MEMBICARAKAN sejarah tentu tak ada habisnya. Setiap
orang punya versi sejarah sendiri-sendiri dan pasti berbeda dengan yang
lain. Setiap penulis sejarah pun memiliki versi sendiri menyoal sejarah.
Maka berlangsung terus pengetahuan dan pemahaman yang beragam terhadap
satu peristiwa sejarah. Sejarawan yang menulis buku pun saling berbeda
versi sehingga menimbulkan pemahaman yang selalu tidak bersentuhan,
terutama menyangkut hal-hal yang krusial. Ketika sejarawan itu
mengajarkan versi sejarahnya kepada mahasiswa dan murid sekolah,
kesalahpahaman sejarah tidak terhindarkan. Dan begitulah berlangsung
terus sepanjang masa, sehingga sejarah tidak pernah lurus, sehingga
sejarah seakan hanya mampu bicara angka tahun, periodesasi kekuasaan,
saling tikam dan bunuh demi mempertahankan kekuasaan, nama-nama besar
yang menindas (kendati kerap ditulis masa keemasan sejarah).
Membicarakan sejarah Cirebon, ingatan kita akan menerawang kepada nama-nama Susuhan Jati atau Sunan Gunungjati atau Syekh Syarif Hidayatullah atau Walisanga ke-9 yang menyebarkan agama islam di jawa barat pada 600 tahun ke belakang. Juga Mbah Kuwu Cirebon atau Pangeran Cakrabumi atau Pangeran Cakrabuana, Prabu Siliwangi dari Pajajaran yang ditautkan sebagai leluhur Sunan Gunungjati karena menurunkan Walangsungsang. Begitu pula Nyi Mas Rarasantang, Nyi Mas Gandasari, Syekh Magelung yang punya kisah monumental dengan rambut gondrongnya, Panembahan Girilaya, Pangeran Sutajaya atau Pangeran Losari dan sebagainya. Demikian pula Ong Tien Nio yang ditautkan dengan pelawatan Sunan Gunungjati ke Cina. Tak lepas pula sejumlah keraton yang hingga kini masih tegak berdiri di Cirebon.
Demikian juga akan menyeret nama Ki Bagus Rangin, Ki Bagus Serit, Ki Bagus Arsitem dengan peristiwa heroik Pemberontakan Cirebon 1818 yang sudah ditulis Van der Kemp, tentara Belanda yang ikut menumpas pemberontakan santri pertama di Indonesia dari desa Kedondong kabupaten Cirebon. Belanda yang merugi ribuan gulden dan sejumlah kapal perangnya hangus terbakar itu bagai terlupakan dari catatan sejarah nasional, mungkin kalah keren dengan Perang Jawa atau Perang Diponegoro 1825-1830 karena sumbu pemberontakan bermula dari keraton Mataram, sedangkan Ki Bagus Rangis cs hanya seorang ustad dengan ratusan santrinya.
Namun ketika di tahun 2002 saya berbincang dengan budayawan Kuningan, nampak jelas ada penolakan hegemoni budaya Cirebon terhadap kuningan, karena menurutnya sejarah kuningan bukan berawal dari perjalanan Putri Ong Tien Nio dari Luragung ke Cirebon, melainkan dari Kerajaan Seuweu Karma yang berdiri sebelum ada kerajaan Cirebon.
Tidak keliru jikalau kolumnis Mahbub Djunaidi menulis di Asal Usul, munculnya satu penulisan sejarah akan menambah jumlah versi sejarah yang baru. Tak keliru pula jikalau sejarawan Asvi Warman Adam begitu ngotot berupaya meluruskan pemahaman sejarah yang bengkok itu. Dan begitu pula yang dilakukan sejarawan kampus dan sejarawan kampong manakala mencoba menceritakan sejarah pada berbagai kesempatan publik.
Membicarakan sejarah Cirebon sebagaimana digagas akan munculnya buku sejarah Cirebon yang ditulis keroyokan oleh sejarawan Sobana, Mumuh Mz (keduanya dari F Sejarah Unpad), Prapto dari jurusan sejarah kontemporer UI, Zaenal dari STAIN Cirebon, serta dosen lain yang dihadirkan sebagai nara sumber pada seminar draft penulisan sejarah Cirebon di Cirebon 12-13 Agustus lalu; menyegerakan sejumlah peserta yang diundang dari Cirebon, indramayu, kuningan dan majalengka untuk saling mengungkap pemahaman sejarah yang selama ini mendekam di benaknya.
Sejarah tak pernah lurus, itu kata-kata saya dalam seminar di atas lantaran setiap orang punya versi sendiri. Ini pun melanda sejarah Cirebon yang kerap merujuk buku babad Purwaka Caruban Nagari (PCN) yang ditulis Pangeran Ariacarbon pada 1720 berdasarkan ingatan pada dialog Wangsakerta. Menurut hemat saya, ingatan manusia memiliki keterbatasan apalagi dituliskan ratusan tahun setelah dialog. Maka saya menyebut sejarah Cirebon ditulis berdasar ingatan yang lupa. Akibatnya, banyak hal-hal yang luput sebagai substansi sejarah itu sendiri lantaran lupa juga yang membentuk bangun sejarah Indonesia.
Imagined community yang dirilis Ben Anderson menjelaskan bangsa yang ada jika ada yang membayangkannya merupakan penanda betapa lemahnya ingatan manusia, dan unsur lupa adalah sangat manusiawi. Maka ketika Prapto sejarawan UI mengatakan bahwa babad merupakan sastra yang dilegitimasi seakan-akan bernama sejarah, bagi saya jadi menarik. Simpel saja, pertama, PCN lebih mirip cerita yang ditautkan dengan merangkai Cirebon ke masa lalu semisal hubungan budaya dengan Cina, Campa (sekitar Kamboja), India, dan Arab lantas meluncurlah cerita lisan dalam babad yang selalu dirujuk sejarawan yang menggulati sejarah jawa barat. Dengan cara merangkaikan peristiwa demi peristiwa yang berlatar pantai utara jawa barat yang bernama Karesidenan Tjirebon dan diberi status Kotapradja oleh Belanda, wilayah ini menorehkan catatan sejarah yang antara lain ditulis berdasar sifat lupa.
Kedua, saya curiga PCN ditulis bukan pada tahun 1720 tetapi paska kemerdekaan karena meminjam ujaran Mumuh Mz, catatan sejarah Cirebon pada masa pendudukan jepang amat minim. Bagaimana mungkin sejarah 1942-1945 di Cirebon tidak ada yang menuliskan sementara di tahun 1720 sudah ada yang menuliskan babad menjadi buku “babon” sejarah Cirebon? Pada seminar itu saya menyampaikan jangan-jangan penulisan tahun PCN dibuat muncur agar Nampak tua dan bersejarah. Ketiga, membicarakan sejarah Cirebon sepertinya pekerjaan berat karena dituntut untuk mempertautkan catatan-catatan yang terserak terutama ketika VOC bangkrut pada 1799 dan semua imperiumnya di Indonesia dibeli Belanda. Sayang sekali, saat itu raja-raja di Cirebon tidak melakukan perlawanan bersenjata kepada Belanda. Setelah itu kerajaan Cirebon menjadi milik belanda termasuk pengangkatan sultan pun atas restu dan penunjukkan belanda. Sebelumnya ada peran Sultan Agung Mataram yang mempunyai wewenang mengangkat raja Cirebon, mengeksekusi Pangeran Dipati Ukur dan menentukan batas wilayah kerajaan Cirebon sebagai bagian pemekaran kerajaan Mataram.
Keempat, penulisan sejarah akan lebih mengena bila mendatangkan saksi sejarah yang dalam kata-kata Nurdin M Noer, budayawan Cirebon, “Saksi sejarah adalah nara sumber dalam penelitian. Itu pun terbatas pada peristiwa kekinian. Lebih dari 100 tahun sejarah sering berawal dari katanya”. Begitulah maka dalang Askadi Sastrasuganda pun menyatakan sejarah identik sejare-jare (katanya). Kelima, penulisan sejarah Cirebon akan mengundang multi tafsir tatkala masuk ke fase islam dan masa penjajahan. Keenam, bagaimana mungkin sejarah Cirebon ditulis dari masa prasejarah hingga 1950 seandainya referensi dan rujukannya sangat minim. Sekali lagi saya mengingatkan agar penulisan sejarah Cirebon dibatasi per peristiwa, misalnya menyoal kekejaman kemanusiaaan pada 1965, catatan tentang Darul Islam di Cirebon karena masih banyak pensiunan tentara yang masih hidup dan baik ingatannya pada peristiwa Pagar Betis menumpas gerakan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada 1963.
Sampai sekarang saya tidak tahu apakah di Cirebon ada artefak tua berupa punden berundak atau waruga, dolmen sehingga tertorehkan catatan pemerintahan dan raja-raja pada masa pra sejarah Cirebon. Bukankah pada masa itu sejarah atau peraturan raja dan sebagainya ditulis di sebongkah batu atau di di permukaan daun lontar? Jika tidak ada artefak atau situs tua, mungkin aka nada catatan pra sejarah Cirebon?
Kembali ke masalah awal. Penulisan sejarah Cirebon sebaiknya dilakukan berdasarkan peristiwa heroic. Di Jakarta, Hermawan Sulistyo dari LIPI sempat berujar, jarang sekali buku sejarah yang mengungkap peristiwa getir 1965 bahkan hingga wafatnya Marsekal Udara Omardhani Juli 2009 ybll realitas 1965 dan tahun-tahun sekitarnya tetap buram. Ah, sulit ditaut dan dibayangkan sebuah buku induk sejarah Cirebon yang konon ditulis sejak masa pra sejarah hingga 1950, didanai dari APBD Propinsi Jabar tahun anggaran 2010 dan digerakkan oleh tim yang disusun berdasarkan seminar di cirebon 12-13 Agustus 2009 yang diadakan oleh dinas pariwisata dan budaya jawa barat.
Sebagai anak bangsa, sudah seharusnya kita paham sejarah. Kita pahami dia untuk menarik pertautan masa lalu dan masa kini sehingga kendati tidak ada pengulangan sejarah yang sama persis, namun setidaknya kita dapat mengambil hikmah dari tautan itu. Akan tetapi penulisan sejarah tetap harus bermula dari kesungguhan tim dalam mengumpulkan dan mengolah data, termasuk diantaranya mendatangkan saksi sejarah yang memahami item sejarah Cirebon. Jika tidak, terus terang saya khawatir penulisan buku sejarah Cirebon yang kelak akan dianggap sebagai buku babon itu pun akan tersungkur menjadi proyek yang tergesa-gesa.***
Membicarakan sejarah Cirebon, ingatan kita akan menerawang kepada nama-nama Susuhan Jati atau Sunan Gunungjati atau Syekh Syarif Hidayatullah atau Walisanga ke-9 yang menyebarkan agama islam di jawa barat pada 600 tahun ke belakang. Juga Mbah Kuwu Cirebon atau Pangeran Cakrabumi atau Pangeran Cakrabuana, Prabu Siliwangi dari Pajajaran yang ditautkan sebagai leluhur Sunan Gunungjati karena menurunkan Walangsungsang. Begitu pula Nyi Mas Rarasantang, Nyi Mas Gandasari, Syekh Magelung yang punya kisah monumental dengan rambut gondrongnya, Panembahan Girilaya, Pangeran Sutajaya atau Pangeran Losari dan sebagainya. Demikian pula Ong Tien Nio yang ditautkan dengan pelawatan Sunan Gunungjati ke Cina. Tak lepas pula sejumlah keraton yang hingga kini masih tegak berdiri di Cirebon.
Demikian juga akan menyeret nama Ki Bagus Rangin, Ki Bagus Serit, Ki Bagus Arsitem dengan peristiwa heroik Pemberontakan Cirebon 1818 yang sudah ditulis Van der Kemp, tentara Belanda yang ikut menumpas pemberontakan santri pertama di Indonesia dari desa Kedondong kabupaten Cirebon. Belanda yang merugi ribuan gulden dan sejumlah kapal perangnya hangus terbakar itu bagai terlupakan dari catatan sejarah nasional, mungkin kalah keren dengan Perang Jawa atau Perang Diponegoro 1825-1830 karena sumbu pemberontakan bermula dari keraton Mataram, sedangkan Ki Bagus Rangis cs hanya seorang ustad dengan ratusan santrinya.
Namun ketika di tahun 2002 saya berbincang dengan budayawan Kuningan, nampak jelas ada penolakan hegemoni budaya Cirebon terhadap kuningan, karena menurutnya sejarah kuningan bukan berawal dari perjalanan Putri Ong Tien Nio dari Luragung ke Cirebon, melainkan dari Kerajaan Seuweu Karma yang berdiri sebelum ada kerajaan Cirebon.
Tidak keliru jikalau kolumnis Mahbub Djunaidi menulis di Asal Usul, munculnya satu penulisan sejarah akan menambah jumlah versi sejarah yang baru. Tak keliru pula jikalau sejarawan Asvi Warman Adam begitu ngotot berupaya meluruskan pemahaman sejarah yang bengkok itu. Dan begitu pula yang dilakukan sejarawan kampus dan sejarawan kampong manakala mencoba menceritakan sejarah pada berbagai kesempatan publik.
Membicarakan sejarah Cirebon sebagaimana digagas akan munculnya buku sejarah Cirebon yang ditulis keroyokan oleh sejarawan Sobana, Mumuh Mz (keduanya dari F Sejarah Unpad), Prapto dari jurusan sejarah kontemporer UI, Zaenal dari STAIN Cirebon, serta dosen lain yang dihadirkan sebagai nara sumber pada seminar draft penulisan sejarah Cirebon di Cirebon 12-13 Agustus lalu; menyegerakan sejumlah peserta yang diundang dari Cirebon, indramayu, kuningan dan majalengka untuk saling mengungkap pemahaman sejarah yang selama ini mendekam di benaknya.
Sejarah tak pernah lurus, itu kata-kata saya dalam seminar di atas lantaran setiap orang punya versi sendiri. Ini pun melanda sejarah Cirebon yang kerap merujuk buku babad Purwaka Caruban Nagari (PCN) yang ditulis Pangeran Ariacarbon pada 1720 berdasarkan ingatan pada dialog Wangsakerta. Menurut hemat saya, ingatan manusia memiliki keterbatasan apalagi dituliskan ratusan tahun setelah dialog. Maka saya menyebut sejarah Cirebon ditulis berdasar ingatan yang lupa. Akibatnya, banyak hal-hal yang luput sebagai substansi sejarah itu sendiri lantaran lupa juga yang membentuk bangun sejarah Indonesia.
Imagined community yang dirilis Ben Anderson menjelaskan bangsa yang ada jika ada yang membayangkannya merupakan penanda betapa lemahnya ingatan manusia, dan unsur lupa adalah sangat manusiawi. Maka ketika Prapto sejarawan UI mengatakan bahwa babad merupakan sastra yang dilegitimasi seakan-akan bernama sejarah, bagi saya jadi menarik. Simpel saja, pertama, PCN lebih mirip cerita yang ditautkan dengan merangkai Cirebon ke masa lalu semisal hubungan budaya dengan Cina, Campa (sekitar Kamboja), India, dan Arab lantas meluncurlah cerita lisan dalam babad yang selalu dirujuk sejarawan yang menggulati sejarah jawa barat. Dengan cara merangkaikan peristiwa demi peristiwa yang berlatar pantai utara jawa barat yang bernama Karesidenan Tjirebon dan diberi status Kotapradja oleh Belanda, wilayah ini menorehkan catatan sejarah yang antara lain ditulis berdasar sifat lupa.
Kedua, saya curiga PCN ditulis bukan pada tahun 1720 tetapi paska kemerdekaan karena meminjam ujaran Mumuh Mz, catatan sejarah Cirebon pada masa pendudukan jepang amat minim. Bagaimana mungkin sejarah 1942-1945 di Cirebon tidak ada yang menuliskan sementara di tahun 1720 sudah ada yang menuliskan babad menjadi buku “babon” sejarah Cirebon? Pada seminar itu saya menyampaikan jangan-jangan penulisan tahun PCN dibuat muncur agar Nampak tua dan bersejarah. Ketiga, membicarakan sejarah Cirebon sepertinya pekerjaan berat karena dituntut untuk mempertautkan catatan-catatan yang terserak terutama ketika VOC bangkrut pada 1799 dan semua imperiumnya di Indonesia dibeli Belanda. Sayang sekali, saat itu raja-raja di Cirebon tidak melakukan perlawanan bersenjata kepada Belanda. Setelah itu kerajaan Cirebon menjadi milik belanda termasuk pengangkatan sultan pun atas restu dan penunjukkan belanda. Sebelumnya ada peran Sultan Agung Mataram yang mempunyai wewenang mengangkat raja Cirebon, mengeksekusi Pangeran Dipati Ukur dan menentukan batas wilayah kerajaan Cirebon sebagai bagian pemekaran kerajaan Mataram.
Keempat, penulisan sejarah akan lebih mengena bila mendatangkan saksi sejarah yang dalam kata-kata Nurdin M Noer, budayawan Cirebon, “Saksi sejarah adalah nara sumber dalam penelitian. Itu pun terbatas pada peristiwa kekinian. Lebih dari 100 tahun sejarah sering berawal dari katanya”. Begitulah maka dalang Askadi Sastrasuganda pun menyatakan sejarah identik sejare-jare (katanya). Kelima, penulisan sejarah Cirebon akan mengundang multi tafsir tatkala masuk ke fase islam dan masa penjajahan. Keenam, bagaimana mungkin sejarah Cirebon ditulis dari masa prasejarah hingga 1950 seandainya referensi dan rujukannya sangat minim. Sekali lagi saya mengingatkan agar penulisan sejarah Cirebon dibatasi per peristiwa, misalnya menyoal kekejaman kemanusiaaan pada 1965, catatan tentang Darul Islam di Cirebon karena masih banyak pensiunan tentara yang masih hidup dan baik ingatannya pada peristiwa Pagar Betis menumpas gerakan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada 1963.
Sampai sekarang saya tidak tahu apakah di Cirebon ada artefak tua berupa punden berundak atau waruga, dolmen sehingga tertorehkan catatan pemerintahan dan raja-raja pada masa pra sejarah Cirebon. Bukankah pada masa itu sejarah atau peraturan raja dan sebagainya ditulis di sebongkah batu atau di di permukaan daun lontar? Jika tidak ada artefak atau situs tua, mungkin aka nada catatan pra sejarah Cirebon?
Kembali ke masalah awal. Penulisan sejarah Cirebon sebaiknya dilakukan berdasarkan peristiwa heroic. Di Jakarta, Hermawan Sulistyo dari LIPI sempat berujar, jarang sekali buku sejarah yang mengungkap peristiwa getir 1965 bahkan hingga wafatnya Marsekal Udara Omardhani Juli 2009 ybll realitas 1965 dan tahun-tahun sekitarnya tetap buram. Ah, sulit ditaut dan dibayangkan sebuah buku induk sejarah Cirebon yang konon ditulis sejak masa pra sejarah hingga 1950, didanai dari APBD Propinsi Jabar tahun anggaran 2010 dan digerakkan oleh tim yang disusun berdasarkan seminar di cirebon 12-13 Agustus 2009 yang diadakan oleh dinas pariwisata dan budaya jawa barat.
Sebagai anak bangsa, sudah seharusnya kita paham sejarah. Kita pahami dia untuk menarik pertautan masa lalu dan masa kini sehingga kendati tidak ada pengulangan sejarah yang sama persis, namun setidaknya kita dapat mengambil hikmah dari tautan itu. Akan tetapi penulisan sejarah tetap harus bermula dari kesungguhan tim dalam mengumpulkan dan mengolah data, termasuk diantaranya mendatangkan saksi sejarah yang memahami item sejarah Cirebon. Jika tidak, terus terang saya khawatir penulisan buku sejarah Cirebon yang kelak akan dianggap sebagai buku babon itu pun akan tersungkur menjadi proyek yang tergesa-gesa.***
Punya kenalan orang2 yg terlibat peristiwa Pagar Betis ka?
BalasHapusJammin' Jars Casino - JTM Hub
BalasHapusJammin' Jars Casino 성남 출장안마 - 서귀포 출장마사지 JTM Hub offers the latest, most amazing slots and table games and 수원 출장샵 the most popular 고양 출장안마 video 사천 출장샵 slots!