerah penghasil lada di Kuntu–Kampar. Dengan demikian,
kehidupan ekonomi Kerajaan Malayu berhasil dilumpuhkan. Yang terakhir, Kebo
Anabrang berhasil mengalahkan ibu kota
Malayu, yaitu Dharmasraya.
Tidak diketahui dengan pasti kapan istana
Dharmasraya jatuh ke tangan pasukan Singhasari. Prasasti Padangroco tahun 1286 hanya menyebutkan
tentang pengiriman arca Amoghapasa sebagai hadiah Singhasari untuk ditempatkan
di Dharmasraya. Dalam prasasti itu, Tribhuwanaraja bergelar maharaja, sedangkan
Kertanagara bergelar maharajadhiraja, sehingga terbukti kalau saat itu Sumatra telah
menjadi bawahan Jawa.
Sepasang Putri Malayu
Naskah Pararaton
dan Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan bahwa pasukan Kebo
Anabrang kembali ke Jawa tahun 1293 membawa dua orang putri Malayu bernama Dara Jingga
dan Dara
Petak. Keduanya dipersembahkan kepada Raden
Wijaya menantu Kertanagara. Kertanagara sendiri telah meninggal setahun
sebelumnya.
Raden Wijaya merupakan raja pertama Kerajaan Majapahit. Ia mengambil Dara Petak
sebagai istri yang kemudian melahirkan Jayanagara,
raja kedua Majapahit. Sementara itu, Dara Jingga diserahkan kepada seorang
“dewa”. Ia kemudian melahirkan Tuan Janaka yang kelak menjadi raja Malayu
bergelar Mantrolot Warmadewa. Namun ada kemungkinan lain bahwa Raden
Wijaya juga mengambil Dara Jingga sebagai istri, karena hal ini lumrah sebab
Raden Wijaya pada waktu itu telah menjadi raja serta juga memperistri semua
anak-anak perempuan Kertanagara. Dan ini dilakukan untuk menjaga ketentraman
dan kestabilan kerajaan setelah peralihan kekuasaan di Singhasari.
Mantrolot Warmadewa identik dengan
Adityawarman Mauli Warmadewa, putra Adwayawarman. Nama Adwayawarman ini mirip
dengan Adwayabrahma, yaitu salah satu pengawal arca Amoghapasa dalam prasasti
Padangroco tahun 1286.
Saat itu Adwayabrahma menjabat sebagai Rakryan Mahamantri dalam
pemerintahan Kertanagara. Jabatan ini merupakan jabatan tingkat tinggi. Mungkin
yang dimaksud dengan “dewa” dalam Pararaton adalah tokoh ini. Dengan kata lain,
Raden Wijaya menikahkan Dara Jingga dengan Adwayabrahma sehingga lahir Adityawarman.
Adityawarman sendiri menggunakan gelar Mauli
Warmadewa. Hal ini menunjukkan kalau ia adalah keturunan Srimat Tribhuwanaraja.
Maka, dapat disimpulkan kalau Dara Jingga (dan juga Dara Petak) adalah putri
dari raja Dharmasraya tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa keduanya lahir
dari permaisuri raja Malayu bernama Putri Reno Mandi.
Dharmasraya Zaman Majapahit
Nagarakretagama
yang ditulis tahun 1365
menyebut Dharmasraya sebagai salah satu di antara sekian banyak negeri jajahan Kerajaan Majapahit di Pulau Sumatra.
Dharmasraya memang telah ditaklukkan oleh Singhasari
dan menjalin persaudaraan melalui perkawinan antara Dara Petak
dan Raden
Wijaya pada akhir abad ke-13. Namun, tidak dapat dipastikan apakah kemudian
Dharmasraya tunduk begitu saja terhadap Majapahit sebagai kelanjutan dari
Singhasari.
Dalam catatan Dinasti
Ming, negeri San-fo-tsi (atau Sumatra)
terbagi manjadi tiga dan masing-masing berusaha meminta bantuan Cina untuk lepas dari
kekuasaan She-po (atau Jawa). Ketiga negeri tersebut masing-masing dipimpin
oleh Seng-kia-lie-yulan, Ma-ha-na-po-lin-pang, dan Ma-na-cha-wu-li.
Secara berturut-turut pada tahun 1375, 1376, dan 1377 ketiganya mengirimkan
duta besar ke Cina meminta bantuan. Namun pada tahun 1377 tentara She-po
menyerang dan menghancurkan San-fo-tsi. Sejak saat itu ketiga negeri di
San-fo-tsi disatukan dan diganti namanya menjadi Chiu-chiang.
Seng-kia-lie-yulan adalah Adityawarman
raja Pagaruyung. Ma-ha-na-po-lin-pang adalah ejaan Cina untuk Maharaja
Palembang. Sementara Ma-na-cha-wu-li adalah ejaan untuk Maharaja Mauli raja
Dharmasraya.
Meskipun Adityawarman adalah cucu Srimat
Tribhuwanaraja, namun ia tidak memiliki hak atas takhta Dharmasraya karena ia
lahir dari Dara Jingga. Adityawarman kemudian mendirikan Kerajaan Malayapura di
Pagaruyung, sedangkan Dharmasraya dipegang oleh Maharaja Mauli, yaitu keturunan
Tribhuwanaraja lainnya.
Rupanya setelah Gajah Mada
meninggal tahun 1364,
negeri-negeri jajahan di Sumatra berusaha
untuk memerdekakan diri dengan meminta bantuan Kerajaan Ming di Cina. Akan
tetapi, Maharaja
Hayam
Wuruk yang saat itu masih berkuasa di Majapahit berhasil menumpas
pemberontakan Pagaruyung, Palembang,
dan Dharmasraya pada tahun 1377.
Catatan Cina menyebut bahwa setelah
pemberontakan tersebut, kerajaan-kerajaan di San-fo-tsi dijadikan satu dengan
nama Chiu-chiang. Menurut naskah Ying-yai-seng-lan, nama Chiu-chiang sama
dengan Po-lin-pang. Itu berarti, setelah tahun 1377, wilayah jajahan Majapahit
di Sumatra dijadikan satu dengan berpusat di Palembang.
Kesultanan Johor yang
terkadang disebut juga sebagai Johor-Riau
atau Johor-Riau-Lingga adalah
kerajaan yang didirikan pada tahun 1528 oleh Sultan Alauddin
Riayat Syah, putra sultan terakhir Malaka,
Mahmud Syah. Sebelumnya
daerah Johor-Riau merupakan bagian dari Kesultanan Malaka yang runtuh akibat
serangan Portugis
pada 1511.
Pada puncak kejayaannya Kesultanan
Johor-Riau mencakup wilayah Johor sekarang, Singapura, Kepulauan
Riau, dan daerah-daerah di Sumatera seperti Riau Daratan dan Jambi.
Sebagai balas jasa atas bantuan merebut
tahta Johor Sultan Hussein Syah
mengizinkan Britania
pada 1819 untuk
mendirikan pemukiman di Singapura. Dengan ditandatanganinya Traktat London tahun 1824 Kesultanan
Johor-Riau dibagi dua menjadi Kesultanan Johor, dan Kesultanan Riau-Lingga.
Pada tahun yang sama Singapura sepenuhnya berada di bawah kendali Britania.
Riau-Lingga dihapuskan oleh pemerintah Hindia
Belanda pada tahun 1911.
Pada tahun 1914, Sultan Ibrahim, dipaksa
untuk menerima kehadiran Residen Britania. Dengan demikian Johor efektif menjadi
koloni Mahkota Britania.
Raja-raja Johor
Raja-raja Kesultanan Johor-Riau (1528-1824)
1. 1528-1564: Sultan Alauddin
Riayat Syah II (Raja Ali/Raja Alauddin)
2. 1564-1570: Sultan Muzaffar Syah
II (Raja Muzafar/Radin Bahar)
3. 1570-1571: Sultan Abd. Jalil
Syah I (Raja Abdul Jalil)
4. 1570/71-1597: Sultan
Ali Jalla Abdul Jalil Syah II (Raja Umar)
5. 1597-1615: Sultan
Alauddin Riayat Syah III (Raja Mansur)
6. 1615-1623: Sultan Abdullah
Ma'ayat Syah (Raja Mansur)
7. 1623-1677: Sultan Abdul Jalil
Syah III (Raja Bujang)
8. 1677-1685: Sultan Ibrahim Syah
(Raja Ibrahim/Putera Raja Bajau)
9. 1685-1699: Sultan Mahmud Syah II
(Raja Mahmud)
10. 1699-1720: Sultan Abdul Jalil IV
(Bendahara Paduka Raja Tun Abdul Jalil)
11. 1718-1722: Sultan Abdul
Jalil Rahmat Syah (Raja Kecil/Yang DiPertuan Johor)
12. 1722-1760: Sultan
Sulaiman Badrul Alam Syah (Raja Sulaiman/Yang DiPertuan Besar Johor-Riau)
13. 1760-1761: Sultan Abdul
Jalil Muazzam Syah
14. 1761: Sultan Ahmad Riayat
Syah
15. 1761-1812: Sultan Mahmud Syah III
(Raja Mahmud)
16. 1812-1819: Sultan Abdul
Rahman Muazzam Syah (Tengku Abdul Rahman)
Raja-raja Kesultanan Johor (1824-sekarang)
1. 1819-1835: Sultan Hussain Shah
(Tengku Husin/Tengku Long)
2. 1835-1877:
Sultan Ali (Tengku Ali; tidak
diakui oleh Inggris)
3. 1855-1862: Raja
Temenggung Tun Daeng Ibrahim (Seri Maharaja Johor)
4. 1862-1895: Sultan Abu Bakar Daeng Ibrahim
(Temenggung Che Wan Abu Bakar/Ungku Abu Bakar)
5. 1895-1959: Sultan
Ibrahim ibni Sultan Abu Bakar
6. 1959-1981: Sultan
Ismail ibni Sultan Ibrahim
7. 1981-kini:
Sultan Mahmood Iskandar
Al-Haj
Kerajaan Islam di Jawa
- Kesultanan Demak (1500 - 1550)
Kesultanan Demak atau Kesultanan Demak Bintara adalah kesultanan Islam pertama di Jawa
yang didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478. Kesultanan ini
sebelumnya merupakan keadipatian (kadipaten) vazal dari kerajaan Majapahit,
dan tercatat menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa
dan Indonesia
pada umumnya. Kesultanan Demak tidak berumur panjang dan segera mengalami
kemunduran karena terjadi perebutan kekuasaan di antara kerabat kerajaan. Pada
tahun 1568,
kekuasaan Kesultanan Demak beralih ke Kesultanan
Pajang yang didirikan oleh Jaka
Tingkir. Salah satu peninggalan bersejarah Kesultanan Demak ialah Mesjid Agung Demak, yang diperkirakan didirikan
oleh para Walisongo.
Lokasi ibukota Kesultanan Demak, yang pada masa itu masih dapat dilayari dari
laut dan dinamakan Bintara,
saat ini telah menjadi kota
Demak di Jawa Tengah.
Pada masa sultan ke-4 ibukota dipindahkan ke Prawata (dibaca "Prawoto").
Cikal-bakal Demak
Pada saat kerajaan Majapahit mengalami masa
surut, secara praktis wilayah-wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri.
Wilayah-wilayah yang terbagi menjadi kadipaten-kadipaten tersebut saling
serang, saling mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit. Pada masa itu arus
kekuasaan mengerucut pada dua adipati,[rujukan?] yaitu Raden Patah dan
Ki Ageng Pengging. Sementara Raden Patah mendapat
dukungan dari Walisongo,
Ki Ageng Pengging mendapat dukungan dari Syekh
Siti Jenar.
Demak di bawah Pati Unus
Demak di bawah Pati Unus
adalah Demak yang berwawasan nusantara. Visi besarnya adalah menjadikan Demak sebagai
kesultanan maritim yang besar. Pada masa kepemimpinannya, Demak merasa terancam
dengan pendudukan Portugis di Malaka. Dengan adanya Portugis di
Malaka, kehancuran pelabuhan-pelabuhan Nusantara tinggal menunggu waktu.
Demak di bawah Sultan Trenggono
Sultan Trenggono berjasa atas penyebaran
Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di bawah Sultan Trenggono, Demak mulai
menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut Sunda
Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang
akan mendarat di sana (1527), Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan
Pasuruan (1527), Malang (1545), dan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung
timur pulau Jawa (1527, 1546). Panglima perang Demak waktu itu adalah Fatahillah,
pemuda asal Pasai (Sumatera), yang
juga menjadi menantu Sultan Trenggono. Sultan Trenggono meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah
pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh Sunan
Prawoto
Kemunduran Demak
Suksesi ke tangan Sunan Prawoto tidak
berlangsung mulus. Ia ditentang oleh adik Sultan Trenggono, yaitu Pangeran Sekar Seda
Lepen. Pangeran Sekar Seda Lepen akhirnya terbunuh. Pada tahun 1561 Sunan
Prawoto beserta keluarganya "dihabisi" oleh suruhan Arya
Penangsang, putera Pangeran Sekar Seda Lepen. Arya Penangsang kemudian
menjadi penguasa tahta Demak. Suruhan Arya Penangsang juga membunuh Pangeran
Hadiri adipati Jepara,
dan hal ini menyebabkan banyak adipati memusuhi Arya Penangsang.
Arya Penangsang akhirnya berhasil dibunuh dalam
peperangan oleh pasukan Joko Tingkir, menantu Sunan Prawoto. Joko Tingkir
memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang, dan di sana
ia mendirikan Kesultanan Pajang.
Kesultanan Banten berawal
ketika Kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke daerah
barat. Pada tahun 1524/1525, Sunan
Gunung Jati bersama pasukan Demak merebut pelabuhan Banten dari kerajaan
Sunda, dan mendirikan Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Demak. Menurut
sumber Portugis, sebelumnya Banten merupakan salah satu pelabuhan Kerajaan
Sunda selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Sunda
Kalapa dan Cimanuk.
Sejarah
Anak dari Sunan Gunung Jati (Hasanudin)
menikah dengan seorang putri dari Sultan Trenggono dan melahirkan dua orang
anak. Anak yang pertama bernama Maulana Yusuf. Sedangkan
anak kedua menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat dan menjadi Penguasa
Jepara.
Terjadi perebutan kekuasaan setelah Maulana
Yusuf wafat (1570). Pangeran Jepara merasa berkuasa atas Kerajaan Banten
daripada anak Maulana Yusuf yang bernama Maulana Muhammad karena Maulana
Muhammad masih terlalu muda. Akhirnya Kerajaan Jepara menyerang
Kerajaan Banten. Perang ini dimenangkan oleh Kerajaan Banten karena dibantu
oleh para ulama.
Puncak kejayaan
Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya
pada masa pemerintahan Abu Fatah Abdulfatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan
Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju
pesat. Wilayah kekuasaannya meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut
kesultanan Mataram dan serta wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung.
Piagam Bojong menunjukkan bahwa tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai
oleh kesultanan Banten.
Masa kekuasaan Sultan Haji
Pada zaman pemerintahan Sultan Haji,
tepatnya pada 12
Maret 1682,
wilayah Lampung diserahkan kepada VOC. seperti tertera dalam surat
Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang
sedang berlabuh di Banten. Surat
itu kemudian dikuatkan dengan surat
perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli
perdagangan lada di Lampung
Penghapusan kesultanan
Kesultanan Banten dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah
kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhamad
Syafiuddin dilucuti dan dipaksa turun takhta oleh Thomas Stamford Raffles. Tragedi ini
menjadi klimaks dari penghancuran Surasowan oleh Gubernur-Jenderal
Belanda, Herman William Daendels tahun 1808.[1]
Daftar pemimpin Kesultanan Banten
· Maulana Yusuf 1570 - 1580
· Maulana Muhammad 1585 - 1590
· Sultan
Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir 1605 - 1640
(dianugerahi gelar tersebut pada tahun 1048 H (1638) oleh Syarif Zaid, Syarif
Makkah saat itu.[2])
· Sultan Abdul Kahar
(Sultan Haji) 1683 -
1687
· Abdul Fadhl / Sultan Yahya
(1687-1690)
· Abul Mahasin Zainul
Abidin (1690-1733)
· Muhammad Syifa Zainul
Ar / Sultan Arifin (1750-1752)
· Muhammad Wasi Zainifin
(1733-1750)
· Syarifuddin
Artu Wakilul Alimin (1752-1753)
· Muhammad Arif
Zainul Asyikin (1753-1773)
· Abul Mafakir
Muhammad Aliyuddin (1773-1799)
· Muhyiddin Zainush
Sholihin (1799-1801)
· Muhammad Ishaq
Zainul Muttaqin (1801-1802)
· Wakil Pangeran
Natawijaya (1802-1803)
· Aliyuddin II (1803-1808)
· Wakil Pangeran
Suramanggala (1808-1809)
· Muhammad Syafiuddin
(1809-1813)
· Muhammad Rafiuddin
(1813-1820)
Kesultanan Pajang adalah
sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah
sebagai kelanjutan Kesultanan Demak. Kompleks keraton, yang
sekarang tinggal batas-batas fondasinya saja, berada di perbatasan Kelurahan
Pajang, Kota Surakarta dan Desa Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo.
Asal-usul
Sesungguhnya nama negeri Pajang sudah
dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit. Menurut Nagarakretagama
yang ditulis tahun 1365, ada seorang adik perempuan Hayam Wuruk
(raja Majapahit
saat itu) menjabat sebagai penguasa Pajang, bergelar Bhatara i Pajang,
atau disingkat Bhre Pajang. Nama
aslinya adalah Dyah Nertaja, yang merupakan ibu dari Wikramawardhana,
raja Majapahit
selanjutnya.
Dalam naskah-naskah babad, negeri Pengging
disebut sebagai cikal bakal Pajang. Cerita Rakyat yang sudah melegenda menyebut
Pengging sebagai kerajaan kuno yang pernah dipimpin Prabu Anglingdriya, musuh
bebuyutan Prabu Baka raja Prambanan. Kisah ini dilanjutkan dengan dongeng
berdirinya Candi Prambanan.
Ketika Majapahit
dipimpin oleh Brawijaya
(raja terakhir versi naskah babad), nama Pengging muncul kembali.
Dikisahkan putri Brawijaya yang bernama Retno Ayu Pembayun diculik Menak
Daliputih raja Blambangan putra Menak Jingga. Muncul seorang
pahlawan bernama Jaka Sengara yang berhasil merebut sang putri dan membunuh
penculiknya.
Atas jasanya itu, Jaka Sengara diangkat Brawijaya
sebagai bupati Pengging dan dinikahkan dengan Retno Ayu Pembayun. Jaka Sengara
kemudian bergelar Andayaningrat.
Kesultanan Pajang
Menurut naskah babad, Andayaningrat
gugur di tangan Sunan Ngudung saat terjadinya perang antara Majapahit dan
Demak. Ia kemudian
digantikan oleh putranya, yang bernama Raden Kebo Kenanga, bergelar Ki
Ageng Pengging. Sejak saat itu Pengging menjadi daerah bawahan Kesultanan
Demak.
Beberapa tahun kemudian Ki
Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh hendak memeberontak terhadap Demak. Putranya yang
bergelar Jaka Tingkir setelah dewasa justru mengabdi ke Demak.
Prestasi Jaka
Tingkir yang cemerlang dalam ketentaraan membuat ia diangkat sebagai
menantu Sultan Trenggana, dan menjadi bupati Pajang
bergelar Hadiwijaya.
Wilayah Pajang saat itu meliputi daerah Pengging (sekarang kira-kira mencakup Boyolali dan Klaten), Tingkir
(daerah Salatiga),
Butuh, dan sekitarnya.
Sepeninggal Sultan
Trenggana tahun 1546, Sunan Prawoto naik takhta, namun kemudian tewas
dibunuh sepupunya, yaitu Arya Penangsang bupati Jipang tahun 1549. Setelah
itu, Arya Penangsang juga berusaha membunuh Hadiwijaya
namun gagal.
Dengan dukungan Ratu
Kalinyamat (bupati Jepara putri Sultan
Trenggana), Hadiwijaya dan para pengikutnya berhasil mengalahkan Arya
Penangsang. Ia pun menjadi pewaris takhta Kesultanan
Demak, yang ibu kotanya dipindah ke Pajang.
Perkembangan
Pada awal berdirinya tahun 1549, wilayah
Kesultanan Pajang hanya meliputi sebagian Jawa Tengah
saja, karena negeri-negeri Jawa Timur banyak yang melepaskan diri sejak kematian Sultan
Trenggana.
Pada tahun 1568 Sultan
Hadiwijaya dan para adipati Jawa Timur
dipertemukan di Giri Kedaton oleh Sunan Prapen. Dalam
kesempatan itu, para adipati sepakat mengakui kedaulatan Pajang di atas
negeri-negeri Jawa Timur. Sebagai tanda ikatan politik, Panji
Wiryakrama dari Surabaya
(pemimpin persekutuan adipati Jawa Timur) dinikahkan dengan putri Sultan
Hadiwijaya.
Negeri kuat lainnya, yaitu Madura juga
berhasil ditundukkan Pajang. Pemimpinnya yang bernama Raden Pratanu alias Panembahan Lemah
Dhuwur juga diambil sebagai menantu Sultan
Hadiwijaya.
Peran Wali Songo
Pada zaman Kesultanan
Demak, majelis ulama Wali Songo memiliki peran penting, bahkan ikut
mendirikan kerajaan tersebut. Majelis ini bersidang secara rutin selama periode
tertentu dan ikut menentukan kebijakan politik Demak.
Sepeninggal Sultan
Trenggana, peran Wali Songo ikut memudar. Sunan Kudus
bahkan terlibat pembunuhan terhadap Sunan
Prawoto, raja baru pengganti Sultan
Trenggana.
Meskipun tidak lagi bersidang secara aktif,
sedikit banyak para wali masih berperan dalam pengambilan kebijakan politik
Pajang. Misalnya, Sunan Prapen bertindak
sebagai pelantik Hadiwijaya sebagai sultan. Ia juga menjadi mediator
pertemuan Sultan Hadiwijaya dengan para adipati Jawa Timur
tahun 1568. Sementara itu, Sunan Kalijaga juga pernah membantu Ki Ageng Pemanahan meminta haknya pada Sultan
Hadiwijaya atas tanah Mataram sebagai hadiah sayembara menumpas Arya
Penangsang.
Wali lain yang masih berperan menurut naskah
babad adalah Sunan Kudus. Sepeninggal Sultan
Hadiwijaya tahun 1582, ia berhasil menyingkirkan Pangeran
Benawa dari jabatan putra mahkota, dan menggantinya dengan Arya
Pangiri.
Mungkin yang dimaksud dengan Sunan Kudus
dalam naskah babad adalah Panembahan Kudus, karena Sunan Kudus
sendiri sudah meninggal tahun 1550.
Pemberontakan Mataram
Tanah Mataram dan Pati adalah dua hadiah Sultan
Hadiwijaya untuk siapa saja yang mampu menumpas Arya
Penangsang tahun 1549. Menurut laporan resmi peperangan, Arya
Penangsang tewas dikeroyok Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi.
Ki Penjawi diangkat sebagai penguasa Pati sejak tahun 1549.
Sedangkan Ki Ageng Pemanahan baru mendapatkan hadiahnya
tahun 1556 berkat bantuan Sunan Kalijaga. Hal ini disebabkan karena Sultan
Hadiwijaya mendengar ramalan Sunan Prapen bahwa di Mataram akan
lahir kerajaan yang lebih besar dari pada Pajang.
Ramalan tersebut menjadi kenyataan ketika Mataram dipimpin Sutawijaya
putra Ki Ageng Pemanahan sejak tahun 1575. Tokoh Sutawijaya
inilah yang sebenarnya membunuh Arya
Penangsang. Di bawah pimpinannya, daerah Mataram semakin
hari semakin maju dan berkembang.
Pada tahun 1582 meletus perang Pajang dan Mataram karena Sutawijaya
membela adik iparnya, yaitu Tumenggung Mayang, yang dihukum buang ke Semarang oleh Sultan
Hadiwijaya. Perang itu dimenangkan pihak Mataram meskipun pasukan
Pajang jumlahnya lebih besar.
Keruntuhan
Sepulang dari perang, Sultan
Hadiwijaya jatuh sakit dan meninggal dunia. Terjadi persaingan antara putra
dan menantunya, yaitu Pangeran Benawa dan Arya
Pangiri sebagai raja selanjutnya. Arya
Pangiri didukung Panembahan Kudus berhasil naik takhta tahun 1583.
Pemerintahan Arya
Pangiri hanya disibukkan dengan usaha balas dendam terhadap Mataram.
Kehidupan rakyat Pajang terabaikan. Hal itu membuat Pangeran
Benawa yang sudah tersingkir ke Jipang, merasa prihatin.
Pada tahun 1586 Pangeran
Benawa bersekutu dengan Sutawijaya menyerbu Pajang. Meskipun pada tahun 1582 Sutawijaya
memerangi Sultan Hadiwijaya, namun Pangeran
Benawa tetap menganggapnya sebagai saudara tua.
Perang antara Pajang melawan Mataram dan
Jipang berakhir dengan kekalahan Arya
Pangiri. Ia dikembalikan ke negeri asalnya yaitu Demak. Pangeran
Benawa kemudian menjadi raja Pajang yang ketiga.
Pemerintahan Pangeran
Benawa berakhir tahun 1587. Tidak ada putra mahkota yang menggantikannya
sehingga Pajang pun dijadikan sebagai negeri bawahan Mataram. Yang
menjadi bupati di sana
ialah Pangeran Gagak Baning, adik Sutawijaya.
Sutawijaya
sendiri mendirikan Kesultanan Mataram di mana ia sebagai raja
pertama bergelar Panembahan Senopati.
Daftar Raja Pajang
1. Jaka
Tingkir bergelar Sultan Hadiwijaya
2. Arya
Pangiri bergelar Sultan
Ngawantipura
3. Pangeran
Benawa bergelar Sultan Prabuwijaya
Kesultanan Mataram adalah
kerajaan Islam di
Jawa yang didirikan oleh Sutawijaya, keturunan dari Ki Ageng Pemanahan yang mendapat hadiah sebidang
tanah dari raja Pajang, Hadiwijaya, atas jasanya. Kerajaan Mataram pada masa
keemasannya dapat menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya termasuk Madura serta
meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti
wilayah Matraman di Jakarta dan
sistem persawahan di Karawang.
Masa awal
Sutawijaya
naik tahta setelah ia merebut wilayah Pajang sepeninggal Hadiwijaya
dengan gelar Panembahan Senopati. Pada saat itu wilayahnya
hanya di sekitar Jawa Tengah saat ini, mewarisi wilayah Kerajaan
Pajang. Pusat pemerintahan berada di Mentaok, wilayah
yang terletak kira-kira di timur Kota
Yogyakarta dan selatan Bandar Udara Adisucipto sekarang. Lokasi keraton
(tempat kedudukan raja) pada masa awal terletak di Banguntapan, kemudian dipindah
ke Kotagede. Sesudah ia meninggal
(dimakamkan di Kotagede) kekuasaan diteruskan putranya Mas Jolang
yang setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati.
Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena
beliau wafat karena kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Karena itu ia juga
disebut Susuhunan Seda Krapyak atau Panembahan Seda Krapyak yang
artinya Raja (yang) wafat (di) Krapyak. Setelah itu tahta beralih
sebentar ke tangan putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro
menderita penyakit syaraf sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang
yang bernama Mas Rangsang.
Sultan Agung
Sesudah naik tahta Mas Rangsang bergelar Sultan
Agung Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan
Agung. Pada masanya Mataram berekspansi untuk mencari pengaruh di Jawa.
Wilayah Mataram mencakup Pulau Jawa dan Madura (kira-kira gabungan Jawa Tengah,
DIY, dan Jawa Timur
sekarang). Ia memindahkan lokasi kraton ke Kerta
(Jw. "kertå", maka muncul sebutan pula "Mataram Kerta").
Akibat terjadi gesekan dalam penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC yang berpusat di Batavia, Mataram
lalu berkoalisi dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dan terlibat dalam beberapa
peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah wafat (dimakamkan di Imogiri), ia
digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat
(Amangkurat I).
Terpecahnya Mataram
Amangkurat
I memindahkan lokasi keraton ke Pleret (1647),
tidak jauh dari Kerta. Selain itu, ia tidak lagi menggunakan gelar sultan,
melainkan "sunan" (dari "Susuhunan" atau "Yang
Dipertuan"). Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena banyak
ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada masanya, terjadi pemberontakan besar yang
dipimpin oleh Trunajaya
dan memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia wafat di Tegalarum (1677)
ketika mengungsi sehingga dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II
(Amangkurat Amral), sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang
tidak puas dan pemberontakan terus terjadi. Pada masanya, kraton dipindahkan
lagi ke Kartasura (1680), sekitar 5km sebelah barat
Pajang karena kraton yang lama dianggap telah tercemar.
Pengganti Amangkurat II berturut-turut
adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I (1704-1719), Amangkurat IV
(1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak menyukai Amangkurat III
karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I (Puger) sebagai raja.
Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan perpecahan internal.
Amangkurat III memberontak dan menjadi "king in exile" hingga
tertangkap di Batavia
lalu dibuang ke Ceylon.
Kekacauan politik baru dapat diselesaikan
pada masa Pakubuwana III setelah pembagian wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta tanggal 13 Februari
1755. Pembagian
wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti (nama diambil dari lokasi
penandatanganan, di sebelah timur kota
Karanganyar,
Jawa Tengah). Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan
wilayah. Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta adalah "ahli
waris" dari Kesultanan Mataram.
Peristiwa Penting
· 1558 - Ki Ageng Pemanahan dihadiahi wilayah Mataram oleh Sultan
Pajang Adiwijaya atas jasanya mengalahkan Arya
Penangsang.
· 1577 - Ki Ageng
Pemanahan membangun istananya di Pasargede atau Kotagede.
· 1584 - Ki Ageng
Pemanahan meninggal. Sultan Pajang mengangkat Sutawijaya,
putra Ki Ageng Pemanahan sebagai penguasa baru di Mataram, bergelar
"Ngabehi Loring Pasar" (karena rumahnya di utara pasar).
· 1587 - Pasukan Kesultanan
Pajang yang akan menyerbu Mataram porak-poranda diterjang badai letusan Gunung
Merapi. Sutawijaya dan pasukannya selamat.
· 1588 - Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya
sebagai Sultan,
bergelar "Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama" artinya Panglima Perang dan Ulama Pengatur
Kehidupan Beragama.
· 1601 - Panembahan Senopati wafat dan digantikan
putranya, Mas
Jolang yang bergelar Panembahan Hanyakrawati dan kemudian dikenal
sebagai "Panembahan Seda ing Krapyak" karena wafat saat berburu
(jawa: krapyak).
· 1613 - Mas Jolang
wafat, kemudian digantikan oleh putranya Pangeran Aryo Martoputro. Karena sering sakit,
kemudian digantikan oleh kakaknya Raden Mas
Rangsang. Gelar pertama yang digunakan adalah Panembahan Hanyakrakusuma
atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Setelah Menaklukkan Madura
beliau menggunakan gelar "Susuhunan Hanyakrakusuma". Terakhir setelah
1640-an beliau menggunakan gelar bergelar "Sultan Agung Senapati Ingalaga
Abdurrahman"
· 1645 - Sultan
Agung wafat dan digantikan putranya Susuhunan Amangkurat
I.
· 1645 - 1677 - Pertentangan dan
perpecahan dalam keluarga kerajaan Mataram, yang
dimanfaatkan oleh VOC.
· 1677 - Trunajaya
merangsek menuju Ibukota Pleret. Susuhunan Amangkurat I mangkat. Putra Mahkota
dilantik menjadi Susuhunan Amangkurat II di pengasingan. Pangeran Puger yang
diserahi tanggung jawab atas ibukota Pleret mulai memerintah dengan gelar
Susuhunan Ing Ngalaga.
· 1681 - Pangeran Puger
diturunkan dari tahta Pleret.
· 1703 - Susuhunan
Amangkurat III wafat. Putra mahkota diangkat menjadi Susuhunan Amangkurat III.
· 1704 - Dengan bantuan VOC Pangeran Puger
ditahtakan sebagai Susuhunan Paku Buwono I. Awal Perang Tahta I (1704-1708). Susuhunan
Amangkurat III membentuk pemerintahan pengasingan.
· 1719 - Susuhunan Paku
Buwono I meninggal dan digantikan putra mahkota dengan gelar Susuhunan
Amangkurat IV atau Prabu Mangkurat Jawa. Awal Perang Tahta II (1719-1723).
· 1726 - Susuhunan
Amangkurat IV meninggal dan digantikan Putra Mahkota yang bergelar Susuhunan
Paku Buwono II.
· 1742 - Ibukota
Kartasura dikuasai pemberontak. Susuhunan Paku Buwana II berada dalam
pengasingan.
· 1743 - Dengan bantuan
VOC Ibukota Kartasura berhasil direbut dari tangan pemberontak dengan keadaan
luluh lantak. Sebuah perjanjian sangat berat (menggadaikan kedaulatan Mataram
kepada VOC selama belum dapat melunasi hutang biaya perang) bagi Mataram dibuat
oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai imbalan atas bantuan VOC.
· 1745 - Susuhunan Paku
Buwana II membangun ibukota baru di desa Sala di tepian Bengawan Beton.
· 1746 - Susuhunan Paku
Buwana II secara resmi menempati ibukota baru yang dinamai Surakarta. Konflik Istana menyebabkan saudara
Susuhunan, P. Mangkubumi, meninggalkan istana. Meletus Perang Tahta III yang
berlangsung lebih dari 10 tahun (1746-1757)
dan mencabik Kerajaan Mataram menjadi dua Kerajaan besar dan satu kerajaan kecil.
· 1749 - 11 Desember
Susuhunan Paku Buwono II menandatangani penyerahan kedaulatan Mataram kepada
VOC. Namun secara de facto Mataram baru dapat ditundukkan sepenuhnya pada 1830. 12 Desember
Di Yogyakarta, P. Mangkubumi diproklamirkan
sebagai Susuhunan Paku Buwono oleh para pengikutnya. 15 Desember
van Hohendorff mengumumkan Putra Mahkota sebagai Susuhunan Paku Buwono III.
· 1752 - Mangkubumi
berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran (daerah
pantura Jawa) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM Said.
· 1754 - Nicolas Hartingh
menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. 23
September, Nota Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November,
PB III meratifikasi nota kesepahaman. Batavia
walau keberatan tidak punya pilihan lain selain meratifikasi nota yang sama.
· 1755 - 13 Februari
Puncak perpecahan terjadi, ditandai dengan Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram
menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan atas Kesultanan Yogyakarta dengan gelar
"Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga
Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah" atau lebih populer dengan
gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
· 1757 - Perpecahan
kembali melanda Mataram. R.M. Said diangkat sebagai penguasa atas sebuah
kepangeranan, Praja Mangkunegaran yang terlepas dari
Kesunanan Surakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya
Mangku Nagara Senopati Ing Ayudha".
· 1788 - Susuhunan Paku
Buwono III mangkat.
· 1792 - Sultan Hamengku
Buwono I wafat.
· 1795 - KGPAA Mangku
Nagara I meninggal.
· 1813 - Perpecahan
kembali melanda Mataram. P. Nata Kusuma diangkat sebagai penguasa atas sebuah
kepangeranan, Kadipaten Paku Alaman yang terlepas dari
Kesultanan Yogyakarta dengan gelar
"Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam".
· 1830 - Akhir perang
Diponegoro. Seluruh daerah Manca nagara Yogyakarta
dan Surakarta
dirampas Belanda. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yang
tetap antara Surakarta
dan Yogyakarta dan membagi secara permanen
Kerajaan Mataram ditandatangani oleh Sasradiningrat, Pepatih Dalem Surakarta,
dan Danurejo, Pepatih Dalem Yogyakarta. Mataram secara de facto dan de yure
dikuasai oleh Hindia Belanda.
- Kesultanan Cirebon (sekitar abad ke-16)
Kesultanan Cirebon adalah
sebuah kesultanan
Islam ternama di
Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam
jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa
yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah
dan Jawa
Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan "jembatan" antara
kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga
tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak
didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan
Sunda.
Sejarah
Menurut Sulendraningrat yang
mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka
Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun
oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang
ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa
Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai
macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang
berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata
pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan
menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan
terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang)
dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:,
air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan
sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon
kemudian menjadi sebuah kota
besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam
kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara
maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat
penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
Perkembangan awal
Ki Gedeng Tapa
Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan
nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang saudagar kaya di pelabuhan
Muarajati, Cirebon.
Ia mulai membuka hutan ilalang dan membangun sebuah gubug dan sebuah tajug
(Jalagrahan) pada tanggal 1 Syura 1358 (tahun Jawa) bertepatan dengan tahun
1445 Masehi. Sejak saat itu, mulailah para pendatang mulai menetap dan
membentuk masyarakat baru di desa Caruban.
Ki Gedeng Alang-Alang
Kuwu atau kepala desa Caruban yang pertama
yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai
Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra
Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain
adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat,
Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya
sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.
Masa Kesultanan Cirebon (Pakungwati)
Pangeran Cakrabuana (…. –1479)
Pangeran Cakrabuana adalah keturunan
Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya
yang kedua bernama SubangLarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Nama kecilnya adalah
Raden Walangsungsang, setelah remaja dikenal dengan nama Kian Santang. Ia
mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim dan
Raden Sangara.
Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak
mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan
oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya),
sementara saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda
Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh
adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang
ketiga Nyai Cantring Manikmayang.
Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa
pesisir utara Jawa meninggal, Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan
kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana Pakungwati dan membentuk
pemerintahan di Cirebon.
Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang
atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji
kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon
pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama
Islam kepada penduduk Cirebon.
Sunan Gunung Jati (1479-1568)
Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian
digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan
Syarif Abdullah dari Mesir,
yakni Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan
Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif
Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula
sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama
Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada
Kesultanan Cirebon
dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati
kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan
Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka,
Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda
Kelapa, dan Banten.
Setelah Sunan Gunung Jati wafat, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan
tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan
Gunung Jati ialah Pangeran Dipati Carbon, Putra Pangeran Pasarean, cucu Sunan
Gunung Jati. Namun, Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun
1565.
Fatahillah (1568-1570)
Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian
diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati
melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah
atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi
menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung
dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan
Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di
Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.
Panembahan Ratu I (1570-1649)
Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak
ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan
Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit
Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan
memerintah Cirebon
selama kurang lebih 79 tahun.
Panembahan Ratu II (1649-1677)
Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia
pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang
bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu
Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu.
Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni
Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan
Girilaya atau Panembahan Ratu II.
Panembahan Girilaya pada masa
pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan
Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa
curiga sebab Cirebon
dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya).
Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon
tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah
sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya
Panembahan Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan
Pangeran Kartawijaya di Mataram.
Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung
Hanyokrokusumo dari Kerajaan Mataram (Islam). Makamnya di Jogjakarta, di bukit
Giriloyo, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri. Menurut beberapa
sumber di Imogiri maupun Giriloyo, tinggi makam Panembahan Giriloyo adalah
sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.
Terpecahnya Kesultanan Cirebon
Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka
terjadi kekosongan penguasa. Sultan Ageng Tirtayasa segera menobatkan Pangeran
Wangsakerta sebagai pengganti Panembahan Girilaya, atas tanggung jawab pihak Banten.
Sultan Ageng Tirtayasa kemudian mengirimkan pasukan dan kapal perang untuk
membantu Trunojoyo,
yang saat itu sedang memerangi Amangkurat I dari Mataram. Dengan bantuan
Trunojoyo, maka kedua putra Panembahan Girilaya yang ditahan akhirnya dapat
dibebaskan dan dibawa kembali ke Cirebon
untuk kemudian juga dinobatkan sebagai penguasa Kesultanan Cirebon.
Perpecahan I (1677)
Pembagian pertama terhadap Kesultanan
Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa penobatan tiga orang putra
Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon
pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi keraton Cirebon, dimana kesultanan terpecah menjadi
tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya. Dengan
demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:
· Sultan
Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil
Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
· Sultan
Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad
Badrudin (1677-1723)
· Pangeran
Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon
dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati
(1677-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan
bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng
Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibukota
Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan
keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan
melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton
sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron), yaitu
tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di Cirebon,
suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, di mana
seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari
permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa,
maka orang lain yang dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.
Perpecahan II (1807)
Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya
berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803),
dimana terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja
Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama
Kesultanan Kacirebonan.
Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh
pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit (Bahasa
Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral
Hindia
Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon
Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya
tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sejak itu di
Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan,
pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada
putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin
(1803-1811).
Masa kolonial dan kemerdekaan
Sesudah kejadian tersebut, pemerintah
Kolonial Belanda pun semakin dalam ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan
dari keraton-keraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya.
Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, dimana kekuasaan pemerintahan
Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente
Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100 Hektar, dengan penduduk
sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942,
Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektar.
Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, wilayah
Kesultanan Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang
secara administratif masing-masing dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia
yaitu walikota dan bupati.
Perkembangan terakhir
Setelah masa kemerdekaan Indonesia,
Kesultanan Cirebon tidak lagi merupakan pusat dari pemerintahan dan
pengembangan agama Islam. Meskipun demikian keraton-keraton yang ada tetap
menjalankan perannya sebagai pusat kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah Cirebon dan sekitarnya.
Kesultanan Cirebon turut serta dalam berbagai upacara dan perayaan adat
masyarakat dan telah beberapa kali ambil bagian dalam Festival Keraton
Nusantara (FKN).
Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai istana
Sultan Sepuh dianggap yang paling penting karena merupakan keraton tertua yang
berdiri tahun 1529, sedangkan Keraton Kanoman sebagai istana Sultan Anom
berdiri tahun 1622, dan yang terkemudian adalah Keraton Kacirebonan dan Keraton
Kaprabonan.
Pada awal bulan Maret 2003, telah terjadi
konflik internal di keraton Kanoman, antara Pangeran Raja Muhammad Emirudin dan
Pangeran Elang Muhammad Saladin, untuk pengangkatan tahta Sultan Kanoman XII.
Pelantikan kedua sultan ini diperkirakan menimbulkan perpecahan di kalangan
kerabat keraton tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar