Senin, 05 Maret 2012

Suluk ini dihadiahkan untuk mengenang perjalanan Pangeran Walangsungsang putera Prabu Siliwangi yang kemudian bergelar Mbah Kuwu Cirebon Girang

1
Segala tuju asalnya dari Impian
Begitupula ku impikan Jeng Muhammad
Mengajarkan agama Islam
Dan sungguh aku terbuai dalam impian
Ketika terbangun Islam hanyalah berupa mutiara didasar laut
Maka aku pun terhanyut dalam lamunan kerinduan 2
Tak pernah selain Muhammad,
Nurnya cahaya semesta
Ku kira Betara
Atau ini hanya fata-morgana.
Gusti yang widi
Penguasa Muhammad yang diridhoi
Kalaulah Islam hakiki
Jadikanlah aku abdi.
Kemana harus kucari kebenaran sejati?

3
Akupun tanggalkan pakaian kebesaran,
Hingga telanjanglah aku dari segala kemewahan
Tapi sungguh itu belumlah cukup untuk menemukan
Karena aku harus mencari lautan yang menyimpan kekayaan
Dimanakah letak lautan hakiki?
akupun berjalan mencari guru sejati
Yang menunjukan lautan dan mengajar menyelami diri
4
Bayang-banyang cadar kemolekan
Membawa diri tertuju jalan kerinduan
Rindu adalah asal dari cinta
Maka inilah asmara
Kepergian moga laksana isra
Dari satu sungai menuju samudra
Atau dari pulau ke benua
Tekad adalah baja
Bila hanya diam membisu
Lalu hidup tak ada tuju
Maka semua kan berlalu
beku tetap sembilu
Biar ku tinggalkan istana…
5
Sampailah aku di gunung maarapi
Tempat Resi Danuarsih
Berujarlah sang Resi:
“Anakku,
Islam itu ada tapi tiada
Ada karena mimpimu adalah dari-Nya
Tiada karena kau harus menemukan adanya”
“Anakku,
Diamlah di gunung maarapi
Dan makanlah buah-buahan untuk menguatkan
Dan ku serahkan padamu ladang untuk bercocok tanam
Cangkul, tanami dan pergauli dengan sempurna”
6
Di gunung Marapi terhenti kaki
Memusatkan ruh indrawi pada satu Dzati
Terdiam membisu dalam hening malam
Menyatu pikiran dalam bayangan wajah Tuhan
Kemewahan dunia akan Morgana
bila kita melihat Djalal-Nya
Hanya satu Dzat yang hakiki
saat cinta-Nya menyapa diri
Naps ini moga bukan api
Pabila api ambilah hanya pelita
pelita akan tetap membara
Inilah yang dimaksud Mutmainah
Gunung Marapi
Menjadi paku bumi
Dan aku terpaku
Di dalam samadi
Diamnya naps adalah Ibadah
Semoga dapat Iradah
7
Aku berujar kepada Sang Resi:
Bapak Resi, kini telah bertambah kekuatanku
Telah kau berikan pusaka sebagai pendamping di perjalanan
Maka hamba mohon diri untuk mencari
8
Sampailah aku di gunung (se)jati
Sumber dari kayu Jati
Lalu ku daki inci demi inci
Terjatuh, terbangun, terjatuh, terbangun
karena tekad sampailah dipuncak gunung
Lalu terlihat sebuah gua dipuncaknya
Dan ku dapatkan seberkas cahaya disana
9
Berkatalah cahaya:
“Aku adalah Nur Jati
Aku adalah guru sejati,
Siapa yang mengenal aku maka lapang jalannya
Engkau telah datang ketempat yang benar
Marilah akan ku tunjukan jalan menuju Islam
Untuk dapat menjadi Islam
Harus mengetahui siapa Tuhan dan siapa Muhammad
La Illaha Illallah, Muhammadur Rasullullah
Pertama mengenai Tuhanmu Allah yang menciptakan jagat raya serta isinya
Kedua mengenai Muhammad sebagai utusan yang menjadi panutan
Dan keduanya telah setunggal dalam rasa
Nur Muhammad hakekatnya adalah cahaya semesta;
Karena mulanya semesta itu gelap, lalu diciptalah cahaya
Begitupula Nabi Muhammad, ia adalah cahayanya semesta
Karena kedatangannya jaman kegelapan berganti benderang
Dirimupun demikian,
kalau kau sudah dapat menemukan Muhammad dalam dirimu,
maka akan nampaklah Nurbuatmu
dan engkau akan menjadi Insan Kamil,
sempurna karena engkau telah menemukan Muhammad,
Siapa yang mengenal Muhammad maka mengenal Tuhannya.
Kamu dan Tuhan telah setunggal dalam rasa.
Mengenai mutiara yang kau cari,
Hendaklah kau selami kedalam lautan hati.

Kasampurnan Ala Serat Pangracutan

Serat Kekiyasanning Pangracutan adalah salah satu buah karya sastra Sultan Agung Raja Mataram antara (1613-1645). Serat Kekiyasaning Pangracutan ini juga menjadi sumber penulisan Serat Wirid Hidayat Jati yang dikarang oleh R.Ng Ronggowarsito karena ada beberapa bab yang terdapat pada Serat kekiyasanning Pangrautan terdapat pula pada Serat Wirid Hidayat Jati. Pada manuskrip huruf Jawa Serat kekiyasanning Pangracutan tersebut telah ditulis kembali pada tahun shaka 1857 / 1935 masehi.

ILMU KESAMPURNAAN

Ini adalah keterangan Serat tentang Pangracutan yang telah disusun Baginda Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma Panatagama di Mataram atas perkenan beliau membicarakan dan temu nalar dalam hal ilmu yang sangat rahasia, untuk mendapatkan kepastian dan kejelasan dengan harapan dengan para ahli ilmu kasampurnaan.


Adapun mereka yang diundang dalam temu nalar itu oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma Panatagama adalah:
1. Panembahan Purbaya
2. Panembahan Juminah
3. Panembahan Ratu Pekik di Surabaya
4. Panembahan Juru Kithing
5. Pangeran Kadilangu
6. Pangeran Kudus
7. Pangeran Tembayat
8. Pangeran Kajuran
9. Pangeran Wangga
10. Kyai Pengulu Ahmad Kategan

1. Berbagai Kejadian Pada Jenazah
Adapun yang menjadi pembicaraan, beliau menanyakan apa yang telah terjadi setelah manusia itu meninggal dunia, ternyata mengalami bermacam-macam kejadian pada jenazahnya.

1) Ada yang langsung membusuk
2) Ada pula yang jenazahnya utuh
3) Ada yang tidak berbentuk lagi, hilang bentuk jenazah
4) Ada pula yang meleleh menjadi cair
5) Ada yang menjadi mustika (permata)
6) Istimewanya ada yang menjadi hantu
7) Bahkan ada yang menjelma menjadi hewan

Masih banyak pula kejadiannya. Lalu bagaimana hal itu dapat terjadi dan apa yang menjadi penyebabnya? Adapun menurut para pakar setelah mereka bersepakat disimpulkan suatu pendapat sebagai berikut : Sepakat dengan pendapat Sultan Agung bahwa manusia itu setelah meninggal keadaan jenazahnya berbeda-beda itu adalah merupakan suatu tanda karena ada kelainan atau salah kejadian (ketidak-wajaran). Pada waktu masih hidup berbuat dosa, setelah menjadi mayat pun akan mengalami sesuatu masuk ke dalam alam penasaran. Karena pada waktu pada saat memasuki proses sakaratul maut, hatinya menjadi ragu, takut, kurang kuat tekadnya, tidak dapat memusatkan pikiran untuk menghadapi maut. Maka ada berbagai bab dalam mempelajari ilmu ma’rifat, seperti berikut ini:

1. Pada waktu masih hidupnya, siapapun yang senang tenggelam dalam hal kekayaan dan kemewahan, tidak mengenal tapa brata, setelah mencapai akhir hayatnya jenazahnya akan menjadi busuk dan kemudian menjadi tanah liat. Sukmanya melayang gentayangan dan dapat diumpamakan bagaikan rama-rama tanpa mata sebaliknya. Namun bila pada saat hidupnya gemar mensucikan diri lahir maupun batin, hal tersebut tidak akan terjadi.

2. Pada waktu masih hidup bagi mereka yang kuat pusaka (gemar mengkoleksi pusaka) tanpa mengenal batas waktunya, bila tiba saat kematiannya maka mayatnya akan teronggok menjadi batu dan membuat tanah perkuburannya itu menjadi sanggar. Adapun rohnya akan menjadi danyang semoro bumi. Walaupun begitu, bila semasa hidupnya mempunyai sifat nrima atau sabar artinya makan tidur tidak bermewah-mewah cukup seadanya dengan perasaan tulus lahir batin kemungkinan tidaklah mengalami kejadian seperti di atas.

3. Pada masa hidupnya seseorang yang menjalani lampah (lelaku) tidak tidur tanpa ada batas waktu tertentu (begadang), pada umumnya disaat kematiannya kelak maka jenazahnya akan keluar dari liang lahatnya karena terkena pengaruh dari berbagai hantu yang menakutkan. Adapun sukmanya menitis pada hewan. Namun bila pada masa hidupnya disertai sifat rela, bila meninggal tidak akan keliru jalannya.

4. Siapapun yang tidak bisa mencegah nafsu syahwat atau hubungan seks tanpa mengenal waktu, pada saat kematiannya kelak jenazahnya akan lenyap melayang masuk ke dalam alamnya jin, setan, dan roh halus lainnya. Sukmanya sering menjelma menjadi semacam benalu atau menempel pada orang seperti menjadi gondoruwo dan sebagainya yang masih senang mengganggu wanita. walaupun begitu bila mada masa hidupnya disertakan sifat jujur tidak berbuat mesum, tidak berzinah, bermain seks dengan wanita yang bukan haknya, semuanya itu tidak akan terjadi.

5. Pada waktu masih hidup selalu sabar dan tawakal dapat menahan hawa nafsu berani dalam lampah (lelaku) dan menjalani mati dalamnya hidup (sering bertafakur/semedi), misalnya mengharapkan janganlah sampai berbudi rendah, dengan tutur kata sopan, sabar dan sederhana, semuanya tidak belebihan dan haruslah tahu tempat situasi dan kondisinya, yang demikian itu pada umumnya bila tiba akhir hayatnya maka keadaan jenazahnya akan mendapatkan kemuliaan sempurna dalam keadaannya yang hakiki. Kembali menyatu dengan zat yang Maha Agung, yang dapat menghukum dapat menciptakan apa saja ada bila menghendaki datang menurut kemauannya. Apalagi bila disertakan sifat welas asih, akan abadilah menyatunya Kawulo Gusti. Oleh karenanya bagi orang yang ingin mempelajari ilmu ma’arifat haruslah dapat menjalani: Iman, Tauhid dan Ma’rifat.

2. Berbagai Jenis Kematian

Ketika itu Baginda Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma merasa senang atas segala pembicaraan dan pendapat yang telah disampaikan tadi. Kemudian beliau melanjutkan pembicaraan lagi tentang berbagai jenis kematian yakni

- Mati Kisas
- Mati kias
- Mati sahid
- Mati salih
- Mati tewas
- Mati apes

- Mati Kisas, adalah jenis kematian karena hukuman mati. Akibat dari perbuatan
orang itu karena membunuh, kemudian dijatuhi hukuman karena keputusan
pengadilan atas wewenang raja atau pemerintah.
- Mati Kias, adalah jenis kematian yang diakibatkan suatu perbuatan misalnya:
nafas atau mati melahirkan.
- Mati Syahid, adalah suatu jenis kematian karena gugur dalam perang, dibajak,
dirampok, disamun.
- Mati Salih, adalah suatu jenis kematian karena kelaparan, bunuh diri karena
mendapat aib atau sangat bersedih.
- Mati Tiwas, adalah suatu jenis kematian karena tenggelam, disambar petir, tertimpa
pohon, jatuh memanjat pohon, dan sebagainya.
- Mati Apes, adalah suatu kematian karena ambah-ambahan, epidemi karena santet atau
tenung dari orang lain. Yang demikian itu benar-benar tidak dapat sampai pada
kematian yang sempurna atau kesedan jati bahkan dekat sekali pada
alam penasaran.

Bertanya Sultan Agung: “Sebab-sebab kematian yang mengakibatkan kejadiannya itu apakah tidak ada perbedaannya antara yang berilmu dengan yang bodoh? Andaikan yang menerima akibat dari kematian seorang pakar ilmu mistik, mengapa tidak dapat mencabut seketika itu juga?”

Dijawab oleh yang menghadap : “Yang begitu itu mungkin disebabkan karena terkejut menghadapi hal-hal yang tiba-tiba. Maka tidak teringat lagi dengan ilmu yang diyakininya dalam batin yang dirasakan hanyalah penderitaan dan rasa sakit saja. Andaikan dia mengingat keyakinan ilmunya, mungkin akan kacau dalam melaksanakannya tetapi kalau selalu ingat petunjuk-petunjuk dari gurunya maka kemungkinan besar dapat mencabut seketika itu juga.

Setelah mendengar jawaban itu Sultan Agung merasa masih kurang puas dan bertanya, sebelum seseorang terkena bencana apakah tidak ada suatu firasat dalam batin dan pikiran, kok tidak terasa kalau hanya begitu saja beliau kurang sependapat oleh karenanya beliau mengharapkan untuk dimusyawarahkan sampai tuntas dan mendapatkan suatu pendapat yang lebih masuk akal.

Kyai Ahmad Katengan menghaturkan sembah: “Sabda paduka adalah benar, karena sebenarnya semua itu masih belum tentu, hanyalah Kangjeng Susuhunan Kalijogo sendiri yang dapat melaksanakan ngracut jasad seketika, tidak ada yang dapat menyamainya."

3. Wedaran Angracut Jasad

Adapun Pangracutan Jasad yang dipergunakan Kangjeng Susuhunan Kalijogo, penjelasannya telah diwasiatkan pada anak cucu seperti ini caranya:
“Badan jasmaniku telah suci, kubawa dalam keadaan nyata, tidak diakibatkan kematian, dapat mulai sempurna hidup abadi selamanya, di dunia aku hidup, sampai di alam nyata (akherat) aku juga hidup, dari kodrat iradatku, jadi apa yang kuciptakan, yang kuinginkan ada, dan datang yang kukehendaki”.

4. Wedaran Menghancurkan Jasad

Adapun pesan beliau Kangjeng Susuhunan di Kalijogo sebagai berikut : “Siapapun yang menginginkan dapat menghancurkan tubuh seketika atau terjadinya mukjizat seperti para Nabi, mendatangkan keramat seperti para Wali, mendatangkan ma’unah seperti para Mukmin Khas, dengan cara menjalani tapa brata seperti pesan dari Kangjeng Susuhunan di Ampel Denta adalah
- Menahan Hawa Nafsu, selama seribu hari siang dan malamnya sekalian.
- Menahan syahwat (seks), selama seratus hari siang dan malam
- Tidak berbicara, artinya membisu, dalam empat puluh hari siang dan malam
- Puasa padam api (patigeni), tujuh hari tujuh malam
- Jaga, (tidak tidur) lamanya tiga hari tiga malam
- Mati raga, tidak bergerak lamanya sehari semalam.

Adapun pembagian waktunya dalam lampah seribu hari seribu malam caranya :

1. Manahan hawa nafsu, bila telah mendapat 900 hari lalu teruskan dengan
2. Menahan syahwat, bila telah mencapai 60 hari, lalu dirangkap juga dengan
3. Membisu tanpa berpuasa selama 40 hari, lalu lanjutkan dengan
4. Puasa pati selama 7 hari tujuh malam, lalu dilanjutkan dengan
5. Jaga, selama tiga hari tiga malam, lanjutkan dengan
6. Pati raga selama sehari semalam.

Adapun caranya Pati Raga tangan bersidakep kaki membujur dan menutup sembilan lobang tubuh (babagan howo songo), tidak bergerak-gerak, menahan tidak berdehem, batuk, tidak meludah, tidak berak, tidak kencing selama sehari semalam tersebut. Yang bergerak tinggallah kedipnya mata, tarikan nafas, anapas, tanapas, nupus, artinya tinggal keluar masuknya nafas, yang tenang jangan sampai bersengal-sengal campur baur.

Perlunya Pati Raga

Baginda Sultan Agung bertanya : “Apakah manfaatnya Pati Raga itu ?”
Kyai Penghulu Ahmad Kategan menjawab : “Adapun perlunya pati raga itu, sebagai sarana melatih kenyataan, supaya dapat mengetahui pisah dan kumpulnya Kawula Gusti, bagi para pakar ilmu kebatinan pada jaman kuno dulu dinamakan Meraga Sukma, artinya berbadan sukma, oleh karenanya dapat mendakatkan yang jauh, apa yang dicipta jadi, mengadakan apapun yang dikehendaki, mendatangkan sekehendaknya, semuanya itu dapat dijadikan suatu sarana pada awal akhir. Bila dipergunakan ketika masih hidup di Dunia ada manfaatnya, begitu juga dipergunakan kelak bila telah sampai pada sakaratul maut."

Belajar dari Sastra Jendra Hayuningrat

Bagi orang yang belajar kawruh Kejawen, tentu sudah tidak asing lagi dengan kata-kata Sastra Jendra Hayuningrat. Meskipun banyak yang sudah mendengar kata-kata tersebut, tetapi jarang ada yang mengetahui apa makna sebenarnya. Menurut Ronggo Warsito, sastra jendra hayuningrat adalah jalan atau cara untuk mencapai kesempurnaan hidup. Apabila semua orang di dunia ini melakukannya, maka bumi akan sejahtera.


Nama lain dari sastra jendra hayuningrat adalah sastra cetha yang berarti sastra tanpa papan dan tanpa tulis. Walaupun tanpa papan dan tulis, tetapi maknanya sangat terang dan bisa digunakan sebagai serat paugeraning gesang.


Ada 7 macam tahapan bertapa yang harus dilalui untuk mencapai hal itu.

1. Tapa Jasad: Tapa jasad adalah mengendalikan atau menghentikan gerak tubuh dan gerak fisik. Lakunya tidak dendam dan sakit hati. Semua yang terjadi pada diri kita diterima dengan legowo dan tabah.

2. Tapa Budhi: Tapa Budhi memiliki arti menghilangkan segala perbuatan diri yang hina, seperti halnya tidak jujur kepada orang lain.

3. Tapa Hawa Nafsu: Tapa Hawa Nafsu adalah mengendalikan nafsu atau sifat angkara murka yang muncul dari diri pribadi kita. Lakunya adalah senantiasa sabar dan berusaha mensucikan diri,mudah memberi maaf dan taat pada GUSTI ALLAH kang moho suci.

4. Tapa Cipta: Tapa Cipta berarti Cipta/otak kita diam dan memperhatikan perasaan secara sungguh-sungguh atau dalam bahasa Jawanya ngesti surasaning raos ati. Berusaha untuk menuju heneng-meneng-khusyuk-tumakninah, sehingga tidak mudah diombang-ambingkan siapapun dan selalu heningatau waspada agar senantiasa mampu memusatkan pikiran pada GUSTI ALLAH semata.

5. Tapa Sukma: Dalam tahapan ini kita terfokus pada ketenangan jiwa. Lakunya adalah ikhlas dan memperluas rasa kedermawanan dengan senantiasa eling pada fakir miskin dan memberikan sedekah secara ikhlas tanpa pamrih.

6. Tapa Cahya: Ini merupakan tahapan tapa yang lebih dalam lagi. Prinsipnya tapa pada tataran ini adalah senantiasa eling, awas dan waspada sehingga kita akan menjadi orang yang waskitha (tahu apa yang bakal terjadi).

Tentu saja semua ilmu yang kita dapatkan itu bukan dari diri kita pribadi, melainkan dari GUSTI ALLAH. Semua ilmu tersebut merupakan 'titipan', sama dengan nyawa kita yang sewaktu-waktu bisa diambil GUSTI ALLAH sebagai si EMPUNYA dari segalanya. Jadi tidak seharusnya kita merasa sombong dengan ilmu yang sudah dititipkan GUSTI ALLAH kepada kita.

Minggu, 04 Maret 2012

PENGGURON PEGAJAHAN THAREQAT AGAMA ISLAM CIREBON oleh Elang Bagus Chandra Kusumaningrat


  1. A.   Sejarah Pengguron
Misi  Agama Islam Awal mula di tanah Jawa khusunya  bagian barat pada abad Ke 13 tepatnya di daerah Karawang Terdapat Pengguron Agama Islam pertama yang didirikan seorang Syekh yang
bernama Syekh Quro Karawang. Dan Misi Agama Islam di Cirebon oleh Syekh Dzatuk Khafi ( Syekh Nurjati ) bertempat di Gunung Jati . Mereka datang dari tanah Mekkah al mukaromah dan Badgdad bertujuan untuk Berdagang sekaligus menyebarkan Agama Islam yang sebelumnya di tanah jawa dimayoritaskan beragama Hindu dan budha. Adapun di tanah Jawa bagian tengah dan Timur visi dan misi Penyebaran Agama Islam di bawa oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Ampel.
Pengguron atau disebut juga sebagai Perguruan Agama Islam ini dalam berjalannya waktu berkembang menjadi Pengguron Thareqat dan Pesantren. Dan Pesantren  berkembang menjadi madrasah atau universitas islam.

Pengguron-Pengguron Cirebon telah Bershistoriscet/mempunyai Hak sejarah sekitar 600 tahun. Sekitar tahun 1420M datanglah serombongan pedagang dari Baghdad yang dipimpin Syekh Nurjati.  Oleh Ki Gedeng Tapa , Syekh Nurjati diijinkan menetap dan tinggal di kampung Pasambangan yang terletak di Gunung Jati. Dia berdakwah, dan ajaran Islam berkembang begitu cepat. Itulah awal mula Gunung Jati sebagai Pangguron Islam. Muridnya diantaranya adalah Raden Walangsungsang dan adiknya, Ratu Rarasantang, serta istrinya Nyi Endang Geulis. Keduanya adalah putra Raja Pajajaran, Raden Pamanarasa (Prabu Siliwangi) dengan Nyi Mas Subanglarang putri Ki Jumajan Jati, Syahbandar Pelabuhan Muara Jati. Karena pengaruhnya yang sangat besar bagi masyarakat sekitar, Syekh Idlofi juga disebut Syekh Dzatul Kahfi (“sesepuh yang mendiami gua”) atau Syekh Nur Jati (“sesepuh yang menyinari atau menyiarkan Gunung Jati”).
Setelah dianggap mumpuni, Raden Walangsungsang bersama adik dan istrinya diperintahkan oleh Syekh Nurjati agar membuka hutan untuk dijadikan pedukuhan yang lokasinya di selatan Gunung Jati Setelah selesai babat alas, pedukuhan itu disebut Tegal Alang-Alang. Raden Walangsungsang sebagai penerus pengguron islam diangkat sebagai Kepala Dukuh dengan gelar Ki Kuwu dan dijuluki Pangeran Cakrabuana dan Atas perintah Syekh Nurjati, Cakrabuana dan Rarasantang pergi ibadah haji, sementara istrinya yang lagi mengandung tetap di Caruban. Pedukuhan kemudian diserahkan ke Ki Pengalang-Alang (Ki danusela). Di Mekkah, keduanya bermukim beberapa bulan di rumah Syekh Bayanillah. Rarasantang kemudian disunting oleh seorang pembesar Kota Isma’iliyah Mesir bernama Sulton Syarif Abdillah bin Nurul Alim dari suku Bani Hasyim. Rarasantang kemudian berganti nama Syarifah Muda’im. Dari perkawinan ini lahirlah Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah.
Pengguron di teruskan oleh Raden Walangsungsang di Pengguron pasambangan Gunung sembung dan yang pada saat itu juga menjabat sebagai Ki Kuwu cerbon dan di berikan gelar Haji Abdul imam Pangeran Cakrabuwana. Murid-murid beliau sangatlah banyak di dukung dengan status perekonomiannya sangatlah Pesat. Pedukuhan Caruban yang berkembang pesat kemudian diganti namanya menjadi Nagari Caruban Larang. Negeri ini diresmikan oleh Prabu Siliwangi -meskipun secara prinsip Raja Pajajaran ini kurang berkenan atas tindakan anaknya tersebut dan Pangeran Cakrabuana diberinya gelar “Sri Manggana“. Pangeran Cakrabuana lalu membangun Istana Pakungwati, sesuai nama puterinya yang lahir ketika dia masih di Mekkah. Untuk kunjungan tetapnya ke Syekh Nurjati, Pangeran Cakrabuana Ki Kuwu Cerbon membangun tempat peristirahatan yang disebut pertamanan Gunung Sembung. Lokasinya berada di sebelah barat Gunung Jati, jaraknya sekitar 200m. Pada akhirnya pertamanan ini menjadi pemakaman pendirinya berikut keturunannya. Pangeran Cakrabuana kemudian menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Nyi Ratu Pakungwati. Tahun 1479M, Cakrabuana yang sudah berusia lanjut digantikan oleh keponakan sekaligus menantunya yaitu Syaikh Syarif Hidayatullah dinobatkan menjadi Panetep Agama dan Kepala Negara, Syaikh Syarief Hidayatullah Bergelar Susuhunan Jati Cirebon menjadi kepala negara sekaligus menjadi penetap Panata Agama di Cirebon, dan bergelar:" Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panata Agama Awliyai Allah Kutubid Khalifatur Rasulullah SAW, dan pada saat inilah Keraton/kesultanan cirebon mengalami Kemajuan yang sangat pesat dalam Pemerintahan yang berbasiz Agama Islam.dan seterusnya dilanjutkan oleh panembahan.
Pada era panembahan ratu Girilaya II Wafat Kesultanan Cirebon terpecah terbagi 2 yang di teruskan oleh ke dua putranya yaitu Sultan Syamsudin Kesepuhan dan Sultan Badrudin kanoman . Sultan badrudin Kanoman mempunyai Putra  Sulung/Putra mahkota Pangeran Raja Adipati Kaprabon yang kalungguihanya adalah menjadi sultan untuk pengganti ayahandanya di keraton kanoman tetapi Pangeran Raja adipati kaprabon Tidak bersedia diangkat sebagai sultan di kanoman ,beliau lebih tertarik mendalami Agama Islam,Khususnya Thareqat Agama Islam.Beliau ingin Meneruskan wasiat Sunan Gunung Jati dalam penyebaran Agama Islam.
lalu beliau berinisiatif Mendirikan untuk Meneruskan Pengguron yang pada masa sebelumnya Pengguron Berada didalam Keraton dan dengan persetujuan Ayahandanya dan diberilah sebidang tanah di sebelah timur alun-alun keraton kanoman , Maka didirikanlah sebuah bangunan sebagai pusat Perguruan(pengguron) Thareqat Agama Islam . dan untuk seterusnya di sebut dengan kaprabonan( Mengambil nama dari Pangeran Raja Adipati kaprabon).Pengguron Agama Islam berkembang menjadi 2 yaitu Pengguron Thareqat (khusus) dan Pesantren(umum)
Pengguron Thareqat Agama islam Pegajahan Cirebon adalah Sebagai Penerus dari Pengguron Kaprabonan yang pada masa Kanjeng Pangeran Syekh Muhammad Nurullah Akbarudin(P.M. Arifudin Purbaingrat) Pengguron di pindah dan berdomisili  di Pegajahan Cirebon pada tahun 1949M.dan Pengguron Thareqat Agama Islam Pegajahan Cirebon Sekarang di teruskan Oleh Putra dari Kanjeng Pangeran Syekh Muhammad Nurullah Akbarudin (P.M. Arifudin Purbaingrat ) yaitu Kanjeng Pangeran Syekh Haji Muhammad Nurullah Makmurudin( P.M Nurbuwat Purbaningrat ).

Pengguron tergolong dalam ahlus sunah waljamaah,  beramaliah di atas landasan Al-Qur’ an dan sunah rasul  serta dalam ruang lingkup rukun islam ada lima dan rukun iman ada enam , serta “Imtitsalut” awamir wa ijjtinabuna’awali/ mematuhi  perintah dan  larangan-larangan syareat  rasul, menunju kepada  kebahagian  lahir-batin. Firman tuhan dalam Al-Qur’an adalah:  robbana atina fiddunya khasanah kenikmatan wafil akhirati khasanah  wakhina adzabannar yang artinya ya allah berilah kami kenikmatan hidup di dunia dan akhirat dan hindarkanlah kami dari siksa api neraka. Dan Seyogyanya Pula kita berpegangan Kepada Orang-Orang bijak Terdahulu yakni: Watamassak bil Qur’anil ‘aduim wa sunnah rosulillahi karim tahtandu wa tatsbudu’ala sirotillahil mustakim yang artinya Berpeganglah anda kepada Al-Qur’an yang agung dan Sunnah Rasulullah yang mulia Niscaya akan di tunjukan dan di kokohkanatas jalan yang lurus. Disamping itu ahli Pengguron Pegajahan Cirebon  Khususnya Mengamalkan Thareqat Syatrariyah untuk menuju pembangunan manusia seutuhnya dalam derajat insanul kamil atau manusia sempurna.
Thareqat Menurut Rama Guru kanjeng Pangeran Syekh Haji Muhammad Nurullah Makmurudin yaitu Suatu Jalan untuk menuju hakekat hidup yang membawa manusia diharapkan menjadi lebih baik optimis dan dinamis dalam mengarungi kehidupan.

Thareqat syatariyah adalah Ilmu Ketauhidan, Thareqat Syatoriyah adalah sebuah nama thareqat sebagai balasanillahi kepada muslim dan muslimat yang membaca surat Al-Fatikhah sebanyak 17 kali sehari semalam. Dalam Shalat 5 waktu. Dalam surat Al-fatikhah terdapat ayat-ayat yang bunyinya demikian: ih dinas sirotol mustaqim, sirotol ladzina an’amta alaihim, ghiril maghdlubi’ alaihim waladholin. Yang berarti Tunjukanlah Kami pada jalan yang lurus jalan yang mereka tuhan beri nikmat atas mereka, bukan jalan mereka yang tuhan murkai dan yang sesat.  Jalan yang lurus adalah bermakna lurus kepada mardhotillah/surga duniawi ukhrowo ialah yang tercapai oleh nabi, wali dan mukmin serta terhindar dari jalannya mereka yang di murkai sesat.

  1. B.   Riwayat dan silsilah Thareqat Syatoriyah
Riwayat Thareqat Syatariyah adalah kala Nabi muhammad Saw sedang mendirikan sholat lima waktu pada akhir salamnya terdengar ada yang membalas salamnya waalaikum’salam,ternyata yang membalas salamnya adalah seorang pemuda yang tampan sempurna, ini adalah penjelmaan malaikat jibril As yang turun menyerahkan amalan Thareqat Syatoriyah kepada Nabi Muhammad Rasulullah SAW. Kemudian beliau membaiat thareqat Syatoriyah kepada Ali ra dan Siti fatimah ra.
Rasulullah Nabi Muhammad SAW saat menjawab pertanyaan Ali bin Abi thalib setelah selali Shalatnya:Ali bertanya: Ya nabi tunjukanlah daku thuruq yang sedekat-dekatnya dan semulia-mulianya kepada allah yang semudah-mudahnya di kerjakan oleh hamba.. Nabi menjawab: Ali hendaknya engkau selalu berdzikir dan ingat kepada allah, secara terang-terangan atau dalam hati. Kata Ali: Tiap orangt berdzikir, sedang aku menghendaki dari engkau khusus untukku. Nabi Menjawab: Sebaik-baik perkataan yang aku ucapkan dan yang telah di ucapkan oleh nabi-nabi sebelumku ialah kliamah la’ilahailallah’ tiada tuhan selain allah, jika di timbang dengan timbangan, pada sebelah imbangan di tumpukan tujuh petala langit dan tujuh petala bumi dan pada timbangan yang lain di letakkan kalimah la’ilahailallah, pasti timbangan yang memuat kaliamt tersebut itu lebih berat dari pada yang lain. Kemudiaan Rasulullah Nabi muhammad SAW membaiat Thareqat Syatoriyah kepada Syyauidina Ali Ra dan Siti Fatimah Ra. Sebagaimana thareqat pada umumnya , thareqat ini memiliki sanad atau silsilah para washitah yang bersambung kepada Rasulullah nabi Muhammad SAW,. Atas petunjuk Allah SWT, menujuk Ali bin abi thalib untuk mewakilinya dalam melanjutkan fungsinya sebagai Ahl Adz dzikr, tugas dan fungsi kerasullanya. Dan kemudian Ali menyerahkan risalahnya sebagai ahl Adz Dzikir kepada putranya, Husein bin Ali ,dan demikian seterusnya hingga sekarang. Thareqat inipun pada abad ke-14 dipopulerkan/dinisabkan oleh Abdullah As-syatar. Tarekat Syattariyah tidak menganggap dirinya sebagai cabang dari persatuan sufi mana pun. Tarekat ini dianggap sebagai suatu tarekat tersendiri yang memiliki karakteristik-karakteristik tersendiri dalam keyakinan dan praktik.Nisbah asy-Syattar yang berasal dari kata syatara, artinya membelah dua, dan nampaknya yang dibelah dalam hal ini adalah kalimah tauhid yang dihayati di dalam dzikir nafi itsbat, la ilaha (nafi) dan illallah (itsbah), juga nampaknya merupakan pengukuhan dari gurunya atas derajat spiritual yang dicapainya yang kemudian membuatnya berhak mendapat pelimpahan hak dan wewenang sebagai Washitah (Mursyid). Istilah Syattar sendiri, menurut Najmuddin Kubra, adalah tingkat pencapaian spiritual tertinggi, kemudian juga dipakai di dalam Tarekat Syattaryah ini. Syattar dalam tarekat ini adalah para sufi yang telah mampu meniadakan zat, sifat, dan af'al diri (wujud jiwa raga).

  • Silsilah Thareqat Syyatariyah Pengguron Pegajahan :
Syyaidina Nabi Muhammad SAW, Syyaidina Ali Karromallahu bin abi thalib, Syyaidina Imam Husein bin Ali RA, Syyaid Imam Muhammad Al-baqir, Sayyid Imam Ja'far ash Shadiq, Syaikh Abu Yazid al bustomi, Syaikh Maghrobi, Syaikh Arobiyi, Syaikh Mudloffar, Syaikh Abu Hanail al-harqoni, Syaikh khad Koniyi, Syaikh Muhammad Asyiq, Syaikh Muhammad Arif, Syaikh Abdullah As Syyatari, Syaikh Imam Qodli Syatari, Syaikh Hidayatullah Syaikh Kutubi Modari Haji, Syaikh Ghaus, Syaikh Qudratul Ulama, Syaikh Sultonul Arifin, Syaikh Ahmad bin Quraisy Asy Syanawi, Syaikh Alimur Robbaniyi, Syaikh Khotib Qubbatul Islam, Syaikh Abdul Wahab, Syaikh Imam Tobri al-makki, Syaikh Abdullah bin Abdul Qohar, Syaikh Haji Muhammad bin Muktasim, Syaikh Imam Qodli Hidayat, Pangeran Syaikh Muhammad Shofiyyudin Kanoman, Pangeran Syaikh Muhammad Nurullah Habibudin Kaprabonan(Pangeran Adikusuma Adiningrat), Pangeran Syaikh Muhammad Nurullah Badridin Kaprabonan(Pangeran M.Apiyyah Adikusuma), Pangeran Syaikh Muhammad Nurullah Akbarudin(Pangeran M.Arifudin Purbaningrat), Pangeran Syaikh Haji Muhammad Nurullah Makmurudin(Pangeran M.Nurbuwat Purbaningrat)

  • Silsilah Pangeran Syaikh Haji Muhammad Nurullah Makmurudin(P.M. Nurbuwat Purbaningrat ):
Kanjeng Syyaidina Nabi Muhammad SAW. Siti Fatimah(Istri Syyaidina Ali ra.), Syyaidina Husaein, Syyaid Janeal Abidin, Syyaid Muhammad Bakir, Syyaid Imam Ja'far As Shidiq, Syyaid Kasim Al kamil , Syyaid Idris, Syyaid Al Bakir, Syyaid Akhmad, Syyaid Baidillah, Syyaid Muhammad, Syyaid Alwi, Syyaid Ali Gajam, Syyaid Muhammad, Syyaid Alwi(mesir), Syyaid Abdul Malik(India), Syyaid Al Amiir Abdulah, Syyaid Jalaludin, Syyaid Jamalludin(kamboja) , Syyaid Nurrul Alim(Mesir). Syyaid Syarif Abdullah(Sultan Mesir), Syyaidina Maulana Syaikh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati(Cirebon), Pangeran M.Tajul Arifin(P.Pasarean), Panambahan Sedang Kemuning, Panembahan Ratu I Cirebon, Panembahan Mande Gayam , Panembahan Ratu II Girilaya, Sultan Raja Muhammad Badridin(Sultan Kanoman I Cirebon), Pangeran Raja Adipati Kaprabon , Pangeran Kusumawaningyun, Pangeran Brataningrat, Pangeran Raja Suleman Sulendraningrat, Pangeran Arifudin Kusumabratawireja, Pangeran AdiKusuma AdiNingrat, Pangeran Mohammad Apiyyah AdiKusuma II, Pangeran Mohammad Arifudin Purbaningrat, Pangeran H.Mohammad Nurbuwat Purbaningrat.

  • Silsilah Rama Guru-Guru Pengguron Pegajahan Cirebon :
Syekh Nurjati, Haji Abdul Imam Mbah  kuwu cerbon Pangeran Cakrabuwana,  Syyaidina Maulana Syaikh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati(Cirebon), Pangeran M.Tajul Arifin(P.Pasarean), Panambahan Sedang Kemuning, Panembahan Ratu I Cirebon, Panembahan Mande Gayam , Panembahan Ratu II Girilaya, Sultan Raja Muhammad Badridin(Sultan Kanoman I Cirebon), Pangeran Raja Adipati Kaprabon , Pangeran Kusumawaningyun, Pangeran Brataningrat, Pangeran Raja Suleman Sulendraningrat, Pangeran Arifudin Kusumabratawireja, Pangeran AdiKusuma AdiNingrat, Pangeran Mohammad Apiyyah AdiKusuma II, Pangeran Mohammad Arifudin Purbaningrat, Pangeran H.Mohammad Nurbuwat Purbaningrat
  1.  B. Amalan dan Dzikir Thareqat Syyatariayah Agama Islam Pegajahan Cirebon:
Thareqat Syatoriyah amalannya adalah Dzikir kalimah toyibah ialah LA’ILAHAILALLAH ba’da sholat subuh dan isya, setelah dzikir tersebut diatas ditambah dengan dzikir itsbat ILLALLAH, ALLAH, HU dan ditutup dengan mengucapkan HU KHAYUN DA IM. Sebagai Firman Allah SWT: Yaa ayuhaladzina amanudz kurullaha dzikron kastsiron. Wasabihu hu bukrotan wa’asyilan. Ynag artinya: Hai orang-orang yang beriman berdzikirlah (dengan menyebut Nama Allah), Dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-NYA di waktu pagi dan petang.( QS.Al_ Ahzab: 41-42)
Thareqat Syatariah mengajarkan tentang tata cara pelaksanaan dzikir,didalam Al-Quran terdapat ayat-ayat yang menjelaskan tentang tata cara pelaksanaan dzikir yang jumlahnya lebih banyak dari pada ayat-ayat yang menjelaskan tentang shalat,zakat dan sebaginya. Hal ini menunjukan bahwa pelaksanaan dzikir (secara luas) memiliki kedudukan yang cukup penting disbanding ibadah-ibadah yang lainnya. Dzikir dalam thareqat syattariyah dilakukan dengan jahar(Bersuara) dan sirri/khafi (dalam hati)pembacaan dzikir secara bersuara merupakan ibadah yang lazim dikerjkan da cukup diketahui daar-dasarnya oleh kebanyakan umat Islam, dan ini didasarkan pada firman Allah: ‘’ Berdzikirlah kau dengan hatimu secara merendahkan diri dan rasa takut, dzikir itu tidak diucapkan secara lisan (Q.S.Al A’Raf 205) dan didasarkan hadits nabi yang diriwayatkan oleh Baihaqi sebagai berikut: Dzikir yang tidak terdengar oleh malaikat itu lebih utama dari pada dzikir bersuara, dengan perbandingan satu banding tujuh puluh.

Sumber Kitab Purwaka Caruban Nagari,Babad Cirebon Ps.Sulendraningrat.Al-Quran dan Hadits, serta wawancara Sesepuh Cirebon Rama Guru Syekh Haji Pangeran Mochammad Nurullah makmurudin Pangeran Moch.Nurbuwat Purbaningrat.

Selasa, 28 Februari 2012

BERDIRINYA MATARAM & HUBUNGAN MISTIS DENGAN RATU KIDUL

Kyai Ageng Pemanahan bergelar Kyai Ageng Mataram. Mataram adalah nama daerah yang dihadiahkan kepadanya oleh Sultan Sultan Hadiwijoyo, Sultan di Kerajaan Pajang. Karena Kyai Ageng Mataram bersama putranya Hangabehi Loring Pasar (Danang Sutowijoyo) telah dapat mengalahkan Raden Adipati Aryo Penangsang pada tahun 1527 M di Jipang Panolan.
            Kyai Ageng Pemanahan selanjutnya minta ijin kepada Sultan untuk menempati daerah Mataram itu. Sultan Hadiwijoyo mengizinkan dan berpesan,” Seorang gadis dari Kalinyamat itu supaya diasuh dan dijaga baik-baik. Apalagi sudah dewasa hendaklah dibawa masuk ke Istana”.
            Pesan itu disanggupi oleh Kyai Ageng Pemanahan, tetapi ia memohon agar diperkenankan mengajak putra Sultan Hangabehi Loring Pasar untuk pindah ke Mataram. Kyai Ageng Pemanahan sekeluarga berangkatlah menuju tlatah Mataram disertai dua orang menantunya, yakni Raden Dadap Tulis dan Tumenggung Mayang. Ditambah pula Nyi Ageng Nis istri Kyai Ageng Mataram dan penasehatnya Ki Ageng Juru Martani. Peristiwa ini terjadi pada hari Kamis Pon tanggal 3 Rabiulawal tahun Jimawal. Dalam perjalanan mereka singgah berziarah ke Istana Pengging sehari semalam.
            Kyai Ageng sekeluarga melakukan doa dan sembahyang, memohon petunjuk kepada Tuhan, melakukan semedi dan shalat hajat, doanya ternyata diterima Tuhan, muncul pertanda pepohonan seketika menjadi condong, tetapi pohon serat tinggal tetap tegap. Setelah sembahyang subuh mereka berangkat menuju Mataram dan berhenti di desa Wiyoro. Selanjutnya membangun sebuah desa yakni desa Karangsari setelah singgah sementara waktu Kyai Ageng Pemanahan dan Ki Juru Mertani mencari pohon beringin yang telah ditanam oleh Sunan Kali Jogo untuk tetenger di sanalah letaknya wilayah Mataram dimaksud.
            Terdapatlah pohon tersebut di sebelah barat daya Wiyoro. Lalu memilih tanah sebelah selatan beringin yang hendak dipakai sebagai halaman dan rumah untuk bertempat tinggal Kyai Ageng Pemanahan beserta keluarga. Mereka bekerja keras, hingga pembangunan rumah beliau selesai dalam waktu singkat. Kemudian rumah baru segera  ditempati Kyai Ageng Pemanahan yang kemudian tersohor namanya dengan gelar Kyai Ageng Mataram. Banyak saudara asing ke Mataram sehingga menambah ramai dan makmurnya Mataram (sekarang dikenal dengan nama Kotagede, pusat kerajinan perak di Yogyakarta).
            Sahdan gadis pingitan Sinuhun Sultan Hadiwijoyo yang berasal dari Kalinyamat kini telah dewasa. Ngabehi Loring  Pasar (Raden Danang Sutowijoyo) pun telah dewasa. Ia mengganggu gadis pingitan tersebut. Hal ini segera diketahui oleh ayahnya Ki Ageng Mataram. Anaknya dipanggil lalu bersabda:
Ki Ageng Mataram; Anakku..mengapa kamu berani mengganggu gadis pingitan, alangkah amarahnya Sinuhun nanti apabila mengetahui.
Raden Sutowijoyo berkata; ”Saya berani melakukan hal itu, karena telah menerima wahyu.
KAM : Bagaimana kamu dapat mengatakan demikian itu ?
R.S : Ya. Demikianlah ketika mendengar daun nyiur jatuh ayah Sultan terkejut, lagi pula ketika hendak minum air kelapa itu terkejut pula.
            Kyai Ageng Mataram menyatakan, kini belum masanya dan mengajak putranya mengharap untuk berjanji tetap setia. Keduanya berangkat, pergi ke kasultanan Pajang. Sinuhun Sultan Hadiwijoyo sedang bercengkerama dihadap para putranya dan keluarganya. Melihat kedatangan Kyai Ageng Mataram diantar putranya. Lalu sesudah berjabat tangan Ngabehi Loring Pasar pun menghadap menghaturkan sembah-bakti. Sinuhun bertanya dengan keheranan mengapa datang menghadap bukan waktunya menghadap. Kyai Ageng Mataram menyatakan bahwa menghadapnya itu karena putranya telah berdosa besar berani melanggar dan mengganggu gadis pingitan dari Kalinyamat.
            Dengan bijaksana Sinuhun Sultan Hadiwijoyo berkata,”Anak tidak berdosa, kalau demikian memang salah saya, tidak memikirkan anak yang telah dewasa. Oleh karena sudah terlanjur kamipun ikut menyetujui. Tetapi anak jangan dimurka, pinta Sinuhun kepada Ki Ageng Mataram.
            Waktu sudah berjalan sekian lama, karena usianya sudah uzur, Ki Ageng Mataram gering lalu mangkat pada hari Senin Pon 27 Ruwah tahun Je 1533. Dimakamkan di sebelah barat Istana Mataram di Kotagede, Yogyakarta. Sementara itu, Ki Jurumartani pergi ke negeri Pajang menghadapkan putra Ki Ageng Mataram. Sinuhun lalu bercengkerama dengan Ki Jurumartani memberitahukan tentang mangkatnya Ki Ageng Mataram, Sinuhun terkejut hatinya dan bersabda;
            “Kakak Jurumartani, sebagai ganti dari penghuni Mataram ialah Ngabehi Loring Pasar dan harap dimufakati dengan nama Pangeran Haryo Mataram Senopati Pupuh”. Ki Jurumartani menyanggupi lalu mohon ijin kembali, peristiwa ini terjadi pada tahun 1540. Lalu Pangeran Haryo Mataram diangkat pada tahun Dal 1551 bergelar Kanjeng Panembahan Senopati ing Ngalogo yang menguasai tanah Jawa. Kemudian menurunkan raja-raja Surakarta dan Yogyakarta, demikian pula para Bupati di pantai-pantai Jawa hingga sekarang.
            Kanjeng Panembahan Senopati memegang kekuasaan kerajaan 13 tahun lamanya. Sesudah gering kemudian mangkat, pada hari Jumat Pon bulan Suro tahun Wawu 1563. Dimakamkan di sebelah barat Masjid di bawah ayahandanya. Selanjutnya putranya yang menggantikan dengan gelar Kanjeng Susuhunan Prabu Hanyokrowati. Penobatannya dalam bulan yang bersamaan dengan wafatnya Kanjeng Panembahan Senopati.
            Pada suatu hari, Kanjeng Susuhunan pergi berburu rusa ke hutan. Dengan tiada terasa telah berpisah dengan para pengantar dan pengawalnya, kemudian beliau diserang punggungnya oleh rusa dan beliau jatuh ke tanah. Sinuhun diangkat ke istana dan ia perintahkan memanggil kakanda Panembahan Purboyo.
            Sinuhun bersabda, “Kakanda, andaikata kami sampai meninggal, oleh karena Gusti Hadipati sedang bepergian, putramu Martopuro harap ditetapkan sebagai wakil menguasai Negeri Mataram. Amanat tersebut disanggupi, Sinuhun terkenal dengan gelar Sinuhun Seda Krapyak. Beliau mangkat pada bulan Besar, tuhan Jimawal 1565 dan dimakamkan di sebelah bawah makan ayahandanya, Panembahan Senopati.
            Demikian sejarah singkat kerajaan Mataram, yang sampai saat ini terbukti masih berdiri kokoh. Lalu dari keturunan manakah raja-raja besar Mataram ? Berikut ini saya paparkan silsilah  leluhur kerajaan Mataram:
1.    Sinuhun Brawijaya V, raja kerajaan Majapahit terakhir berputera Raden Bondan Kejawan yang   bergelar Kyai Ageng Tarub ke III.
2.    Kyai Ageng Tarub III mempunyai putra yakni Kyai Ageng Getas Pandowo.
3.    Kyai Ageng Getas Pandowo berputera Ki Ageng  Selo.
4.    Kyai Ageng Selo berputera Ki Ageng Nis.
5.    Ki Ageng Nis berputera Ki Ageng Pemanahan (Ki Ageng Mataram).
6.    Ki Ageng Pemanahan berputera Kanjeng Panembahan Senopati ing Ngalogo.
7.    Kanjeng Panembahan Senopati ing Ngalogo berputera Sinuhun Prabu Hanyokrowati.
8.    Sinuhun Prabu Hanyokrowati berputera Kanjeng Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo Kalipatullah  Panetep Panatagama Senopati ing Prang.

RIWAYAT BALOK
Bagi kebanyakan masyarakat Jawa khususnya Yogyakarta dan Solo, percaya dengan kisah mistik raja-raja Mataram yang berhubungan erat dengan Kanjeng Ratu Kidul. Kanjeng Ratu Kidul entitasnya bukan lah sejenis jin, siluman atau setan, tetapi merupakan wujud panitisan dari bidadari, yang turun ke dalam dimensi gaibnya bumi (bukan alam ruh/barzah), berperan menjaga keseimbangan alam semesta khususnya sepanjang pesisir selatan Jawa dan wilayah samodra selatan Nusantara. Menjaga kelestarian alam dengan mencegah atau menghukum manusia yang tidak menghormati alam semesta ciptaan Tuhan YME, atau manusia yang merusak keseimbangan alam dengan cara mengambil kekayaan alam secara serakah dan tamak. Kanjeng Ratu Kidul sebagaimana raja atau ratu gung binatara yang bijaksana dan sakti mandraguna, manembah tunduk kepada Gusti Ingkang Akaryo jagad. Namun demikian, Kanjeng Ratu Kidul tetap sebagai entitas mahluk halus, dalam arti tidak memiliki raga atau jasad dalam bentuk fisik.
            Kisah mistis di atas tidak terlepas dari sejarah pusaka balok kayu jati yang bernama Kyai Tunggulwulung. Saat ini diletakkan di sebelah timur makam Gusti Kanjeng Panembahan Senopati yang membujur ke utara, panjangnya 5 meter diameter 25 cm. Balok tersebut adalah bekas titihan (kendaraan/perahu) ketika Panembahan Senopati bertapa menghanyutkan diri di sungai Opak hingga sampai di kratonnya jagad halus, ialah Kanjeng Ratu Kidul. Kemudian mempunyai wilayah jajahan di jagad halus. Seperti ditulis dalam kitab Wedhatama karya KGPAA Mangkunegoro IV, dalam tembang Sinom, yang artinya sebagai berikut ;
1)    Sekalipun Kanjeng Ratu Kidul dapat menguasai samodra, apa pun kehendaknya terlaksanan. Akan tetapi masih kalah wibawa dengan Gusti Kanjeng Panembahan Senopati.
2)    Kanjeng Ratu Kidul sangat mengharapkan bisanya terjalin persahabatan antara kerajaan mahluk halus dengan kerajaan Senopaten. Selanjutnya memohon agar sekali tempo Gusti Kanjeng Panembahan Senopati sudi mengadakan pertemuan di dalam dunia mahluk halus. Sekalipun dengan susah payah Panembahan Senopati menyanggupi hingga sampai turun temurun.
Selanjutnya wawancara antara Gusti Panembahan Senopati (GPS) dengan Kanjeng Ratu Kidul (KRK), begini:
KRK    : “…Marilah Kangmas Priyagung agigit, bersama dengan kami, tinggalkan saja Sang Permaisuri serta abdi sentana putri. Anda di alam kami akan mendapatkan ganti yang lebih memuaskan hati. Pindahlah dari Mataram, hamba akan menerima dengan senang hati. Di dalam kerajaan kami Paduka akan penuh wibawa, kami sembah dan kami siap mengabdi sampai akhir zaman.
GPS     : “…Karena sudah demikian cinta Dinda dengan saya, saya pun tidak akan menyia-nyiakan, saya sambut uluran kasih persahabatan Dinda. Tetapi leluhur kami berpesan, bangsa manusia itu karena berasal dari bumi sebaiknya sampai akhir hayatnya juga dikubur di bumi. Tidak pantas dan merupakan pantangan kami merubah jenis menjadi mahluk halus. Oleh karena itu jangan khawatir saya ingkar janji, setiap hari selalu terbayang kecantikan wajah Adinda. Dalam waktu tertentu kita sekali tempo mengadakan pertemuan saja”.
            Demikian sekilas riwayat balok Mataram, yang sedikit banyak dapat menguak sejatinya hubungan gaib kerajaan Mataram secara turun temurun dengan kerajaan dunia halus di laut selatan. Bagaimana menempatkan secara tepat dan bijaksana antara manusia dengan mahluk halus yang juga ciptaan Gusti Allah Yang Maha Wisesa. Dapat sebagai contoh bagi generasi sekarang bagaimana cara memahami hubungan manusia dengan mahluk gaib. Seyogyanya manusia dapat bersikap bijaksana dan tidak sombong, menempatkan mereka yang gaib sebagaimana interaksi dengan manusia saling menghargai dan menghormati sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan. Karena masih sebagai mahluk Tuhan, mahluk halus tetap memiliki karakter seperti halnya manusia, ada yang baik ada yang jahat, ada yang manembah kepada Tuhan, tetapi ada pula yang membangkang.

RIWAYAT SOKO GURUSoko Guru adalah tiang penyangga atap rumah berbahan kayu jati yang dikelilingi ukiran halus dan indah, terletak di Pasarean Mataram, disebelah timur dan di pacak suji, sbb;
            Ketika Kerajaan Kartasura yang bertahta adalah Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan (ISKS) Mangkurat Amral tahun 1606 M, wilayah terkena bencana kelaparan, banyak orang yang sengsara dan menderita kelaparan. ISKS sangat sedih hatinya, kemudian memanggil adik Dalem Gusti Pangeran Puger. Adik Dalem lalu sowan menghadap, Sinuhun bertitah,” kalau terus begini Dimas, saya hendak bunuh diri saja dan saya minta diri. Saya sangat malu disembah rakyat senegara tetapi tidak dapat membuat rakyat bahagia. Yang hina dina adalah nama ratu. Gusti Pangeran Puger berkata, “Sabarlah dahulu Kangmas, jangan mudah putus asa. Saya mohon diri dari Praja, hendak memohon pertolongan Tuhan, hendak sowan (ziarah) ke Pasarean (makam) Mataram. Sinuhun mengijinkan, dan bersabda,”Saya hanya dapat mengurangi makan dan tidur untuk membantu Dimas”. Sang pangeran Puger mohon diri, terus mengundurkan diri dan mampir di Dalem Pugeran, untuk ganti pakaian seperti santri desa. Menghimpit golok, memakai tongkat, dan membawa tasbih, kemudian mampir ke Pleret.
            Sesudah shalat Isya’ terus menuju barat laut ke Kotagede, langsung menuju di bawah ringin sepuh Mataram. Sesudah tengah malam lalu sesuci di sungai Gajahwong, kemudian kembali duduk di bawah ringin sepuh Mataram. Masuk waktu subuh terus ke Masjid, sesudah Subuh lalu sowan di Pasarean. Duduk berdekatan dengan tiang di sebelah tenggara dan terus berdoa. Setelah selama empat puluh hari empat puluh malam Pangeran Puger bertapa, maka makbul lah doanya, dilihatnya tepat di atas tempat duduk ada tompo (gayung beras) yang bergantung pada tiang tepat di atasnya. Kemudian tompo diambil dan dihimpit terus dibawa pulang ke negara Kartasura.
            Di tengah perjalanan dari Pasarean Agung Mataram di Kotagede menuju Kartasura, Pangeran Puger mampir ke pasar-pasar yang dilewatinya, menanyakan kepada para bakul-bakul, dijawab bahwa sekarang beras dan sandang sudah murah. Sesampainya di negara Kartasura, Pangeran Puger langsung sowan menghadap ke kraton, Sinuhun baru dihadap para sentana. Melihat Rayi Dalem, Sinuhun terus merangkul dan berkata, “Dimas, terkabullah permohonanmu”.
            Dari tulisan di atas dapat diambil benang merah bahwa, Raja atau penguasa yang pantas menjadi sesembahan kawula adalah raja atau penguasa yang siap berkorban untuk kesejahteraan rakyatnya. Raja/penguasa bijaksana adalah yang selalu sadar bahwa kekuasaannya itu membutuhkan dukungan rakyatnya, tanpa rakyat maka tidak akan ada raja yang menduduki tahta kerajaan. Begitulah antara lain contoh pelajaran tentang  manunggaling kawula lan gusti, pada aras horisontal/habluminannas.


Foto Lukisan Panembahan Senopati
Foto Lukisan Panembahan Senopati

Foto Lukisan Kanjeng Sultan Agung
Foto Lukisan Kanjeng Sultan Agung
Keterangan dihimpun dari hasil wawancara Jurukunci Pasarean (makam) Agung Mataram di Kotagede dan di Imogiri Bantul dan sebagaimana dikisahkan para abdidalem di dua Pasarean Agung tersebut. Referensi; Mantri Jurukunci R.Ng. Martohastono.


Selasa, 17 Januari 2012

Jalur Mirza ke Rasulullah kerajaan Mataram dan pecahannya (Solo&Yogya)

Kerajaan Yogya dan Solo adalah keduanya keturunan Raja-Raja Mataram (sama2 turunan Amangkurat IV) Daftar Raja Mataram sebelum Yogya & Solo :

1. Panembahan Senopati
2. Sunan sedo ing krapyak / Raden Mas Jolang
3. Sultan Agung
4. Amangkurat I / Amangkurat Agung
5. Pakubuwono I / Pangeran Puger
6. Amangkurat IV

Dr ke-6 raja mataram tersebut dr grs ibu ada twtan ke Rasul jalur Azmakhan , mlalui pula jalur Kerajaan Demak dan Pajang, yakni :

I. Panembahan Senopati beribukan :
Syarifah Nyai Sabinah binti Ki Ageng Saba bin Sunan Kidul / Giri II bin Sunan Giri yang menikahi Syarifah Dewi Murtasiah putri Sunan Ampel

II. Mas Jolang beribukan :
Raden Ayu Rembe binti Pangeran Kalinyamat bin Pangeran Prawoto bin (RAJA DEMAK) Sultan Trenggono bin Raden Fatah yang menikahi Syarifah Dewi Murtasimah / Asyiqah binti Sunan Ampel

III. Sultan Agung beribukan :
Ratu Mas Adi Dyah Banowati / Ratu Alit putri Pangeran Benawa Bin (RAJA PAJANG) Jaka Tingkir/ Sultan Hadiwijaya (menantu Sultan Trenggono,RAJA DEMAK, istri beliau / ibu P.Benawa jalurnya sama seperti di atas bersambung ke Sunan Ampel) bin Ki Ageng Pengging (menikah dgn nyai ratu Mandoko binti Sunan Kalijogo + Syarifah Zainab binti Syekh Siti Jenar) (Sama dengan Jalur ibu Amangkurat III & IV)

IV. Amangkurat I beribukan :
a) Radin Ajeng Wetan/Kanjeng Ratu Kulon binti Tumenggung Upasanta bupati Batang bin Pangeran Mandurareja bin Ki Juru Martani bin Ki Ageng Saba bin Sunan Kidul bin Sunan Giri (mantu sunan Ampel)
b) Radin Ajeng Wetan/Kanjeng Ratu Kulon, beribukan Ratu Emas Mirahaden putri dari Pangeran Benowo bin Jaka Tingkir bin Ki Ageng Pengging (menikah dgn nyai ratu Mandoko binti Sunan Kalijogo + Syarifah Zainab binti Syekh Siti Jenar

V. Pangeran Puger beribukan :
GKR Wetan keturunan Pangeran Raden bin Pangeran Benowo bin Jaka Tingkir putra dari nyai ratu Mandoko putri dari Syarifah Zainab binti Syeikh Siti Jenar

VI. Amangkurat IV beribukan :
Ratu Mas Blitar/Ratu Paku Buwana, binti Pangeran Arya Blitar IV. Bupati of Madiun 1704-1709 bin Pangeran Temenggong Blitar Tumapel III. Bupati of Madiun 1677-1703 bin Pangeran Adipati Blitar. Bupati of Madiun 1645-1677 bin Radin Mas Bagus/Kanjeng Pangeran Adipati Jumina Petak/Pangeran Blitar I (s/o Jamila). Bupati of Madiun 1601-1613 beribukan Retno Dumilah binti Pangeran Timur / Rangga Jemuna bin Sultan Trenggono bin R. Patah + Dewi Murtasimah binti Sunan Ampel

Jadi nyambung k Rasul melalui Sunan Giri, Ampel dan Syeikh Siti Jenar (Adalagi ke Maulana Malik Ibrahim / Syeikh Maghribi namun jalur ini belum jelas kepastiannya & Robithoh Azmatkhan belum yakin karena menurutnya lebih ke Syeikh Maghribi namun beliau bukanlah Maulana Malik Ibrahim)

I. JALUR SUNAN GIRI - Abdul Malik Azmatkhan :
Sunan Giri @ Muhammad Ainul Yakin bin Maulana Ishak bin Ibrahim Zainuddin Akbar @ Asmarakandi bin Husain Jamaludin Ahmad Jalaluddin bin Abdullah Azmatkhan bin Abdul Malik Azmatkhan

II. JALUR SUNAN AMPEL - Abdul Malik Azmatkhan :
Sunan Ampel @ Ahmad Rahmatullah bin Ibrahim Zainuddin Akbar @ Asmarakandi bin Husain Jamaludin Ahmad Jalaluddin bin Abdullah Azmatkhan bin Abdul Malik Azmatkhan

III. JALUR SYEIKH SITI JENAR - Abdul Malik Azmatkhan :
Syeikh Siti Jenar @ Abdul Jalil bin Datuk Shaleh Cirebon bin Abdul Malik bin Husain Jamaludin Ahmad Jalaluddin bin Abdullah Azmatkhan bin Abdul Malik Azmatkhan

JALUR ABDUL MALIK KE NABI MUHAMMAD :

Abdul Malik Azmatkhan bin

Alawi (Ammil Faqih) bin

Muhammd Shahib Mirbath bin

Ali Khali' Qasam bin

Alawi bin

Muhammad bin

Alawi (Asal usul marga Ba'alawi atau Al-Alawi) bin

Abdullah / Ubaidillah bin

Ahmad Al-Muhajir Ilallah bin

Isa bin

Muhammad bin
 
Ali Al-'Uraidhi bin

Ja'far Ash-Shadiq bin

Muhammad Al-Baqir bin

Ali Zainal Abidin bin

Husain bin

Ali bin Abi Thalib dan Fathimah binti Rasulillah SAW

Minggu, 15 Januari 2012

Perjalanan Spiritul Sunan Gunung Jati

Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra' Mi'raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).

Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.

Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "wali songo" yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan. Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten. Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.


DI KOMPLEKS pemakaman Gunung Sembung, sering terlihat penziarah --
perorangan atau rombongan-- dari kalangan etnis Cina. Sama dengan para saudaranya dari kalangan
Islam, umat Buddha dan Konghucu itu bertujuan menyekar pemakaman yang terletak di Desa Astana, sekitar tiga kilometer di barat kota Cirebon, Jawa Barat, itu.

Untuk mereka disediakan ''kavling'' khusus di sisi barat serambi depan kompleks pemakaman. Tentu bukan karena diskriminasi. ''Kami tak membeda-bedakan penziarah,'' kata Yusuf Amir, salah seorang juru kunci kompleks pemakaman. ''Penziarah muslim ataupun nonmuslim semuanya bisa berdoa di sini,''

Yusuf, 36 tahun, menambahkan. Pemisahan tempat semata-mata karena ritual yang berbeda. Di sayap barat itu terdapat makam Ong Tien, salah seorang istri Syarif Hidayatullah, yang lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Dia adalah putri Kaisar Hong Gie dari Dinasti Ming. Banyak versi tentang perjodohan mereka. Yang paling spekatakuler tentulah versi ''nujum bertuah'' Sunan Gunun Jati.

Syahdan, dalam persinggahannya di Cina, Syarif Hidayatullah menyebarkan Islam sambil berpraktek sebagai tabib. Setiap yang datang berobat diajarinya berwudu dan diajak salat. Manjur, si sakit sembuh. Dalam waktu singkat, nama Syarif Hidayatullah semerbak di kota raja. Kaisar pun kemudian tertarik menjajal kesaktian ''sinse'' dari Tanah Pasundan itu.

Syarif Hidayatullah dipanggil ke istana. Sementara itu, Kaisar menyuruh putrinya yang masih gadis, Lie Ong Tien, mengganjal perutnya dengan baskom, sehingga tampak seperti hamil, kemudian duduk berdampingan dengan saudarinya yang memang sedang hamil tiga bulan. Syarif Hidayatullah disuruh menebak: mana yang bener-benar hamil.

Syarif Hidayatullah menunjuk Ong Tien. Kaisar dan para ''abdi dalem'' ketawa terkekeh. Tapi, sejurus kemudian, istana geger. Ong Tien ternyata benar-benar hamil, sedangkan kandungan saudarinya justru lenyap. Kaisar meminta maaf kepada Syarif Hidayatullah, dan memohon agar Ong Tien dinikahi.

Sejarahwan Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat menyangsikan cerita ini. Dalam disertasinya di Universitas Leiden, Belanda, 1913, yang berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten, Hoesein terangterangan menyebutkan bahwa lawatan Syarif Hidayatullah ke negeri Cina hanya legenda.

Tentu tak semua sepakat dengan Hoesein. Meski tak menyebut-nyebut soal ''nujum'' itu, dalam buku
Sejarah Cirebon, 1990, Pangeran Soelaeman Sulendraningrat menyebutkan Syarif Hidayatullah memangpergi ke Cina. Ia sempat menetap di salah satu tempat di Yunan. Ia juga pernah diundang Kaisar Hong Gie.

Kebetulan, sekretaris kerajaan pada masa itu, Ma Huan dan Feishin, sudah memeluk Islam. Dalam
pertemuan itulah Syarif Hidayatullah dan Ong Tien saling tertarik. Kaisar tak setuju. Syarif Hidayatullah lalu dipersonanongratakan. Tapi, kecintaan Ong Tien kepada Syarif Hidayatullah sudah sangat mendalam.

Dia mendesak terus ayahnya agar diizinkan menyusul kekasihnya ke Cirebon. Setelah mendapat izin, Ong Tien bertolak ke Cirebon dengan menggunakan kapal layar kerajaan Cina. Dia dikawal Panglima Lie Guan Cang, dengan nakhoda Lie Guan Hien. Putri membawa barang-barang berharga dari Istana Kerajaan Cina, terutama berbagai barang keramik.

Barang-barang kuno ini kini masih terlihat di sekitar Keraton Kasepuhan atau Kanoman, bahkan di
kompleks pemakaman Gunung Sembung. Dari Ong Tien, Syarif Hidayatullah tak beroleh anak. Putri Cina itu keburu meninggal setelah empat tahun berumah tangga. Besar kemungkinan, sumber yang dirujuk P.S. Sulendraningrat adalah Carita Purwaka Caruban Nagari.

Naskah yang ditemukan pada l972 ini ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon pada 1720. Banyak sejarahwan menilai, kisah Syarif Hidayatullah yang ditulis dalam kitab tersebut lebih rasional dibandingkan dengan legenda yang berkembang di masyarakat. Belakangan diketahui, Pangeran Arya mendasarkan penulisannya pada Pustaka Negara Kertabumi.

Naskah yang termaktub dalam kumpulan Pustaka Wangsa Kerta itu ditulis pada 1677-1698. Naskah ini dianggap paling dekat dengan masa hidup Syarif Hidayatullah, alias Sunan Gunung Jati. Dia lahir pada 1448, wafat pada 1568, dan dimakamkan di Pasir Jati, bagian tertinggi ''Wukir Saptarengga'', kompleks makam Gunung Sembung.

Carita sering dirujuk para sejarahwan kiwari untuk menjungkirbalikkan penelitian Hoesein
Djajadiningrat, yang menyimpulkan bahwa Sunan Gunung Jati dan Faletehan sebagai orang yang sama.
Berdasarkan naskah tersebut, Sunan Gunung Jati bukan Falatehan, atawa Fatahillah. Tokoh yang lahir di Pasai, pada 1490, ini justru menantu Sunan Gunung Jati.

Tapi, apa boleh buat, pemikiran Hoesein ini berpengaruh besar dalam penulisan sejarah Indonesia. Bukubuku sejarah Indonesia, sejak zaman kolonial sampai Orde Baru, sering menyebut Fatahillah sebagai Sunan Gunung Jati. Padahal, di Gunung Sembung, Astana, masing-masing tokoh itu punya makam sendiri.
''Tak satu pun naskah asli Cirebon yang menyebutkan Sunan Gunung Jati sama dengan Fatahillah,'' kata Dadan Wildan, seperti tertulis dalam disertasinya, Cerita Sunan Gunung Jati: Keterjalinan Antara Fiksi dan Fakta - Suatu Kajian Pertalian Antarnaskah Isi, dan Analisa Sejarah dalam Naskah-Naskah Tradisi Cirebon.

Dadan berhasil meraih gelar doktor ilmu sejarah dari Universitas Padjadjaran, Bandung, September lalu. Naskah yang ditelitinya, selain Carita Purwaka Caruban Nagari, adalah Caruban Kanda (1844), Babad Cerbon (1877), Wawacan Sunan Gunung Jati, Sajarah Cirebon, dan Babad Tanah Sunda --yang ditulispertengahan abad ke-20.

Di naskah-naskah itulah bertebaran mitos kesaktian Sunan Gunung Jati, dari cincin Nabi Sulaiman
sampai jubah Nabi Muhammad SAW. Tapi, mengenai asal usul Syarif Hidayatullah, semuanya sepakat ia berdarah biru, baik dari garis ayah maupun garis ibu. Ayahnya Sultan Mesir, Syarif Abdullah. Ibunya adalah Nyai Lara Santang.

Setelah menikah, putri raja Siliwangi dan adik Pangeran Walangsungsang itu memakai nama Syarifah Mudaim. Lara Santang dan Walangsungsang memperdalam agama Islam di Cirebon, berguru pada Syekh Idlofi Mahdi yang asal Baghdad. Syekh Idlofi terkenal juga dengan sebutan Syekh Djatul Kahfi atau Syekh Nurul Jati. Setelah khatam, keduanya disuruh ke Mekkah menunaikan ibadah haji.

Di situlah, seperti dikisahkan dalam Carita Purwakan Caruban Nagari, mereka bertemu dengan Patih Kerajaan Mesir, Jamalullail. Patih ini ditugasi Sultan Mesir, Syarif Abdullah, mencari calon istri yang wajahnya mirip dengan permaisurinya yang baru meninggal. Lara Santang kebetulan mirip, lalu diboyong ke Mesir.

Walasungsang pulang ke Jawa, kemudian jadi penguasa Nagari Caruban Larang --cikal bakal kerajaan Cirebon. Sejak itu dia lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Cakrabuana. Dari perkimpoian Syarif Abdullah-Syarifah Mudaim lahir Syarif Hidayatullah, pada 1448. Dalam usia 20 tahun, Syarif Hidayatullah pergi ke Mekah untuk memperdalam pengetahuan agama.

Selama empat tahun ia berguru kepada Syekh Tajuddin Al-Kubri dan Syekh Ata'ullahi Sadzili. Kemudian ia ke Baghdad untuk belajar tasauf, lalu kembali ke negerinya. Di Mesir, oleh pamannya, Raja Onkah, Syarif Hidayatullah hendak diserahi kekuasaan. Namun Syarif menolak, dan menyerahkan kekuasaan itu kepada adiknya, Syarif Nurullah.

Syarif Hidayatullah bersama ibunya pulang ke Cirebon, dan pada l475 tiba di Nagari Caruban Larang yang diperintah pamannya, Pangeran Cakrabuana. Empat tahun kemudian Pangeran Cakrabuana mengalihkan kekuasannnya kepada Syarif Hidayatullah, setelah sebelumnya menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Ratu Pakungwati.

Untuk keperluan dakwah, Syarif Hidayatullah pada tahun itu juga menikahi Ratu Kawunganten. Dari pernikahan ini, dia dikarunia dua putra, Ratu Winahon dan Pangeran Sabangkingking. Pangeran Sabangkingking kemudian dikenal sebagai Sultan Hasanudin, dan diangkat jadi Sultan Banten. Ratu Winahon, yang lebih dikenal dengan sebutan Ratu Ayu, dinikahkah dengan Fachrulllah Khan, alias Faletehan.

Mengubah bokor menjadi bayi

Siapa yang tak kenal Sunan Gunung Jati, salah satu wali dari Tanah Jawa. Bahkan, Yu Wang Lo, kaisar dari negeri Cina pun penasaran dengan kehebatan Sunan Gunung Jati. Maka dipanggillah sunan ke negerinya untuk beradu kesaktian. Di hadapan sang kaisar, sunan bisa mengubah bokor menjadi seorang bayi.

Di Tanah Jawa, kesaktian Sunan Gunung Jati tak pernah diragukan lagi. Lain halnya dengan orang-orang dari negeri seberang, khususnya Cina. Bahkan sang kaisar pun, Yu Wang Lo merasa penasaran dengan nama besar sang sunan. Maka, suatu hari kaisar ingin membuktikan kesaktian sunan dengan mengundangnya ke negeri Cina.

Di depan para pembesar dan prajuritnya, kaisar menyuruh putrinya Ong Tien agak memasukkan sebuah bokor di balik bajunya. Nanti, bila Sunan Gunung Jati datang maka ia akan menyuruh sunan untuk menebak isi perut putrinya.

Setelah Sunan Gunung Jati tiba di kerajaan, ia kaget ketika diminta untuk menebak isi perut Ong Tien. Sunan merasa sedang diuji kesaktiannya. Sunan pun merasa tertantang dengan ujian tersebut. Maka, Sunan mengatakan kalau Ong Tien sedang mengandung seorang bayi.

Mendengar jawaban tersebut kaisar tertawa terbahak-bahak. Ternyata, Sunan Gunung Jati tidak sehebat yang dibayangkan. Buktinya, teka-teki yang diberikannya tak bisa dijawab dengan benar.

Namun, sepeninggalan Sunan Gunung Jati, kaisar sangat terkejut. Bokor yang ada di dalam perut Ong Tien hilang. Anehnya lagi, Ong Tien benar-benar hamil, seperti yang dikatakan oleh sunan. Keanehan itu menyebabkan putri Ong tien jatuh hati pada Sunan. Kepada ayahanda, putri Ong Tien mengungkapkan keinginannya untuk menyusul ke Jawa dan menikah dengan Sunan Gunung Jati.

Setelah bertemu dengan Sunan Gunung jati, kabarnya putri itupun segera menikah. Namanya diubah menjadi Ratu Mas Rara Sumanding. Konon, bayi yang berasal dari bokor itu sempat dilahirkan, tetapi meninggal dunia. Versi lainnya mengatakan bayi itu lahir selamat dan diberi nama Raya Kemuning. Kelak, Arya Kemuning ini menjadi penguasa di Kuningan, Jawa Barat.

Sampai kini, makam putri Ong Tien yang berada di samping makam Sunan Gunung Jati tetap dikunjungi oleh para peziarah. Mereka berharap mendapatkan berkah dari tempat ini.