BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra
lisan merupakan hasil kreatifitas masyarakat yang dimiliki bersama. Sastra
lisan ada karena masyarakat mau menerima dan saling mendukung adanya sastra
tersebut. Sastra lisan dituturkan secara lisan. Sastra lisan berkembang dari
masyarakat dan disebarkan dengan turun temurun secara berabad-abad. Sastra
lisan mengandung ide dan gagasan dari masyarakat pendukungnya. Jadi sastra
lisan merupakan karya sastra yang ada karena adanya masyarakat yang menuturkan
dan mengembangkannya secara berabad-abad.
Salah
satu jenis karya sastra lisan adalah cerita rakyat. Cerita rakyat merupakan
cerita yang dituturkan masyarakat karena adanya kepercayaan terhadap suatu
peristiwa yang dianggap benar-benar terjadi pada masa itu. Biasanya cerita rakyat berkaitan dengan masa lalu dan
sebagian besar bersifat anonim, artinya tidak diketahui siapa pengarangnya
sehingga untuk mengetahui sumber aslinya dan mengungkapkan isi cerita secara
urut dan lengkap sangatlah sulit.
Cerita rakyat menurut William R. Bascom dibagi
menjadi tiga, yaitu mite, legenda dan dongeng. Mite adalah cerita prosa rakyat
yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita.
Mite ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di
dunia lain atau di dunia yang bukan seperti yang kita kenal sekarang, yang
terjadi pada masa lampau. Legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-
cirri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap benar- benar terjadi tetapi tidak
dianggap suci. Legenda ditokohi manusia walaupun ada kalanya mempunyai
sifat-sifat luar biasa, dan sering kali juga dibantu makhluk-makhluk ajaib.
Tempat terjadinya adalah di dunia seperti yang kita kenal kini, karena waktu
terjadinya belum terlalu lampau. Sebaliknya, dongeng adalah prosa rakyat yang
tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita dan dongeng tidak
terikat oleh waktu maupun tempat.
Salah satu cerita yang ada di Jawa Tengah adalah Sunan Tembayat. Cerita ini berkisah tentang perjalanan Prabu
Brawijaya V setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit. Dalam kisahnya, dia dapat memperistri Nyai Ageng Kaliwungu, putri Adipati
Semarang, menjadi Adipati Semarang menggantikan mertuanya dan bergelar Ki Ageng
Pandanaran II, hingga pertemuannya dengan Sunan Kalijaga. Perjalanan itu berlanjut hingga bergurunya Ki
Ageng Pandanaran II pada Sunan Kalijaga di Jabalkat, menjadi seorang wali
bergelar Sunan Tembayat, hingga memperistri Nyai Ageng Rakitan. Cerita Sunan
Tembayat merupakan cerita yang berlatar penyebaran agama Islam.
Karya
sastra dapat dikaji dengan teori fenomenologi. Fenomenologi merupakan bagian
dari hermeneutika, ilmu tafsir/interpretasi suatu teks. Fenomenologi yang digunakan adalah teori yang
dikemukakan oleh Edmund Husserl. Dengan
fenomenologi, penulis akan mengupas fenomena-fenomena dalam teks secara
objektif. Dengan logika yang rasional,
fenomena akan dikaji sesuai kenampakannya yang nyata, jauh dari
dugaan-dugaan/pemikiran pribadi interpreter.
Penelitian ini mengangkat cerita Sunan Tembayat.Cerita
Sunan Tembayat ini akan dikaji
menggunakan teori fenomenologi. Dengan
analisis menggunakan fenomenologi, penulis hendak mengungkap
pemikiran-pemikiran logis dari fenomena-fenomena yang terjadi dalam cerita
tersebut. Fenomena-fenomena yang
dianggap khayali pun juga akan dibongkar menurut logika manusia.
Hasil akhir dari perbandingan kedua cerita itu adalah kesamaan dan
perbedaan fenomena dan kelogisannya.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah
diuraian rumusan
masalah yang dapat disusun adalah bagaimana
fenomenologi (fenomena-fenomena) yang terdapat pada cerita Sunan
Tembayat dan cerita Asal Mula Kota Semarang?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengungkapkan
fenomenologi (fenomena-fenomena) yang terdapat pada cerita Sunan
Tembayat dan cerita Asal Mula Kota Semarang.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut.
- Dapat memberikan pemahaman mengenai penerapan teori Fenomenologi Edmund Husserl dalam komparasi cerita rakyat.
- Memperkaya khasanah sastra daerah khususnya serta sastra nasional pada umumnya.
- Mengantisipasi tergesernya cerita rakyat oleh perkembangan teknologi yang didorong pula oleh kemajuan jaman.
BAB II
LANDASAN
TEORI
1.
Fenomenologi
Fenomenologi adalah tararan berpikir secara filosofis terhadap obyek yang
diteliti. Kecenderungan filsafat yang
dipelopori Husserl ini menekankan peranan pemahaman terhadap arti. Dalam penelitian sastra, fenomenologi tidak
mendorong keterlibatan subyektif murni, melainkan ada upaya memasuki teks
sastra sesuai kesadaran peneliti (Endraswara 2011: 38).
Moeryadi (2008) Fenomenologi
ialah ilmu pengetahuan (logos)
tentang apa yang tampak (phenomena). Fenomenologi dengan demikian, merupakan
ilmu yang mempelajari, atau apa yang menampakkan diri fenomenon. Karena
itu, setiap penelitian atau setiap karya yang membahas cara penampakkan dari
apa saja, sudah merupakan fenomenologi.
Dalam fenomenologi, seorang interpreter haruslah berpikir logis menggunakan
rasionya untuk memahami fenomena. Interpreter
harus melepaskan semua pengandaian dan kepercayaan pribadinya serta dengan
simpati melihat objek yang mengarahkan diri kepadanya. Teks merefleksikan
kerangka mentalnya sendiri, dan karena itu penafsir harus netral dan menjauhkan
diri dari unsur-unsur subjektifnya atas objek. Menafsirkan
sebuah teks berarti secara metodologis mengisolasi teks dari semua hal yang tak
ada hubungannya, termasuk bias-bias subjek penafsir, dan membiarkannya
mengomunikasikan maknanya sendiri pada subjek. Yang
kita andaikan sebagai dunia objektif sesungguhnya adalah dunia yang sudah
diwarnai oleh aparatus sensor yang taksempurna dari tubuh manusia dan aktivitas-aktivitas
rasional maupun abstraksi pikiran.
Dengan begitu, saat berupaya meraih pengetahuan yang pasti tentang
“dunia objektif”, seseungguhnya kita sedang memastikan “dunia persepsi kita –
dunia fenomena”.
Supaya dengan intuisi kita dapat menangkap hakekat
obyek-obyek, maka dibutuhkan tiga reduksi. Reduksi-reduksi ini yang
menyingkirkan semua hal yang mengganggu kalau kita ingin mencapai wesenschau. Reduksi pertama: menyingkirkan segala sesuatu yang
subyektif. Sikap kita harus obyektif, terbuka untuk gejala-gejala yang harus
“diajak bicara”. Dua:
menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diselidiki dan diperoleh
dari sumber lain. Tiga: menyingkirkan
seluruh reduksi pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah dikatakan oleh orang
lain harus, untuk sementara dilupakan. Kalau reduksi-reduksi ini berhasil,
gejala sendiri dapat memperlihatkan diri, menjadi fenomin (memperlihatkan
diri) (Moeryadi 2008).
Dahlan (2010) menuliskan bahwa:
Dengan teori ini, kita bisa memberikan arah baru dalam
melihat alam yang sebelumnya dianggap
tidak sakral oleh dunia modern justru di sini diberi makna baru dengan
meletakkan realitas material (alam) sebagai suatu sumber daya alam yang bisa
dikelola, tetapi masih dalam batas-batas kesadaran yang manusiawi. Pola pikir
korelatif ini merupakan implikasi dari teori dasarnya tentang fenomena. Dalam dunia keilmuan, teori ini juga akan
menyumbangkan suatu teori ilmu pengetahuan yang tidak bebas nilai (value
bound), yang pada saat ini menjadi suatu teori yang banyak digunakan oleh
pemikir kontemporer dengan wujud teori kritis sebagai kanter tehadap teori
positivistik, yang menganut pandangan bahwa pengetahuan bebas nilai (value
free). Karenanya, ilmu pengetahuan
yang value bound mempunyai orientasi pada pembelaan nilai-nilai kemanusiaan,
keadilan, dan nilai efesiensi. Sedang ilmu pengetahuan yang value free adalah
netral dan tidak memihak kepada nilai-nilai apapun kecuali pada obyektifitas.
Melalui teori ini, penulis akan
membedah masing-masing cerita melalui berbagai sudut pandang ilmu dan tetap
rasional dalam mengolahnya. Fenomena
yang nampak diolah dengan logika berpikir sesuai kenampakannya di alam
nyata. Hal-hal yang bersifat imajinatif
dapat dilihat secara rasional, sesuai apa yang terjadi di alam nyata.
2. Struktur Naratif dan
Motif Cerita
Struktur naratif menurut Chamamah dan Soeratno (dalam Sukadaryanto 2010: 11) merupakan
perwujudan bentuk penyajian peristiwa yang menjadi pokok pembicaraan dalam
wacana dengan berbagai relasi yang mengaitkan peristiwa.
Meskipun teori
yang akan penulis gunakan adalah fenomenologi, pada awalnya akan dipaparkan
struktur naratif cerita. Dengan struktur
naratif inilah cerita akan menjadi satuan-satuan tersruktur dan mudah dipahami. Letak-letak fenomena dalam alur cerita akan
secara nampak jelas mudah ditelusuri.
Stuktur naratif cerita ini akan menguraikan sekuen, kernels, dan
satellites cerita.
Chatman (dalam
Sukadaryanto 2010) menjelaskan bahwa dunia naratif dalam teks merupakan
bentukan elemen-elemen yang dibangun dari peristiwa-peristiwa dan
eksisten-eksisten. Baik
peristiwa-peristiwa maupun eksisten-eksisten itu masing-masing bersifat tunggal
dan otonom tetapi sekaligus juga bersifat naratif (narative) yang merupakan sebuah kesatuan yang bersifat sekuensial (a sequential composite). Bahwa di dalam sekuen terdapat
peristiwa-peristiwa naratif mayor (kernels)
yang status keberadaannya lebih penting daripada peristiwa-peristiwa naratif
minor (satellites). Untuk melengkapi struktur cerita, penulis
sertakan motif-motif cerita. Menurut Sukadaryanto
(2010: 96), motif pelaku terjadi karena adanya fungsi pelaku. Banyaknya motif pelaku tergantung dari
seberapa banyak permasalahan yang terdapat pada sebuah cerita.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan pada
penelitian ini ada dua pendekatan, yakni pendekatan metodologis dan pendekatan
teoritis. Pendekatan metodologis yang digunakan adalah metode deskriptif
kualitatif. Pendekatan deskriptif digunakan karena penelitian ini sebatas
mendeskripsikan data atau fenomena yang ada di lapangan, sedangkan kualitatif
karena data yang digunakan bukan berupa angka-angka. Pendekatan teoritis yang
digunakan pada penelitian ini
menggunakan teori hermeneutika fenomenologi. Dengan fenomenologi, penulis akan mengupas
fenomena-fenomena dalam teks secara objektif.
Dengan logika yang rasional, fenomena akan dikaji sesuai kenampakannya
yang nyata, jauh dari dugaan-dugaan/pemikiran pribadi interpreter. Teks lisan yang digunakan pada
penelitian ini adalah teks cerita Sunan Tembayat,
sedangkan teks tulis yang digunakan adalah cerita Asal Usul Kota Semarang.
3.2 Data dan Sumber Data
Data
penelitian ini adalah hasil catatan peneliti baik berupa fakta ataupun angka.
Data penelitian ini adalah cerita Sunan Tembayat. Sumber data dalam penelitian
ini yaitu sumber data lisan dan data tulis. Sumber data lisan diperoleh dari
narasumber yang menceritakan cerita Sunan Tembayat.
3.3 Pengumpulan Data
Data yang diambil dalam penelitian
ini adalah cerita Sunan Tembayat. Metode yang digunakan untuk pengumpulan data
dalam penelitian ini adalah metode wawancara dan observasi pustaka. Wawancara adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh
pewawancara (interviewer) untuk memperoleh informasi dari terwawancara (Interviewer).
Dalam hal ini peneliti bertindak sebagai pewawancara (interviewer),
sedangkan narasumber bertindak
sebagai terwawancara (Interviewer). Agar
data yang diperoleh lebih akurat dan lebih mudah untuk dianalisis kembali,
dalam pengambilan data digunakan alat bantu rekam dan catatan tertulis.
3.4 Teknik Analisis Data
Teori yang digunakan
untuk menganalisis cerita rakyat Sunan Tembayat di sini adalah teori hermeneutika
fenomenologi. Teknik analisis data menggunakan model dialektik, model ini
mengutamakan makna yang koheren. Prinsip dasar teksik analisis dialektik adalah
adanya pengetahuan mengenai fenomena
akan tetap abstrak apabila tidak dibuat konkret dengan mengintregasikan ke
dalam totalitas. Kemudian setelah data terkumpul dan cerita disusun, lalu
menyusun unit-unit naratif. Analisis dilakukan dengan mencoba
mengaitkan antara teks sastra, penulis, pembaca (dalam rangka komunikasi
sastra), dan struktur sosial. Proses
tersebut dengan dimasukannya unsur yang mendukung teori tersebut yaitu fakta
kemanusiaan, subjek kolektif, strukturasi, pandangan dunia, dan
pemahaman-penjelasan.
BAB IV
PEMBAHASAN
Sebelum dilakukan analisis
perbandingan kedua cerita, terlebih dulu akan dianalisis masing-masing cerita menggunakan teori
fenomenologi. Pada dasarnya, yang akan diperbandingkan
bukanlah teksnya, tapi hasil analisis dari teks tersebut.
4.1 Analisis
Cerita
Rakyat “Sunan Tembayat”
Cerita
“Sunan Tembayat” menampilkan fenomena-fenomena nyata yang syarat makna. Terlebih banyak fenomena yang berkenaan
dengan perjalanan spiritual seseorang.
-
Perjalanan Prabu
Brawijaya V untuk tapa ngrame.
Tapa ngrame
adalah bentuk laku di keramaian. Prabu Brawijaya melakukan hal tersebut seusai
lengser dari tampuk tertinggi Kerajaan Majapahit. Sebagai bentuk refleksi diri atas pemerintahannya
saat menjadi raja Majapahit dan melihat realitas keadaan masyarakatnya,
mengunjungi tempat-tempat keramaian sangatlah perlu. Dengan demikian sang Mantan Raja dapat
menilai penyebab kegagalannya sehingga negara bisa runtuh.
-
Ki Ageng Pandanaran I
menyerahkan kedudukannya kepada menantunya.
Jawa lebih menganut sistem
paternalistik. Ki Ageng Pandanaran I
hanya memiliki anak perempuan. Oleh
karena itu, dia menunjuk menantunya sebagai penggantinya. Hal tersebut dilakukan agar trah Ki Ageng
Pandanaran I sebagai pemegang kekuasaan tertinggi kadipaten tidak berpindah
tangan. Dengan demikian putra Nyai Ageng
Kaliwungu diharapkan meneruskan tahta eyangnya.
-
Ki Ageng Pandanaran II
adalah Prabu Brawijaya V dari Majapahit.
Sebenarnya, ada beberapa versi kepergian
Prabu Brawijaya V setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit. Di antaranya adalah menuju ke timur
(Blambangan kemudian Bali) dan dalam versi ini menuju ke barat (Semarang). Tanpa harus berpikir akan kebenaran
historisnya, keberadaan Prabu Brawijaya V yang melakukan perjalanan tapa ngrame
ke barat, memenangkan sayembara, menjadi adipati, dan pada akhirnya menjadi
seorang Sunan adalah sebuah legitimasi dan penghormatan rakyat pada kebesaran
seorang raja Jawa. Sikap sportif orang
Jawa adalah menang tanpa ngasorake.
Dalam hal ini orang Jawa yang telah beragama Islam tidak menjatuhkan
martabat Prabu Brawijaya V yang kalah.
Dia tetap diagungkan dengan mengangkatnya sebagai seorang yang tetap
sakti, menjadi adipati, dan menjadi Sunan.
Sunan sama halnya seorang begawan, berkasta Brahmana. Dalam pandangan Jawa (Hindu), kasta Brahmana
lebih tinggi daripada kasta Ksatria karena lebih dekat dengan Tuhan.
-
Ki Ageng Pandanaran II
melayani penjual rumput.
Sungguh sebuah keanehan karena pejabat setingkat
adipati, terlebih lagi digambarkan tamak dan serakah, mengurusi langsung
pembelian rumput untuk kudanya. Kenapa
tidak dilayani pekathik atau pembantunya? Peristiwa ini terkesan njegleg, tidak umum.
-
Sunan Kalijaga
mencangkul tanah dan berubah menjadi emas.
Tanah yang berubah menjadi emas terkesan
khayal. Orang awam pun bisa jadi
menganggap bahwa antara emas dan tanah tak ada kaitannya. Berdasarkan
keilmiahan dan sudut pandang yang
berbeda, emas dan tanah sangat berhubungan.
Dari sudut pandang geologi, emas (Aurum) merupakan mineral yang
ditemukan dalam tanah. Diperoleh dengan
cara mendulang tanah. Dari sudut pandang
ekonomi, tanah merupakan aset yang sama berharganya dengan emas. Tanah
memiliki harga jual yang tinggi. Tuan tanah yang memiliki tanah yang
luas
merupakan kaum atas, terpandang. Jadi,
tanah juga dapat menjadi indikator kekayaan seseorang.
-
Syarat-syarat yang
diajukan Sunan Kalijaga kepada Ki Ageng Pandanaran.
Syarat memang sangat lumrah diajukan
seorang yang memenagkan pertandingan/pertarungan. Sunan Kalijaga sebagai pihak pemenang
mengajukan syarat kepada Ki Ageng Pandanaran II yaitu (1) Sunan Kalijaga ingin
mendengar bunyi bedhug di Semarang, (2) menghendaki Ki Ageng Pandanaran berzakat,
(3) menghendaki Ki Ageng Pandanaran II bertaubat dan menjauhi sifat tamak dan
kikir, dan (4) menghidupkan lampu di rumah Sunan Kalijaga.
Menginginkan suara bedhug diartikan
sebagai keinginan untuk didirikannya tempat peribadatan umat Islam (masjid,
mushola, langgar). Bedhug merupakan
sarana untuk memanggil orang datang ke masjid sebelum kumandang adzan karena
dahulu belum ada pengeras suara.
Zakat menurut pandangan Islam merupakan
pembersih dari sifat-sifat kikir dan tamak.
Hal ini berkaitan dengan syarat yang ketiga. Sudah menjadi kewajiban orang kaya untuk
berbagi dengan orang yang tidak mampu.
Menghidupkan lampu di rumah Sunan Kalijaga
yang dilakukan Ki Ageng Pandanaran II sama halnya Ki Ageng datang/bertamu ke
rumah Sunan Kalijaga. Seorang tuan rumah
akan menghidupkan lampu untuk menjamu tamunya.
Pada realitasnya, Ki Ageng Pandanaran II dimaksudkan untuk berguru atau
menimba ilmu di tempat Sunan Kalijaga.
-
Nyai Ageng Kaliwungu
tetap membawa hartanya dan dimasukkan ke dalam tongkatnya yang terbuat dari
bambu.
Bambu merupakan jenis tanaman
rumput-rumputan dengan morfologi batang beruas dan berongga. Dengan diameter rongga yang cukup besar,
memungkinkan tanaman ini sebagai tempat menyimpan sesuatu. Nyai Ageng Kaliwungu cukup cerdas dalam
menyembunyikan hartanya di dalam rongga bambu.
Dengan memfungsikannya sebagai tongkat (teken), bambu ini tak terlihat
seperti tempat harta (berlian, uang, emas, dsb.)
Sebagai seorang wanita, Nyai Ageng
Kaliwungu tergolong cerdik. Dia
memikirkan bahwa seseorang perlu bekal dalam perjalanannya. Maka tak menghiraukan perintah Ki Ageng, dia
tetap membawa beberapa harta sebagai bekal perjalanan. Seorang wanita sangat jeli dalam memikirkan
hal-hal untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, terutama makan.
-
Dua orang begal tidak
puas atas harta yang dirampas dari Nyai Ageng Kaliwungu dan berusaha merampas
tongkat Ki Ageng Pandanaran II.
Begal atau rampok memang memiliki
pekerjaan seperti demikian. Harta
sebanyak beberapa ruas bambu tak akan memuaskan. Begal akan terus mengejar dan memaksa orang
yang dihadangnya menyerahkan harta yang lain.
-
Penamaan Syeh Domba dan
Syeh Kewel
Syeh Domba dan Syeh Kewel adalah dua orang
begal yang kurang puas atas harta rampasan dari Nyai Ageng Kaliwungu dan
mencoba merampas harta Ki Ageng Pandanaran II.
Domba ketika berhadapan dengan apapun yang dianggapnya mengganggu
(lawan, musuh, dll.) akan mengarahkan kepalanya ke depan (posisi menyeruduk)
dan berulang-ulang, ndhedhes-ndhedes. Karena salah satu begal bertindak memaksa,
menekan, berulang-ulang (intens) hal tersebut sama seperti yang dilakukan
kambing. Maka, pantaslah dia dijuluki Syeh Domba. Sedangkan begal yang satunya malah ketakutan
dan badannya bergetar, dalam bahasa Jawa “ngewel” seperti ular. Maka, orang itu dijuluki Syeh Kewel.
-
Si Wanita Petani
berbohong tentang barang yang dibawanya, bukan beras tapi pasir.
Sebagai penduduk yang bertemu dengan
musafir (orang asing) patutlah curiga.
Lebih baik berbohong agar tidak terjadi hal-hal yang merugikannya. Maka tak dapat disalahkan bila wanita itu
berbohong, menyebutkan bahwa yang dibawanya adalah pasir dan bukan beras,
sebagai langkah preventif.
-
Ki Ageng Pandanaran II
mencari mentimun untuk menghilangkan dahaga.
Mentimun atau timun yang memiliki nama
latin Cucum..is sativus memiliki kandungan air sebanyak 90%. Oleh karena itu, air dari mentimun dapat
menggantikan ion-ion tubuh yang hilang karena perjalanan jauh. Makan mentimun juga membuat dahaga hilang,
menyegarkan, terlebih jika dimakan di hari yang terik.
-
Ki Ageng Pandanaran II
mendirikan masjid di atas Gunung Jabalkat.
Dahulu, masjid/langgar tidak menggunakan
pengeras suara. Untuk menandai datangnya
waktu sholat, digunakan bedhug atau kenthongan.
Keberadaan masjid di atas gunung memungkinkan gema suara bedhug atau
kenthongan bisa sampai ke lembah atau sisi gunung lain yang berhadapan,
sehingga banyak orang yang mendengarnya.
Terkait konstruksi bangunan, memang sangat
tidak mungkin jika masjid dibangun dengan konstruksi batu, pasir, dan semen,
karena bahan-bahan tersebut dijumpai di daerah lembah. Kemungkinan besar masjid dibangun dengan
konstruksi kayu. Di atas gunung daerah
tropis sangat mudah menemukan kayu dengan berbagai diameter dan kualitas.
-
Syeh Domba dan Syeh
Kewel kesulitan mencari sumber air di Jabalkat.
Jabalkat merupakan sebuah bukit
(gunung). Mata air akan timbul dari
tempat yang memiliki akuifer (permukaan air tanah) dan permukaan tanah tipis. Komposisi tanah di bukit kebanyakan memiliki
permukaan tanah tebal. Kemungkinan besar
mata air akan keluar di kaki bukit atau daerah lembah, terutama mata air perennial (kontinue).
Kalaulah mata air bersifat ephemeral
(intermiten) dari hujan, air akan terserap karena tanah struktur tanah Jabalkat
adalah kapur, karst. Jabalkat masih masuk rangkaian pegunungan kapur selatan,
terbentuk dari pengangkatan permukaan laut.
Psikologis orang, tidak mungkin dengan
keadaan terburu-buru (terpancang waktu adzan) mencari air di gunung dengan
cermat. Mendapatkan air di lembah akan
membuang banyak waktu.
-
Ki Ageng Pandanaran II
menancapkan tongkatnya dan setelah dicabut keluar mata air.
Berkenaan dengan fenomena sebelumnya,
fenomena ini dapat memungkinkan terjadi.
Lapisan akuifer dapat mencapai di ketinggian. Dalam kasus di Jabalkat, mungkin terdapat
lapisan akuifer di atas gunung, tapi tak muncul mata air karena tekanan air
yang lemah sehingga tak dapat menembus lapisan permukaan. Dengan menancapkan benda panjang, maka
lapisan permukaan dapat ditembus dan memungkinkan mencapai lapisan akuifer.
-
Suara adzan subuh
mesjid di Jabalkat mendahului suara adzan subuh di Masjid Demak.
Demak dan Klaten memiliki koordinat bujur
yang berdekatan, lebih timur Demak. Oleh
karena itu, sangat dimungkinkan keduanya mendapatkan sinar matahari pagi dalam
waktu yang hampir sama. Meski Demak
lebih timur, dengan kondisi geografis Jabalkat yang tinggi dan Demak yang
berada di dataran rendah, dari atas Jabalkat zenit datangnya fajar akan bisa
lebih dahulu terlihat. Terlebih lagi
jika matahari datang dari zona Lintang Selatan.
-
Sunan Bayat memindahkan
masjid dengan sorbannya.
Sorban jika rentangkan seperti
selendang. Selendang dapat dimanfaatkan
untuk mengikat dan menggendhong kayu.
Dengan demikian secara bertahap, konstruksi masjid dapat dipindahkan.
4.2 Analisis cerita rakyat “Asal Mula Kota Semarang”
Cerita
“Asal Mula Kota Semarang”
menampilkan fenomena-fenomena nyata yang syarat makna. Terlebih banyak fenomena yang berkenaan
dengan perjalanan spiritual seseorang.
-
Pangeran Madepandan
menamai daerah Anyar
Dinamai
Anyar karena daerah itu baru ditemukan yang dirasa tepat untuk menggantikan
kota Demak.
-
Ki Ageng Pandanarang
menamai daerah Semarang
Dinamai
daerah Semarang karena ketika berjalan-jalan berkelilig kota, beliau melihat
pohon asem yang tumbuh subur, tetapi pohon yang satu dengan yang lainnya
letaknya tidak berdekatan (arang-arang).
-
Ki Ageng Pandanarang I
menyerahkan kekuasaan kepada Ki Ageng Pandanarang II.
Karena merasa sudah tua, Ki Ageng
Pandanarang I menyerahkan kekuasaannnya kepada putranya yaitu Ki Ageng
Pandanarang II.
4.3 Perbandingan Analisis Cerita
Ada beberapa
titik temu dari cerita Sunan Tembayat (ST) dan Asal
Mula Kota Semarang. Titik temu
tersebut yang menjadi dasar suatu cerita menjadi menarik untuk diperbandingkan.
Jika dituliskan perbedaan-perbedaan kedua cerita,
tentunya akan sangat banyak sekali karena memang kedua cerita tersebut berbeda
sama sekali. Dari unsur latar budaya,
alur cerita, penokohan, dan semua fenomena di dalamnya banyak sekali yang
berbeda. Dalam perincian
perbedaa-perbedaan ini, penulis hanya akan memuat perbedaan dari pokok-pokok
fenomena yang sama dari persamaan yang telah dipaparkan di atas.
o
Motif Penipuan
Dalam
cerita Sunan Tembayat terdapat motif penipuan ketika ia bertemu dangan begal
dan bertemu seseorang di daerah wedi. Sedangkan dalam cerita Kebo Iwa, penipuan
terjadi ketika Kebo Iwa disuruh untuk datang ke Majapahit
o
Motif persyaratan
Dalam
cerita Sunan Tembayat ketika akan menjadi murid Sunan Kalijaga, Sunan Tembayat
harus memenuhi tiga persyaratan. Sedang kan dalam cerita Kebo Iwa, untuk
menjadi patih ia harus bersumpah untuk melindungi tanah Bali sampai mati dan
harus membuat sumur ketika akan dinikahkan dengan putri yang cantik. Kedua
cerita ini mengandung pesan segala sesuatu dapat dicapai atau didapatkan jika
ada kerja keras.
o Fenomena-fenomena
khayali
Fenomena khayali yang
terdapat dalam cerita ST antara lain; berubahnya beras menjadi pasir, perubahan
wujud Syeh Domba dan Syeh Kewel, Sunan Kalijaga mencangkul tanah dan didapatkan
bongkahan emas, suara adzan dari Jabalkat terdengar sampai Demak.
Dalam cerita Kebo Iwa
fenomena khayali ditemukan seperti mengukir gunung dengan menggunakan kuku
dalam waktu semalam suntuk saja.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari paparan di atas penulis dapat memberikan simpulan sebagai berikut. Cerita
Sunan Tembayat dan Asal Mula Kota Semarang, keduanya
memiliki beberapa motif cerita yang hampir sama di antaranya adalah motif
pengembaraan, perubahan wujud, penipuan, pernikahan, pengenalan, perampasan,
dan pertobatan. Meskipun demikian, motif
akhir yang mengikuti motif pengembaraan kedua cerita berbeda, dalam Sunan Tembayat diikuti motif dakwah
sedang dalam cerita Asal Mula Kota
Semarang diikuti motif dakwah juga .
Dalam kedua
cerita banyak ditemukan fenomena khayali yang mungkin tidak berterima pada
relitas kehidupan manusia. Namun dengan
studi fenomenologi, fenomena-fenomena yang dirasa khayal dapat diungkap dengan
logika berpikir dari sudut pandang berbagai bidang ilmu dan akhirnya ditemukan
kenalarannya.
Dari
penganalisisan kedua cerita menggunakan studi fenomenologi, ditemukan beberapa
pokok fenomena yang mirip.
Fenomena-fenomena itu di antaranya adalah motif perjalanan, fenomena
perubahan wujud, didapati beberapa fenomena khayali, penggunaan unsur “emas”,
dan pemanfaatan bahan bambu sebagai sarana.
Beberapa fenomena pembanding itu penulis sajikan karena di kedua cerita
mengandung unsur-unsur tersebut.
5.2
Saran
Bagi
generasi penerus kita seharusnya mengerti serta mewariskan kebudayaan cerita
rakyat agar tidak hilang oleh kemajuan teknologi. Selain itu sastra juga
memiliki nilai yang dapat kita pelajari sebagai pedoman hidup, dan nilai-nilai
yang terdapat pada karya sastra tersebut dapat menginspirasi masyarakat agar dapat meneladani nasihat-nasihat yang terdapat dikarya sastra
itu.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan,
Moh. 2010. Pemikiran Fenomenologi Edmund Husserl dan
Aplikasinya dalam Dunia Sains dan studi Agama. Salam. Vol. 13.
No. 1. Available at:
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/salam/article/view/452 [accessed
05/25/2011].
Endraswara, Suwardi. 2011.
Metodologi Penelitian Sastra.
Yogyakarta: CAPS.
Moeryadi, Denny. 2008. Pemikiran Fenomenologi Menurut Edmund Husserl. Malang: STFT. Widya Sasana.
Raharjo, Mudjia.
2008. Dasar-dasar
Hermeneutika. Yogyakarta: Arruzzmedia.
Sukadaryanto. 2010.
Sastra Perbandingan. Semarang:
Griya Jawi.
Soekardi, Yuliardi, dkk. 2007. Legenda Nusantara
(Cerita Rakyat Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali). Bandung: CV PUSTAKA SETIA.
LAMPIRAN
SUNAN TEMBAYAT
Kraton
Majapahit wiwit surut awit ngrembakane agama Islam ing Tanah Jawa. Runtuhing Kraton Majapahit nalika dipimpin
dening Prabu Brawijaya V. Sawise surut,
Prabu Brawijaya V nglakokake tarak brata tapa ngrame kanthi lelungan
mengulon. Dheweke tekan Kadipaten
Semarang ing pesisir lor Jawa sisih tengah.
Nalika
iku,
Kadipaten Semarang dipandhegani dening Ki Ageng Pandanaran. Dheweke
nduweni putra kang asmane
Kaliwungu. Dheweke wis sawetara suwe ora
bisa mlaku lan micara. Digolekana dukun,
tabib, utawa tukang obat saka ngendi-ngendi ora bisa nambani. Mula saka
iku, Ki Ageng Pandanaran nganakake
sayembara. Sing sapaa bisa nambani
putrine, yen lanang arep didadekake putra mantu, yen wadon bakal
didadekake
putrine. Wong sekti saka ngendi-ngendi
teka ing Kadipaten Semarang saprelu nambani Kaliwungu, nanging ora
kasil. Sayembara mau keprungu dening Prabu Brawijaya
V. Dheweke banjur tumuju ing Kadipaten
Semarang kanggo nyoba nambani Kaliwungu.
Kanthi kasaktene lan kersane Gusti, Prabu Brawijaya V kasil nambani
Kaliwungu. Kaliwungu dumadakan bisa
ngobahake awake, bisa mlaku, lan micara maneh.
Kabeh wong ing Kadipaten Semarang padha bungah. Ki Ageng Pandanaran
nyembadani janjine. Prabu Brawijaya V, sing nalika iku wis ora
katon blegere ratu Majapahit, didhaupake karo Kaliwungu.
Sawise
Ki
Ageng Pandanaran seda, sing ngganteni dadi adipati Semarang yaiku Prabu
Brawijaya V kanthi asma Ki Ageng Pandanaran II.
Nalika dadi adipati Semarang, bandhane akeh banget. Rakyate ditariki
pajek gedhe. Dheweke seneng pamer kasugihane. Dheweke ora cedhak karo
kawulane lan senenge
mung kumpul karo wong-wong sugih. Ki
Ageng Pandanaran II srakah lan mung mikirake kadonyan. Kahanan mau
keprungu dening Sunan Kalijaga.
Sawijining
dina, Sunan Kalijaga lunga menyang Kadipaten Semarang saprelu nguji Ki Ageng
Pandanaran II. Dheweke memba-memba dadi
tukang adol suket. Bakul suket iku kasil
nemoni Ki Ageng Pandanaran II.
“Gusti,
suket kula mbok ditumbas. Kalih kepeng
mawon,” tembunge bakul suket.
Ki
Ageng Pandanaran II banjur nggawa mlebu suket mau. Suket iku banjur dipriksa. Dheweke kaget, ing sajroning tumpukan suket
iku ana emase. Emas iku ora njur
dibalekake ing bakul suket.
“Iki,
suketmu dakregani sakkepeng wae merga ora apik.
Sesuk gawanen maneh suket sing apik, bakal taktuku rong kepeng,”
celathune Ki Ageng Pandanaran II.
Bakul
iku banjur lunga. Ing dina candhake,
bakul suket iku bali maneh ing kadipaten arep adol suket. Ki Ageng Pandanaran II nemoni bakul suket
iku. Sukete banjur digawa mlebu lan
dipriksa. Dheweke tambah kaget awit
ditemokake maneh prongkolan emas sing luwih gedhe tinimbang dina
sadurunge. Maneh, emas iku ora
dibalekake bakul suket. Ki Ageng banjur
nemoni bakul suket lan menehake dhuwit rong kepeng amarga sukete apik.
Dina
candhake maneh, Ki Ageng Pandanaran II tansah ngenteni tekane bakul suket
iku. Nanging, wis pirang-pirang dina
bakul suket iku ora teka.
Ing
sawijining dina, Ki Ageng Pandanaran II nganakake rame-rame ing kadipaten sing
mung oleh ditekani para panggedhe lan wong-wong sugih. Tanpa diundang, bakul suket iku ujug-ujug ana
ing satengahing pahargyan Ki Ageng Pandanaran II. Ki Ageng sing weruh banjur nesu lan nggeret
bakul suket iku menyang gedhogan kadipaten.
Ki Ageng mrentahake supaya dheweke anteng ing kono nganti pahargyan
rampung.
Sabubare
pahargyan, Ki Ageng Pandanaran II lunga menyang gedhogan marani bakul suket
mau. Sawise ditiliki, jebul wong mau wis
ora ana. Sing ana mung topine, mbok
menawa lali kegawa.
Esuke,
bakul suket iku mara ing kadipaten saperlu njupuk topine sing keri. Ki Ageng sing weruh banjur marani bakul suket
iku.
“Napa
kok ora tau ngirim suket maneh?” celathune Ki Ageng semu nesu.
“Ki
Ageng sampun asring duka lan srakah,” mangkono wangsulane bakul suket.
Ki
Ageng malah tansaya nesu. “Sapa kowe kok
wani-wanine celathu mangkono. Apa sing
kokduweni, sepira bandhamu? Yen bandhamu luwih akeh saka aku, aku bakal
ngabdi marang awakmu,” mangkono tantangane Ki Ageng Pandanaran II.
Tanpa
ngucap, bakul suket iku banjur njupuk pacul lan maculi lemah sangarepe Ki Ageng
Pandanaran II. Ora dinyana, paculan
lemah iku malih dadi emas. Dipacul
maneh, lemah iku dadi emas. Ki Ageng
gumun, kamitenggengen nyawang kadadean mangkono.
“Nyuwun
ngapunten Ki Sanak. Kula ngaku
lepat. Kula saguh dados pendherekipun
panjenengan. Sejatosipun Ki Sanak menika
sinten?” celathune Ki Ageng Pandanaran II.
“Aku
Syeh Malaya. Tumindakmu kuwi luput. Apa bener kowe arep mertobat?” ngendikane
Sunan Kalijaga.
“Kasinggihan
Kangjeng Sunan,” wangsulane Ki Ageng Pandanaran II.
“Yen
mangkono, aku ngajokna patang panjaluk.
Siji, tobata, dohi tumindak srakah, lan sebarna Islam ing tlatah
Semarang. Loro, aku kepengin krungu
ungele bedhug Semarang. Telu, zakata ing
para fakir miskin. Ping papate uripna
lampu ing omahku. Yen wis teteg atimu,
susulen aku ana ing Jabalkat. Lungaa
mengidul. Ing kono kowe bakal ngangsu
kawruh sing bener!” prentahe Sunan Kalijaga.
Sawise
ngendika mangkono, Sunan Kalijaga ngilang tanpa konangan. Ki Ageng Pandanaran II gela banget amarga wis
ngina salah sijining sunan. Dheweke
banjur gage marani garwane lan crita babagan kuwi. Ki Ageng Pandanaran II bakal lunga menyang
Jabalkat saprelu meguru ing Sunan Kalijaga.
“Yayi,
aku bakal lunga menyang Jabalkat. Yen
sliramu arep melu, aku marengake.
Nanging, aja nggawa bandha sithika kaya ngapa amarga wis ra guna,”
mankono welinge Ki Ageng Pandanaran II marang Nyai Ageng Kaliwungu.
Dina
candhake
ing wayah subuh, Ki Ageng pamit karo garwane. Dheweke arep lunga
menyang Jabalkat. Let pirang jangkah saka omah, Ki Ageng noleh.
Dheweke weruh Nyai Ageng Kaliwungu
ngetutake. Nyai Ageng mlaku karo nggawa
teken wuluh gadhing. Sajake Ki Ageng
ngerti yen teken mau wis diiseni raja brana, nanging dheweke ora arep
aruh-aruh.
Lakune
Ki Ageng wis rada adoh. Nyai Ageng
Kaliwungu ngetutake adoh ing buri.
Nalika iku, ngliwati sawijining alas.
Dumadakan, ana begal cacah telu nyegat Nyai Ageng Kaliwungu.
“Nyi
Sanak, wenehana bandhamu!” celathune salah sijine begal.
“Aku
ora nggawa apa-apa,” wangsulane Nyai Ageng, kamisosolen.
“Lha
kuwi, ing tekenmu. Aku ra percaya yen
ora ana isine.” Begal mau banjur ngebut
tekene Nyai Ageng. Teken mau banjur
dibanting. Pancene bener, saka teken mau
kasimpen raja brana. Raja barana mau
banjur dibadum. Begal loro isih durung
marem.
“Saiki,
pasrahake bandhamu liyane!” getake begal sing durung marem.
“Bandhaku
sing dakgawa mung iku. Coba jaluken raja
brana saka piyayi ing ngarep kae!”
tembunge Nyai Ageng karo nudingi Ki Ageng Pandanaran II.
Begal
cacah loro banjur gage marani Ki Ageng Pandanaran II.
“Heh,
Ki Sanak! Pasrahana bandhamu!” getake
begal.
“Aku
ora nggawa apa-apa Nak Mas,” wangsulane Ki Ageng sareh.
Begal
iku terus meksa Ki Ageng supaya masrahake bandhane. Ki Ageng sing pancen ora nggawa apa-apa mung
ngendika, “Wong kok ndhedhes-ndhedhes kaya wedhus! Wong salah kok tega.”
Dumadakan
salah sijining begal mau malih rupa dadi wedhus. Begal sijine kamisosolen, ngewel, banjur
malih rupa dadi ula. Kekarone badha wedi
lan mertobat marang Ki Ageng Pandhanaran.
Kekarone njaluk supaya didadekake pendhereke Ki Ageng. Ki Ageng ya mung nyarujuki banjur njenengi
muride mau kanthi jeneng Syeh Domba lan Syeh Kewel. Papan kakadean mau banjur ditengeri kanthi
jeneng Salatiga, saka tetembungan “wong salah kok tega”.
Syeh
Domba lan Syeh Kewel banjur ndherekake lakune Ki Ageng Pandanara II. Nyai Ageng Kaliwungu isih wae ngetutake
lakune Ki Ageng saka adoh. Banjur ora
sawetara suwe, sangking kesele, celathu marang Ki Ageng, “Ki, aku aja
ditinggal. Karo bojo mbok aja
lali!” Ki Ageng banjur mandheg, ngenteni
garwane. Ing tembene, papan mau banjur
dijenengi Boyolali, saka tetembungan “karo bojo mbok aja lali”.
Lakune
rombongan mau wis ora adoh saka Jabalkat.
Nalika ngliwati sawijining desa, Ki Ageng pethukan karo wong wedok kang
lagi nggendhong eblek.
“Yu,
njenengan nggawa apa?” pitakone Ki Ageng.
Amarga
wedi yen berase dijaluk, wong wedok iku banjur sumahur, “Sing tak gawa iki
wedhi.”
Let
adoh wong wedok iku krasa yen gawane saya abot.
Sawise ditiliki jebul berase sing digawa mau malih dadi pasir. Mula ing tembene wewengkon iku diwenehi
jeneng Wedi, saka tembung “wedhi” utawa pasir.
Lakune
rombongan tekan wewengkon Gribig. Ing
kono Ki Ageng ndeleng akeh banget wit jati kang isih enom. Mula, wewengkon mau dijenengi Jatinom.
Wengi
wis tumeka. Ki Ageng Pandhanaran II
tekan ing sawijining desa. Ing kono
dheweke nginep ing salah sijining omah warga desa. Dheweke kanthi jeneng samaran Slamet
diolehake nginep ing omah Bu Tasik. Bu
Tasik dodolan srabi. Slamet uga melu
ngrewangi Bu Tasik dodolan srabi.
Satekane Slamet, dodolane Bu Tasik laris banget. Nganti-nganti kayu sing kanggo gegenen
entek. Bu Tasik akon Slamet supaya golek
kayu, nanging Slamet ora gage mangkat.
Bu Tasik nesu-nesu. Slamet banjur
nglebokake tangane ing jero angklo.
Tanpa dinyana, Bu Tasik bisa nggawe srabi maneh. Bu Tasik banjur kaget lan takon sapa sabenere
Slamet kuwi. Sawise ngerti yen Slamet
kuwi Ki Ageng Pandanaran II, dheweke banjur njaluk ngapura lan njaluk supaya
bisa dadi pendhereke. Bu Tasik banjur
dadi muride Ki Ageng Pandanaran II kanthi jejuluk Nyi Tasik. Dheweke uga melu menyang Jabalkat kanggo
sinau agama.
Lakuning
Ki Ageng Pandanaran II dibacutake. Ora
suwe maneh dheweke tekan Jabalkat.
Sawetara wektu dheweke ngaso.
Kanggo ngilangi ngelake, dheweke tumuju ing omah sawijining among tani
sing nduwe wit timun.
“Pak,
badhe nyuwun timune kangge ngilangi ngelak,” panjaluke Ki Ageng marang among
tani.
“Ora
duwe! Timune durung awoh!” celathune amaong tani.
Ki
Ageng weruh yen timune wis awoh siji.
Mula papan mau dijenengi Jiwoh, saka tetembungan “siji awoh”. Ki Ageng banjur nerusake lakune.
Ora
suwe Ki Ageng Pandanaran II lan rombongan tekan Jabalkat. Satekane ing kana, dheweke ora nemokake Sunan
Kalijaga. Dheweke banjur yasa mesjid
kanthi direwangi para pendhereke. Sawise mesjid dadi, dheweke uga yasa genthong
wudhu cakrik naga sing diarani Genthong Sinaga.
Ki
Ageng Pandanaran arep sholat. Dheweke
ngersakake genthong mau diisi. Syeh
Domba lan Syeh Kewel diutus ngisi Genthong Sinaga, nanging sing ngagetake,
dheweke kudu ngisi genthong nganggo kranjang mataera. Syeh Domba lan Syeh Kewel sing wis tekad
matuhi dhawuhe Ki Ageng bacut mangkat golek banyu. Kekarone ngubengi Jabalkat kanggo golek tuk
utawa sendhang, nanging ora ketemu.
Kekarone banjur ngadhep Ki Ageng.
Nerangake yen dheweke ora nemokake banyu ing wewengkon kono. Kanthi kasektene Ki Ageng banjur nancepake tekene
ing lemah. Sawise dijabut, saka tipak
teken mau metu banyune lan dadi tuk.
Saka banyu iku, Syeh Domba lan Syeh Kewel bisa ngisi Genthong Sinaga.
Ora
let suwe, Sunan Kalijaga rawuh. Dheweke
nemoni Ki Ageng Pandanaran II. Awit
ndeleng tumemene Ki Ageng Pandanaran II, dheweke banjur menehi jejuluk Sunan
Padhang Aran. Sunan Kalijaga ngutus
supaya Sunan Padhang Aran nyebarake agama Islam ing tlatah kono. Sunan Kalijaga kaget weruh Syeh Domba lan
Syeh Kewel.
“Kaloro
muridmu iku sejatine kewan apa manungsa?” pitakone Sunan Kalijaga.
“Manungsa,
Sunan!” wangsulane Sunan Padhang Aran.
Dumadakan
Syeh Domba lan Syeh Kewel malih rupa asline.
Kekarone banjur ngonjukake matur nuwun banget marang Sunan
Kalijaga. Sunan Kalijaga banjur ngilang
tanpa ana sing ngerti.
Sunan
Padhang Aran netepi dhawuhe Sunan
Kalijaga. Dheweke ngedegake patembayatan
kanggo sinau agama Islam ing wewengkon kono.
Mula, wewengkon mau Bayat lan Sunan Padhang Aran asring sinebut Sunan
Tembayat utawa Sunan Bayat.
Mesjide
Sunan Bayat kawentar banget. Amarga
dumunung ing dhuwur gunung, yen wancine adan swarane keprungu tekan Demak. Wanci subuh, amarga ndhisiki weruh fajar
anggone adan nggasiki adane mesjid Demak.
Sultan Demak keganggu banget, mula ngirim utusan supaya Sunan Bayat
ngudhunake mesjide. Awit kasektene Sunan
Bayat, dheweke ndisiki utusan Demak mau.
Dheweke gage mindhah mesjid ing ngisor.
Sunan Bayat banjur mbalangake goloke saka ndhuwur gunung kanggo
nemtokake papan kanggo mindhah mesjid.
Kanthi sorbane, mesjid mau digeret tumuju ing papan tibane golok. Mula mesjid ing papan anyar mau diwenehi
jeneng Mesjid Golo. Golo uga ditegesi
Ga, siji, La, pitu. Dadi yen digabung
dadi pitulas sing tegese gunggunge roka’at solat, yaiku 17 roka’at.
Ing
sawijining dina, ana putri saka Bojonegoro sowan Sunan Bayat saprelu ngangsu
kawruh bab agama. Putri mau jenenge Rara
Sekar Alit. Dheweke ditampa kanthi apik. Suwene, Rara Sekar Alit didadekake garwane
Sunan Bayat sing kapindho, serakit karo Nyai Ageng Kaliwungu. Mula saka iku, dheweke dijenengi Nyai Ageng
Rakitan.
*Hasil wawancara dengan Juru Kunci Makam Sunan Bayat,
Klaten,
tanggal 9 April 2011.
Struktur
Naratif Cerita “Sunan
Tembayat”
I.
Prabu Brawijaya V
meninggalkan Kerajaan Majapahit setelah runtuh untuk tapa ngrame.
1.1 Prabu
Brawijaya V melakukan perjalanan ke arah barat (Semarang).
1.2 Prabu
Brawijaya V sampai di Kadipaten Semarang.
II.
Ki Ageng Pandanaran I
mengadakan sayembara untuk menyembuhkan putrinya, Kaliwungu.
2.1
Kaliwungu sakit, tidak dapat berjalan dan berbicara.
2.2
Ki Ageng Pandanaran I mengadakan sayembara.
2.3
Prabu Brawijaya V mengikuti sayembara dan memenangkannya.
2.4
Prabu Brawijaya V menikah dengan Kaliwungu
III.
Prabu Brawijaya V
menggantikan kedudukan Ki Ageng Pandanaran I untuk memerintah Kadipaten
Semarang.
3.1
Prabu Brawijaya V memerintah Kadipaten Semarang dengan gelar Ki Ageng
Pandanaran II.
3.2
Ki Ageng Pandanaran II memerintah dengan tamak dan gila harta.
IV.
Sunan Kalijaga menguji
Ki Ageng Pandanaran II.
4.1 Sunan
Kalijaga menyamar menjadi tukang rumput dan menjualnya kepada Ki Ageng
Pandanaran II.
4.1.1 Sunan Kalijaga
menyisipkan emas ke dalam tumpukan rumputnya.
4.2
Sunan Kalijaga menyelinap masuk ke pesta kadipaten namun ketahuan Ki Ageng
Pandanaran II dan diusir.
4.3
Sunan Kalijaga kembali ke kadipaten untuk mengambil topinya yang tertinggal.
4.3
Sunan Kalijaga ditantang kesaktiannya oleh Ki Ageng Pandanaran II.
4.3.1 Sunan Kalijaga
ditantang untuk beradu kekayaan.
4.3.2
Sunan Kalijaga mencangkul tanah dan menjadi emas kemudian diberikan kepada Ki
Ageng Pandanaran II.
4.4
Sunan Kalijaga menang dan Ki Ageng Pandanaran II mengakui kesalahannya kemudian
mohon ampun.
V.
Sunan Kalijaga menerima
Ki Ageng Pandanaran II sebagai murid dengan syarat.
5.1
Sunan Kalijaga memberikan syarat kepada Ki Ageng Pandanaran yaitu agar
meninggalkan harta duniawi, mendirikan masjid di Semarang, berzakat, dan
menghidupkan lampu di rumah Sunan Kalijaga.
5.2
Sunan Kalijaga memerintahkan Ki Ageng Pandanaran II menyusulnya ke Jabalkat.
VI.
Ki Ageng Pandanaran II
pergi ke selatan menuju Jabalkat untuk berguru kepada Sunan Kalijaga.
6.1
Ki Ageng Pandanaran II mengingatkan istrinya, Nyai Ageng Kaliwungu, untuk tidak
membawa harta dalam perjalananya.
6.2.
Nyai Ageng Kaliwungu menyimpan hartanya di dalam tongkatnya.
6.3 Nyai Ageng Kaliwungu mengikuti suaminya dari
belakang.
VII.
Nyai Ageng Kaliwungu
dicegat tiga begal.
7.1
Nyai Ageng Kaliwungu dipaksa menyerahkan hartanya yang tersimpan dalam tongkat.
7.2
Tiga orang begal berhasil mendapatkan harta yang dibawa Kaliwungu.
7.2.1 Dua orang begal
belum puas atas rampasannya.
7.2.2
Nyai Ageng Kaliwungu menyarankan kedua begal untuk merampas tongkat yang dibawa
Ki Ageng Pandanaran II.
7.3
Dua orang begal yang belum puas mencoba merampas tongkat Adipati Pandanaran II.
7.4
Ki Ageng Pandanaran II merubah kedua begal sehingga berkepala hewan.
7.4.1
Begal pertama berubah menjadi berkepala domba, Syeh Domba, dan yang satunya
berkepala ular, Syeh Kewel.
7.5
Kedua begal bertobat dan menjadi murid Ki Ageng Pandanaran II.
VIII.
Ki Ageng Pandanaran II
dan rombongan melanjutkan perjalanannya ke Jabalkat.
8.
Nyai Ageng Kaliwungu mengingatkan suaminya agar tidak meninggalkannya.
IX.
Ki Ageng Pandanaran II
berhenti sejenak di sebuah desa dekat Jabalkat.
9.1
Ki Ageng Pandanaran II dan rombongan istirahat sejenak.
9.2
Ki Ageng Pandanaran II bertemu dengan seorang wanita dari desa setempat yang
sedang menggendong beras.
9.2.1
Ki Ageng Pandanaran II menanyakan seberapa jauh lagi letak Jabalkat.
9.2.2
Ki Ageng Pandanaran II menanyakan apa yang digendong wanita tersebut.
9.3
Wanita itu menjawab bahwa yang dibawanya adalah wedhi “pasir” agar berasnya
tidak diminta.
X.
Ki Ageng Pandanaran II
dan rombongan singgah di Gribig dalam perjalannya menuju Jabalkat.
10.
Adipati Pandanaran II melihat banyak pohon jati yang masih muda.
XI.
Ki Ageng Pandanaran II
bermalam di rumah Bu Tasik, seorang penjual serabi, sebelum melanjutkan
perjalanan ke Jabalkat.
11.1
Ki Ageng Pandanaran mengaku bernama Slamet dan membatu Bu Tasik berjualan
serabi.
11.2
Slamet diperintah Bu Tasik mencari kayu bakar untuk tungku serabi.
11.3
Slamet tidak melaksanakan perintah Bu Tasik.
11.3.1 Slamet
memasukkan tangannya ke dalam tungku serabi.
11.3.2 Slamet dimarahi
Bu Tasik karena tidak melaksanakan perintah.
11.3.3 Slamet berhasil
memanaskan wajan serabi dengan tangannya.
11.4
Bu Tasik tahu kalau Slamet bukan orang sembarangan dan berikrar menjadi murid
Ki Ageng Pandanaran II.
XII.
Ki Ageng Pandanaran II
dan rombongan berhenti di rumah seorang petani sebelum melanjutkan perjalanan
ke Jabalkat karena haus.
12.1
Ki Ageng Pandanaran II bertanya kepada petani apakah mentimunnya sudah berbuah.
12.2
Petani menjawab bahwa mentimunnya belum berbuah padahal telah berbuah satu “siji woh” (Jiwoh).
XIII.
Ki Ageng Pandanaran II
dan rombongan sampai di Jabalkat.
13.1
Ki Ageng Pandanaran II setibanya di Jabalkat langsung membangun masjid.
XIV.
Syeh Domba dan Syeh
Kewel diutus Ki Ageng Pandanaran II mengisi genthong
untuk berwudhu menggunakan keranjang mataera.
14.1
Syeh Domba dan Syeh Kewel berkeliling Jabalkat untuk mencari sumber air.
14.2
Syeh Domba dan Syeh Kewel menghadap Ki Ageng Pandanaran II karena tidak
menemukan satupun sumber air.
14.3
Syeh Domba dan Syeh Kewel mendapatkan air dari tongkat Ki Ageng Pandanaran II
yang ditancapakan hingga muncul sumber air.
14.4
Syeh Domba dan Syeh Kewel berhasil mengisi genthong wudhu dengan keranjang mataera.
XV.
Sunan Kalijaga menemuai
Ki Ageng Pandanaran II dan murid-muridnya setelah perjalanannya menuju
Jabalkat.
15.1
Sunan Kalijaga mengembalikan kepala kedua murid Ki Ageng Pandanaran II ke wujud
semula.
15.2
Sunan Kalijaga memberikan gelar Adipati Pandanaran II dengan sebutan Sunan
Padang Aran.
XVI.
Sunan Kalijaga
memerintahkan Sunan Padang Aran berdakwah di daerah sekitar Jabalkat.
16.1
Sunan Padang Aran mendirikan pesantren (patembayatan) sehingga masyarakat
sekitar Jabalkat menjulukinya Sunan Tembayat.
16.2
Sunan Padang Aran mensyiarkan agama Islam di daerah Bayat.
XVII.
Sunan Padang Aran
memindahkan masjid ke bawah gunung karena jika adzan subuh dirasa terlalu pagi
dan terdengar hingga Demak.
17.1
Sunan Padang Aran melemparkan golok dari atas Jabalkat untuk menentukan tempat
masjid akan dipindahkan.
17.2
Sunan Padang Aran memindahkan masjid di tempat jatuhnya golok dengan cara
mengikatnya dengan sorbannya dan digeret.
XVIII.
Seorang Putri Bojonegoro
datang ke Bayat menemui Sunan Padang Aran untuk mencari ilmu agama.
18.1
Putri Bojonegoro menemui Sunan Padang Aran untuk belajar agama.
18.2
Putri Bojonegoro diperistri Sunan Padang Aran dan diberi sebutan Nyai Ageng
Rakitan.
Motif
Cerita “Sunan Tembayat”
1.
Motif Pengembaraan
Prabu Brawijaya V berjalan ke arah barat
(Semarang) untuk tapa ngrame.
Ki Ageng Pandanaran II dan Nyai Ageng
Kaliwungu berjalan ke selatan menuju Jabalkat untuk berguru kepasa Sunan
Kalijaga.
2.
Motif Perubahan Wujud
Tanah yang dicangkul Sunan Kalijaga
berubah menjadi emas.
Dua orang begal berubah wajah menjadi
domba, Syeh Domba, dan menjadi ular, Syeh Kewel.
Sunan Kalijaga mengembalikan wajah syeh
Domba dan Syeh Kewel seperti asalnya.
Beras yang digendong wanita desa setelah
berbohong kepada Ki Ageng Pandanaran berubah menjadi pasir.
3.
Motif Penipuan
Nyai Ageng Kaliwungu tetap membawa harta
di dalam tongkatnya agar tidak diketahui Ki Ageng Pandanaran II.
Wanita pembawa beras yang ditanyai Ki
Ageng Pandanaran II menjawab bahwa yang dibawanya adalah pasir, bukan beras.
4.
Motif Pernikahan
Prabu Brawijaya V menikah dengan
Kaliwungu setelah berhasil menyembuhkannya.
Sunan Tembayat menikahi Nyai Ageng
Rakitan (Putri Bojonegoro).
5.
Motif Pengenalan
Bu Tasik menyadari bahwa Slamet bukan
orang biasa. Dia tahu bahwa Slamet
adalah Ki Ageng Pandanaran II.
6.
Motif Perampasan
Tiga orang begal merampas harta yang ada
dalam tongkat Nyai Ageng Kaliwungu.
7.
Motif Pertaubatan
Ki Ageng Pandanaran II bertobat dan
hendak berguru pada Sunan Kalijaga.
Dua orang begal memohon ampun kepada Ki
Ageng Pandanaran II setelah wajahnya diubah menjadi domba dan ular. Keduanya kemudian diberi nama Syeh Domba dan
Syeh Kewel.
8.
Motif Dakwah
Sunan Tembayat mendapat tugas dari Sunan
Kalijaga untuk mensyiarkan Islam di daerah sekitar Jabalkat.
Asal Mula Kota Semarang
Matahari tepat berada
di atas kepala saat Pangeran Madepandan tiba di sebuah desa sunyi berhutan
lebat. Sepertinya ia sudah menemukan tempat yang tepat untuk menggantikan kota
Demak yang semakin ramai dan sempit. Apalagi di daerah itu terdapat sebuah
sumber air yang jernih juga beraneka ragam pohon buah-buahan.
Ia berniat membangun
pemukiman, juga sebuah pesantren sebagai sarana berdakwah di daerah ini. Tak
lupa, lahan perkebunan dan pertanian pun akan segera dibuka. Daerah itu
kemudian disebut Anyar.
Semakin lama, desa
Anyar semakin ramai. Wilayahnya semakin meluas hingga menarik perhatian Sultan
Demak. Sang Sultan merasa khawatir, kalau-kalau desa pimpinan Ki Gede
Madepandan itu akan membelot dari kesultanan Demak. Dikirimnya utusan untuk
menyelidiki. Ternyata keadaan di desa Anyar tetap adem ayem tentrem. Tak ada
tanda-tanda pemberontakan sedikitpun.
Hari berlalu dengan
cepat. Desa Anyar berkembang pesat. Banyak orang yang mesantren dan menetap di
tempat itu. Desapun berubah seperti sebuah kota.
Ki Ageng merasa dirinya
telah semakin tua. Rasanya, ini waktu yang tepat untuk menyerahkan kekuasaanya
pada putra tunggalnya, Raden Pandanarang dengan gelar Ki Ageng Pandanarang.
Suatu hari Ki Ageng
Pandanarang mengajak para pembantunya berjalan-jalan mengelilingi kota. Ia
ingin melihat langsung perkembangan masyarakat Anyar. Pandanganya tertumbuk
pada sebuah pohon asam. Ia merasa heran melihatnya. Pohon-pohon itu tumbuh di
tempat yang subur, namun tumbuhnya tidak saling berdekatan. Hal ini menjadi
inspirasi bagi Ki Ageng Pandanarang untuk mengubah nama kota Anyar menjadi
Semarang. Berasal dari kata aseme arang-arang.
Artinya, asam yang tumbuh jarang-jarang.
Setelah itu, Ki Ageng
Pandanarang pergi ke Demak untuk mendapatkan restu dari Sri Sultan. Sri Sultan
setuju dengan perubahan nama kota itu.Sri Sultan bahkan menjadikan Semarang
menjadi kota Kadipaten, dengan Ki Ageng Pandanarang sebagai Adipatinya.
Pembangunan terus
berjalan. Kini sang Adipati mulai membangun mesjid Agung di tengah kota
Semarang. Tepatnya di sebelah selatan alun-alun. Dilanjutkan dengan pembangunan
pendopo kadipaten. Dibangun pula pasar dan pelabuhan. Semarang kini dapat
berhubungan laut dengan daerah-daerah lain.perdaganagan pun maju dengan pesat.
Bahkan, tidak hanya kapal-kapal dari seluruh nusantara yang pernah berlanuh di
sana. Kapal Laksamana Cheng Ho dari Tiongkok pun sempat singgah beberapa saat.
Pertemuan singkat itu
membuahkan sebuah mesjid kecil yang dibangun khusus bagi orang-orang cina di
Semarang. Masjid itu masih ada sampai sekarang. Letaknya berdekatan dengan
sebuah klenteng bernama Sam Po Kong.
Kini usia Ki Ageng
Pandanarang semakin sepuh. Ia merasa sudah waktunya untuk mengundurkan diri
dari kusi Adipati. Maka diserahkanlah kursi kepemimpinan itu pada Timur,
putranya. Setelah dilantik, Timur mendapat gelar yang sama dengan ayahandanya,
Ki Ageng Pandanarang II.
v Sumber
: Buku Legenda Nusantara (Cerita
Rakyat Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali).Oleh : Yuliardi Soekardi
Struktur Naratif Assal Mula Kota Semarang
I.
Pangeran Madepandan
tiba di sebuah daerah sunyi berhutan lebat.
·
Menggantikan kota Demak
yang semakin ramai dan sempit
·
Membangun pemukiman,
juga sebuah pesantren sebagai sarana berdakwah
·
Membuka lahan
perkebunan dan pertanian
II.
Menamakan desa Anyar
III.
Dikrim utusan ke desa
Anyar untuk menyelidiki keadaan.
IV.
Ki Ageng merasa dirinya
sudah semakin tua
·
Dirinya menyerahkan
jabatan kepada putra tunggalnya, Raden Pandanarang
V.
Ki Ageng Pandanarang
mengajak pembantunya jalan-jalan mengelilingi kota.
·
Melihat langsung
perkembangan masyrakat Anyar.
VI.
Ki Ageng Pandanarang
mengubah nama kota Anyar menjadi Semarang.
VII.
Ki Ageng Pandanarang
pergi ke Demak
·
Mencari restu dari Sri
Sultan agar disetujui dengan perubahan nama kota.
·
Menjadikan kota
Semarang sebagai kota Kadipaten
·
Ki Ageng Pandanarang
menjadi Adipati
VIII.
Pembangunan terus
berjalan.
·
Membangun mesjid di
tengah kota Semarang, sebelah selatan alun-alun
·
Membangun pendopo
kadipaten
·
Membangun pasar dan
pelabuhan
IX.
Kapal Laksamana Cheng
Ho sempat berlabuh beberapa saat.
·
Pertemuan membuahkan
hasil sebuah masjid kecil yang dibangun khusus untuk orang cina
X.
Usia Ki Ageng
Pandanarang semakin sepuh
·
Ki Ageng Pandanarang
mengundurkan diri
·
Kursi kepemimpinan
diserahkan kepada putranya, Timur
·
Putranya mendapat gelar
Ki Ageng Pandanarang II.
1.
Motif pengembaraan
Pangeran
Madepandan tiba di sebuah daerah sunyi berhutan lebat.
2.
Motif dakwah
Ia
berniat membangun pemukiman, juga sebuah pesantren sebagai sarana berdakwah di
daerah ini.
3.
Motif Penamaan Daerah
Daerah
itu kemudian disebut Anyar.
Hal
ini menjadi inspirasi bagi Ki Ageng Pandanarang untuk mengubah nama kota Anyar
menjadi Semarang.
4.
Motif Penyerahan
Kekuasaan
Ki Ageng merasa dirinya
telah semakin tua. Rasanya, ini waktu yang tepat untuk menyerahkan kekuasaanya
pada putra tunggalnya, Raden Pandanarang dengan gelar Ki Ageng Pandanarang.
Saya agak janggal jika Pandanaran II adalah Brawijaya V.
BalasHapusAlasan saya :
- Brawijaya V wafat pada tahun 1478 M.
- Pandanaran II diangkat menjadi Bupati Semarang ke 2 oleh Sultan Hadiwijaya pada tahun 1547 M.
Nama asli Pandanaran I adalah Mode Pandan, bukan Made Pandan.
Mode Pandan/Pandanaran I adalah putra dari Pati Unus, sedangkan Made Pandan adalah putra dari Ki Ageng Wonosobo.
Mohon maaf bila ternyata pendapat saya tersebut keliru.