Senin, 09 April 2012

Kesultanan Cirebon: Tinjauan Historis dan Kultural

Artikel ini membahas Kesultanan Cirebon dari dua perspektif. Pertama, tentang historisnya yang meliputi pertumbuhan, perkembangan, dan keruntuhan. Kedua, tentang kebudayaannya yang meliputi sejumlah aspek: seni bangunan, seni sastra, dan seni pertunjukan yang mentradisi sampai sekarang.
Secara geografis, Cirebon terletak di pesisir utara Jawa. Lokasinya yang strategis, serta memiliki muara-muara sungai, berperan penting bagi pertumbuhan Cirebon menjadi pelabuhan: sebagai tempat untuk menjalankan kegiatan pelayaran dan perdagangan yang bersifat regional maupun internasional. Kedudukan Cirebon sebagai kota pelabuhan sudah berlangsung sejak zaman Kerajaan Sunda Pajajaran yang bercorak Hindu-Budha, seperti diketahui dari sumber-sumber lokal seperti babad dan carita, yang juga didukung oleh berita asing.

Cirebon bermula dari sebuah pelabuhan pertama di zaman Kerajaan Sunda Pajajaran yang berada di Dukuh Pasambangan, dan kemudian pindah ke Kebon Pesisir atau Tegal Alang-Alang (Lemah Wungkuk) sampai menjadi Desa Caruban. Lambat laun, desa ini menjadi sebuah kota pesisir yang mencapai perkembangannya sejak pemerintahan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Bukti arkeologis bahwa Cirebon sudah mengalami pertumbuhan dan masuk wilayah Kerajaan Sunda Pajajaran adalah ditemukannya sebuah prasasti batu di Huludayeuh dekat Cirebon yang aksara dan nama rajanya serupa dengan tulisan dalam Prasasti Batu-Tulis Bogor.

Penyebutan Kesultanan setidaknya dimulai sejak Syarif Hidayatullah memerintah, sekitar 1479 M. Meski, dalam berbagai sumber naskah kuno, waktu itu penguasa-penguasanya belum digelari sultan, tetapi masih panembahan atau pangeran. Sementara pemberian gelar sultan kepada raja-raja atau penguasa Cirebon baru dilakukan ketika Cirebon dibagi atas dua kesultanan, yaitu Kasepuhan dan Kanoman (sekitar tahun 1677). Pembagian dua kekuasaan tersebut sekaligus menandai awal keruntuhan Kesultanan Cirebon. Perselisihan antara kedua kesultanan itu, ditambah dengan ketidakpuasan Pangeran Wangsakerta, memudahkan campur tangan politik VOC Belanda. Sejak perjanjian 7 Januari 1681, Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia, mengakui keberadaan ketiga raja di Cirebon. Masing-masing berdiri sendiri. Dan pada tahun 1700, kesultanan menjadi empat kekuasaan. Selain Kasepuhan dan Kanoman, terdapat juga Kesultanan Kacirebonan di bawah Pangeran Arya Cirebon, dan Kaprabonan (Panembahan) di bawah Pangeran Wangsakerta. Sejak itu, perdagangan internasional melalui Pelabuhan Cirebon sudah berada di tangan VOC.

Kedatangan dan penyebaran Islam di Cirebon sudah berlangsung sebelum pemerintahan Syarif Hidayatullah, sebagaimana dapat diketahui dari sumber-sumber sejarah, antara lain Babad Cirebon dan Carita Purwaka Caruban Nagari. Secara keagamaan, masyarakat di Kesultanan Cirebon umumnya menjadi penganut Mazhab Syafii, atau termasuk golongan Sunni. Meski, juga terdapat unsur-unsur aliran Syi’ah seperti terbukti dari cerita-cerita tentang Ali bin Abi Thalib atau nama-nama dalam silsilah yang dapat dikaitkan dengan tokoh Syi’ah dalam naskah kuno seperti Babad Cirebon.
Artikel ini memperlihatkan bahwa agama Islam datang dan mulai menyebar di Cirebon melalui pesantren, bukan hanya oleh ulama dan para syekh, tetapi juga oleh penguasa desa (Kuwu) Cirebon, yaitu Syekh Abdullah Iman atau Pangeran Cakrabuwana(Cakrabumi). Agama Islam makin luas disebarkan ke daerah-daerah Talaga, Kuningan, Galuh, dan terutama ke Banten, oleh Syarif Hidayatullah dan disusul kemudian oleh Fadhillah Khan, atas perintah Sultan Demak, Pangeran Trenggono. Sejak pemerintahan Syarif Hidayatullah sampai pemerintahan Panembahan Ratu dan Girilaya, Cirebon menjadi pusat kesultanan yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan, terutama dari segi politik, agama, dan ekonomi-perdagangan.


Namun, sejak timbulnya timbul perpecahan yang terutama dipicu oleh perjanjian dengan VOC Belanda, Kesultanan Cirebon mulai mengalami keruntuhan. Bahkan, pada awal abad ke-18, kesultanan praktis tak berdaya, baik di bidang politik maupun di bidang perdagangan, karena sudah jatuh ke tangan VOC dan selanjutnya Hindia-Belanda. Meski demikian, dapat dicatat bahwa Kesultanan Cirebon masih mempunyai peran dalam menghasilkan seni bangunan, seni ukir, dan seni hias, bahkan menonjol pula dalam seni sastra dengan banyaknya naskah-naskah kuno yang dapat ditemukan. Hasil-hasil kebudayaan di Kesultanan Cirebon tersebut—seni bangunan, seni ukir, seni pertunjukan, seni hias, seni sastra—memberikan bukti adanya proses akulturasi yang tetap memiliki jati dirinya yang Islami.

Masa Pertumbuhan
Letak Geografis Cirebon di pesisir utara Jawa yang memiliki muara-muara sungai mempunyai peranan penting bagi pelabuhan: sebagai tempat untuk menjalankan kegiatan-kegiatan pelayaran dan perdagangan yang bersifat regional maupun internasional. Kedudukan Cirebon sebagai kota pelabuhan sudah berlangsung sejak zaman Kerajaan Sunda Pajajaran yang bercorak Hindu-Budha. Pertumbuhan pelabuhan Kerajaan Sunda Pajajaran dapat diketahui dari sumber-sumber lokal seperti babad dan carita, yang juga didukung oleh berita asing.
Babad Cirebon dan Carita Purwaka Caruban Nagari, menceritakan bahwa Cirebon dulunya adalah sebagai dukuh yang diperintah oleh seorang juru labuhan (syahbandar) dan kemudian menjadi desa yang diperintah oleh kuwu. Pelabuhan awal ialah Muara Amparan Jati yang berada di Dukuh Pasambangan, lebih kurang 5 km di sebelah utara Kota Cirebon. Kini, yang menjadi kepala/juru labuhannya ialah Ki Gedeng Sedangkasih, kemudian Kio Gedeng Tapa yang berganti lagi Ki Gedeng Jumjanjati. Waktu itu, konon Kerajaan Sunda Pajajaran yang beribukota di Pakuan, diperintah oleh Prabu Siliwangi yang setiap tahunnya menerima upeti berupa garam dan terasi (uyah kalawan terasi), sebagai hasil daerah Cirebon.

Sebutan Prabu Siliwangi yang dikenal hanya pada hasil sastra-sejarah pernah diidentifikasikan dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Pakuan Pajajaran yang tercantum pada prasasti Batu Tulis di Bogor hasil kajian Moh Amir Sutaarga (Sutaarga, 1965: 38-42). Sementara ibukota Kerajaan Sunda Pajajaran yang diperkirakan terletak di daerah Bogor adalah mengacu pada pendapat J. Nooduyn, C.M. Pleyte, R,M,Ng. Poerbatjaraka, S. Ekajati, dan sarjana lainnya. Hal ini pernah dibicarakan oleh Uka Tjandrasasmita dalam seminar internasional yang diselenggarakan oleh Association of Historians of Asia (AHA), Jakarta, 27 Augustus-1 September, 1998, dengan makalah yang berjudul The International Trade of Sunda Pajajaran Kingdom in the XIVth-the XVIth Century.
Dukuh Pasambangan, dengan pelabuhan Muara Amparan Jati, sudah mulai disinggahi kapal-kapal dagang dari beberapa daerah di Indonesia seperti dari Pase, Palembang, Jawa Timur, Madura, juga beberapa pedagang negeri asing seperti Arab, Parsi (Iran), Irak, India, China, Malaka, Tumasik, dan Campa. Itulah sebabnya Dukuh Pasambangan menjadi ramai dan banyak penduduk yang hidupnya menjadi makmur.
Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari, diceritakan bahwa Dukuh Pasambangan kedatangan guru-guru agama Islam dari Mekkah dan Campa, antara lain Syekh Hasanuddin, putra Syekh Yusuf Sidik, ulama terkenal di Campa yang medirikan pondok di Quro, Karawang, yang kemudian terkenal dengan nama Syekh Quro. Juru labuhan, Ki Gedeng Tapa, menyuruh putrinya, Nyai Subanglarang, berguru agama Islam di Pondok Quro, yang akhirnya menjadi istri Syekh Hasanuddin atau Syekh Quro.

Diceritakan pula saat juru labuhan Ki Gedeng Jumajanjati, Dukuh Pasambangan kedatangan Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Idhofi atau Nuruljati dari Kerajaan Parsi yang waktu itu beribukota di Baghdad. Syekh Datuk Kahfi sebagai utusan dari Persia, disertai oleh dua puluh orang pria dan dua orang Wanita. Mereka diterima dengan baik, diberikan tempat, dan dimuliakan oleh Ki Gedeng Jumajanjati (Atja, 1972: 46-47).
Pada waktu itu kapal China, di bawah Panglima bernama Wai Ping dan Laksamana Te Bo dengan para pengikutnya yang berjumlah banyak, singgah di Pasambangan dalam perjalanannya ke Majapahit. Oleh juru labuhan, mereka diterima baik dan selama di dukuh itu mereka membuat menara api di atas Bukit Amparan Jati. Sebagai imbalan, oleh juru labuhan Ki Gedeng Jumajanjati yang berkedudukan sebagai mangkubumi, mereka diberikan hadiah berupa garam, terasi, beras tumbuk, rempah-rempah, dan kayu jati (Atja, 1972: 7).
Walang Sungsang (Cakrabuwana) bersama istrinya yang bernama Endang Ayu, dan adiknya, Nyai Lara Santang, oleh Ki Gedeng Jumajanjati disuruh berguru kepada Syekh Datuk Kahfi yang mendirikan pondok di sebelah Bukit Amparan Jati. Setelah berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, Walang Sungsang mendapat julukan Samdullah atau Cakrabumi. Atas petunjuk gurunya, Samdullah pergi ke Dukuh Kebon Pasisir, mendirikan gedung dan tajug serta pembangunan sarana dan prasarana lainnya. Sehingga, tempat yang semula dinamakan Tegal Alang-alang itu, menjadi desa dengan kepala yang disebut kuwu. Tempat itu kemudian dinamakan Caruban atau Caruban Larang. Karena itu, para pedagang yang biasanya mengunjungi pelabuhan di Muara Jati, Dukuh Pasambangan, pindah ke pelabuhan Caruban, sehingga lambat laun desa itu tumbuh menjadi sebuah perkotaan, terutama setelah menjadi kesultanan.

Dalam sumber-sumber lokal, baik Babad Cirebon maupun Carita Purwaka Caruban Nagari, diceritakan tentang kepergian Pangeran Cakrabuwana atau Cakrabumi dengan adiknya, Nyai Lara Santang, untuk menunaikan ibadah haji atas saran Syekh Datuk Kahfi, setelah mereka berdua tinggal selama sembilan bulan di Kebon Pesisir atau Caruban. Mereka melaksanakan ibadah haji selama dua tahun. Setelah menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuwana mendapat gelar Syekh Duliman atau Abdullah Iman. Sedangkan Nyai Lara Santang diberi gelar Syarifah Mudha’im (Atja, 1972: 48-49; Rinkers, 1911; Naskah Zang 1, 2, 3: 30-37). Diceritakan bahwa Syarifah Mudha’im dinikahi oleh Syarif Abdullah dari negeri Mesir yang kemudian melahirkan seorang putra bernama Syarif Hidayatullah pada tahun 1448 M.

Setelah dewasa, Syarif Hidayatullah pergi ke Jawa menyusul ibunya dan uwaknya, Syekh Duliman yang telah menjadi kuwu Cirebon. Kedatangan Syarif Hidayatullah di Cirebon terjadi tahun 1470 M. Setelah menikah dengan putri uwaknya, Nyai Pakungwati, ia diangkat menjadi kuwu Cirebon menggantikan uwaknya, Pangeran Cakrabumi atau Syekh Duliman (Abdullah Iman), tahun 1479. Sejak itu pula Syarif Hidayatullah mendapat gelar Sinuhun Carbon. Karena itu, dari segi struktur pemerintahan, Cirebon sudah boleh disebut awal kesultanan sesuai dengan proses pelepasan dari kerajaan bercorak Hindu-Budha, Kerajaan Sunda Pajajaran yang berpusat di Pakuan. Dalam sumber lokal dikatakan bahwa, sejak pemerintahan Sinuhun Carbon yang juga dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, pajak garam dan terasi (bulu bekti uyah kalawan terasi) dari Cirebon yang biasanya dibaktikan kepada Raja di Pakuan, dihentikan sama sekali.

Daerah Cirebon pernah menjadi bawahan Kerajaan Sunda Pajajaran. Hal itu bukan hanya diceritakan dalam babad atau cerita sastra-sejarah lokal, tetapi juga dibuktikan oleh berita asing, antara lain oleh Tome Pires dalam berita perjalanannya, Suma Oriental (1512-1515), yang sekitar tahun 1513 singgah di kota Cirebon yang ia sebut Cherimon (Choroboam). Dikatakan bahwa tanah Cirebon dahulunya termasuk sebagai daerah Sunda, tetapi kini masuk Jawa. Pemimpinnya bernama Lebe Uca sebagai vassal Pate Rodim, Raja Demak.

Cirebon mempunyai pelabuhan yang baik. Banyak kapal berlabuh di sana. Selain itu, terdapat tiga atau empat jung di sana. Cirebon juga mempunyai banyak hasil bumi beras dan bahan makanan. Yang menarik perhatian adalah, Tome Pires menyebutkan pelabuhan Cimanuk sebagai pelabuhan keenam yang masuk ke dalam Kerajaan Sunda meskipun sudah banyak orang-orang Muslim. Pelabuhan Cimanuk atau Indramayu merupakan batas Kerajaan Sunda (Armando Cortesao, 1976: 173, 183).

Bukti arkeologis bahwa Cirebon sudah mengalami pertumbuhan dan masuk wilayah Kerajaan Sunda Pajajaran adalah, ditemukannya sebuah prasasti batu dari Huludayeuh dekat sumber Cirebon yang aksara dan nama rajanya serupa dengan tulisan dalam prasasti Batu-tulis Bogor (Hasan Djafar, 1994).
Dari uraian di atas, jelas bahwa Cirebon, sebelum menjadi kota pusat kesultanan, sudah mengalami pertumbuhan, yaitu sejak zaman Kerajaan Sunda Pajajaran dengan pelabuhan pertama yang berada di Dukuh Pasambangan dan kemudian pindah ke Kebon Pesisir atau Tegal Alang-Alang (Lemah Wungkuk) sampai menjadi desa Caruban yang lambat laun menjadi sebuah kota pesisir yang mencapai perkembangannya sejak pemerintahan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), putra Syarifah Mudha’im yang sebelumnya bernama Nyai Lara (Rara) Santang.

Masa Perkembangan
Apabila pertumbuhan Cirebon sebelum menjadi kesultanan sudah terjadi, maka sejak Syarif Hidayatullah memerintah sekitar 1479 M, sudah dapat disebut Kesultanan Cirebon, meskipun dalam berbagai sumber naskah kuno, waktu itu penguasa-penguasanya tidak digelari sultan, tetapi masih panembahan atau pangeran. Pemberian gelar sultan kepada raja-raja atau penguasa Cirebon baru dilakukan ketika Cirebon dibagi atas dua kesultanan, yaitu Kasepuhan dan Kanoman (sekitar tahun 1677), setelah kedua putra Panembahan Girilaya yang pergi ke Mataram diselamatkan dari pemberontakan Pangeran Trunojoyo terhadap Mataram. Sekembalinya dari Banten, kedua putra panembaan itu, yakni Pangeran Syamsuddin Martawijaya dan Pangeran Badruddin Kartawijaya, menjadi sultan sepuh (Syamsuddin Martawijaya) dan sultan anom (Badruddin Kartawijaya) (Atja, 1972, 68; Rinkes, 1911; Naskah Zang 36: 142-143).

Meskipun sejak pemerintahan Syarif Hidayatullah dikatakan sebagai masa Kesultanan Cirebon, tetapi kedatangan dan penyebaran Islam di daerah itu sudah ada, sebagaimana dapat diketahui dari sumber-sumber sejarah antara lain Babad Cirebon dan Carita Purwaka Caruban Nagari. Berita Tome Pires (1512-1515) menyebutkan bahwa, kira-kira 40 tahun lalu, di tempat ini (Choroboam atau Cirebon), masih terjadi perbudakan. Waktu itu Raja Demak mempunyai budak dari Gresik yang ditempatkannya sebagai kapten di Cirebon dengan gelar Pate Choroboam (Cirebon), yakni kakek Pate Rodim dari Demak yang sekarang menjadi raja (Armando Cortesao, 1944: 183).
Jika berita Tome Pires itu kita terima, dengan kehadiran Islam di Cirebon lebih kurang 40 tahun lalu ketika Tome Pires singgah di kota Cirebon (1513), maka jatuhnya lebih kurang tahun 1473. Tahun ini setidaknya menunjukkan waktu kehadiran Syarif Hidayatullah tahun 1470 dan mungkin sejak kehadiran Syekh Datuk Kahfi, Syeikh Abdullah Iman (Samadullah atau Cakrabuwana) pada tahun-tahun sebelum 1470. Diberitakan Tome Pires bahwa, pada waktu kehadiran Tome Pires di Cirebon, yang menjadi raja ialah Lebe Uca, Vassal Pate Rodim, Raja Demak.

Cirebon mempunyai pelabuhan yang baik sebagai tempat singgah kapal-kapal. Di sana, ada tiga atau empat buah jung. Cirebon mempunyai banyak beras dan bahan-bahan makanan dan memiliki sepuluh lanchara. Selain itu, tapi tidak banyak diceritakan, Cirebon mempunyai penduduk sampai 1000 jiwa. Pate Quider, salah seorang pemberontak di Upeh (Malaka) juga tinggal di Cirebon. Di Cirebon ada lima atau enam pedagang-pedagang besar seperti Pate Quedir, karena ia seorang pedagang yang berani dan ksatria (Cortesao, 1944: 183). Nama Lebe Uca dan Pate Quedir, sebagaimana disebut-sebut oleh Tome Pires, masih sukar untuk diidentifikasikan dengan nama-nama yang disebut dalam sumber-sumber lokal.

Masa pemerintahan Syarif Hidayatullah (1479-1568), merupakan masa perkembangan Kesultanan Cirebon. Pada masanya, bidang politik, keagamaan, dan perdagangan, makin maju. Pada masa itu terjadi penyebaran Islam ke Banten (sekitar 1525-1526) dengan penempatan putra Syarif Hidayatullah, yaitu Maulana Hasanuddin, setelah meruntuhkan pemerintahan Pucuk Umum, penguasa kadipaten dari Kerajaan Sunda Pajajaran yang berkududukan di Banten Girang. Setelah Islam, pusat pemerintahan Maulana Hasanuddin terletak di Surosowan dekat Muara Cibanten (Hoesein Djajadiningrat, 1983), Priangan Timur antara lain ke Kerajaan Galuh tahun 1528, kemudian Talaga tahun 1530.
Penyebaran Islam ke daerah Babadan, Kuningan (Selatan Cirebon), Indramayu, dan Karawang, terjadi dengan damai. Mungkin fenomena ini bisa ditafsirkan sebagai upaya Cirebon untuk memperbesar posisinya di bidang perdagangan dan pelayaran dengan cara menguasai daerah pedalaman yang menjadi sumber penghasil komoditas perdagangan seperti beras dan kayu, serta sekaligus tempat mensuplai barang-barang dari luar (Singgih Tri Sulistiyono, 1997: 82).

Penyebaran Islam ke arah barat, yaitu di sepanjang pesisir utara Jawa bagian barat, juga erat kaitannya dengan politik Kesultanan Demak. Di antara kedua kesultanan itu, sejak semula sudah ada hubungan kekerabatan. Dari segi politik, penyebaran Islam di pesisir utara Jawa bagian barat itu lebih jelas pada waktu Kesultanan Banten sudah berdiri. Penyerangan ke pelabuhan utama Kerajaan Sunda Pajajaran terjadi tahun 1527 oleh tentara gabungan dari Demak, Cirebon, dan Banten. Penguasaan Islam tersebut jelas membendung pengaruh Portugis yang sudah menduduki Malaka sejak tahun 1511. Dengan demikian, perdagangan internasional dan regional dari daerah Maluku ke pelabuhan-pelabuhan sepanjang pesisir utara Jawa melalui Selat Sunda, menjadikan kesultanan-kesultanan tersebut dapat leluasa untuk menyingkirkan lalu lintas perdagangan melalui Selat Malaka yang sudah berada di tangan kekuasaan Portugis (Uka Tjandrasasmita, 2001: 43-64).

Perdagangan internasional yang dilakukan kesultanan-kesultanan dari dunia Melayu-Indonesia melalui Samudera-Hindia ke negeri-negeri Timur Tengah, melalui Teluk Aden sampai ke Afrika Timur, selalu mendapat rintangan dengan cara pencegatan di Lautan Hindia oleh kapal-kapal Portugis. K.N Chaundhuri mengatakan, “Kedatangan Portugis di Benua India secara tiba-tiba memang mengakhiri sistem pelayaran yang damai yang menandai kawasan ini” (K.N. Chaudhuri, 1989). Meskipun demikian, di berbagai pelabuhan di sepanjang pesisir utara Jawa seperti Gresik, Sedayu, Tuban, Jepara, Demak, termasuk Cirebon, Jayakarta, dan Banten, terdapat kelompok-kelompok pedagang dari Arab dan Timur Tengah, India, dan lainnya, di samping para pedagang China dan negeri-negeri di Asia Tenggara. Cirebon dengan demikian makin tumbuh menjadi kota Muslim yang sejak kehadiran Tome Pires (1513) penduduknya berjumlah sekitar 1000 orang. Lebih-lebih pada masa pemerintahan Syarif Hidayatullah (1479-1568) yang lebih kurang berusia setengah abad, penduduk dan keramaian kota pusat pemerintahan Kesultanan Cirebon, sudah lebih banyak.

Pada masa pemerintahan Pangeran Trenggono, di Kesultanan Demak dan Syarif Hidayatullah, terjadi perluasan politik dengan adanya serangan terhadap kota pelabuhan utama Kerajaan Sunda Pajajaran, yaitu Kalapa, pada 22 Juni 1527. Keberhasilan serangan tentara gabungan Demak-Cirebon, dan kemudian Banten di bawah pimpinan panglimanya, Fadhillah Khan (berdasarkan Carita Purwaka Caruban Nagari), atau Faletehan (berdasarkan berita Portugis De Barros) dalam merebut kekuasaan Kalapa dan mengusir armada Portugis di bawah pimpinan Francisco de Sa, menyebabkan nama Kalapa diganti menjadi Jayakarta oleh Fadhillah Khan  (Hoesein Djajadiningrat, 1983: 99; Atja, 1972: 56-57).
Sementara itu, Hoessein Djajadiningrat menyamakan Falatehan atau Tagaril (berita Portugis) dengan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Mazdkurullah. Namun, menurut saya, pendapat Djajadiningrat perlu dikritisi karena berdasarkan hasil temuan dari Carita Purwaka Caruban Nagari susunan Pangeran Arya Cirebon (1720) ternyata yang berperan mengadakan serangan ke Kalapa ialah Fadhillah Khan, seorang yang berasal dari Pase yang datang ke Jepara, Demak, dan kemudian dijadikan menantu Pangeran Trenggono. Kemudian Fadhillah Khan menjadi panglima untuk menyerang Kalapa dengan membawa tentara gabungan Demak dan Cirebon yang berjumlah 1967 (berita Portugis: 2000) orang. Ketika tiba di Cirebon, Fadhillah Khan diterima Syarif Hidayatullah dan mendapat restu karena dijadikan menantu oleh Syarif Hidayatullah. Dari fakta tersebut kita dapat memisahkan adanya dua tokoh Syarif Hidayatullah dan Fadhillah Khan. Karena itu, kemungkinan besar Falatehan yang dimaksud berita Portugis itulah yang sama dengan Fadhillah Khan.

Syarif Hidayatullah yang mendapat julukan Pandita Ratu (ulama yang menjadi raja), adalah salah seorang dari Wali Sanga, lebih giat menjalankan keagamaan dari pada bergerak di bidang politik. Pada masa serangan Demak di bawah pimpinan Sultan Trenggono terhadap Pasuruan di Jawa Timur, menurut berita Portugis, Tagaril dari Cirebon juga turut serta dalam serangan. Setelah Pangeran Trenggono wafat tahun 1546, ia kembali. Tetapi menurut Carita Purwaka Caruban Nagari, pada tahun 1552, Fadhillah ada di Cirebon mewakili Susuhunan Gunung Jati. Setelah itu ia menjadi pengganti sementara sebelum kemudian digantikan lagi oleh Pangeran Pasarean.
Setelah Syarif Hidayatullah yang terkenal dengan Sunan Gunung Jati wafat tahun 1568, putranya, yakni Pangeran Pasarean, menggantikan ayahnya. Setelah itu, Kesultanan Cirebon diperintah oleh putra Pangeran Pasarean, yaitu Panembahan Ratu (1546-1649), cucu Sunan Gunung Jati. Pada masa ini terjalin hubungan antara Mataram dan Cirebon yang sebenarnya sudah terjadi sejak pemerintahan Senapati Ing Alaga yang juga mempunyai pengaruh kekuasaan di daerah Priangan Timur. Konon, sebuah cerita menggambarkan bahwa pada tahun 1590, raja Mataram, Panembahan Senapati, membantu pemimpin agama Cirebon, Pangeran Ratu, untuk mendirikan atau memperkuat tembok yang mengelilingi kotanya. Waktu itu raja Mataram menganggap Cirebon sebagai suatu pertahanan militer di bagian barat Kerajaan Mataram (De Graaf dan Pigeaud, 1986: 144-1450). Panembahan Ratu mengalami pergolakan dengan munculnya kekuasaan Belanda di Batavia dan dengan terjadinya peperangan antara Mataram dan Banten.

Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu, Kesultanan Cirebon masih menunjukkan kegiatannya dalam bidang perdagangan. Setelah terjadinya serangan Mataram teradap VOC di Batavia tahun 1628 dan 1629, pihak VOC tetap menaruh kecurigaan terhadap orang-orang Cirebon dan Mataram. Dalam Daghregister tahun 1632, Belanda memberitakan bahwa sekitar tanggal 30 April, ada empat atau lima ribu orang dari Mataram dan seribu orang dari Cirebon di bawah pimpinan orang kaya Mattasary dikhawatirkan akan menuju Batavia. Dikabarkan bahwa 50 kapal dari Cirebon dengan muatan beras, memasuki daerah perairan sebelah timur Karawang. Pada tanggal 7 Mei 1632 datang juga perahu-perahu dari Cirebon dan kapal Melayu yang membawa muatan gula dan lain-lain, yang oleh pihak Belanda diduga menuju Batavia. Kemudian, tanggal 12 Mei 1632, datang kapal-kapal Melayu dengan muatan gula, minyak, dan lain-lain. Kesibukan perdagangan Kesultanan Cirebon itu telah dicatat dalam Daghregister tahun 1633 dan 1634, yang menjelaskan datangnya sejumlah komoditas perdagangan berupa beras, minyak kelapa, gula, sayuran, daging, dan sebagainya (Daghregister gehouden in ‘t casteel Batavia Anno1631-1634, 1898; Daghregister 1632: 72, 73, 76, 104; Daghregister 1633: 291, 374, 408, 409, 410, 418; Daghregister 1634: 291, 374, 408, 409, 410, 418, 419, 438).

Setelah Panembahan Ratu, Kesultanan Cirebon dipimpin oleh yakni Pangeran Girilaya. Hubungan antara Mataram dengan Cirebon makin erat, karena seorang putri Susuhunan Amangkurat I menikah dengan Panembahan Girilaya. Pertalian kekerabatan antara Kesultanan Mataram dengan Cirebon, sebelumnya juga telah dilakukan antara saudara kakak perempuan Panembahan Ratu, yaitu Ratu Sakluh dengan Sultan Agung yang melahirkan Susuhunan Amangkurat I. Sikap Kesultanan Banten terhadap Kesultanan Cirebon tetap baik, karena sultan-sultan Banten masih mengakui dan hormat kepada sultan-sultan Cirebon yang dipandang sebagai leluhurnya, yaitu Sunan Gunung Jati, ayah Maulana Hasanuddin.

Kesultanan Cirebon pada masa Panembahan Girilaya masih melakukan kegiatan perdagangan. Sebagaimana dicatat dalam Daghregister tahun 1675 bahwa pada 30 April 1675, ada 25 kapal dari Cirebon dengan 1067 penumpangnya, sampai di Batavia dengan membawa 38.000 potong barang-barang kecil, 10 pot ibung asinan, 287 karung gula hitam, 10 karung gula putih, 1717 karung beras, 155 pot minyak, 24 sak kapuk, 10.000 telur asin, 1300 ikat padi, 2 pikul tembakau Jawa, 200 lembar kulit kerbau, dan barang-barang lainnya. Ada pula kapal-kapal dari Cirebon yang membawa barang dagangan ke Batavia, sebagaimana diberitakan dalam Daghregister tahun 1676, 1677, dan 1678 (Daghregister, 1675: 111, 113; Daghregister, 1676: 111, 118).
Ketika pemberontakan Pangeran Trunojoyo dari Madura, Panembahan Girilaya minta kepada Pangeran Trunojoyo, agar kedua putra Panembahan Girilaya diselamatkan. Ia kemudian dibawa ke Banten dan diberi gelar sultan sekitar tahun 1677. Ketika itu, Pangeran Syamsuddin Martawijaya menjadi Sultan Kasepuhan dan Pangeran Badruddin Kartawijaya menjadi Sultan Kanoman. Lain halnya dengan Pangeran Wangsakerta, putra Panembahan Girilaya. Waktu kedua saudaranya berada di Mataram dengan restu sultan Mataram, ia tetap ada di Cirebon, mewakili ayahnya. Tetapi ia tidak memperoleh gelar sultan. Sejak masa inilah mulai ada tanda-tanda keruntuhan Kesultanan Cirebon.

Masa Keruntuhan

Bibit keruntuhan Kesultanan Cirebon dimulai ketika kesultanan ini dibagi menjadi dua kekuasaan, yakni Sultan Kasepuhan dan Sultan Kanoman. Perselisihan antara kedua kesultanan itu ditambah dengan ketidakpuasan Pangeran Wangsakerta, memudahkan campur tangan politik VOC Belanda. Antara Kesultanan Cirebon dan VOC, terjadi persahabatan melalui perjanjian-perjanjian pada 7 Januari 1681 yang dilanjutkan dengan perjanjian tanggal 4 Desember 1685, 5 Desember 1688, 4 Agustus 1699, 17 Januari 1708, dan 18 Januari 1752 (Uka Tjandrasasmita, 1997: 55-75).
Sejak perjanjian 7 Januari 1681, dinyatakan bahwa gubernur jenderal dan Dewan Hindia, mengakui keberadaan ketiga raja di Cirebon. Masing-masing berdiri sendiri, dan dari status vassal dan bawahan, mereka menjadi rekan dan sahabat (van vassalen en onderhorigen tot bondgenoten en vrienden) (F. De Haan, 1910: 53). Meskipun demikian, hal itu tetap merupakan keuntungan bagi VOC untuk mencampuri urusan-urusan politik Kesultanan Cirebon dan juga memonopoli perdagangan. Sejak adanya campur tangan politik di antara sultan-sultan di Cirebon, bibit perselisihan yang ada, makin menjadi.

Tahun 1700, kesultanan menjadi empat kekusaan. Selain Kasepuhan dan Kanoman, terdapat juga kesultanan Kacirebonan di bawah Pangeran Arya Cirebon, dan Kaprabonan (Panembahan) di bawah Pangeran Wangsakerta. Sejak itu perdagangan internasional melalui pelabuhan Cirebon sudah berada di tangan VOC. Untuk memudahkan monopoli perdagangan dan pengumpulan hasil-hasil pertanian, terutama lada dari daerah Priangan Timur, Pangeran Arya Cirebon diangkat menjadi pengawas para bupati di Priangan Timur (Mason Claude Hoadley, 1975: 77) pada tahun 1706, sehingga hasil bumi dari daerah itu mudah dikumpulkan untuk dibawa ke Cirebon demi kepentingan VOC. Pengangkatan Pangeran Arya bertujuan agar kedudukannya menjadi terpandang, meskipun ia tidak bergelar Sultan. Sejak awal abad ke-18, Kesultanan Cirebon, baik di bidang politik maupun ekonomi-perdagangan, mengalami keruntuhan karena dikendalikan VOC yang berlanjut hingga pemerintahan kolonial Hindia-Belanda sejak abad ke-19 dan masa pendudukan Jepang tahun 1942, di mana sultan-sultan mendapat gaji dari pemerintah kolonial itu.

Keagamaan

Di atas sudah dikemukakan bahwa sejak sebelum kedatangan Syarif Hidayatullah di Cirebon, Islam sudah masuk melalui pelabuhan Muara Amparan Jati di Dukuh Pasambangan. Di antara mereka, Syekh Hasanuddin terus mendirikan pondok pesantren di Quro, Karawang. Kemudian datang pula Syekh Datuk Kahfi dengan rombongannya yang membangun pondok di sebelah timur Bukit Amparan Jati, di mana Nyai Lara (Rara) Santang dan Pangeran Cakrabuwana atau Walangsungsang, yang setelah pergi ke Mekkah, mendapat gelar Syarifah Mudha’im dan Syekh Abdullah Iman atau Syekh Duliman. Sekembalinya ke Cirebon, Syekh Abdullah Iman menjadi kuwu, kepala desa Kebon Pesisir atau Tegal Alang-Alang atau Lemahwungkuk yang kemudian terkenal dengan Cirebon.

Syarif Hidayatullah, putra Syarifah Mudha’im, datang ke Cirebon tahun 1470. Dan pada tahun 1479, ia dijadikan pengganti Syekh Abdullah Iman atau Pangeran Cakrabumi sebagai Ki Kuwu Cirebon yang akhirnya menjadi penguasa utama dengan gelar Sinuhun Cirebon. Ia bukan hanya berkedudukan sebagai kepala pemerintahan, tetapi juga sebagai wali dari Walisanga yang berusaha mengislamkan masyarakat di Tatar Sunda. Sehubungan dengan dua jabatan itulah, ia mendapat gelar Pandita Ratu. Pada tahun 1525-1526, ia dengan putranya, Maulana Hasanuddin menyebarkan Islam di Banten sehingga menjadi kesultanan yang maju sejak Maulana Hasanuddin dan Maulana Yusuf dan terutama pada masa Sultan Abdul Fatah Abdul Fathi atau terkenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682) yang oleh VOC dianggap sebagai musuh terbesar (Uka Tjandrasasmita, 1965).
Berdasarkan Babad Cirebon, Sunan Gunung Jati merupakan penganut Ahlu al-Sunnah wal-Jama’ah dari Mazhab Syafi’i. Pernikahan Syarifah Mudha’im, ibu Syarif Hidayatullah, dengan Maulana Hud di Mekkah, di mana Syekh Abdullah Iman yang menjadi walinya, juga memakai cara-cara Mazhab Syafi’i (haji ngabdullah pinangka walinira sang Mudha’im imam Syafi’i angijab aken paningkah sang dewi maring maulana Hud….) (D.A. Rinkers, 1911: 35).

Dalam babad-babad tentang Syarif Hidayatullah diceritakan bahwa, sebelum kepergiannya ke tanah Jawa, ia telah mendalami akidah, syari’ah, bahkan tasawuf dengan tarekatnya. Berdasarkan Sajarah Banten Rante-Rante dan Hikayat Hasanuddin, Martin van Bruinessen berpendapat bahwa Sunan Gunung Jati merupakan penganut Tarekat Kubrawiyah, dan Bruinessen membahasnya secara luas (Martin van Bruinessen, 1995: 223-245). Seperti telah dikatakan bahwa sumber lokal membahas guru-guru Sunan Gunung Jati dan 27 nama teman-teman seperguruannya yang tercantum pada silsilahnya dalam sumber babad tersebut. Tarekat Kubrawiyah ialah tarekat yang dihubungkan dengan nama Najamuddin al-Kubra yang dalam Babad Cirebon dan Hikayat Hasanuddin selalu disebut-sebut. Setelah itu, ia berguru kepada Ibnu Atha’illah al-Iskandari al-Syadzili selama dua puluh tahun di Madinah dan ia mendapat bayaran karena menjadi penganut Tarekat Syadziliyah. Ia juga belajar Tarekat Syattariyah, Qadiriyah, dan Naqsyabandiyah.
Tarekat Syattariyah berkembang di Cirebon mungkin diajarkan oleh Syekh Abdul Muhyi yang pernah berguru kepada Syekh Kuala atau Abdu al-Rauf al-Singkili di Aceh. Syekh Abdul Muhyi, sekembalinya dari Timur Tengah ke Jawa, menetap beberapa lama di daerah Cirebon. Ia mengajarkan ajaran Syattariyah yang di dalamnya menerangkan tentang “Martabat Tujuh” (Alifya M. Santrie, 1992: 105-129; Azyumardi Azra, 1998: 189-211). Setelah dari Cirebon, Syekh Abdul Muhyi akhirnya pergi ke Pamijahan sampai meninggal dan dimakamkan di kampung tersebut (Kabupaten Tasikmalaya) yang sampai kini banyak diziarahi masyarakat dari berbagai daerah.

Di Cirebon, selain Tarekat Syattariyah juga terdapat Tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah, dan Syadziliyah. Karena tarekat dianggap sebagai sumber kekuatan spiritual sekaligus melegitimasi dan mengukuhkan posisi raja (Martin van Bruinessen, 1995: 197). Di Banten, Cirebon, Aceh, dan Maluku, terdapat permainan debus yang biasanya dihubungkan dengan Tarekat Qadiriyah, Rifa’iyah, dan Syattariyah. Di daerah Cirebon dan Garut (Jawa Barat) juga terkenal ajaran Tarekat Tijaniyah yang mula-mula dicetuskan Ahmad al-Tijani (1757-1815). Tetapi di daerah lainnya di Nusantara, tarekat ini mendapat tantangan dari tarekat-tarekat lainnya (Martin van Bruinessen, 1995: 201).

Di dalam sejarah keagamaan Kesultanan Cirebon, selain pada umumnya menjadi penganut Mazhab Syafii, yang berarti termasuk golongan Sunnah wal-Jama’ah, juga terdapat unsur-unsur aliran Syi’ah seperti terbukti dari cerita-cerita tentang Ali bin Abi Thalib. Dalam naskah kuno seperti Babad Cirebon, juga terdapat silsilah yang tidak dipisahkan dari beberapa nama yang dapat dikaitkan dengan tokoh Syi’ah. Lukisan di Cirebon yang menggambarkan “Macan Ali” banyak didapatkan pada Mushaf Al-Qur’an dan pada ukiran kayu. Pendapat Hasan Mu’arif Ambary bahwa di Cirebon Islam pernah berkembang dalam dua bentuk madzhab, yaitu Sunni dan Syi’ah, mungkin ada benarnya (Hasan Mu’arif Ambary, 1997: 35-53). Perkembangan keagamaan Islam di Cirebon sudah tentu berefleksi pada bidang kebudayaan yang akan dibicarakan di bawah.

Seni Bangun dan Ragam Hias

Berdasarkan tinjauan teori proses akulturasi, yang terjadi di Cirebon sejak berkembangnya kesultanan, jelas tidak dapat dipisahkan dari adanya unsur-unsur budaya sebelumnya, yaitu Hindu-Budha yang tumbuh dan berkembang dengan unsur-unsur budaya refleksi dari keagamaan Islam. Contohnya adalah pada pembentukan kota dari segi morfologis, bangunan keraton, bangunan masjid, seni ukir atau hiasan, naskah-naskah kuno (manuskrip), dan lainnya.
Cirebon tumbuh dan berkembang hingga menjadi kota, terutama sejak pemerintahan Cirebon dipimpin Syarif Hidayatullah tahun 1479. Karena itu, tidak mengherankan apabila musafir Portugis, Tome Pires, ketika singgah di tempat ini, mengatakan bahwa Coroboum (Cirebon) merupakan kota yang sudah berpenduduk 1000 orang dengan bandar yang ramai dan sudah melakukan ekspor dan impor barang-barang yang diperlukan. Jika diperhatikan dari segi morfologi, kota Cirebon, baik Kesultanan Kasepuhan maupun Kanoman, mempunyai tatanan letak sebagai berikut: Keraton Pakungwati yang kini tinggal reruntuhannya terletak di bagian selatan, menghadap ke utara dengan tiga pelataran sampai ke alun-alun di sebelah utaranya. Di sebelah barat alun-alun terletak Mesjid Agung, dan di sebelah timur laut terletak pasar. Demikian juga Keraton Kanoman meskipun letak pasarnya di sebelah utara alun-alun. Dari segi morfologi, kota Cirebon tidak berbeda dengan kota-kota pusat kesultanan di pesisir utara Jawa seperti Demak, Banten, dan daerah lain (Uka Tjandrasasmita, 2000: 56-60).

Di Keraton Kesultanan Kasepuhan, yakni di tempat Sultan Sepuh, masih terdapat pelataran: pelataran pertama, kedua, dan yang paling belakang, pelataran ketiga, dengan bangunan keraton. Tiga pembagian pelataran mengingatkan kepada letak kompleks percandian di Jawa Timur masa Kerajaan Majapahit, seperti candi Panataran di daerah Blitar. Nama-nama bangunan, baik yang dimiliki Keraton Kasepuhan dan Kanoman di Cirebon maupun keraton-keraton di Yogyakarta dan di Surakarta (Solo), juga menggunakan istilah lokal Jawa. Keraton Kasepuhan itu sendiri dibagi atas tiga bagian, yakni Pancaniti, Prabayaksa-Paseban sampai dalem, ruangan khusus Sultan. Sitinggil di pelataran depan sebelah kanan mempunyai bentuk-bentuk bangunan dengan gerbang berupa bentuk Candi Bentar. Bangunan-bangunan yang berada di Sitinggil itu ada yang dinamakan dengan Islam, seperti di bagian terdepan yang bertiang 20 dan menjadi tempat sultan dengan para pembesarnya duduk melihat upacara-upacara yang diselenggarakan di alun-alun yang berfungsi sebagai tempat berkumpulnya masyarakat umum. Bangunan bertiang 20 itu dihubungkan dengan “sifat dua puluh”. Di atas Sitinggil bagian kanan belakang terdapat bangunan kecil bertiang dua yang disebut Semar Tinandu dan diberi sebutan Islam dengan ucapan Kalimat Syahadat; di bagian kiri belakang bangunan yang bertiang dua puluh ada bangunan bertiang lima Pancapandawa yang dihubungkan dengan Rukun Islam.

Bangunan Masjid Agung di Kasepuhan yang dinamakan Sang Cipta Rasa oleh para Walisanga, juga mempunyai gaya arsitektur khas Indonesia kuno yang mengingatkan pada bentuk meru seperti pada relief-relief beberapa candi di Jawa Timur dan bangunan pura di Bali. Masjid Agung Cirebon yang sekarang atapnya hanya dua, sebenarnya merupakan suatu arsitektur untuk susunan atap tiga. Bagian dalam masjid dibuat dari tembok batu-bata dengan pintu masuk yang besar di tengah; sedangkan di tembok sampingnya dibuat pintu-pintu masuk yang rendah. Mihrab masjid dihiasi unsur-unsur hiasan pola teratai. Jadi, dalam arsitektur masjid dan juga ragam hiasannya lebih cenderung kepada gaya arsitektur pra-Islam.
Ragam hiasan yang terdapat di keraton mempunyai kekhasan bentuk wadasan. Menarik bahwa pada tiang-tiangnya terdapat hiasan pattra dan lainnya. Tetapi dinding tembok Keraton Kasepuhan sekarang banyak dihiasi oleh tegel-tegel delf dan juga piring-piring porselen China. Bagian-bagian tembok bata dan ukiran-ukiran pada tiang-tiang Sitinggil dan Keraton, menunjukan gaya campuran, antara lain geometrik yang memberikan gambar akulade dan jalinan tambang yang agaknya menunjukkan pengaruh ragam hiasan Islam.

Pengaruh kesenian hiasan China terlihat sangat jelas pada hiasan dinding tembok dan gerbang keraton yang menggunakan piring-piring China. Adanya unsur-unsur bangunan bata dan juga hiasan wadas seperti sisia awan, kemudian hiasan teratai dalam bentuk hati, dimungkinkan karena, menurut cerita dalam babad-babad lokal, pernah terjadi bahwa kepala tukang dari Majapahit bernama Raden Sepet, setelah mengerjakan bangunan-bangunan di Demak, juga diminta mengerjakan bangunan Cirebon (Uka Tjandrasasmita, 1975: 93-98; Uka Tjandrasasmita, 1976).

Bangunan lainnya, Guha Sunia Ragi yang dibuat tahun 1703 sebagai tempat peristirahatan Sultan, juga menunjukkan arsitektur gaya China dibuat dari batu karang dan batu yang ditambah dengan pot-pot bunga dan bale kambang dan lorong-lorong yang mengingatkan kita kepada bangunan yang berada di Forbidden City di Beijing, yang saya lihat pada waktu menghadiri seminar Internasional Arkeologi tahun 1983.

Yang menarik adalah bangunan dan tata letak kompleks Makam Sunan Gunung Jati yang serupa dengan sebuah bukit yang dibuat 9 tingkatan. Tingkatan paling atas adalah jinem, yakni bangunan untuk makam Sunan Gunung Jati beserta keluarganya. Menarik perhatian karena, setelah terjadi perpecahan politik, di mana terjadi pembagian Kesultanan Kasepuhan dan Kanoman, kemudian Kesultanan Cirebon dan Panembahan-Keprabonan, maka tata letak kuburan para Sultan Kasepuhan berada di sebelah kanan yang dipisah oleh jalan bertingkat-tingkat. Sedang di sebelah kirinya untuk kuburan para Sultan Kanoman. Di bawahnya terdapat deretan kuburan Sultan Kacirebonan dan Panembahan Keprabon sampai tingkat tiga. Perpecahan politik ketika di dunia, dibawa setelah di kubur dengan ditempatkan secara terpisah. Ketika belum ada perpecahan politik, sangat jelas masa Sunan Gunung Jati dan beberapa sultan lainnya ditempatkan dalam jinem atau cungkup teratas, seperti halnya di kompleks makam Imogiri yang terpisah, di mana tempat kuburan para Sultan Yogyakarta berada di sebelah kanan, sedangkan kuburan Susuhunan Solo berada di sebelah kiri terpisah oleh sebuah jalan bersama; tempat kubur Sultan Agung Hanykrokusumo berada paling atas (Uka Tjandrasasmita, 1999: 285-300).

Kompleks makam yang dibuat sembilan tingkat itu mungkin pula memberikan simbol sanga, Walisanga; nilai sembilan juga untuk masa sebelum Islam Nawsanga. Sedangkan bukit juga dapat dipandang sebagai meru yang mungkin sekali mempunyai kaitan dengan pikiran bahwa gunung merupakan tempat tinggi ruh-ruh nenek moyang. Seperti halnya sebutan Imogiri untuk Himagiri. Jadi, membuat kompleks makam orang-orang yang dianggap suci di atas bukit-bukit seperti halnya kompleks makam Sunan Giri di Gresik Jawa Timur, kompleks makam Sunan Muria di Solo, atau kompleks makam Sunan Bayat di Tembayat, Klaten, merupakan hal biasa dan mentradisi.
Terakhir adalah kereta-kereta kuno. Di Keraton Kasepuhan terdapat Kereta Singa Barong atau Singa Naga Liman yang menurut Candrasangkala Iku Pandito Buto Rupanane, berarti nilainya 1751 dibaca 1571 Saka, sama dengan 1649 M. Kereta ini, dari segi rodanya, bukan untuk ditarik kuda tetapi oleh sapi. Bentuk itulah yang menyerupai burung, naga, dan gajah dengan penuh ukiran pada sayapnya. Di Keraton Kanoman juga terdapat kereta Paksi Naga Liman yang memuat angka tahun Jawa pada medallion ban lehernya tahun 1350 yang berarti sama dengan 1428 M (Drs. H.B Vos, 1986: 39-42).

Wayang dan Topeng

Di Cirebon terdapat wayang kulit dan wayang cepak (papak, menak). Wayang kulit menyajikan cerita-cerita yang diambil dari episode (kisah) Mahabrata dan Ramayana. Wayang cepak menyajikan cerita Panji dan Menak yang mengambil kisah-kisah kepahlawanan Amir Hamzah yang berkaitan erat dengan penyebaran Islam. Wayang cirebon masih kuat dengan ritus-ritus bagi komunitas dan dalang-dalangnya. Faktor yang menunjang ketahanan motivasi ritusnya ialah bahwa komunitas Cirebon ada di antara dua budaya besar, yakni Jawa Tengah (Solo, Yogyakarta) dan Jawa Barat. Demikian pula dari segi bahasa yang khas sebagai Jawa-Cirebon, bertahan untuk jati dirinya.
Ungkapan dalam kesenian, selain pertunjukan wayang, juga dalam topeng Cirebon yang sampai kini pembuatan topengnya masih hidup di Gresik. Selain itu, kekhasan seni yang disebut tarling (permainan gitar dan suling), gamelan Cirebon, kuda lumping, sintren, lais, barongan (bengberokan), lukisan kaca, dan angklung bungko yang kesemuanya sampai kini masih cukup terpelihara keberadaannya (Saini K.M., 1997: 163-167).

Wayang Cirebon termasuk seni yang sangat penting sebagai pengungkap jati diri kecirebonannya. Faktor lain yang mendukung adalah keberadaan keraton-keraton (Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan). Ketiga keraton ini, selain menjadi buhul tali pengikat yang menghubungkan masyarakat budaya Cirebon, yang terpenting adalah upacara Panjang Jimat dalam Maulud Nabi Muhammad SAW.
Topeng bukan hanya terdapat di Cirebon, tetapi di mana-mana. Namun demikian, topeng Cirebon mempunyai kekhasannya sendiri. Pertunjukan topeng biasanya dilakukan di siang hari dan dilakukan di desa sampai kota. Dalang topeng, seperti juga dalang wayang, biasanya berasal dari keturunan dan ternyata juga kadang-kadang punya pertalian keluarga. Pertunjukan topeng secara tradisional diselenggarakan untuk merayakan upacara semalaman, khitanan, perkawinan, dan juga pada upacara penting yang kini sudah menipis tetapi masih ada, adalah sedekah bumi, kaulan, dan upacara-upacara keagamaan. Pertunjukan topeng seperti tari Panji, tari Pamindo, tari Patih, tari Tumenggung dan Jingganamon, dan tari Klana, semua itu memerlukan keterampilan tarian masing-masing (Endo Suanda, 1997: 169, 192).

Seni Sastra

Cirebon sebagai pusat keagamaan Islam, dikenal pula dalam bidang seni sastra yang pada umumnya bersifat keagamaan Islam, terutama sejak adanya perkembangan Kesultanan Cirebon. Naskah-naskah kuno (manuskrip) yang berasal dari daerah Cirebon yang dapat dicatat oleh hasil penelitian Pudjiastuti, terdapat lebih kurang 200 naskah. Naskah-naskah dari Cirebon itu sudah dibicarakan pula oleh Agus Arismunandar dan Pudjiastuti sendiri (Agus Arismunandar dan Pudjiastti, 1997: 193-202). Naskah-naskah tersebut ditulis dalam berbagai bentuk penyajian, yakni prosa dan pupuh (macapat, tembang, skema dan gambar-gambar).
Tulisan yang dipergunakan juga bermacam-macam: tulisan Arab bahasa Jawa atau Pegon dan Jawi (tulisan Arab bahasa Melayu). Berdasarkan isinya, naskah-naskah Cirebon dapat ditafsirkan ke dalam 13 kategori jenis sastra. Ketiga belas kategori itu adalah sejarah, silsilah yang umumnya ditulis dalam bentuk skema (wayang sastra, ajaran agama, doa-doa, cerita Islam, primbon, obat-obatan, mantra, hukum, dongeng, legenda, dan lain-lain. Termasuk dalam kategori lain-lain, adalah naskah-naskah yang isinya mengenai jimat (biasanya dalam bentuk gambar), adat istiadat, dan pelajaran asmara.

Dari sejumlah 200 naskah yang telah berhasil di data, naskah yang berisi sejarah cukup banyak, yakni sekitar 31 naskah. Naskah sejarah ini tampil dengan judul yang bermacam-macam. Di antaranya yang berbahasa Cirebon adalah Babad Cirebon, Carub Kanda, Catur Kanda, Carang Satus dan Carang Sewu. Naskah-naskah yang berisi tentang sejarah Cirebon, antara lain adalah Babad Cirebon, Carita Purwaka Caruban Nagari, dan naskah Wangsakerta. Belum lama ini ditemukan sebuah naskah dari Metasinga oleh Amman N. Wahyu dan sudah dialihaksarakan dengan judul Sejarah Wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati.
Di Cirebon juga terdapat sejumlah naskah-naskah kuno yang berisi tentang suluk atau tasawuf yang ditulis oleh kalangan ulama dari keraton seperti Pangeran Wangsakerta dan Pangeran Arya Cirebon. Karena itu, keraton-keraton di Cirebon dapat disebut sebagai pusat kebudayaan. Naskah-naskah kuno, baik Mushaf Al-Qur’an maupun kitab-kitab fikih, juga sering ditemukan dari pesantren-pesantren antara lain, Pesantren Buntet.

Penutup

Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan: pertama, pertumbuhan Cirebon sampai menjadi kesultanan, baik dari segi politik maupun perdagangan, sudah dimulai sejak Cirebon di bawah pemerintahan Kerajaan Sunda Pajajaran. Kedua, pada masa sebelum menjadi kesultanan di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, agama Islam sudah datang dan mulai menyebar melalui pesantren, bukan hanya oleh ulama dan para syekh, tetapi juga oleh penguasa desa (Kuwu) Cirebon, yaitu Syekh Abdullah Iman atau Pangeran Cakrabuwana(Cakrabumi).

Ketiga, agama Islam makin luas disebarkan ke daerah-daerah Talaga, Kuingan, Galuh, dan terutama ke Banten, oleh Syarif Hidayatullah dan disusul kemudian oleh Fadhillah Khan, atas perintah Sultan Demak, Pangeran Trenggono, dan dorongan Syarif Hidayatullah untuk menyerang Kalapa yang berhasil tahun 1527 hingga Kalapa diganti menjadi Jayakarta. Keempat, dari segi politik, agama, dan ekonomi-perdagangan, sejak Syarif Hidayatullah, Cirebon menjadi pusat kesultanan yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan sampai pemerintahan Panembahan Ratu dan Girilaya.

Kelima, setelah kesultanan dipecah menjadi dua, yaitu Kasepuhan dan Kanoman, dan karena timbul perpecahan yang dipicu oleh perjanjian dengan VOC Belanda, Kesultanan Cirebon mulai mengalami keruntuhan. Bahkan pada awal abad ke-18, kesultanan praktis tak berdaya, baik di bidang politik maupun di bidang perdagangan, karena sudah jatuh ke tangan VOC dan seterusnya Hindia-Belanda.

Keenam, meski demikian, masih dapat dicatat bahwa Kesultanan Cirebon masih mempunyai peran dalam menghasilkan seni bangunan, seni ukir, dan seni hias, bahkan menonjol pula dalam seni sastra dengan banyaknya naskah-naskah kuno yang dapat ditemukan. Ketujuh, hasil-hasil seni bangunan, seni ukir, seni pertunjukan, serta seni hias Kesultanan Cirebon, memberikan bukti hasil proses akulturasi yang tetap memiliki jati dirinya yang Islami.

1 komentar: