Jumat, 05 April 2013

PANGERAN ASTAPATI from BADUI ( leluhur my grandpa PROF. DR. PANGERAN ARIO HOESSEIN DJAJADININGRAT )


A.   U m u m
Sistem kekerabatan orang Sunda dipengaruhi oleh adat yang diteruskan secara turun temurun dan oleh agama Islam (Harsojo, 1980: 311). Karena agama Islam telah lama dipeluk oleh orang Sunda, maka agak sulit memisahkan unsur-unsur agama dan adat yang terdapat dalam budaya Sunda. Di tanah Sunda, bentuk keluarga yang terpenting adalah keluarga batih atau keluarga inti (nuclear family).
Kecuali keluarga batih ada pula kelompok kerabat sekitar keluarga batih itu, yang masih sadar akan hubungan kekerabatannya, sering bertemu dalam forum yang cukup intens, misalnya pesta perkawinan, khitanan, kematian, halal bihalal dan sebagainya. Kelompok kekerabatan ini biasanya dalam antropologi disebut sebagai golongan, atau dalam peristilahan yang lebih teknis, disebut sebagai kindred.
Dalam masyarakat Sunda ada pula kelompok yang berupa kelompok ambilineal, karena merangkum kerabat sekitar keluarga batih, tetapi diorientasikan ke arah nenek moyang jauh di masa lampau. Dalam bahasa Sunda kelompok ini sering dinamai bondoroyot.
Dalam proses sosialisasi, ciri-ciri kepentingan kelompok sosial serta sikap-sikap yang mendukungnya terwujud dalam pembedaan terhadap kelompok lain. Identifikasi anggota kelompok in- group, biasanya terikat perasaan dekat terhadap anggota kelompok (Soerjono Soekanto, 1977: 100).
Dalam teori antropologi kelompok kekerabatan Sunda ini, sebagai salah satu bentuk masyarakat, karena memiliki sistem interaksi antar para anggota, adat-istiadat dan sistem norma yang mengatur interaksi, kesinambungan interaksi, rasa identitas yang mempersatukan anggota dan sebagainya (Kuntjaraningrat, 1990: 148- 154).
Rekonstruksi genealogi Pangeran Astapati beserta para keturunannya, antara lain berusaha pula menempatkan para tokoh sejarah (yang diasumsikan ada) dalam pohon genealogi pada dimensi ruang, waktu dan peristiwa sejarah. Berarti pula, upaya ini memasukkan pengenalan jatidiri para tokoh sejarah atau cultural hero dalam garis keturunan itu.
Apakah Pangeran Astapati, Raden Tjakradiningrat, atau juga yang lainnya, dapat kita masukkan ke dalam kategori cultural hero, mungkin perlu kita perhatikan kondisi seorang pahlawan/ hero, yang didefinisikan:
"He is regarded as an ideal human beeing who is capable of meeting his people's need and wishes, it presents the main character as a super human being who possesses a number of noble qualities . . ." (Haryati Soebadio, 1991: 622-69).
Hayati Soebadio selanjutnya menyatakan, bahwa premis tersebut menjadi penting artinya dalam konteks Asia Tenggara, mengingat se-seorang tokoh sejarah, telah dilihat sebagai manusia yang pernah hidup dalam sejarah bangsanya, dalam lukisan dan dalam karya-karya sastra.
Hasan Muarif Ambary menyatakan bahwa lingkup bahasan sejarah antara lain meliputi kajian terhadap sumber-sumber literer, khususnya produk yang semasa atau berdekatan dengan terjadinya sesuatu peristiwa sejarah (1991: 6). Selanjutnya Ambary menganggap bahwa para sejarawan Barat, kurang memberikan perhatian dan penghargaan sepantasnya terhadap babad, hikayat dan tambo, yang juga memiliki fungsi sebagai salah satu sumber sejarah.
Ambary mengemukakan contoh, seperti misaalnya Prof. C.C. Berg amat mengenyampingkan kitab-kitab babad untuk diperhitungkan sebagai salah satu sumber sejarah (1938, II). Berg menganggap bahwa babad tidak dapat dipercaya, bohong, penuh hayal, tahayul, artifisial dan sebagainya. Ini tentunya (boleh jadi) dipengaruhi oleh kurangnya pe-nguasaan atau pemahaman informasi yang ia peroleh, mengenai psikologi dan persepsi orang Jawa (khususnya) terhadap kekuasaan dan penguasa.
Ambary dengan cermat mengamati bahwa Babad Tanah Jawi (yang ditulis sejak abad XVI M. dan seterusnya), mengandung banyak paparan mengenai sejumlah peristiwa sejarah, yang notabene dapat diuji silang terhadap sumber-sumber lain, yang lebih otentik dan shahih. Kitab-kitab babad sebagai produk sastra, mungkin memang berlebihan dalam menggambarkan raja dan kekuasaannya. Tetapi seorang raja dalam persepsi rakyat yang dipimpinnya, adalah seorang primus inter pares dan syah (legitimate), sekali pun misalnya ia mencapai tahta melalui makar, tetap ia memiliki "simpanan" legitimasi dalam bentuk lain, yakni: kesinambungan. Untuk itu ia mengawini anak dan/atau istri raja terdahulu, mendapat pulung/nurbuat. Dalam banyak kitab babad/ hikayat banyak tokoh sejarah yang dikemas dalam citra magis-religius, sakral, sekti, dewa dunia, kalipatullah dan sebagainya.
Ambary juga mengutip Prof. Soetjipto Wirjosoeparto (1963) dan kemudian Soemarsaid Moertono (1985), bahwa dalam kitab-kitab babad dan sejenisnya terkandung peristiwa-peristiwa yang layak diperhatikan, bernilai setara dengan sumber-sumber sejarah dalam bentuk yang lainnya. Begitu pula, penyusunan-penyusunan dinasti/keluarga/ wangsa perlu mendapat perhatian yang wajar, seraya membandingkannya terhadap daftar-daftar yang dimuat dalam sumber lainnya.
Sejarah masa lalu, dapat menjadi "sesuatu" yang "dekat" terhadap kita dan hari-hari ini. Seorang tokoh sejarah yang muncul di panggung peristiwa 1-2 abad lalu, boleh jadi terasa amat dekat dengan kelompok dan suasana batin masa kini. Ini tentunya merupakan dampak dari pe-ngaruh faktor-faktor emosi, ikatan genealogi, besarnya dampak peristiwa di seputar sang tokoh, apresiasi dan sebagainya. Ini pun secara gegabah dapat dianggap sebagai bias, yang menjadi salah satu sumber subyektivitas sejarah. Subyektivitas sejarah dapat pula bersumber dari pra-sangka kelompok, trauma, ideologi, ras/etnisitas dan sebagainya, tetapi bagaimana pun, subyektivitas sejarah adalah bagian yang memang ada dalam upaya kita mencapai obyektivitas sejarah.
Rekonstruksi genealogi Pangeran Astapati beserta keturunannya, sama-sekali bukan dimaksudkan untuk membangkitkan feodalisme yang telah kita hapuskan sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan bukan pula dimaksudkan sebagai romantika patetik terhadap masa lalu dengan anggapan bahwa kebesaran masa lalu perlu diagungkan kembali.
Rekonstruksi ini, dilakukan sekedar untuk membakukan apa yang menjadi tradisi, dituturkan turun temurun, dan ditulis secara parsial apabila sempat oleh keturunannya/ yang menganggap keturunan Pangeran Astapati. Dalam rekonstruksi tersebut diharapkan tertuang pula kearifan-kearifan sejarah, sekali pun itu mungkin akan terasa sangat pahit. Para penyusun rekonstruksi ini, yakin sekali bahwa dimensi sejarah senantiasa memiliki perspekstif dan proyeksi jauh ke masa depan, dan bukan pengagungan serta kebanggaan sempit yang sama sekali tidak perlu.
Para penyusun dokumenta historica ini pun amat menyadari bahwa dalam upaya rekonstruksi, para penyusun tidaklah mungkin melepaskan diri dari subyektivitas kesejarahan yang sewaktu-waktu dapat muncul pada setiap tahap dan proses penyusunan/penulisan naskah. Para penyusun naskah ini, menyadari sepenuhnya, bahwa subyektivitas adalah bagian yang mutlak ada dalam mencapai obyektivitas.

B.   Pohon Genealogi Pangeran Astapati
Jika Pangeran Astapati dalam rekonstruksi ditempatkan sebagai ego dalam penelusuran urutan genealogi, maka secara hipotetik, dapatlah digambarkan pengurutan sebagai berikut.

BAGAN HIPOTETIK PENGURUTAN GENEALOGI PANGERAN ASTAPATI

                                                                                   Gantung Siwur VIII
                                                                                 Udeg-Udeg VII
                                                                              Janggawareng VI
                                                                     B a o  V
                                                            Buyut  IV
                                                       Embah  III
                                                Kolot  II
                                          Ego (Pangeran Astapati)  1/I
                                    Anak  2
                                Incu  3
                       Buyut  4
                    Bao  5
                    Janggawareng  6
             Udeg-udeg  7
       Gantung Siwur  8

Catatan :
untuk selanjutnya, Nomor-nomor di belakang tingkatan keturunan (ke atas dan ke bawah) dijadikan nomor acuan dalam pengisian anggota keluarganya.

Ego Ke Atas
Dalam catatan Prof. Harsojo, bagi orang Sunda sebutan kekerabatan bagi kerabat pihak laki-laki dan wanita tidak berbeda. Apabila dilihat istilah kekerabatan orang Sunda pada bagan tersebut di atas, tampak perbedaan penyebutan dua generasi ke atas dan ke bawah, sedangkan untuk selanjutnya sama saja (1980: 314), dan ini berarti mengabaikan prinsip polarity/polaritas seperti yang dikemukakan Murdock (1949: 104-105).
Dalam beberapa hal, ada benarnya anggapan bahwa dua generasi ke atas dan dua generasi ke bawah dari Ego, masih punya hubungan fungsional dalam hubungan kekerabatan, sedangkan tiga generasi ke atas dan ke bawah dan seterusnya, dianggap hanya memiliki fungsi tradisional dalam hubungan kekerabatan.
Di samping itu, dalam masyarakat Sunda dikenal pula beberapa istilah bila ditinjau dari segi/pihak Ego. Untuk ayah terdapat beberapa sebutan, seperti: Bapak, Apah, Apih, sedangkan untuk ibu :emak, mak, amah dan untuk kakak laki-laki : akang atau kakang. Sementara itu untuk kakak perempuan: teteh, eteh, euceu, ceuceu, sedangkan untuk kakak-kakak baik dari ayah maupun ibu untuk perempuan maupun lelaki: uwa atau wa', dan adik laki-laki ayah atau ibu disebut mamang, emang atau mang, lantas jika adik-adik perempuan ibu atau ayah ego, disebut dengan bibi, ibi, atau bi.
Didasarkan pada kelengkapan dokumen dan mudahnya penelusuran, maka dalam merunut genealogi Pangeran Astapati, posisi Ego yang semula diberikan pada Pangeran Astapati digantikan pada H.M.A. Sampurna, sehingga dari H.M.A. Sampurna apabila ditarik garis ke atas selalu dari pihak ayah maupun ibu, akan menjadi:

GENEALOGI EGO KE ATAS DARI AYAH EGO

                                                                              Sanghyang Tunggal
                                                                    Batara Patanjala
                                                           Batara Bungsu
                                                  Ki Dukun Putil/Girang Pu'un
                                            Raden Wirasuta/Pangeran Astapati
                                          Ki Ngabehi Pringga/Patih Darus
                              R.A.A. Natadiningrat
                   R. Murawan Suta Adiningrat
               R. Tjakradiningrat
             R.A. Fatmah
       M. Santosa
H.M.A. Sampurna

Sementara itu dari pihak Ibu Ego, adalah sebagai berikut:

GENEALOGI EGO KE ATAS DARI IBU EGO

                                                                              Cahaya Amin
                                                                  Sutan Alam Intan
                                                      Sutan Arifin/Mas Sutadiwiria
                                          Mas Atmadiwiria
                              H. Mas Lamhari Sutadiwiria/Patih Serang
                  M. Padmadiwiria/Patih Bintang
             R. Martina Djajawinangun
       H.M.A. Sampurna

H.M.A. Sampurna memiliki saudara-saudara kandung (anak-anak dari perkawinan M. Santosa dan R. Martina Djajawinangun) ialah:
1.    Ny. Neneng Mulyaha (Nana) menikah dengan Endang Effendi
2.    H.M.A. Sampurna menikah dengan Ny. Uum Sumini. HJ.
3.    Ny. M. Lily Surti Laeli menikah dengan R.M. Husein Surjokusumo
4.    Ny. Etty Surtikanti menikah dengan drh. Zainal Abidin L.
5.    dr. M.Y.A. Hidayat menikah dengan Ny. RIS Ardjaningsih
6.    Ny.M. Martini menikah dengan R.M. Hafrudin, B.A.
7.    Ny. Iyah K. menikah dengan Rudy Aziz

Sementara itu H.M.A. SAMPURNA memiliki paman/bibi (anak-anak dari perkawinan H. Padmadiwiria dengan R.A. Fatmah, yaitu:
1.    Ny. Salsiah menikah dengan Nitidiwiria
2.    Sulastri menikah dengan Hardiwinangun (Bupati Lebak dari tahun 1938 - 1944).
3.    Supinah menikah dengan Sukanta Widjaja
4.    M. Santosa menikah dengan R. Martina Djajawinangun (ayah dan ibu ego H.M.A. Sampurna)
5.    Aom Priatna yang menikah dengan: Kartini & Rohana Burhanuddin.

Lebih ke atas lagi, M. Padmadiwiria/Patih Bintang menikah de-ngan R.A. Fatmah, adalah ayah dan ibu dari M. Santosa dan masih dalam garis ayah, dimana R.A. Fatmah bersaudara dengan:
1.    R.A. Djuwita
2.    R.A. Djuwariah, dan
3.    Sukarna.

R.A. Fatmah bersaudara adalah anak dari Raden Tjakradiningrat (Wedana Peucang dan kemudian Cilegon), sedangkan R. Tjakradiningrat bersaudarakan:
1.    R. Tanu Sura Adiningrat
2.    Elok Suwellaningrat
3.    R.K. Padmadiningrat, dan
4.    R.B. Setiadiningrat.
R. Tjakraningrat bersaudara adalah anak dari perkawinan antara R. Murawan Suta Adiningrat atas perkawinannya dengan Ratu Saodah anak dari A.A. Mandura Radja Djajanagara (Regent Serang 1840-1849). R. Murawan Suta Adiningrat (Regent Serang 1878 - 1883) yang mendapat gelar Tumenggung itu, bersaudara (mulai dari yang tertua):
1.    Ny. R.A. Linda
2.    Ny. R.A. Renda
3.    Ny. R.A. Lindung
4.    Murawan Suta Adiningrat
5.    R. Adiningrat
6.    R. Gandaningrat
7.    R. Setjaadiningrat
8.    R. Astra Suta Adiningrat
9.    R. Djaja Prana (Wedana Baros)
10.  R. Bagus Djajadiningrat (Regent Serang 1883 - 1898)
11.  H. Umar Surawinata
12.  R.H. Abubakar (Gongrol Mekah)
13.  Ny. R.A. Lenggarangsari
14.  Ny. R.A. Aliyamah (Istri Patih Chaer)
15.  Ny. R.A. Lidjamsari (Istri Patih Suria, Menes)
16.  Ny. R.A. Lintangsari
17.  R. Puspa Adiningrat
18.  Ny. R.A. Edot
19.  R. Gatot

Tercatat bahwa Saudara R. Murawan Suta Adiningrat yang ke-10, yaitu R. Bagus Djajadiningrat kemudian menjadi Regent Serang menggantikan Raden Tumenggung Murawan Suta Adiningrat, kemudian beristri Ratu Solehah (anak Ratu Bagus Muhammad Ishak, Assistent Wedana Cening, atas perkawinannya dengan Ratu Mariam). Anak-anak R. Bagus Djajadiningrat, adalah:
1.    R. Ahmad Djajadiningrat (Regent Serang 1901-1904)
2.    R. Muhammad Djajadiningrat
3.    R. Hasan Djajadiningrat, dan
4.    Prof. Dr. Husein Djajadiningrat

Ke-19 bersaudara R. Murawan Suta Adiningrat itu, adalah anak dari R.A.A. Natadiningrat (Bupati Pandeglang) atas perkawinannya dengan Ratu Ayu Wargakusuma; Natadiningrat anak Ki Ngabehi Bahu Pringga (Patih Darus) yang bersaudarakan:
1.    Nyai Andil
2.    Kiai Gantang
3.    Nyai Dariah, dan
4.    Ki Anab
Ki Ngabehi Bahu Pringga tercatat pernah menjadi Patih Lebak.
Sangat diperkirakan bahwa sejak Ki Ngabehi Bahu Pringga ini-lah maka genealogi yang sedang dikaji ini, dapat ditelusuri hubungannya dengan Masyarakat Baduy. Karena Ki Ngabehi Bahu Pringga bersaudara itu, adalah anak dari Raden Wirasuta, putra salah seorang pu'un Cibeo, yaitu : Ki Dukun Putil/ Girang Pu'un. Wirasuta, yang dikabarkan tidak puas terhadap cara dan tingkat kehidupan dalam lingkungan masyarakat Baduy itu, kemudian menjadi salah seorang panglima perang Sultan Ageng Tirtayasa, dan setelah wafat diberi gelar Pangeran Astapati, yang dimakamkan di Odel.
Ki Dukun Putil adalah anak dari Batara Bungsu, cucu dari Batara Patandjaja, bersaudara dengan Batara Tjikal, keduanya dipercayai secara tradisional sebagai anak keturunan dari Sanghyang Tunggal.
Kembali pada urutan genealogi ego H.M.A. Sampurna dari pihak ayahnya, yaitu M. Santosa, yang asal keturunannya dapat ditelusuri pada lampiran-lampiran 6, 12, 13, 14, 15, dan seterusnya, sampai ke asal muasal keturunan dari Istana Pagaruyung (Sumatra Barat).
M. Santosa adalah anak Padmadiwiria (Patih Bintang Rangkasbitung), yang meninggal pada tahun 1947, yang adalah anak dari Haji Mas Lamhari Sutadiwiria (Patih Serang dan Bupati Bogor di Jasinga). Lamhari berputra (saudara-saudara Padmadiwiria), yaitu:
1.    Nyi Mas Siti Rohmah, yang menikah dengan  Tubagus Djatmika Atmadiwiria (Asisten Wedana Kragilan),
2.    M. Padmadiwiria (Patih Bintang)
3.    M. Astradiwiria (Wedana Ciomas)
4.    Wanita, yang menikah dengan Wildan Nataatmadja (Wedana Anyer)
5.    Wanita, yang menikah dengan Sastrawiguna (Patih Garut)
6.    M. Encon Partadiwiria, sipir penjara. (Lampiran 14)

Namun dari Lampiran 15, diperoleh informasi yang berbeda, antara lain:
1.    Padmadiwiria pada lampiran 15 adalah bersaudara dengan Sutadiwiria, dan bukan anak dari Sutadiwiria seperti dalam lampiran 14.
2.    Konsekuensi Lampiran 15 menjadikan tata urutan Saudara Padmadiwiria pada Lampiran 14 berubah, karena saudara-saudara Padmadiwiria menurut Lampiran 15, adalah:
a.    Sutadiwiria
b.    Kartadiwiria
c.    Djajadiwiria
d.    Alamuddin
e.    Sastradiwiria
f.     Syahbudin
g.    Ranadiwiria
h.    Padmadiwiria
i.     Satjadiwiria
3.    Sedangkan anak-anak Sutadiwiria menurut Lampiran 15, yakni:
a.    Ratna Suminar
b.    Ratna Komala
c.    Djaka
d.    Amaluddin
e.    Dewi Ratnaningsih
f.     Sartono
g.    Djumhana
h.    Ratnaningrum
4.    Berdasarkan Lampiran 15 pula, maka Padmadiwiria bukanlah anak Sutadiwiria (Lampiran 14), melainkan anak dari Mas Atmadiwiria.
5.    Pengurutan genealogi ke atas selanjutnya tidak menjadi masalah, karena Lampiran 14 hanya sampai pada Haji Mas Lamhari Sutawiria, sedangkan Lampiran 14 memiliki 4 tingkat urutan ke atas setelah Padmadiwiria.

Dari Lampiran 15 ini pula, maka boleh jadi atau dapat dianggap membaurnya keturunan istana Pagaruyung ke dalam "trah" Banten (yang dicampuri juga trah Baduy). Sutadiwiria, Padmadiwiria dan saudara-saudara lainnya, adalah anak dari Mas Atmadiwiria. Mas Atmadiwiria bersaudara dengan:
1.    Siti Rafiah
2.    Mas Atmadiwiria
3.    Siti Maemunah, yang kemudian menikah dengan: Sutan Abdul Aziz alias Raden Sastrawinangun, yang beranak:
a.    Usmansyah
b.    Abubakarsyah
c.    Alibasyah
d.    Arbaiyah
e.    Isnainiyah
f.     Junariyah
g.    Umarsyah
h.    Ahmadsyah
i.     Prof. Dr. Muhammadsyah Sastrawinangun

Mas Atmadiwiria bersaudara, adalah anak Sutan Arifin alias Mas Sutadiwiria, dimana Sutan Arifin masih memiliki saudara, yakni: Sutan Asikin alias Mas Nitidiwiria dan Sutan Abidin alias Mas Mangundiwiria.
Hampir sejajar dengan itu, Sutan Abdul Aziz adalah anak Sutan Hoyong Gelar Radja Bagalib Alam, yang bersaudara dengan Sutan Mangun Tuah, Putri Siti Raja Sari Gumilang, Putri Siti Alam Perhimpunan. Mereka semua adalah anak dari Daulat Yang Dipertuan Agung Sultan Abdullah Baqaqarsyah, anak (ibnu) Sultan Abdullah Syariful Alamsyah, Raja Pagaruyung (Minangkabau), yang dibuang ke Jakarta oleh pemerintah Hindia Belanda, kerangkanya pada tanggal 12 Pebruari 1976 dipindahkan dari Manggadua, Jakarta, ke Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
Sutan Arifin alias Mas Sutadiwiria bersaudara adalah anak dari Sutan Alam Intan (yang karena memihak Imam Bonjol dalam Perang Paderi, oleh pemerintah Hindia Belanda dibuang ke Banten.) Sutan Alam Intan bersaudara dengan Siti Batiyah yang kemudian menikah dengan Daulat Yang Dipertuan Agung Sultan Abdullah Baqaqarsyah, kemudian beranak antara lain Sutan Hoyong Gelar Raja Bagalib Alam, yang menurunkan Sutan Abdul Aziz (Raden Sastrawinangun), yang menikah dengan Siti Maemunah seperti telah disebutkan terdahulu.







PANGERAN ASTAPATI from BADUI ( leluhur eyang Prof. Dr. Pangeran Ario Hoesein Djajadiningrat )


PANGERAN ASTAPATI DALAM SEJARAH


A.   Prawacana

Dimensi ruang, waktu dan budaya masa lalu dalam dinamika dan perspektif sejarah, senantiasa memiliki kaitan erat dengan tokoh, manusia dan kemanusiaannya. Ini antara lain disebabkan bahwa dalam sejarah bidang apa pun, manusia tetap menjadi tema sentral kajian dan pengungkapan sejarah.
Manusia sebagai subyek sejarah, tentunya memiliki konsekuensi bahwa setiap kupasan tentangnya senantiasa pula memiliki subyektivitas, sekali pun upaya-upaya pengungkapannya diusakan untuk menjadi obyektivitas secara maksimal. Tokoh, manusia dengan kemanu- siaannya, antara lain dapat ditelaah dan dimengerti melalui peninggalan-peninggalan berupa benda, baik sebagai pembuktian langsung maupun tidak langsung. Subyektif sejarah itu muncul, sebagaimana diakui oleh Mr. A.K. Pringgodigdo:
 " . . . barangkali akan terlihat pula bahwa yang menulis adalah anak bangsa Indonesia dan barang kali terdapat pula dalam buku ini satu dua pemandangan atau kesimpulan dari penulis yang sangat bergandengan dengan haluannya sendiri, . . ." (1949: 13).

Subyektivitas sejarah itu muncul pula, sebagaimana diakui oleh Prof. Dr. Noegroho Soesanto:
" . . . Tetapi sebagian besar sumber sejarah berasal dari kesaksian manusia, karenannya tidak memiliki realitas obyektif, melainkan hanya merupakan simbol daripada hal-hal yang pernah nyata di masa lampau (1974:IV). Subyektivitas itu pulalah yang menyebabkan terjadinya perbedaan visi, misalnya, Belanda menyatakan Pangeran Diponegoro sebagai pemberontak, sebaliknya, para sejarawan dan rakyat Indonesia dengan kacamata nasionalnya menganggap Pangeran Diponegoro sebagai pahlawan dan pejuang (1987:47).
Prof Dr. Haryati Soebadio mengingatkan dengan tegas, bahwa:
"Sejarah apa pun dan di kawasan mana pun di dunia ini penuh dengan peristiwa yang di satu sisi bisa menimbulkan aneka macam lagenda dan bahkan mitos, sedangkan di sisi lain bisa seketika terlupakan  karena memang selamanya pasang surut, masa keemasan di samping masa pergolakan dan bahkan kemusnahan." (1991 a: 69).
karena itu ia sekali lagi menggarisbawahi agar:
" . . . sejarawan perlu mawas diri, supaya ia tetap menjaga integritasnya sebagai peneliti ilmiah. Sejarawan sebagai ilmiawan tidak diharapkan memberi tafsiran yang melanggar etika ilmiyahnya. Ia mutlak harus mampu menghadapi sekalian peristiwa dan kejadian-kejadian di sekitarnya dengan sikap seobyektif mungkin dan serasional mungkin . . ." (1991 b: 7-8).

Namun demikian, kita tetap menyadari arti penting kajian sejarah be- serta peninggalan/warisan budaya masa lalu atau dikenal dewasa ini de-ngan istilah benda cagar budaya. Di dalam penjelasan Undang- Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, Presiden Soeharto menegaskan bahwa :
"Benda cagar budaya mempunyai arti penting bagi kebudayaan bangsa, khususnya untuk memupuk rasa kebanggaan nasional serta memperkokoh jatidiri bangsa."
Maka sesungguhnya, makna sejarah diakui penting dan karenanya diperlukan. Memang diakui seringkali terjadi terdapat kesenjangan interpretatif antara sejarah sebagai peristiwa maupun sejarah sebagai kisah, atau dengan perkataan lain memang terdapat perbedaan nuansa antara sejarah yang benar-benar terjadi dan sejarah sebagaimana diceritakan. Tetapi yang penting, para sejarahwan dan masyarakat pemakai informasi kesejarahan, menyadari dan menghindari segala kemungkinan penyusunan sejarah yang sebaiknya, karena itu akan berarti sebagai penipuan sejarah.
Bagaimana pun, sejarah senantiasa memiliki perspektif masa depan, dan karena itu tidak ada alasan untuk bersikap pesimistik. Peryataan G.J. Reiner yang sungguh membesarkan hati :
" . . . it is better, therefore, far better, that he should confess, to himself and to his readers, the nature of his approach, display his bias . . ." (1961: 174)

Keterbukaan sikap tersebut jelas amat diperlukan, mengingat bahwa:
"Reality is not 'rational' or 'realistic' in the sense that everything which exists or happens is logical or necessary or explicable, most of it is surprising, fantastic and improbable . . ." (Marc Bloch, 1954).
Dalam kajian ilmu sejarah sedikitnya terdapat dua teori kebenaran yang pada umumnya memiliki relevansi terhadap pengujian kebenaran fakta sejarah, yakni apa yang biasa disebut dengan teori kebenaran korespondensi (correspondance theory of truth) dan teori kebenaran kohe-rensi (coherence theory of truth) (WH Walsh, 1970: 74-75).

Walsh menyatakan bahwa teori korespondensi mengacu pada: se-suatu itu (pernyataan) benar apabila sama (correspond) dengan realitasnya (yakni apa yang benar-benar telah terjadi). Sementara itu teori koherensi menyatakan bahwa sesuatu itu (suatu pernyataan) benar apabila cocok (coherence) dengan pernyataan- peryataan lain yang pernah diucapkan/dinyatakan dan diterima kebenarannya.
Ilmu sejarah berusaha menerangkan masa lampau, keterangan se-jarah adalah keterangan sejarah jika hanya bertautan dan berkaitan kuat pada bukti-bukti sejarah. Bukti-bukti sejarah terdiri dari berbagai ragam, mulai dari segala jenis dokumen, arsip, peta kuno, silsilah, mata uang, prasasti, pada berbagai media (termasuk nisan), peralatan, pemukiman kuno, pelabuhan kuno, sisa-sisa pertahanan/perbentengan, sisa bangun-an, teknologi, natulasi, dan sebagainya.
Para sejarawan juga diminta perhatiannya terhadap berbagai sumber, seperti berita perjalanan, catatan harian, hikayat, tambo, legende dan sebagainya, karena sekali pun sebagian dari sumber-sumber itu meng-alami reduksi mau pun imbuhan, secara keseluruhan mengandung fakta sejarah  tentang sesuatu peristiwa, gejala, atau sesuatu hal. Transformasi data dan keutuhannya dipengaruhi oleh perjalanan waktu, perubahan persepsi serta proses pewarisannya.

Karena itulah dalam penyusunan dokumen historica ini, khususnya ketika pembahasan menyentuh para tokoh, akan dihindari sedapat mungkin berbagai penafsiran yang subyektif meski pun tidak mungkin 100 %. Salah satu misal, kehebatan sesuatu pertempuran akan diukur melalui jumlah pasukan yang terlibat, taktik dan strategi yang digunakan, teknologi peralatan, lama pertempuran, jumlah korban atau kerusakan dan sebagainya. Bukan pula dengan dramatisasi berlebihan mengarah pada retorika.
Mengenai kebenaran, dalam penulisan dokumenta historika sepenuhnya diserahkan kepada khalayak pembaca. Apabila sesuatu sumber berasal dari tradisi lisan, akan disebut tetap sebagai tradisi lisan, tetapi sebaliknya pula, apabila sesuatu sumber memang berasal/merupakan dokumen yang otentik, juga akan disebut sebagai dokumen otentik yang telah teruji kebenarannya. Kisah sejarah Pangeran Astapati mau pun  Raden Cakradiningrat pun tak lepas dari sikap dan disiplin serupa.

Kembali pada tujuan penulisan dokumenta historika ini, tak sekedar untuk mencoba membina ulang satu pohon genealogi, dan jauh dari segala prasangka dan dramatisasi peran atau kedudukan para tokoh yang kebetulan ada di dalamnya. Peranan para tokoh, jika pun ada, hanya akan disebutkan jabatan formal, misalnya residen, regent, wedana, asisten wedana, demang, kontrolir, polisi praja dan sebagainya.

B.   Kondisi Kontekstual Pangeran Astapati

Kehadiran sosok tokoh Pangeran Astapati dalam konteks sejarah kesultanan/daulah Islam Banten, berada pada bentang waktu masa sultan Banten ke-VI. Benteng waktu mana penuh dengan konflik serta intrik istana atau kalangan pucuk pemerintahan, yakni masa pemerintahan Sultan 'Abun Nasr 'Abdul Kahhar Sultan Haji yang memerintah dari tahun 1672 - 1687 (Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, 1990: 162).
Sultan Haji adalah anak kandung sulung Sultan Ageng Tirtayasa 'Abul Fath 'Abdul Fattah yang memerintah dari tahun 1651 - 1672. Dari keempat istrinya Sultan Ageng Tirtayasa mempunyai 27 anak (putera dan puteri), di mana sesuai dengan kebiasaan dalam tata pemerintahan, beliau mengangkat putra pertamanya menjadi "Putra Mahkota". Jabatan ini biasanya dikaitkan sebagai Mangkubumi Pembantu atau Mangkubumi Kedua dalam struktur pemerintahan (Husein Djajadiningrat, 1983: 208). Wewenang Putra Mahkota cukup besar, mengingat setiap keputusan kerajaan, merupakan hasil musyawarah antara Sultan, Mangkubumi dan Putra Mahkota. Karena itu pula maka lazim Putra
Mahkota mempunyai pembantu-pembantu sendiri.

Pengangkatan Pangeran Gusti menjadi Putra Mahkota ini terjadi pada tanggal 16 Pebruari 1671 bertepatan dengan datangnya surat dari Syarif Mekkah yang isinya antara lain bahwa Pangeran Gusti berhak menyandang gelar Sultan Abun 'Nasr Abdul Kahhar, yang juga dikenal dengan nama Sultan Haji. Sultan Haji diberi wewenang mengatur seluruh urusan dalam negeri (internal affairs), sedangkan Sultan Ageng Tirtayasa berwenang mengatur seluruh urusan luar negeri (external affairs).

Kronologi serta dimensi situasional Banten pada waktu itu, mungkin dapat diurut dalam proposisi-proposisi sebagai berikut (Halwany Microb dan Mudjahid Chudari, 1990: 106-107).:
1.    Sultan Abulfath Abdul Fattah atau Sultan Ageng Tirtayasa terkenal sebagai salah seorang sultan Banten yang amat anti Belanda, karena itu ia membangun istana kedua di front depan, yakni di desa Tirtayasa, desa terdekat untuk menyerang Belanda di front Tangerang dan Angke. Karena itu Sultan ini, kemudian lebih dikenal dengan sebutan Sultan Ageng Tirtayasa;

2.    Keberadaan Sultan di Tirtayasa meninggalkan Surosowan sebagai pusat administrasi kesultanan Banten, dimanfaatkan oleh Kompeni Belanda untuk mengadu-domba dan memecah-belah elite kerajaan, yang justru memperhadapkan Sultan dan Pangeran Purbaya (putera kedua) di satu pihak dengan Sultan Haji beserta pengikutnya yang berbasis di Surosowan.

3.    Kompeni Belanda menghasut Sultan Haji (Putra Mahkota), ketika sekembalinya ia dari menunaikan ibadah haji ke Mekkah, mendapati keadaan di mana Pangeran Purbaya yang mempunyai sikap/watak jauh lebih baik dari pada kakaknya, akhirnya Sultan haji lebih percaya kepada Kompeni Belanda yang dianggapnya sebagai kawan sejati, daripada lingkungan keluarga dekat/istana yang ia anggap memusuhinya.

4.    Persahabatan antara Sultan Haji dan Kompeni Belanda sampai pada tahap yang menghabiskan kesabaran Sultan Ageng antara lain de-ngan tindakan-tindakannya:
a.    memasukkan satuan tentara Kompeni sebagai pasukan tambahan di Surosowan;
b.    mengirimkan utusan ke Batavia yang memberitahukan pada VOC bahwa yang berkuasa di Banten-Surosowan pada saat itu adalah dirinya (Sultan Haji) dan bukan lagi ayahnya (Sultan Ageng Tirtayasa);
c.    mengirimkan ucapan selamat kepada Speelman atas diangkatnya yang bersangkutan sebagai Gubernur Jendral VOC di Batavia, padahal Kompeni baru saja menghancurkan pasukan gerilya Banten di Cirebon sehingga Kompeni dapat menguasai Cirebon keseluruhannya.

Hal-hal tersebut semakin memperuncing keadaan dan terbelahnya kekuatan politik-militer pribumi Banten dalam berhadapan dengan Kompeni Belanda, yang hanya menunggu waktu yang tepat untuk menghancurkan Banten. Sikap politik Sultan Haji tersebut kemudian berbuntut dengan:
1.    Penyerbuan Sultan Ageng ke Surosowan yang berakibat dapat didukinya Surosowan,
2.    Sultan Haji kemudian meminta bantuan kepada VOC.
3.    Bantuan VOC terdiri dari pasukan-pasukan: (a) yang dipimpin Kapten Francois Tack dan pasukan Saint Martin menyerbu dari arah Teluk Banten, sedangkan (b) pasukan darat 1000 orang yang dipimpin Kapten Hartsinck dari Batavia menyerang Tangerang, sehingga Tirtayasa dapat diserang dari arah Banten mau pun Tangerang.
Peperangan yang memakan waktu panjang dan jatuhnya korban jiwa serta kerusakan di kedua belah pihak dalam jumlah yang amat besar, melalui siasat yang amat licik, akhirnya peperangan dapat dihentikan dengan dapat ditangkapnya serta dipenjarakannya Sultan ageng Tirtayasa pada tanggal 14 Maret 1683. Sebagaimana diketahui awal penyerbuan VOC adalah pada tanggal 6 Maret 1682, berarti lama peperangan ±1 tahun.
Dalam keadaan terbelah, maka tentu saja kedua belah pihak, yakni Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji (ayah dan anak) memiliki pasukan dan panglima perang yang andal. Menurut tradisi Pangeran Astapati diketahui sebagai panglima perang Sultan Banten yang ke- 6 adalah Sultan Abu'n Nasr Abdul Kahar gelar Sultan Haji.

C.   Identifikasi Pangeran Astapati

Menurut tradisi, Pangeran Astapati adalah salah satu panglima perang Banten pada masa pemerintahan sultan Banten ke-6, berasal dari Baduy. Untuk menelusuri identifikasi tokoh Pangeran Astapati ini, maka akan dikaji hubungan-hubungan antara (1) Baduy dengan Banten, dan (2) Pangeran Astapati dengan Banten dan Baduy. Kajian tentu didasarkan pada :
1.    sejarah tutur (oral history), dan
2.    pendekatan sumber tulisan (written evident approach) baik dari produk sastra (serat, kidung, wawacan dan lain-lain) maupun "ceritera" sejarah yang pernah ditulis.

Penduduk Baduy yang berbahasa Sunda ini, menamakan dirinya sebagai orang Kanekes, sedangkan istilah Baduy adalah sebutan orang luar yang justru tidak disenangi oleh orang Kanikes itu sendiri. Nama Kanekes berasal dari nama Sungai Cikanekes yang mengalir di daerah itu. Selain itu nama orang Kanekes biasa pula menamakan dirinya orang Rawayan. Nama ini berasal dari nama sebuah Sungai Cirawayan, dekat kampung Cikeusik di daerah Baduy Dalam (Nurhadi Rangkuti, 1987: 21-22).

Mengenai hubungan Baduy dengan Banten, dapat ditelusuri dari berbagai sumber naskah kuno seperti: Cariosan Prabu Silihwangi, serta sejarah tutur (oral history) atau yang kemudian dikembangkan sebagai life histories approach (Yudistira Garna, 1991: 73-74).

Banyak orang beranggapan bahwa orang Baduy adalah keturunan orang pelarian dari Pajajaran ketika kerajaan itu jatuh ke tangan pe-nguasa-penguasa/kerajaan pantai yang beragama Islam, kemudian orang-orang yang lari itu tidak mau masuk/beralih ke agama Islam.

Menurut kajian N.J.C. Geise (1991; 70), berdasarkan Cariosan Prabu Silihwangi (CPS), dinyatakan bahwa Prabu Silihwangi mengadakan hubungan persekutuan dengan tujuh raja, yaitu Raja Ponggang, Singapura, Sumedang, Kawali, Panjalu, Pekalongan dan Blambangan (N.J.C. Geise, 1952: 204). Nama Sultan Banten tidaklah disebut.

Berdasarkan rekaman tutur Jaro Sarpin yang pada waktu wawancara dilakukan berfungsi sebagai Jaro Gupernemen (penghubung antara masyarakat Baduy dengan Gupernemen mana saja), dapat diamati me-ngenai pandangan orang Baduy sendiri mengenai diri mereka sendiri (inward looking), seperti berikut ini:

"Bulan Kawalu, Bulan Karuhun, wangatua urang, paradalam Prabu Siliwangi asup jadi urang Pakuan, nya eta maung. Dipenta ku Jaro kaselametan. Bisa ngarekakeun jelema, manehna ngarupakeun jelema ngajagi, ngaraksa umat-umat Jaro, lamun puasa, titipan urang Pakuan, geus ku Jaro pantangan sagala rupa geh, sabab dipenta-penta kasalametan tina karuhun tea. Diurus dina bulan Kawalu, di tanggal delapan belas. Hayang cunduk cimarang aturan, cimereng micara, anak umat-umat, anak putu-putu sakbeh, anak putu Kanjeng Nabi Muhammad sakabeh, bangsa Cina, Blanda, supaya jajakertana, jauh belahina, salamet dirina, jajaperangna, parek rejekina" (Geise, 1991: 70-71).
dari self-identification tersebut, nampak jelas bahwa dalam sikap kandang  orang Baduy hanya terdapat dua tatanan masyarakat, yakni: Baduy dan non Baduy. Pengetahuan mereka mengenai struktur/tatanan non-Baduy amat terbatas, seperti yang mereka katakan:

"Pulau Banten jeung negara telung puluh, salawe pancanegara, sakolong langit, satangkarak lemah"
yang semuanya itu:
"Tangtu Tilu anu ngurusan, Jaro dangka anu napaan."
selain itu, betapa lugas sikap mereka:
"Jelema Kanekes tara takluk ka Gupernemen."

Dari rekaman sikap-sikap orang Baduy tersebut di atas, tampak bahwa Prabu Silihwangi beserta rakyat dan tatanannya bukan merupakan acuan dari masyarakat Baduy. Masyarakat Baduy memiliki hubungan yang jauh lebih dekat terhadap Ratu Banten seperti yang dituturkan oleh Ki Jalceu pada sekitar tahun 1982, yang menyatakan sikapnya sehubungan dengan hilangnya satu benda pusaka mereka. Ia menyatakan:
"Ayeuna teh usum halodo panjang, naha winduan atawa seuseulan ? Ceuk kami mah seuseulan, sebab Sangiang Pakombaan, nyaeta tutunggangan Ratu, nu kudu dijaga ku katurunan Puun, leungit. Sangiang Pakombaan teh kapan tutunggangan atawa titipan Ratu Banten, ratu urang sarerea
Tapi bukan berarti Baduy di bawah Banten, sedangkan hubungannya dengan Siliwangi, dikatakan Ki Jalceu sebagai berikut:

"Siliwangi di kami euweuh tuturunananan. Da turunan Siliwangi mah aya di Bogor. Jang kami urang Baduy, ngasuh ratu ngayak menak. Menak mah nyaeta anu ulung-ulung, anu ngaraksa nagara. Di kami mah euweuh menak. Namun para Dalem mah aya." (Yudistira Garna, 1991: 76-77).

Dari uraian terakhir, nampak inward-looking orang Baduy pada dasarnya :
1.    Orang Baduy atau orang Kenakes atau orang Gejeboh atau orang Kaduketug, memiliki hakekat pengetahuan tentang dunia luar, yang yang berkaitan dengan pembagian tugas bagi orang Baduy sebagai keturunan Karuhun untuk memelihara kelestarian kehidupan termasuk "mengayomi" Ratu Banten.
2.    Namun demikian Ratu Banten bukan penguasa Baduy, dan raja-raja Silihwangi bukan karuhun orang Banten.
Selain itu, ada pula ceritera-ceritera yang terutama diketahui oleh tokoh-tokoh masyarakat Baduy tentang riwayat Ratu Banten, yang bersama pengiringnya meninggalkan Banten, memudiki Ciujung dan akhirnya sampai di daerah sekitar mata air Ciujung di Pegunungan Kendeng, selenjutnya menetap disana. Mereka itulah nenek moyang orang Baduy. Di desa Kanekes terdapat sebuah kampung yang penduduknya beragama Islam, yaitu di kampung Cikakal Girang (Kodrat Subagio, 1976).

Pangeran Astapati dipercayai sebagai salah seorang pemimpin perang Sultan Banten ke-6 yang berasal dari Baduy. Menurut tradisi lisan, sesuai yang dituturkan oleh para keturunan Pangeran Astapati dan juga juru kunci makam Pangeran Astapati di Odel. Disebutkan dalam tradisi sejarah tutur tersebut, bermula dari Sanghyang Tunggal adalah Ratu Sunda/Parahyangan, yang berputera: (1)  Batara Cikal (yang meninggal semasa berusia muda), dan (2) Batara Patanjala (yang memerintah di Baduy, sedangkan putera ke-3, 4, 5 yang namanya tidak disebutkan, diperintahkan untuk memerintah di "salawe (25) nagara", termasuk di daerah Sunda, Priangan dan pulau-pulau kecil di sekitar Sunda/Priangan.

Dalam ingatan para pewaris Pangeran Astapati itu, disebut-sebut pula mengenai Banten merupakan pusat, sesuatu negara besar yang penuh dengan keramat. Batara Patanjala berputra antara lain Batara Bungsu yang ditugaskan melanjutkan pemerintahan di Baduy. Selanjutnya, salah seorang putera Batara Bungsu, yakni Ksatria Ki Dukun Putil yang juga berpangkat sebagai "Girang Pu'un" berkedudukan di Cikatarwana, merupakan putra yang diserahi untuk mengurus pengaturan, kemakmuran, keadilan dan keamanan "negara' Baduy.

Dukun Putil ini juga mempunyai beberapa anak, yang salah satu di antaranya tidak merasa puas terhadap tradisi hidup di Baduy, jiwanya menolak adat istiadat serta kebiasaan di Baduy, yakni putra yang bernama Raden Wirasuta.
Pada saat yang sama, Kesultanan Banten dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa - 'Abulfath 'Abdul Fattah, Sultan Banten ke-6, ayah dari Sultan 'Abun Nasr 'Abdul Kahhar atau Sultan Haji, yang kemudian menjadi sultan banten yang ke-7.

Beranjak dewasa Raden Wirasuta datang ke Keraton Surosowan, diterima sebagai bujang yang bertugas mencuci, di dapur, membersihkan pekarangan dan mengurus kuda. Dengan pekerjaannya itu, Raden Wirasuta menjadi salah seorang pembantu kepercayaan Sultan, sehingga ia diangkat menjadi prajurit, lantas dinikahkan dengan salah seorang puteri Sultan (Ratu Dahlia), diangkat menjadi menteri negara merangkap sebagai panglima perang.

Dalam naskah Sajarah Banten Rante-rante, pupuh LXIII, antara lain disebutkan pula bahwa Pangeran Wirasuta (Raden Wirasuta), merupakan salah seorang Panglima yang dipercayai Sultan untuk menghadapi serangan armada kapal perang Belanda dari arah teluk Banten. Untuk sejumlah meriam dipersiapkan untuk menembaki kapal dari arah kota Surosowan. Meriam-meriam itu diatur dan dipercayakan kepada beberapa panglima, yaitu meriam-meriam: Jaka Tua kepada Pangeran Papatih, Jaka Pekik kepada Pangeran Kidul, Kalantaka kepada Pangeran Wetan, Muntab kepada Tubagus Suradinata, Urangayu kepada Pangeran Wirasuta . . . (Husein Djajadiningrat, 1983: 76).

Pada waktu meng-Islam-kan Sriwijaya, dan setelah beres kembali ke Banten, di tengah laut selepas Lampung, Pangeran Wirasuta diserang secara pengecut (di-dodoho atau dibokong) oleh Ratu Dorah Putih, yang mengakibatkan luka parah (putus?) lengannya.

Tak lama setelah tiba di Surosowan Pangeran Wirasuta wafat, dimakamkan di Kasemen, dengan gelar Pangeran Astapati. Keramat makam/pesareannya kemudian hari menjadi makam keluarga keturunan para bangsawan Lebak Parahyang, dan tumbuhnya Amanat Karuhun yang berbunyi:

"Turunan atawa teureuk menak Lebak Parahyang teu menang nikah ka urang Palembang eujeung Lampung."

Pada dasarnya amanat karuhun tersebut memantangkan/melarang keturunan Menak Lebak Parahyang untuk menikah/kawin dengan orang Palembang atau Lampung.

Pangeran Astapati atau Raden Wirasuta Akmaldiningrat mempunyai anak:
1.    Ki Ngabehi bahu Pringga (Patih Darus)
2.    Ki Anab
3.    Nyai Dariah
4.    Kiai Gantang
5.    Nyai Andil
(pada keadaan sekarang, makam-makam anak ke-1, 2, 3 itu berjajar, sedangkan Kiai Gantang di bawah pohon santigi, dan Nyai Andil di dekat Urut Situ di Pasir Waluh, Lebak).

Ki Ngabehi Bahu Pringga (Patih Darus) menurunkan putera-putera ada yang menjadi ulama ksatria, santana (menak) dan petani. Yang menjadi kesatria/menak antara lain K.H. Kimaslia yang kemudian menjadi ulama sekaligus menak yang memegang kuasa atas daerah kabupaten Pandeglang dan bergelar R.T.A.A. Natadiningrat, yang juga dikenal sebagai Dalem Tjekek, setelah wafat dimakamkan di Pasarean Masjid Pandeglang. Natadiningrat mempunyai 26 orang anak laki-laki dan perempuan (dari lain-lain istri), di antaranya ada yang melanjutkan tradisi keratuan, yaitu:
1.    Raden Murawan Sutadiningrat
2.    Raden Bagus Djajadiningrat

Sutadiningrat mempunyai anak antara lain (1) Raden Tjakra-diningrat, dan (2) Raden Tanu Sura Adiningrat (melanjutkan memerintah Tjaringin (Menes) dan Pandeglang, dan dimakamkan di Pasarean Masjid Pandeglang. Sementara itu Tjakradiningrat ditunjuk menjabat di daerah Peucang, kemudian menjadi Wedana di Cilegon, sampai akhirnya tewas menjadi korban dalam pemberontakan Cilegon pada tahun 1888. Tjakradiningrat kawin antara lain dengan Nyi Raden Ajeng Encoh (Patih Bintang Rangkasbitung) berputera antara lain Nyi Mas Siti Asyah Amiruddin, Nong Tris dan lain-lainnya.

Perjalanan sejarah keturunan Pangeran Astapati, ternyata memang membentuk benang lurus, melahirkan/menurunkan atau pun menikah dengan para tokoh, pejabat dan cendikiawan. Penafsiran ini, tentu saja dicoba untuk dihilangkan subyektivitas kesejarahan, antara lain yang dapat dimunculkan akibat adanya aspek nasionalisme/nasionalitas.

Penokohan di sini, tak lain dikaitkan semata-mata terhadap prestasi puncak yang dapat dicapai oleh anggota "pohon keturunan" ini, yang banyak di antaranya didukung oleh dokumen-dokumen otentik-adminis-tratif.
Sementara itu, dari autobiografi P.A.A. Djajadiningrat (1936), dapat diurutkan asal muasal Pangeran Astapati beserta keturunannya, yang dikutip berikut ini.
"Batara Toenggal ada berpoetera enam orang laki-laki. jang soeloeng Batara Tjikal, wafat dengan tidak berpoetera. Sekarang ia memerintah doenia bersama-sama ayahnja. Poeteranja jang kedoea Batara Pantandjala, semata-mata memerintah bangsa Kanekes (Badoey) dan poeteranja yang bertiga lagi berkoeasa di Salawe Nagara (doea poeloeh lima negeri). Batara Patandjala berpoetera beberapa orang laki-laki, jang moeda sekali bernama Batara Boengsoe. Dari Batara Boengsoe inilah asalnja poe'oen-poe'oen Cibeo."

"Kira-kira pada waktoe Soeltan Ageng Tirtajasa memerintah di Banten, maka salah seorang Poe'oen Tjibeo itu ada beranak seorang laki-laki bernama Raden Wirasoeta. Ada poen Raden Wirasoeta ini tidak senang diam dalam masjarakat bangsa Badoej itoe, karena masjarakat itu terlaloe sempit terasa padanja. Oleh karena itoe dimintanjalah dengan sangat kepada Bapaknja, soepaja ia diberi idjin akan menghambakan diri kepada Soeltan Banten. Bapaknja tidak berkeberatan dan Raden Wirasoeta diberinja nasihat akan menghiliri Soengai djoeng: kelak akan sampai ke Keraton Bantam."

"Hanja dengan sebilah keris bernama "Kebo Gandar" sadja (jaitoe jang masih ada pada saja), toeroenlah Wirasoeta dari kampoengnja, berdjalan menghiliri Soengai Tjioedjoeng. Achirnja sampailah ke Tirtajasa, tempat Soeltan bersemajam pada waktoe itoe."

"Tidak lama antaranja ia poen diterima menjadi hamba di Keraton, moela-moela mendjadi hamba biasa (panakawan) tapi kemoedian mendjadi pradjoerit."

Dari autobiografi Djajadiningrat tersebut di atas, juga disebutkan bahwa Sultan Ageng Tirtayasa kerapkali berperang. Di dalam peperangan itu, Wirasuta menampakkan kecakapannya, dan untuk itu kemudian ia diangkat menjadi pangeran dan dinikahkan dengan salah seorang anak dari Sultan Ageng Tirtayasa.

Djajadiningrat selanjutnya menulis bahwa pada akhirnya Pangeran Wirasuta diangkat menjadi Patih (Perdana Menteri). Kira-kira pada tahun 1663, ketika memadamkan pemberontakan di Lampung, ia terluka pada tangannya. Dikatakan bahwa luka yang diderita oleh Pangeran Wirasuta membawa maut. Karena itu setelah ia meninggal, diberi gelar Pangeran Astapati (asta = tangan, pati = mati).

Hal penting dalam kajian dan rekonstruksi genealogi Pangeran Astapati ini, antara lain:
1.    tercampurnya trah Baduy dan Minangkabau pada ayah Ego dalam hal ini M. Santosa, sebagai salah satu anak dari perkawinan M. Padmadiwiria/Patih Bintang (keturunan Minangkabau) dan R.A. Fatmah yang memiliki keturunan/darah Baduy.
2.    semakin jelasnya pola-pola perkawinan antar bangsawan atau antar pejabat di masa lalu, sehingga pada setiap generasi senantiasa ada yang tampak memegang jabatan-jabatan tinggi/prestisius di daerah.
3.    baik dari keturunan pihak ayah maupun ibu M. Santosa (ayah Ego), beberapa kali memunculkan anggota generasi yang pernah menjadi pimpinan perang atau paling tidak memperlihatkan kekokohannya dalam melawan kolonialisme.

Seperti telah berulangkali disebutkan, penyusunan genealogi keluarga ini, sama sekali tidak memiliki pretensi untuk melebihkan atau membesar-besarkan peran dan ketokohan sejarah dari anggota-anggota generasi dalam pohon genealogi tersebut. Namun berbagai bukti ternyata memang menunjukkan bahwa dalam genealogi tersebut, terdapat dan tertanam benih-benih serta semangat anti penjajah. Sampai saat terakhir penulisan, belum dapat diamati korelasi antara sikap Banten dan Pagaruyung yang memang dikenal sangat anti Belanda, terhadap sikap serta wawasan anggota-anggota generasi dalam genealogi dimaksud.

Genealogi tersebut, sekaligus sepertinya membenarkan adanya premis yang berlaku dalam baik masyarakat Sunda maupun Jawa, yakni berlakunya bibit, bebet dan bobot dalam memelihara keturunan/keluarga.
Risalah penelusuran genealogi ini, sama sekali bukan ditujukan untuk menulis babakan/penggalan sejarah dalam sejarah Banten. Risalah ini hanyalah memiliki lingkup documenta historica bagi Pangeran Astapati dan keturunannya, baik ke atas maupun ke bawah.

Penelusuran yang memperlihatkan kecenderungan konglomerasi anggota-anggota genealogi yang mengarah pada kecenderungan mema-sukkan anggota birokrasi ke dalam pohon keluarga. Baik pada masa pra kemerdekaan, maupun pasca kemerdekaan.

Birokrasi kolonial maupun birokrasi republik, pada dasarnya dibentuk dengan harapan memperlancar kegiatan-kegiatan yang harus di-selenggarakan dan dikembangkan dalam usaha mencapai tujuan "organisasi" se-rasional mungkin. Pengaturan struktur birokrasi dan peranan-peranan para anggota birokrasi, yang dengan sengaja diangkat untuk menangani ekses-ekses, mengelola dan mengakomodasikan konflik dan partisipasi, serta mengelola administrasi pada setiap kegiatan organisasi.

Risalah ini sejak semula tidak diarahkan untuk "memberi warna hitam-putih" terhadap para tokoh yang disebutkan dalam genealogi. Meski pun risalah ini bukan dimaksudkan untuk penulisan sejarah, tetapi penulisannya itu sendiri didasarkan pada bukti/dokumen/ sumber sejarah. Dan jika saja ada percabangan ke samping dan kemudian ke atas atau ke bawah di luar garis hubung pokok (main linkage) yang tidak dipaparkan dalam verbal, berdasarkan bukti yang ada, kekurangan tersebut terdapat dalam lampiran-lampiran.

Risalah ini sungguh ditujukan bagi kepentingan paguyuban keluarga Pangeran Astapati beserta keturunan-keturunannya, dan sungguh jauh dari pretensi eksklusivisme, yang jelas-jelas bertentangan secara diametral terhadap cita-cita dan semangat proklamasi kemerdekaan, Pancasila dan UUD RI Tahun 1945.

Risalah ini, penulisannya ditujukan untuk merunut pohon keluarga sebagai dan dalam rangka menguatkan salah satu sendi kesadaran jatidiri yang berawal dari masa lalu, eksis di masa kini dan senantiasa memiliki perspektif masa depan. Seperti dipaparkan semula, risalah ini juga menjauhi konglomerasi anggota keturunan ke dalam kategorisasi sebagai pahlawan atau bukan pahlawan.

Apabila dalam runutan tersebut memang terdapat suri keteladanan, kepahlawanan, kecendiakawanan, maupun kepiawaian dalam ketata-prajaan, maka semoga hal tersebut justru jadi pendorong, stimulasi dan motivasi untuk senantiasa meningkatkan kualitas sumberdaya manusia pada generasi penerus yang bertanggungjawab pada masa depan negara, bangsa, agama, dan keluarga. Semoga.






Pangeran Astapati from Badui ( leluhur my grandpa Prof. Dr. Pangeran Ario Hoessein Djajadiningrat )


Cerita menarik tentang Kesultanan Banten belum lengkap bila tidak menceritakan riwayat Pangeran Astapati yang sakti mandraguna. Pangeran ini tidak dimakam di kompleks pemakaman raja-raja di serambi Mesjid Agung Banten, tetapi berada di pemakaman keluarga di Kampung Odel, Desa Kasemen, Serang.

Siapa sebenarnya Pangeran Astapati? Menurut catatan Babad Banten, Pangeran Astapati adalah salah satu pengikut setia Sultan Muhammad Arif Zainal Asikin yang memerintah tahun 1743-1773. Nama aslinya sebenarnya Wira Suta. Konon sebelum dinobatkan sebagai seorang pangeran dengan gelar yang sesuai sepak terjangnya adalah pelarian dari “Negeri Sejuta Pantangan” Baduy. Suta keluar dari tatanan adat Kenekes karena ingin mencari pengalaman di dunia lain.

Awalnya pemuda yang bertubuh kekar itu bekerja di lingkungan keraton sebagai pelihara kuda-kuda istana. Karena rajin, dia diperbolehkan belajar seni bela diri dan keprajuritan. Hasilnya ternyata tidak mengecewakan pelatihnya. Dari keberanian dan ketangkasan yang diperlihatkan pemuda ini kemudian diberi nama tambahan Wira di depan namanya. Dia juga dikenal di kalangan keraton dan akrab bergaul dengan siapa saja. Setelah menguasai ilmu bela diri karirnya cepat menanjak dan nasibnya mulai berubah. Lalu dia diberi kepercayaan memimpin pasukan perang diangkat menjadi Patih (Perdana Menteri). Kira-kira pada tahun 1663, ketika memadamkan pemberontakan di Lampung, ia terluka pada tangannya. Dikatakan bahwa luka yang diderita oleh Pangeran Wirasuta membawa maut. Karena itu setelah ia meninggal, diberi gelar Pangeran Astapati (asta = tangan, pati = mati)

Dan atas jasa-jasanya pada masa itu pemuda Suta dijodohkan dengan salah seorang puteri Sultan yang cantik. Dari hasil perkawinannya lahir anak pertama yang diberi nama Djajadiningrat. Dari keturunan keluarga ini kemudian menghasilkan tokoh-tokoh teknokrat dan birokrat ternama.

Di sekitar makam pangeran yang sakti mandraguna bergelar Pangeran Astapati Parahyangan Perpati Sultan yang wafat tahun 1773, terdapat pula makam keturunannya. Kompleks makam yang dinamakan Mulya Srama itu antara lain terdapat nama seperti R.Temenggung Djajadiningrat (25 Juli 1890), R.Hasan Djajadiningrat (30 Desember 1920), R.Adipati Sutraningrat (3 Juli 1890), Profesor Sindian Isa Djajadiningrat (27 April 1968), RAA Hilman Djajadiningrat (25 November 1963) dan R.Tjakradiningrat (9 Juli 1888). Nama yang terakhir adalah kakek HMA Sampurna (alm) mantan Wagub Jawa Barat dan pernah menjabat sebagai Bupati Serang ke-27.

Makam-makam kuno yang banyak tersebar di sekitar Kecamatan Kasemen dan cukup jauh dari kompleks keraton bukan karena yang bersangkutan tidak diterima di pemakamanan keluarga istana. Tetapi karena pesan si mati ketika masih hidup ingin dimakamkan di tempat tertentu.

Pangeran Astapati atau Raden Wirasuta Akmaldiningrat mempunyai anak:
  1. Ki Ngabehi bahu Pringga (Patih Darus)
  2. Ki Anab
  3. Nyai Dariah
  4. Kiai Gantang
  5. Nyai Andil
(pada keadaan sekarang, makam-makam anak ke-1, 2, 3 itu berjajar, sedangkan Kiai Gantang di bawah pohon santigi, dan Nyai Andil di dekat Urut Situ di Pasir Waluh, Lebak).

Ki Ngabehi Bahu Pringga (Patih Darus) menurunkan putera-putera ada yang menjadi ulama ksatria, santana (menak) dan petani. Yang menjadi kesatria/menak antara lain K.H. Kimaslia yang kemudian menjadi ulama sekaligus menak yang memegang kuasa atas daerah kabupaten Pandeglang dan bergelar R.T.A.A. Natadiningrat, yang juga dikenal sebagai Dalem Tjekek, setelah wafat dimakamkan di Pasarean Masjid Pandeglang. Natadiningrat mempunyai 26 orang anak laki-laki dan perempuan (dari lain-lain istri), di antaranya ada yang melanjutkan tradisi keratuan, yaitu:
  1. Raden Murawan Sutadiningrat
  2. Raden Bagus Djajadiningrat
Sutadiningrat mempunyai anak antara lain

  1. Raden Tjakra-diningrat
  2. Raden Tanu Sura Adiningrat (melanjutkan memerintah Tjaringin (Menes) dan Pandeglang, dan dimakamkan di Pasarean Masjid Pandeglang.

Sementara itu Tjakradiningrat ditunjuk menjabat di daerah Peucang, kemudian menjadi Wedana di Cilegon, sampai akhirnya tewas menjadi korban dalam pemberontakan Cilegon pada tahun 1888. Tjakradiningrat kawin antara lain dengan Nyi Raden Ajeng Encoh (Patih Bintang Rangkasbitung) berputera antara lain Nyi Mas Siti Asyah Amiruddin, Nong Tris dan lain-lainnya.

SILSILAH KETURUNAN PANGERAN ASTAPATI

01
ADIPATI WIRAKOMA

Puputra
Raden
1. Wira sutra

Puputra
Raden
1. Wira suta Kangjeng.pangeran Astapati

 Puputra

Raden
1. Tumenggung arya wangsapati

Puputra

Mas
1. Behi bahu pringga . Patih pangsiun . Rks

Puputra

Raden
1. Adipati aryanata diningrat.Bupati pangsiun Pdg.


KANGJENG PANGERAN ANDAYA NINGRAT

Puputra

Pangeran
Purba ningrat

Puputra
Raden
Ayu purba ningrat

Kawin pada

Pangeran
Kangjeng Pangeran Astapati

Puputra

Raden
Tumenggung arya wangsa pati

Puputra

Mas
Behi bahu pringga

KIAI SYEKH ‘ABDUL QOHAR

Puputra

Mas
‘Aisyah

Kawin pada
 Tumenggung sutra dilaga
 Puputra
 Mas
Patimah

Kawin pada

Tumenggung arya wangsa pati
 Puputra
1
Mas
1. Behi bahu pringga
2
Mas
2. Dihung
3
Mas
3. Apak
4
Mas
4. Ani
5
Mas
5. Inuk
02

TUMENGGUNG SUTRA DILAGA

Puputra

Raden
Tumenggung Suta dilaga

Puputra

Mas
Khodijah

 Kawin pada

Mas
Ngabehi bahu pringga

Puputra
1
Raden
1. Adipati aryanata diningrat
2
Mas
2. Wera
3
Mas
3. Ratna
4
Mas
4. Kaman

MAS NGABEHI BAHU PRINGGA

Kawin pada

Mas
Sarmah

Puputra
Mas
1. Niting rangga

MAS NGABEHI BAHU PRINGGA

Kawin pada

Mas
Dara

Puputra
1
Mas
1. Mukibah
2
Mas 
2. Hanifah

RADEN ADIPATI ARYANATA DININGRAT

Kawin pada

Mas
Artasiah  - Istri ke. 1

Puputra
1
Raden
1. Ajeng lindasari
2
Raden
2. Adipati suta diningrat
3
Raden
3. Ajeng rendra
4
Raden
4. Ajeng syah jaleha
5
Raden
5. Adipati gunadiningrat
6
Raden
6. Adipati shaja diningrat

RADEN ADIPATI ARYANATA DININGRAT

Kawin pada

Mas
Armah – Istri ke . 2

Puputra
1
Raden
1. Ajeng liam sari
2
Raden
2. Ajeng lenggang sari
3
Raden
3. Ajeng purwa sari

03
RADEN ADIPATI ARYANATA DININGRAT

Kawin pada

Mas
Kasi’ah – Istri ke . 3

Puputra


Raden
1. Marga diningrat
RADEN ADIPATI ARYANATA DININGRAT

Kawin pada

Raden
Ayu warga kusumah  - Istri ke . 4

Puputra
1
Raden
1. Ikak
2
Raden
2. Astra suta diningrat
3
Raden
3. Jaya prana diningrat
4
Raden
4. Tumenggung jaya diningrat
5
Raden
5. Haji ‘Abubakar
6
Raden
6. Haji ‘Umar
7
Raden
7. Sura wijaya


RADEN ADIPATI ARYANATA DININGRAT

Kawin pada
Mas
Armunah – Istri ke . 5

Puputra

Raden
Ajeng mukisah

RADEN ADIPATI ARYANATA DININGRAT

Kawin pada

Mas
Janasiah -  Istri ke . 6

Puputra
1
Raden
1. Ajeng lintang sari
2
Raden
2. Lijam sari

RADEN ADIPATI ARYANATA DININGRAT

Kawin pada

Mas
Dengok - Istri ke . 7

Puputra
1
Raden
1. Dotong
2
Raden
2. Wira diningrat

04
RADEN ADIPATI ARYANATA DININGRAT

Kawin pada

Mas
Ratu sunda – Istri . 8

Puputra
1
Raden
1. Sarbala
2
Raden
2. Purba kadaton
3
Raden
3. Wira kadaton
4
Raden
4. Atmaja diningrat
5
Raden
5. Puspa diningrat
6
Raden
6. Ganda diningrat

 KANGJENG PANGERAN ASTAPATI
 Punya – 3 – saudara
1
Mas
1. Agung
2
Mas
2. Arya jaga pamuka
3
Mas
3. Hasan


RADEN AYU PURBA DININGRAT

Puputra
1
Raden
1. Tumenggung wangsa pati
2
Ratu
2. Syari’ah

Puputra
1
Mas
1. Widara
2
Tubagus
2. Askah
3
Tubagus
3. Abdullah
4
Tubagus
4. Durrohman


TUMENGGUNG  MUTADILAGA

Puputra
1
Mas
1. Khodijah
2
Mas
2. Inung
3
Uyang
3. Muktar
4
Uyang
4. Sanaf


SYEKH ‘ABDUL QOHAR
 Puputra
1
Mas
1. ‘Aisyah
2
Syekh
2. ‘Abdullah

Puputra
1
Raden
1. Demang mangku diraja – Patih cianjur
2
Raden
2. Adipati parawira – Bupati cianjur
3
Raden
3. Adipati arya kusuma ningrat – Bupati cianjur

05
MAS NGABEHI BAHU PRINGGA

Kawin pada

Mas
Khodijah – Istri ke . 1

Puputra
1
Raden
1. Adipati aryanata diningrat
2
Mas
2. Weda
3
Mas
3. Ratna
4
Mas
4. Kaman


MAS NGABEHI BAHU PRINGGA
 Kawin pada

Mas
Dara – Istri ke . 2

Puputra
1
Mas
1. Mukibah
2
Mas
2. Hanifah

MAS NGABEHI BAHU PRINGGA

Kawin pada
Mas
Sarmah – Istri ke . 3

Puputra
1
Mas
1. Niting rangga





Selasa, 02 April 2013

PRABU GEUSAN ULUN, PEWARIS PADJAJARAN

Angkawijaya atau Pangeran Kusumahdinata II, lebih dikenal dengan sebutan Geusan Ulun di nobatkan pada tanggal 10 bagian terang bulan Posya tahun 1502 Saka, bertepatan dengan tanggal 18 November 1580. Ia menggantikan Pangeran Santri yang wafat pada tahun 1579 M.
Lajimnya seorang raja, biasanya memiliki simbul-simbul tertentu dari tradisi dikerajaannya sehingga dengan penguasaan simbol tersebut maka seorang raja akan lengkap mendapat legitimasi, baik secara de facto maupun de jure.
Sama dengan peristiwa yang dialami Geusan Ulun, pengganti Pangeran Santri. Ia bukan sekedar penguasa Sumedang Larang melainkan juga “diistrenan” sebagai pewaris syah tahta Pajajaran. Masalah ini menjadi sangat menarik untuk dibahas, mengingat saat itu eksistensi Cirebon dan Banten masih ada, bahkan selain memiliki kekuatan riil juga masih trah raja Sunda.
Ada dua simbol yang dapat melengkapi pengesahan pelantikan raja-raja di Pajajaran, yakni : Mahkota raja dan atrbutnya (kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu) serta batu palangka, tempat dilantiknya raja-raja Pajajaran. Memang yang digunakan Angkawijaya pada saat pelantikannya adalah seperangkat Mahkota dan pakaian raja, sedangkan batu palangka telah diboyong Panembahan Yusuf ke Surasowan.
Didalam Pustaka Kertabhumi ½ dikisahkan :
  • “Geusan Ulun nyakrawati mandala ning Pajajaran kang wus pralaya, ya ta sirna, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang heneng Kutamaya ri Sumedangmandala” (Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahyangan. Keraton raja Sumedang ini terletak di Kutamaya dalam daerah Sumedang).
Kemudian ditegaskan pula, bahwa: “Rakyan Samanteng Parahyangan mangastungkara ring sirna Pangeran Ghesan Ulun” (Para penguasa lain di Parahyangan merestui Pangeran Geusan Ulun).
Simbol raja Pajajaran.
Pasca penyerangan Banten ke Pakuan dan Pakuan sudah tidak berfungsi sebagai ibukota. Sebagian penduduk telah mengungsi ke wilayah pantai selatan, membuat pemukiman baru didaerah Cisolok dan Bayah (mungkin juga cerita komunitas Abah Anom didaerah Ciptarasa mulai dari sini), sebagian lagi mengungsi ke timur, diantaranya terdapat pembesar kerajaan, seperti Senapati Jayaprakosa atau Sanghyang Hawu, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.
 
Mahkota Raja Pajajaran
Ketika meloloskan diri dari Pakuan, Jayaperkosa membawa (menyelamatkan) Mahkota dan atribut raja Pajajaran ke Sumedang Larang, yang menjadi simbol raja Pajajaran. Atribut sebagai simbol yang perlu dimiliki raja-raja Pajajaran. Selain itu biasanya raja-raja Pajajaran diistrenan diatas batu Gilang batu gilang atau palangka batu sriman sriwacana.
Berakhirlah jaman Pajajaran (1482 – 1579), ditandai pula dengan diboyongnya Palangkan Sriman Sriwacana (Tempat duduk tempat penobatan tahta) dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu di boyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu “mengharuskan” demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang “sah” karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja.
Tentang sakralitas batu tersebut diceritakan pula dalam Carita Parahiyangan di beritakan sebagai berikut :
  • • “Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka
  • • Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja
  • • Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima
  • • Punta Narayana Madura Suradipati,
  • • inyana Pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata
(Sang Susuktunggal ialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana untuk Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata).
Batu Pangcalikan bisa ditemukan, misalnya di makam kuno dekat Situ Sangiang di Desa Cibalanarik, Kecamatan Sukaraja, Tasikmalaya dan di Karang Kamulyan bekas pusat Kerajaan Galuh di Ciamis. Sementara Batu Ranjang dengan kaki berukir dapat ditemukan di Desa Batu Ranjang, Kecamatan Cimanuk, Pandeglang (pada petakan sawah yang terjepit pohon).
Kata Palangka secara umum berarti tempat duduk (pangcalikan). Bagi raja berarti Tahta. Dalam hal ini adalah Tahta Nobat yaitu tempat duduk khusus yang hanya digunakan pada upacara penobatan. Di atas Palangka itulah ia diberkati (diwastu) oleh pendeta tertinggi. Tempatnya berada di Kabuyutan Kerajaan, tidak di dalam istana. Sesuai dengan tradisi, tahta itu terbuat dari batu dan digosok halus mengkilap. Batu Tahta seperti ini oleh penduduk biasanya disebut Batu Pangcalikan atau Batu Ranjang (bila kebetulan dilengkapi dengan kaki seperti balai-balai biasa).
Palangka Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten. Karena mengkilap, orang Banten menyebutnya Watu Gigilang. Kata Gigilang berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.
Kehancuran Pakuan berdasarkan versi Banten dikarenakan ada pengkhianatan dari “orang dalam yang sakit hati”. Konon terkait dengan masalah jabatan. Saat itu ia bertugas menjaga pintu gerbang dan membukanya dari dalam untuk mempersiapkan pasukan Banten memporakporandakan Pakuan. Benteng Pakuan akhirnya dapat ditaklukan. Penduduk Pakuan yang dengan susah payah membangun kembali kehidupannya pasca penyerangan kedua kembali dilanda bencana maut. Mereka dibinasakan tanpa ampun. keraton Sri Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati yang dijadikan simbol Pajajaran dibumi hanguskan.
Sebagian penduduk Pakuan yang ada pertalian darah dengan keluarga keraton, ikut mengungsi dengan satu-satunya raja yang bersedia meneruskan tahta Pajajaran, yaitu Sang Ragamulya Suryakancana, putra Prabu Nilakendra. Ia mengungsi ke wilayah barat laut, tepatnya di lereng Gunung Pulasari Pandeglang, Kampung Kadu Hejo, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang.
Menurut legenda “Kadu Hejo”, di daerah Pulasari (tempat situs Purbakala) terdapat peninggalan seorang raja tanpa membawa mahkota. Ia kemudian memerintah sebagai raja pendeta, tetapi akhirnya dihancurkan oleh Pasukan Banten yang menyerang kerajaan itu.
Ketiadaan pakaian dan perangkat raja dimaksud dapat pula dikaitkan dengan cerita lain. Dalam kisahnya disebutkan bahwa mahkota dan pakain kerajaan Pajajaran disimpan di musium Sumedang (Musium Geusan Ulun). Menurut riwayat mahkota tersebut dibawa oleh Jaya Perkosa dari Pakuan dan adik-adiknya, yakni Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot, kemudian diserahkan untuk digunakan oleh Geusan Ulun pada saat pelantikannya. Dengan penggunaan perangkat tersebut maka Geusan Ulun dianggap syah sebagai pewaris tahta Pajajaran.
Pasca penghancuran Pakuan kemudian Banten mengarahkan serangannya ke Pulasari, Prabu Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya yang setia berupaya melawan sekuat tenaga. Namun pada akhirnya Ragamulya Suryakancana bersama pengikutnya gugur di Pulasari.
Menurut Wangsakerta dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219. : Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala. (Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka” bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul’awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 M).
Geusan Ulun Penerus tahta
Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Ia menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis).
Luas daerah Sumedang Larang pada masa Geusan Ulun dapat diteliti dari surat Rangga Gempol 3 yang ditujukan kepada Gubernur Jendral Willem Van Outhorn, yang dibuat pada tanggal 31 Januari 1691. Dalam surat tersebut ia meminta agar luas wilayah Sumedang dipulihkan sebagai jaman Geusan Ulun. Yang membawahi 44 penguasa daerah yang terdiri dari 26 Kandaga lante dan 18 umbul (menurut babad hanya 4 buah yang berstatus kanda lante). Pada waktu itu Rangga Gempol III hanya menguasai 11 dari Kandage Lante.
Jika dibentangkan dalam peta, daerah kekuasaan Geusan Ulun meliputi wilayah Kabupaten Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Bandung. Sebelah timur berbatasan dengan garis Cimanuk – Cilutung dan Sindangkasih (Cideres – Cilutung), sebelah barat garis Citarum – Cisokan. Memang pada saat itu telah ada beberapa daerah yang masuk Cirebon, seperti Ciamis dan Majalengka yang direbut Cirebon dari Pajajaran pada tahun 1528 M, serta Talaga pada tahun 1530 M.
Sebagaimana diuraikan diatas, Geusan Ulun mendapat dukungan dari para Veteran Senapati Pajajaran, yakni Jayaperkosa dan adik-adiknya. Mereka merasa gagal mempertahankan pakuan dan berniat membangun kembali kejayaan Pajajaran melalui Sumedang Larang. Alasan ini pula yang menyebabkan mereka menyerakan perangkat dan simbol-simbol raja Pajajaran ke Sumedang Larang.
Didalam Pustaka Kertabhumi menjelaskan mengenai para senapati tersebut, bahwa :
  • “Sira paniwi dening Pangeran Ghesan Ulun. Rikung sira rumaksa wadyabala, sinangguhan niti kaprabhun mwang salwirnya” (Mereka mengabdi kepada Prabu Geusan Ulun. Di sana mereka membina bala tentara, ditugasi mengatur pemerintahan dan lain-lainnya). Konon kabar para senapati tersebut masih keturunan Sang Bunisora (Sunda Galuh).
Suatu hal yang menarik tentang pelantikan Geusan Ulun, ketika itu ia masih berumur sangat muda (23 tahun), namun ia disepakati oleh 44 penguasa di tatar Parahyangan untuk menjadi penguasa Parahyangan. Padahal ayahnya sendiri, yakni Pangeran Santri tidak memiliki kekuasan yang luas demikian.
Tentunya ada suatu gerakan yang mampu meyakinkan para penguasa daerah untuk mengabdi kepada Geusan Ulun sebagai penerus tahta Pajajaran. Konon inilah salah satu keberhasilan Jayaperkosa dan saudara – saudaranya dalam upayanya mempersatukan puing-puing wilayah Pajajaran. Disini pula dapat dinilai tentang kebesaran pengaruh Jayaperkosa bersama adik-adiknya terhadap para penguasa di Parahyangan.
Menurut buku rpmsjb : “Dengan tokoh Jayaperkosa bersama adik-adiknya sebagai jaminan, para raja daerah Parahyangan dapat menerima dan merestui tokoh Geusan Ulun menjadi narendra baru pengganti penguasa Pajajaran yang telah sirna. Faktor Geusan Ulun dan faktor politik inilah yang mungkin yang telah “menunda” penobatan Geusan Ulun menjadi penguasa Sumedang Larang sampai setahun lebih sejak kemangkatan Pangeran Santri”.
Secara politis penobatan Geusan Ulun dapat diartikan sebagai suatu bentuk memproklamirkan kebebasan Sumedang dan mensejajarkan diri dengan Kerajaan Banten dan Cirebon. Selain itu menurut rpmsjb dapat pula disimpulkan adanya pernyataan, bahwa : “Sumedang menjadi ahli waris serta penerus yang sah dari kekuasaan Pajajaran di Bumi Parahyangan. Mahkota dan beberapa atribut kerajaan yang dibawa oleh Senapati Jayaperkosa dari Pakuan dengan sendirinya dijadikan bukti dan alat legalisasi sama halnya dengan pusaka kebesaran Majapahit menjadi ciri keabsahan Demak, Pajang, dan kemudian Mataram”.
 
 

Senin, 04 Februari 2013

KESULTANAN ISLAM BANTEN


"Aku wariskan Kesultanan Islam Banten ini kepada para pewarisku, Agar tercipta Kejayaan Islam dan Muslimin" (Maulana Hasanuddin Azmatkhan, Sultan Banten Ke-1, 1552 - 1570)

"Kerajaan itu harus memiliki genealogi Raja (Trah Raja), Bukan asal mendirikan istana"
(Soekarno, Presiden 1 Republik Indonesia)

Kesultanan Islam Banten merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Provinsi Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan.
Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati berperan dalam penaklukan tersebut. Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan, yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri.
Selama hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang luar biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global memperebutkan sumber daya maupun perdagangan, serta ketergantungan akan persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya. Kekuatan politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan pada masa-masa akhir pemerintanannya, para Sultan Banten tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.

Sejarah Lahirnya Kesultanan Islam Banten
Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukanKerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugal dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513. Atas perintahTrenggana, bersama dengan Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.
Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.
Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggana, Banten yang sebelumnyavazal dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570 melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579. Kemudian ia digantikan anaknyaMaulana Muhammad, yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di nusantara, namun gagal karena ia meninggal dalam penaklukkan tersebut.
Pada masa Pangeran Ratu anak dari Maulana Muhammad, ia menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang mengambil gelar "Sultan" pada tahun 1638 dengan nama Arab Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Pada masa ini Sultan Banten telah mulai secara intensif melakukan hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang ada pada waktu itu, salah satu diketahui surat Sultan Banten kepada Raja Inggris, James I tahun 1605 dan tahun 1629 kepada Charles I.

Puncak Kejayaan Kesultanan Islam Banten
Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan dalam menopang perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu. Perdagangan laut berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu orang Inggris,Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Cina dan Jepang.
Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten. Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten. Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun1661. Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.

Perang saudara
Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranyaSultan Haji. Perpecahan ini dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak dapat dielakkan. Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja Inggris di London tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan. Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya dan pindah ke kawasan yang disebut dengan Tirtayasa, namun pada 28 Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya yang lain Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar mundur ke arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng tertangkap kemudian ditahan di Batavia.
Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng yang masih berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada 5 Mei 1683, VOC mengirim Untung Surapati yang berpangkat letnan beserta pasukan Balinya, bergabung dengan pasukan pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel menundukkan kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember 1683 mereka berhasil menawan Syekh Yusuf. Sementara setelah terdesak akhirnya Pangeran Purbaya menyatakan menyerahkan diri. Kemudian Untung Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruisj untuk menjemput Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun terjadi pertikaian di antara mereka, puncaknya pada 28 Januari 1684, pos pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta pengikutnya menjadi buronan VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7 Februari 1684 sampai di Batavia.

Penurunan
Bantuan dan dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar dengan memberikan kompensasi kepada VOC di antaranya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC, seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung. Selain itu berdasarkan perjanjian tanggal 17 April 1684, Sultan Haji juga mesti mengganti kerugian akibat perang tersebut kepada VOC.
Setelah meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai mencengkramkan pengaruhnya di Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para Sultan Banten mesti mendapat persetujuan dariGubernur Jendral Hindia-Belanda di Batavia. Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya diangkat mengantikan Sultan Haji namun hanya berkuasa sekitar tiga tahun, selanjutnya digantikan oleh saudaranya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin dan kemudian dikenal juga dengan gelar Kang Sinuhun ing Nagari Banten.
Perang saudara yang berlangsung di Banten meninggalkan ketidakstabilan pemerintahan masa berikutnya. Konfik antara keturunan penguasa Banten maupun gejolak ketidakpuasan masyarakat Banten, atas ikut campurnya VOC dalam urusan Banten. Perlawanan rakyat kembali memuncak pada masa akhir pemerintahan Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin, di antaranya perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa. Akibat konflik yang berkepanjangan Sultan Banten kembali meminta bantuan VOC dalam meredam beberapa perlawanan rakyatnya sehingga sejak 1752 Banten telah menjadi vassal dari VOC.

Penghapusan kesultanan
Reruntuhan Kraton Sultan di tahun 1859 (gambar oleh C. Buddingh dari Geschiedenis van Nederlandsch Indië atau "Sejarah Hindia Belanda")
Reruntuhan Kraton Kaibon, bekas istana kediaman Ibu Suri Sultan Banten, di tahun 1933
Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1810, memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris. Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu kotanya ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan yang direncanakan akan dibangun di Ujung Kulon. Sultan menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya Daendels memerintahkan penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan. Sultan beserta keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan kemudian dipenjarakan di Benteng Speelwijk. Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqinkemudian diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22 November 1808, Daendels mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda. Kesultanan Banten resmi dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan dipaksa turun tahta oleh Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini merupakan pukulan pamungkas yang mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.

Agama
Berdasarkan data arkeologis, masa awal masyarakat Banten dipengaruhi oleh beberapa kerajaan yang membawa keyakinan Hindu-Budha, sepertiTarumanagara, Sriwijaya dan Kerajaan Sunda.
Dalam Babad Banten menceritakan bagaimana Sunan Gunung Jati bersama Maulana Hasanuddin, melakukan penyebaran agama Islam secara intensif kepada penguasa Banten Girang beserta penduduknya. Beberapa cerita mistis juga mengiringi proses islamisasi di Banten, termasuk ketika pada masa Maulana Yusuf mulai menyebarkan dakwah kepada penduduk pedalaman Sunda, yang ditandai dengan penaklukan Pakuan Pajajaran.
Islam menjadi pilar pendirian Kesultanan Banten, Sultan Banten dirujuk memiliki silsilah sampai kepada Nabi Muhammad, dan menempatkan paraulama memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakatnya, seiring itu tarekat maupun tasawuf juga berkembang di Banten. Sementara budaya masyarakat menyerap Islam sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Beberapa tradisi yang ada dipengaruhi oleh perkembangan Islam di masyarakat, seperti terlihat pada kesenian bela diri Debus.
Kadi memainkan peranan penting dalam pemerintahan Kesultanan Banten, selain bertanggungjawab dalam penyelesaian sengketa rakyat di pengadilan agama, juga dalam penegakan hukum Islam seperti hudud.
Toleransi umat beragama di Banten, berkembang dengan baik. Walau didominasi oleh muslim, namun komunitas tertentu diperkenankan membangun sarana peribadatan mereka, di mana sekitar tahun 1673 telah berdiri beberapa klenteng pada kawasan sekitar pelabuhan Banten.

Kependudukan
Kemajuan Kesultanan Banten ditopang oleh jumlah penduduk yang banyak serta multi-etnis. Mulai dari Jawa, Sunda dan Melayu. Sementara kelompok etnis nusantara lain dengan jumlah signifikan antara lain Makasar, Bugis dan Bali.
Dari beberapa sumber Eropa disebutkan sekitar tahun 1672, di Banten diperkirakan terdapat antara 100 000 sampai 200 000 orang lelaki yang siap untuk berperang, sumber lain menyebutkan, bahwa di Banten dapat direkrut sebanyak 10 000 orang yang siap memanggul senjata. Namun dari sumber yang paling dapat diandalkan, pada Dagh Register-(16.1.1673) menyebutkan dari sensus yang dilakukan VOC pada tahun 1673, diperkirakan penduduk di kota Banten yang mampu menggunakan tombak atau senapan berjumlah sekita 55 000 orang. Jika keseluruhan penduduk dihitung, apa pun kewarganegaraan mereka, diperkirakan berjumlah sekitar 150 000 penduduk, termasuk perempuan, anak-anak, dan lansia.
Sekitar tahun 1676 ribuan masyarakat Cina mencari suaka dan bekerja di Banten. Gelombang migrasi ini akibat berkecamuknya perang di Fujian serta pada kawasan Cina Selatan lainnya. Masyarakat ini umumnya membangun pemukiman sekitar pinggiran pantai dan sungai serta memiliki proporsi jumlah yang signifikan dibandingkan masyarakat India dan Arab. Sementara di Banten beberapa kelompok masyarakat Eropa seperti Inggris, Belanda, Perancis, Denmark dan Portugal juga telah membangun pemondokan dan gudang di sekitar Ci Banten.

Perekonomian
Dalam meletakan dasar pembangunan ekonomi Banten, selain di bidang perdagangan untuk daerah pesisir, pada kawasan pedalaman pembukaan sawah mulai diperkenalkan. Asumsi ini berkembang karena pada waktu itu di beberapa kawasan pedalaman seperti Lebak, perekonomian masyarakatnya ditopang oleh kegiatan perladangan, sebagaimana penafsiran dari naskahsanghyang siksakanda ng karesian yang menceritakan adanya istilah pahuma (peladang), panggerek (pemburu) dan panyadap (penyadap). Ketiga istilah ini jelas lebih kepada sistem ladang, begitu juga dengan nama peralatanya seperti kujangpatikbaliungkored dan sadap.
Pada masa Sultan Ageng antara 1663 dan 1667 pekerjaan pengairan besar dilakukan untuk mengembangkan pertanian. Antara 30 dan 40 km kanal baru dibangun dengan menggunakan tenaga sebanyak 16 000 orang. Di sepanjang kanal tersebut, antara 30 dan 40 000 ribu hektar sawah baru dan ribuan hektar perkebunan kelapa ditanam. 30 000-an petani ditempatkan di atas tanah tersebut, termasuk orang Bugis dan Makasar. Perkebunan tebu, yang didatangkan saudagar Cina pada tahun 1620-an, dikembangkan. Di bawah Sultan Ageng, perkembangan penduduk Banten meningkat signifikan.
Tak dapat dipungkiri sampai pada tahun 1678, Banten telah menjadi kota metropolitan, dengan jumlah penduduk dan kekayaan yang dimilikinya menjadikan Banten sebagai salah satu kota terbesar di dunia pada masa tersebut.

Pemerintahan
Setelah Banten muncul sebagai kerajaan yang mandiri, penguasanya menggunakan gelar Sultan, sementara dalam lingkaran istana terdapat gelar Pangeran Ratu,Pangeran AdipatiPangeran Gusti, dan Pangeran Anom yang disandang oleh para pewaris. Pada pemerintahan Banten terdapat seseorang dengan gelarMangkubumiKadiPatih serta Syahbandar yang memiliki peran dalam administrasi pemerintahan. Sementara pada masyarakat Banten terdapat kelompokbangsawan yang digelari dengan tubagus (Ratu Bagus), ratu atau sayyid, dan golongan khusus lainya yang mendapat kedudukan istimewa adalah terdiri atas kaumulama, pamong praja, serta kaum jawara.
Pusat pemerintahan Banten berada antara dua buah sungai yaitu Ci Banten dan Ci Karangantu. Di kawasan tersebut dahulunya juga didirikan pasar, alun-alun danIstana Surosowan yang dikelilingi oleh tembok beserta parit, sementara disebelah utara dari istana dibangun Masjid Agung Banten dengan menara berbentukmercusuar yang kemungkinan dahulunya juga berfungsi sebagai menara pengawas untuk melihat kedatangan kapal di Banten.
Berdasarkan Sejarah Banten, lokasi pasar utama di Banten berada antara Masjid Agung Banten dan Ci Banten, dan dikenal dengan nama Kapalembangan. Sementara pada kawasan alun-alun terdapat paseban yang digunakan oleh Sultan Banten sebagai tempat untuk menyampaikan maklumat kepada rakyatnya. Secara keseluruhan rancangan kota Banten berbentuk segi empat yang dpengaruhi oleh konsep Hindu-Budha atau representasi yang dikenal dengan namamandala. Selain itu pada kawasan kota terdapat beberapa kampung yang mewakili etnis tertentu, seperti Kampung Pekojan (Persia) dan Kampung Pecinan.
Kesultanan Banten telah menerapkan cukai atas kapal-kapal yang singah ke Banten, pemungutan cukai ini dilakukan oleh Syahbandar yang berada di kawasan yang dinamakan Pabean. Salah seorang syahbandar yang terkenal pada masa Sultan Ageng bernama Syahbandar Kaytsu.

Daftar penguasa Banten
  • Maulana Hasanuddin atau Pangeran Sabakingkin 1552 - 1570
  • Maulana Yusuf atau Pangeran Pasareyan 1570 - 1585
  • Maulana Muhammad atau Pangeran Sedangrana 1585 - 1596
  • Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir atau Pangeran Ratu 1596 - 1647
  • Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad 1647 - 1651
  • Sultan Ageng Tirtayasa atau Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah 1651-1682
  • Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar 1683 - 1687
  • Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya 1687 - 1690
  • Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin 1690 - 1733
  • Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin 1733 - 1747
  • Ratu Syarifah Fatimah 1747 - 1750
  • Sultan Arif Zainul Asyiqin al-Qadiri 1753 - 1773
  • Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliuddin 1773 - 1799
  • Sultan Abul Fath Muhammad Muhyiddin Zainussalihin 1799 - 1803
  • Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin 1803 - 1808
  • Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin 1809 - 1813
Warisan sejarah
Setelah dihapuskannya Kesultanan Banten, wilayah Banten menjadi bagian dari kawasan kolonialisasi. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, tahun 1817 Banten dijadikan keresidenan, dan sejak tahun 1926 wilayah tersebut menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat. Kejayaan masa lalu Kesultanan Banten menginspirasikan masyarakatnya untuk menjadikan kawasan Banten kembali menjadi satu kawasan otonomi, reformasi pemerintahan Indonesia berperan mendorong kawasan Banten sebagai provinsi tersendiri yang kemudian ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000.
Selain itu masyarakat Banten telah menjadi satu kumpulan etnik tersendiri yang diwarnai oleh perpaduan antar-etnis yang pernah ada pada masa kejayaan Kesultanan Banten, dan keberagaman ini pernah menjadikan masyarakat Banten sebagai salah satu kekuatan yang dominan di Nusantara.

Referensi
  • Hussein Jayadiningrat, Critische Beschouwing van de Sadjarah-Banten, Disertasi Doktor, 3 Mei 1913, Universitas Leiden.
  • Guillot, Claude, Lukman Nurhakim, Sonny Wibisono, Banten avant l'Islam - Etude archéologique de Banten Girang (Java Indonésie) 932 (?)-1526 ("Banten sebelum Islam - Studi arkeologis tentang Banten Girang 932 (?)-1526"), École française d'Extrême-Orient, 1994, ISBN 2-85539-773-1
  • Guillot, Claude, Lukman Nurhakim, Sonny Wibisono, "La principauté de Banten Girang" ("Kerajaan Banten Girang"), Archipel, Tahun 1995, Volume 50, halaman 13-24
  • Ricklefs, M. C., A History of Modern Indonesia since c. 1200, 2008 (terbitan ke-4)