Artikel ini membahas Kesultanan Cirebon
dari dua perspektif. Pertama, tentang historisnya yang meliputi
pertumbuhan, perkembangan, dan keruntuhan. Kedua, tentang kebudayaannya
yang meliputi sejumlah aspek: seni bangunan, seni sastra, dan seni
pertunjukan yang mentradisi sampai sekarang.
Secara geografis, Cirebon terletak di
pesisir utara Jawa. Lokasinya yang strategis, serta memiliki muara-muara
sungai, berperan penting bagi pertumbuhan Cirebon menjadi pelabuhan:
sebagai tempat untuk menjalankan kegiatan pelayaran dan perdagangan yang
bersifat regional maupun internasional. Kedudukan Cirebon sebagai kota
pelabuhan sudah berlangsung sejak zaman Kerajaan Sunda Pajajaran yang
bercorak Hindu-Budha, seperti diketahui dari sumber-sumber lokal seperti
babad dan carita, yang juga didukung oleh berita asing.
Cirebon bermula dari sebuah pelabuhan
pertama di zaman Kerajaan Sunda Pajajaran yang berada di Dukuh
Pasambangan, dan kemudian pindah ke Kebon Pesisir atau Tegal Alang-Alang
(Lemah Wungkuk) sampai menjadi Desa Caruban. Lambat laun, desa ini
menjadi sebuah kota pesisir yang mencapai perkembangannya sejak
pemerintahan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Bukti arkeologis
bahwa Cirebon sudah mengalami pertumbuhan dan masuk wilayah Kerajaan
Sunda Pajajaran adalah ditemukannya sebuah prasasti batu di Huludayeuh
dekat Cirebon yang aksara dan nama rajanya serupa dengan tulisan dalam
Prasasti Batu-Tulis Bogor.
Penyebutan Kesultanan setidaknya dimulai
sejak Syarif Hidayatullah memerintah, sekitar 1479 M. Meski, dalam
berbagai sumber naskah kuno, waktu itu penguasa-penguasanya belum
digelari sultan, tetapi masih panembahan atau pangeran. Sementara
pemberian gelar sultan kepada raja-raja atau penguasa Cirebon baru
dilakukan ketika Cirebon dibagi atas dua kesultanan, yaitu Kasepuhan dan
Kanoman (sekitar tahun 1677). Pembagian dua kekuasaan tersebut
sekaligus menandai awal keruntuhan Kesultanan Cirebon. Perselisihan
antara kedua kesultanan itu, ditambah dengan ketidakpuasan Pangeran
Wangsakerta, memudahkan campur tangan politik VOC Belanda. Sejak
perjanjian 7 Januari 1681, Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia, mengakui
keberadaan ketiga raja di Cirebon. Masing-masing berdiri sendiri. Dan
pada tahun 1700, kesultanan menjadi empat kekuasaan. Selain Kasepuhan
dan Kanoman, terdapat juga Kesultanan Kacirebonan di bawah Pangeran Arya
Cirebon, dan Kaprabonan (Panembahan) di bawah Pangeran Wangsakerta.
Sejak itu, perdagangan internasional melalui Pelabuhan Cirebon sudah
berada di tangan VOC.
Kedatangan dan penyebaran Islam di
Cirebon sudah berlangsung sebelum pemerintahan Syarif Hidayatullah,
sebagaimana dapat diketahui dari sumber-sumber sejarah, antara lain Babad Cirebon dan Carita Purwaka Caruban Nagari.
Secara keagamaan, masyarakat di Kesultanan Cirebon umumnya menjadi
penganut Mazhab Syafii, atau termasuk golongan Sunni. Meski, juga
terdapat unsur-unsur aliran Syi’ah seperti terbukti dari cerita-cerita
tentang Ali bin Abi Thalib atau nama-nama dalam silsilah yang dapat
dikaitkan dengan tokoh Syi’ah dalam naskah kuno seperti Babad Cirebon.
Artikel ini memperlihatkan bahwa agama
Islam datang dan mulai menyebar di Cirebon melalui pesantren, bukan
hanya oleh ulama dan para syekh, tetapi juga oleh penguasa desa (Kuwu)
Cirebon, yaitu Syekh Abdullah Iman atau Pangeran Cakrabuwana(Cakrabumi).
Agama Islam makin luas disebarkan ke daerah-daerah Talaga, Kuningan,
Galuh, dan terutama ke Banten, oleh Syarif Hidayatullah dan disusul
kemudian oleh Fadhillah Khan, atas perintah Sultan Demak, Pangeran
Trenggono. Sejak pemerintahan Syarif Hidayatullah sampai pemerintahan
Panembahan Ratu dan Girilaya, Cirebon menjadi pusat kesultanan yang
mengalami pertumbuhan dan perkembangan, terutama dari segi politik,
agama, dan ekonomi-perdagangan.
Namun, sejak
timbulnya timbul perpecahan yang terutama dipicu oleh perjanjian dengan
VOC Belanda, Kesultanan Cirebon mulai mengalami keruntuhan. Bahkan, pada
awal abad ke-18, kesultanan praktis tak berdaya, baik di bidang politik
maupun di bidang perdagangan, karena sudah jatuh ke tangan VOC dan
selanjutnya Hindia-Belanda. Meski demikian, dapat dicatat bahwa
Kesultanan Cirebon masih mempunyai peran dalam menghasilkan seni
bangunan, seni ukir, dan seni hias, bahkan menonjol pula dalam seni
sastra dengan banyaknya naskah-naskah kuno yang dapat ditemukan.
Hasil-hasil kebudayaan di Kesultanan Cirebon tersebut—seni bangunan,
seni ukir, seni pertunjukan, seni hias, seni sastra—memberikan bukti
adanya proses akulturasi yang tetap memiliki jati dirinya yang Islami.
Masa Pertumbuhan
Letak Geografis Cirebon di pesisir utara
Jawa yang memiliki muara-muara sungai mempunyai peranan penting bagi
pelabuhan: sebagai tempat untuk menjalankan kegiatan-kegiatan pelayaran
dan perdagangan yang bersifat regional maupun internasional. Kedudukan
Cirebon sebagai kota pelabuhan sudah berlangsung sejak zaman Kerajaan
Sunda Pajajaran yang bercorak Hindu-Budha. Pertumbuhan pelabuhan
Kerajaan Sunda Pajajaran dapat diketahui dari sumber-sumber lokal
seperti babad dan carita, yang juga didukung oleh berita asing.
Babad Cirebon dan Carita Purwaka Caruban Nagari,
menceritakan bahwa Cirebon dulunya adalah sebagai dukuh yang diperintah
oleh seorang juru labuhan (syahbandar) dan kemudian menjadi desa yang
diperintah oleh kuwu. Pelabuhan awal ialah Muara Amparan Jati yang
berada di Dukuh Pasambangan, lebih kurang 5 km di sebelah utara Kota
Cirebon. Kini, yang menjadi kepala/juru labuhannya ialah Ki Gedeng
Sedangkasih, kemudian Kio Gedeng Tapa yang berganti lagi Ki Gedeng
Jumjanjati. Waktu itu, konon Kerajaan Sunda Pajajaran yang beribukota di
Pakuan, diperintah oleh Prabu Siliwangi yang setiap tahunnya menerima
upeti berupa garam dan terasi (uyah kalawan terasi), sebagai hasil daerah Cirebon.
Sebutan Prabu Siliwangi yang dikenal
hanya pada hasil sastra-sejarah pernah diidentifikasikan dengan nama Sri
Baduga Maharaja Ratu Pakuan Pajajaran yang tercantum pada prasasti Batu
Tulis di Bogor hasil kajian Moh Amir Sutaarga (Sutaarga, 1965: 38-42).
Sementara ibukota Kerajaan Sunda Pajajaran yang diperkirakan terletak di
daerah Bogor adalah mengacu pada pendapat J. Nooduyn, C.M. Pleyte,
R,M,Ng. Poerbatjaraka, S. Ekajati, dan sarjana lainnya. Hal ini pernah
dibicarakan oleh Uka Tjandrasasmita dalam seminar internasional yang
diselenggarakan oleh Association of Historians of Asia (AHA), Jakarta,
27 Augustus-1 September, 1998, dengan makalah yang berjudul The International Trade of Sunda Pajajaran Kingdom in the XIVth-the XVIth Century.
Dukuh Pasambangan, dengan pelabuhan
Muara Amparan Jati, sudah mulai disinggahi kapal-kapal dagang dari
beberapa daerah di Indonesia seperti dari Pase, Palembang, Jawa Timur,
Madura, juga beberapa pedagang negeri asing seperti Arab, Parsi (Iran),
Irak, India, China, Malaka, Tumasik, dan Campa. Itulah sebabnya Dukuh
Pasambangan menjadi ramai dan banyak penduduk yang hidupnya menjadi
makmur.
Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari,
diceritakan bahwa Dukuh Pasambangan kedatangan guru-guru agama Islam
dari Mekkah dan Campa, antara lain Syekh Hasanuddin, putra Syekh Yusuf
Sidik, ulama terkenal di Campa yang medirikan pondok di Quro, Karawang,
yang kemudian terkenal dengan nama Syekh Quro. Juru labuhan, Ki Gedeng
Tapa, menyuruh putrinya, Nyai Subanglarang, berguru agama Islam di
Pondok Quro, yang akhirnya menjadi istri Syekh Hasanuddin atau Syekh
Quro.
Diceritakan pula saat juru labuhan Ki
Gedeng Jumajanjati, Dukuh Pasambangan kedatangan Syekh Datuk Kahfi atau
Syekh Idhofi atau Nuruljati dari Kerajaan Parsi yang waktu itu
beribukota di Baghdad. Syekh Datuk Kahfi sebagai utusan dari Persia,
disertai oleh dua puluh orang pria dan dua orang Wanita. Mereka diterima
dengan baik, diberikan tempat, dan dimuliakan oleh Ki Gedeng
Jumajanjati (Atja, 1972: 46-47).
Pada waktu itu kapal China, di bawah
Panglima bernama Wai Ping dan Laksamana Te Bo dengan para pengikutnya
yang berjumlah banyak, singgah di Pasambangan dalam perjalanannya ke
Majapahit. Oleh juru labuhan, mereka diterima baik dan selama di dukuh
itu mereka membuat menara api di atas Bukit Amparan Jati. Sebagai
imbalan, oleh juru labuhan Ki Gedeng Jumajanjati yang berkedudukan
sebagai mangkubumi, mereka diberikan hadiah berupa garam, terasi, beras
tumbuk, rempah-rempah, dan kayu jati (Atja, 1972: 7).
Walang Sungsang (Cakrabuwana) bersama
istrinya yang bernama Endang Ayu, dan adiknya, Nyai Lara Santang, oleh
Ki Gedeng Jumajanjati disuruh berguru kepada Syekh Datuk Kahfi yang
mendirikan pondok di sebelah Bukit Amparan Jati. Setelah berguru kepada
Syekh Datuk Kahfi, Walang Sungsang mendapat julukan Samdullah atau
Cakrabumi. Atas petunjuk gurunya, Samdullah pergi ke Dukuh Kebon
Pasisir, mendirikan gedung dan tajug serta pembangunan sarana dan
prasarana lainnya. Sehingga, tempat yang semula dinamakan Tegal
Alang-alang itu, menjadi desa dengan kepala yang disebut kuwu. Tempat
itu kemudian dinamakan Caruban atau Caruban Larang. Karena itu, para
pedagang yang biasanya mengunjungi pelabuhan di Muara Jati, Dukuh
Pasambangan, pindah ke pelabuhan Caruban, sehingga lambat laun desa itu
tumbuh menjadi sebuah perkotaan, terutama setelah menjadi kesultanan.
Dalam sumber-sumber lokal, baik Babad Cirebon maupun Carita Purwaka Caruban Nagari,
diceritakan tentang kepergian Pangeran Cakrabuwana atau Cakrabumi
dengan adiknya, Nyai Lara Santang, untuk menunaikan ibadah haji atas
saran Syekh Datuk Kahfi, setelah mereka berdua tinggal selama sembilan
bulan di Kebon Pesisir atau Caruban. Mereka melaksanakan ibadah haji
selama dua tahun. Setelah menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuwana
mendapat gelar Syekh Duliman atau Abdullah Iman. Sedangkan Nyai Lara
Santang diberi gelar Syarifah Mudha’im (Atja, 1972: 48-49; Rinkers,
1911; Naskah Zang 1, 2, 3: 30-37). Diceritakan bahwa Syarifah Mudha’im
dinikahi oleh Syarif Abdullah dari negeri Mesir yang kemudian melahirkan
seorang putra bernama Syarif Hidayatullah pada tahun 1448 M.
Setelah dewasa, Syarif Hidayatullah
pergi ke Jawa menyusul ibunya dan uwaknya, Syekh Duliman yang telah
menjadi kuwu Cirebon. Kedatangan Syarif Hidayatullah di Cirebon terjadi
tahun 1470 M. Setelah menikah dengan putri uwaknya, Nyai Pakungwati, ia
diangkat menjadi kuwu Cirebon menggantikan uwaknya, Pangeran Cakrabumi
atau Syekh Duliman (Abdullah Iman), tahun 1479. Sejak itu pula Syarif
Hidayatullah mendapat gelar Sinuhun Carbon. Karena itu, dari segi
struktur pemerintahan, Cirebon sudah boleh disebut awal kesultanan
sesuai dengan proses pelepasan dari kerajaan bercorak Hindu-Budha,
Kerajaan Sunda Pajajaran yang berpusat di Pakuan. Dalam sumber lokal
dikatakan bahwa, sejak pemerintahan Sinuhun Carbon yang juga dikenal
sebagai Sunan Gunung Jati, pajak garam dan terasi (bulu bekti uyah kalawan terasi) dari Cirebon yang biasanya dibaktikan kepada Raja di Pakuan, dihentikan sama sekali.
Daerah Cirebon pernah menjadi bawahan
Kerajaan Sunda Pajajaran. Hal itu bukan hanya diceritakan dalam babad
atau cerita sastra-sejarah lokal, tetapi juga dibuktikan oleh berita
asing, antara lain oleh Tome Pires dalam berita perjalanannya, Suma Oriental (1512-1515), yang sekitar tahun 1513 singgah di kota Cirebon yang ia sebut Cherimon (Choroboam).
Dikatakan bahwa tanah Cirebon dahulunya termasuk sebagai daerah Sunda,
tetapi kini masuk Jawa. Pemimpinnya bernama Lebe Uca sebagai vassal Pate
Rodim, Raja Demak.
Cirebon mempunyai pelabuhan yang baik. Banyak kapal berlabuh di sana. Selain itu, terdapat tiga atau empat jung
di sana. Cirebon juga mempunyai banyak hasil bumi beras dan bahan
makanan. Yang menarik perhatian adalah, Tome Pires menyebutkan pelabuhan
Cimanuk sebagai pelabuhan keenam yang masuk ke dalam Kerajaan Sunda
meskipun sudah banyak orang-orang Muslim. Pelabuhan Cimanuk atau
Indramayu merupakan batas Kerajaan Sunda (Armando Cortesao, 1976: 173,
183).
Bukti arkeologis bahwa Cirebon sudah
mengalami pertumbuhan dan masuk wilayah Kerajaan Sunda Pajajaran adalah,
ditemukannya sebuah prasasti batu dari Huludayeuh dekat sumber Cirebon
yang aksara dan nama rajanya serupa dengan tulisan dalam prasasti
Batu-tulis Bogor (Hasan Djafar, 1994).
Dari uraian di atas, jelas bahwa
Cirebon, sebelum menjadi kota pusat kesultanan, sudah mengalami
pertumbuhan, yaitu sejak zaman Kerajaan Sunda Pajajaran dengan pelabuhan
pertama yang berada di Dukuh Pasambangan dan kemudian pindah ke Kebon
Pesisir atau Tegal Alang-Alang (Lemah Wungkuk) sampai menjadi desa
Caruban yang lambat laun menjadi sebuah kota pesisir yang mencapai
perkembangannya sejak pemerintahan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung
Jati), putra Syarifah Mudha’im yang sebelumnya bernama Nyai Lara (Rara)
Santang.
Masa Perkembangan
Apabila pertumbuhan Cirebon sebelum
menjadi kesultanan sudah terjadi, maka sejak Syarif Hidayatullah
memerintah sekitar 1479 M, sudah dapat disebut Kesultanan Cirebon,
meskipun dalam berbagai sumber naskah kuno, waktu itu
penguasa-penguasanya tidak digelari sultan, tetapi masih panembahan atau
pangeran. Pemberian gelar sultan kepada raja-raja atau penguasa Cirebon
baru dilakukan ketika Cirebon dibagi atas dua kesultanan, yaitu
Kasepuhan dan Kanoman (sekitar tahun 1677), setelah kedua putra
Panembahan Girilaya yang pergi ke Mataram diselamatkan dari
pemberontakan Pangeran Trunojoyo terhadap Mataram. Sekembalinya dari
Banten, kedua putra panembaan itu, yakni Pangeran Syamsuddin Martawijaya
dan Pangeran Badruddin Kartawijaya, menjadi sultan sepuh (Syamsuddin
Martawijaya) dan sultan anom (Badruddin Kartawijaya) (Atja, 1972, 68;
Rinkes, 1911; Naskah Zang 36: 142-143).
Meskipun sejak pemerintahan Syarif
Hidayatullah dikatakan sebagai masa Kesultanan Cirebon, tetapi
kedatangan dan penyebaran Islam di daerah itu sudah ada, sebagaimana
dapat diketahui dari sumber-sumber sejarah antara lain Babad Cirebon dan Carita Purwaka Caruban Nagari. Berita Tome Pires (1512-1515) menyebutkan bahwa, kira-kira 40 tahun lalu, di tempat ini (Choroboam atau
Cirebon), masih terjadi perbudakan. Waktu itu Raja Demak mempunyai
budak dari Gresik yang ditempatkannya sebagai kapten di Cirebon dengan
gelar Pate Choroboam (Cirebon), yakni kakek Pate Rodim dari Demak yang
sekarang menjadi raja (Armando Cortesao, 1944: 183).
Jika berita Tome Pires itu kita terima,
dengan kehadiran Islam di Cirebon lebih kurang 40 tahun lalu ketika Tome
Pires singgah di kota Cirebon (1513), maka jatuhnya lebih kurang tahun
1473. Tahun ini setidaknya menunjukkan waktu kehadiran Syarif
Hidayatullah tahun 1470 dan mungkin sejak kehadiran Syekh Datuk Kahfi,
Syeikh Abdullah Iman (Samadullah atau Cakrabuwana) pada tahun-tahun
sebelum 1470. Diberitakan Tome Pires bahwa, pada waktu kehadiran Tome
Pires di Cirebon, yang menjadi raja ialah Lebe Uca, Vassal Pate Rodim,
Raja Demak.
Cirebon mempunyai pelabuhan yang baik sebagai tempat singgah kapal-kapal. Di sana, ada tiga atau empat buah jung. Cirebon mempunyai banyak beras dan bahan-bahan makanan dan memiliki sepuluh lanchara.
Selain itu, tapi tidak banyak diceritakan, Cirebon mempunyai penduduk
sampai 1000 jiwa. Pate Quider, salah seorang pemberontak di Upeh
(Malaka) juga tinggal di Cirebon. Di Cirebon ada lima atau enam
pedagang-pedagang besar seperti Pate Quedir, karena ia seorang pedagang
yang berani dan ksatria (Cortesao, 1944: 183). Nama Lebe Uca dan Pate
Quedir, sebagaimana disebut-sebut oleh Tome Pires, masih sukar untuk
diidentifikasikan dengan nama-nama yang disebut dalam sumber-sumber
lokal.
Masa pemerintahan Syarif Hidayatullah
(1479-1568), merupakan masa perkembangan Kesultanan Cirebon. Pada
masanya, bidang politik, keagamaan, dan perdagangan, makin maju. Pada
masa itu terjadi penyebaran Islam ke Banten (sekitar 1525-1526) dengan
penempatan putra Syarif Hidayatullah, yaitu Maulana Hasanuddin, setelah
meruntuhkan pemerintahan Pucuk Umum, penguasa kadipaten dari Kerajaan
Sunda Pajajaran yang berkududukan di Banten Girang. Setelah Islam, pusat
pemerintahan Maulana Hasanuddin terletak di Surosowan dekat Muara
Cibanten (Hoesein Djajadiningrat, 1983), Priangan Timur antara lain ke
Kerajaan Galuh tahun 1528, kemudian Talaga tahun 1530.
Penyebaran Islam ke daerah Babadan,
Kuningan (Selatan Cirebon), Indramayu, dan Karawang, terjadi dengan
damai. Mungkin fenomena ini bisa ditafsirkan sebagai upaya Cirebon untuk
memperbesar posisinya di bidang perdagangan dan pelayaran dengan cara
menguasai daerah pedalaman yang menjadi sumber penghasil komoditas
perdagangan seperti beras dan kayu, serta sekaligus tempat mensuplai
barang-barang dari luar (Singgih Tri Sulistiyono, 1997: 82).
Penyebaran Islam ke arah barat, yaitu di
sepanjang pesisir utara Jawa bagian barat, juga erat kaitannya dengan
politik Kesultanan Demak. Di antara kedua kesultanan itu, sejak semula
sudah ada hubungan kekerabatan. Dari segi politik, penyebaran Islam di
pesisir utara Jawa bagian barat itu lebih jelas pada waktu Kesultanan
Banten sudah berdiri. Penyerangan ke pelabuhan utama Kerajaan Sunda
Pajajaran terjadi tahun 1527 oleh tentara gabungan dari Demak, Cirebon,
dan Banten. Penguasaan Islam tersebut jelas membendung pengaruh Portugis
yang sudah menduduki Malaka sejak tahun 1511. Dengan demikian,
perdagangan internasional dan regional dari daerah Maluku ke
pelabuhan-pelabuhan sepanjang pesisir utara Jawa melalui Selat Sunda,
menjadikan kesultanan-kesultanan tersebut dapat leluasa untuk
menyingkirkan lalu lintas perdagangan melalui Selat Malaka yang sudah
berada di tangan kekuasaan Portugis (Uka Tjandrasasmita, 2001: 43-64).
Perdagangan internasional yang dilakukan
kesultanan-kesultanan dari dunia Melayu-Indonesia melalui
Samudera-Hindia ke negeri-negeri Timur Tengah, melalui Teluk Aden sampai
ke Afrika Timur, selalu mendapat rintangan dengan cara pencegatan di
Lautan Hindia oleh kapal-kapal Portugis. K.N Chaundhuri mengatakan,
“Kedatangan Portugis di Benua India secara tiba-tiba memang mengakhiri
sistem pelayaran yang damai yang menandai kawasan ini” (K.N. Chaudhuri,
1989). Meskipun demikian, di berbagai pelabuhan di sepanjang pesisir
utara Jawa seperti Gresik, Sedayu, Tuban, Jepara, Demak, termasuk
Cirebon, Jayakarta, dan Banten, terdapat kelompok-kelompok pedagang dari
Arab dan Timur Tengah, India, dan lainnya, di samping para pedagang
China dan negeri-negeri di Asia Tenggara. Cirebon dengan demikian makin
tumbuh menjadi kota Muslim yang sejak kehadiran Tome Pires (1513)
penduduknya berjumlah sekitar 1000 orang. Lebih-lebih pada masa
pemerintahan Syarif Hidayatullah (1479-1568) yang lebih kurang berusia
setengah abad, penduduk dan keramaian kota pusat pemerintahan Kesultanan
Cirebon, sudah lebih banyak.
Pada masa pemerintahan Pangeran
Trenggono, di Kesultanan Demak dan Syarif Hidayatullah, terjadi
perluasan politik dengan adanya serangan terhadap kota pelabuhan utama
Kerajaan Sunda Pajajaran, yaitu Kalapa, pada 22 Juni 1527. Keberhasilan
serangan tentara gabungan Demak-Cirebon, dan kemudian Banten di bawah
pimpinan panglimanya, Fadhillah Khan (berdasarkan Carita Purwaka Caruban Nagari),
atau Faletehan (berdasarkan berita Portugis De Barros) dalam merebut
kekuasaan Kalapa dan mengusir armada Portugis di bawah pimpinan
Francisco de Sa, menyebabkan nama Kalapa diganti menjadi Jayakarta oleh
Fadhillah Khan (Hoesein Djajadiningrat, 1983: 99; Atja, 1972: 56-57).
Sementara itu, Hoessein Djajadiningrat
menyamakan Falatehan atau Tagaril (berita Portugis) dengan Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Mazdkurullah. Namun, menurut saya,
pendapat Djajadiningrat perlu dikritisi karena berdasarkan hasil temuan
dari Carita Purwaka Caruban Nagari susunan Pangeran Arya
Cirebon (1720) ternyata yang berperan mengadakan serangan ke Kalapa
ialah Fadhillah Khan, seorang yang berasal dari Pase yang datang ke
Jepara, Demak, dan kemudian dijadikan menantu Pangeran Trenggono.
Kemudian Fadhillah Khan menjadi panglima untuk menyerang Kalapa dengan
membawa tentara gabungan Demak dan Cirebon yang berjumlah 1967 (berita
Portugis: 2000) orang. Ketika tiba di Cirebon, Fadhillah Khan diterima
Syarif Hidayatullah dan mendapat restu karena dijadikan menantu oleh
Syarif Hidayatullah. Dari fakta tersebut kita dapat memisahkan adanya
dua tokoh Syarif Hidayatullah dan Fadhillah Khan. Karena itu,
kemungkinan besar Falatehan yang dimaksud berita Portugis itulah yang
sama dengan Fadhillah Khan.
Syarif Hidayatullah yang mendapat
julukan Pandita Ratu (ulama yang menjadi raja), adalah salah seorang
dari Wali Sanga, lebih giat menjalankan keagamaan dari pada bergerak di
bidang politik. Pada masa serangan Demak di bawah pimpinan Sultan
Trenggono terhadap Pasuruan di Jawa Timur, menurut berita Portugis,
Tagaril dari Cirebon juga turut serta dalam serangan. Setelah Pangeran
Trenggono wafat tahun 1546, ia kembali. Tetapi menurut Carita Purwaka Caruban Nagari,
pada tahun 1552, Fadhillah ada di Cirebon mewakili Susuhunan Gunung
Jati. Setelah itu ia menjadi pengganti sementara sebelum kemudian
digantikan lagi oleh Pangeran Pasarean.
Setelah Syarif Hidayatullah yang
terkenal dengan Sunan Gunung Jati wafat tahun 1568, putranya, yakni
Pangeran Pasarean, menggantikan ayahnya. Setelah itu, Kesultanan Cirebon
diperintah oleh putra Pangeran Pasarean, yaitu Panembahan Ratu
(1546-1649), cucu Sunan Gunung Jati. Pada masa ini terjalin hubungan
antara Mataram dan Cirebon yang sebenarnya sudah terjadi sejak
pemerintahan Senapati Ing Alaga yang juga mempunyai pengaruh kekuasaan
di daerah Priangan Timur. Konon, sebuah cerita menggambarkan bahwa pada
tahun 1590, raja Mataram, Panembahan Senapati, membantu pemimpin agama
Cirebon, Pangeran Ratu, untuk mendirikan atau memperkuat tembok yang
mengelilingi kotanya. Waktu itu raja Mataram menganggap Cirebon sebagai
suatu pertahanan militer di bagian barat Kerajaan Mataram (De Graaf dan
Pigeaud, 1986: 144-1450). Panembahan Ratu mengalami pergolakan dengan
munculnya kekuasaan Belanda di Batavia dan dengan terjadinya peperangan
antara Mataram dan Banten.
Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu, Kesultanan Cirebon masih menunjukkan kegiatannya dalam bidang perdagangan. Setelah terjadinya serangan Mataram teradap VOC di Batavia tahun 1628 dan 1629, pihak VOC tetap menaruh kecurigaan terhadap orang-orang Cirebon dan Mataram. Dalam Daghregister tahun 1632, Belanda memberitakan bahwa sekitar tanggal 30 April, ada empat atau lima ribu orang dari Mataram dan seribu orang dari Cirebon di bawah pimpinan orang kaya Mattasary dikhawatirkan akan menuju Batavia. Dikabarkan bahwa 50 kapal dari Cirebon dengan muatan beras, memasuki daerah perairan sebelah timur Karawang. Pada tanggal 7 Mei 1632 datang juga perahu-perahu dari Cirebon dan kapal Melayu yang membawa muatan gula dan lain-lain, yang oleh pihak Belanda diduga menuju Batavia. Kemudian, tanggal 12 Mei 1632, datang kapal-kapal Melayu dengan muatan gula, minyak, dan lain-lain. Kesibukan perdagangan Kesultanan Cirebon itu telah dicatat dalam Daghregister tahun 1633 dan 1634, yang menjelaskan datangnya sejumlah komoditas perdagangan berupa beras, minyak kelapa, gula, sayuran, daging, dan sebagainya (Daghregister gehouden in ‘t casteel Batavia Anno1631-1634, 1898; Daghregister 1632: 72, 73, 76, 104; Daghregister 1633: 291, 374, 408, 409, 410, 418; Daghregister 1634: 291, 374, 408, 409, 410, 418, 419, 438).
Setelah Panembahan Ratu, Kesultanan
Cirebon dipimpin oleh yakni Pangeran Girilaya. Hubungan antara Mataram
dengan Cirebon makin erat, karena seorang putri Susuhunan Amangkurat I
menikah dengan Panembahan Girilaya. Pertalian kekerabatan antara
Kesultanan Mataram dengan Cirebon, sebelumnya juga telah dilakukan
antara saudara kakak perempuan Panembahan Ratu, yaitu Ratu Sakluh dengan
Sultan Agung yang melahirkan Susuhunan Amangkurat I. Sikap Kesultanan
Banten terhadap Kesultanan Cirebon tetap baik, karena sultan-sultan
Banten masih mengakui dan hormat kepada sultan-sultan Cirebon yang
dipandang sebagai leluhurnya, yaitu Sunan Gunung Jati, ayah Maulana
Hasanuddin.
Kesultanan Cirebon pada masa Panembahan Girilaya masih melakukan kegiatan perdagangan. Sebagaimana dicatat dalam Daghregister
tahun 1675 bahwa pada 30 April 1675, ada 25 kapal dari Cirebon dengan
1067 penumpangnya, sampai di Batavia dengan membawa 38.000 potong
barang-barang kecil, 10 pot ibung asinan, 287 karung gula hitam, 10
karung gula putih, 1717 karung beras, 155 pot minyak, 24 sak kapuk,
10.000 telur asin, 1300 ikat padi, 2 pikul tembakau Jawa, 200 lembar
kulit kerbau, dan barang-barang lainnya. Ada pula kapal-kapal dari
Cirebon yang membawa barang dagangan ke Batavia, sebagaimana diberitakan
dalam Daghregister tahun 1676, 1677, dan 1678 (Daghregister, 1675: 111, 113; Daghregister, 1676: 111, 118).
Ketika pemberontakan Pangeran Trunojoyo
dari Madura, Panembahan Girilaya minta kepada Pangeran Trunojoyo, agar
kedua putra Panembahan Girilaya diselamatkan. Ia kemudian dibawa ke
Banten dan diberi gelar sultan sekitar tahun 1677. Ketika itu, Pangeran
Syamsuddin Martawijaya menjadi Sultan Kasepuhan dan Pangeran Badruddin
Kartawijaya menjadi Sultan Kanoman. Lain halnya dengan Pangeran
Wangsakerta, putra Panembahan Girilaya. Waktu kedua saudaranya berada di
Mataram dengan restu sultan Mataram, ia tetap ada di Cirebon, mewakili
ayahnya. Tetapi ia tidak memperoleh gelar sultan. Sejak masa inilah
mulai ada tanda-tanda keruntuhan Kesultanan Cirebon.
Masa Keruntuhan
Bibit keruntuhan Kesultanan Cirebon
dimulai ketika kesultanan ini dibagi menjadi dua kekuasaan, yakni Sultan
Kasepuhan dan Sultan Kanoman. Perselisihan antara kedua kesultanan itu
ditambah dengan ketidakpuasan Pangeran Wangsakerta, memudahkan campur
tangan politik VOC Belanda. Antara Kesultanan Cirebon dan VOC, terjadi
persahabatan melalui perjanjian-perjanjian pada 7 Januari 1681 yang
dilanjutkan dengan perjanjian tanggal 4 Desember 1685, 5 Desember 1688, 4
Agustus 1699, 17 Januari 1708, dan 18 Januari 1752 (Uka Tjandrasasmita,
1997: 55-75).
Sejak perjanjian 7 Januari 1681,
dinyatakan bahwa gubernur jenderal dan Dewan Hindia, mengakui keberadaan
ketiga raja di Cirebon. Masing-masing berdiri sendiri, dan dari status
vassal dan bawahan, mereka menjadi rekan dan sahabat (van vassalen en onderhorigen tot bondgenoten en vrienden)
(F. De Haan, 1910: 53). Meskipun demikian, hal itu tetap merupakan
keuntungan bagi VOC untuk mencampuri urusan-urusan politik Kesultanan
Cirebon dan juga memonopoli perdagangan. Sejak adanya campur tangan
politik di antara sultan-sultan di Cirebon, bibit perselisihan yang ada,
makin menjadi.
Tahun 1700, kesultanan menjadi empat
kekusaan. Selain Kasepuhan dan Kanoman, terdapat juga kesultanan
Kacirebonan di bawah Pangeran Arya Cirebon, dan Kaprabonan (Panembahan)
di bawah Pangeran Wangsakerta. Sejak itu perdagangan internasional
melalui pelabuhan Cirebon sudah berada di tangan VOC. Untuk memudahkan
monopoli perdagangan dan pengumpulan hasil-hasil pertanian, terutama
lada dari daerah Priangan Timur, Pangeran Arya Cirebon diangkat menjadi
pengawas para bupati di Priangan Timur (Mason Claude Hoadley, 1975: 77)
pada tahun 1706, sehingga hasil bumi dari daerah itu mudah dikumpulkan
untuk dibawa ke Cirebon demi kepentingan VOC. Pengangkatan Pangeran Arya
bertujuan agar kedudukannya menjadi terpandang, meskipun ia tidak
bergelar Sultan. Sejak awal abad ke-18, Kesultanan Cirebon, baik di
bidang politik maupun ekonomi-perdagangan, mengalami keruntuhan karena
dikendalikan VOC yang berlanjut hingga pemerintahan kolonial
Hindia-Belanda sejak abad ke-19 dan masa pendudukan Jepang tahun 1942,
di mana sultan-sultan mendapat gaji dari pemerintah kolonial itu.
Keagamaan
Di atas sudah dikemukakan bahwa sejak
sebelum kedatangan Syarif Hidayatullah di Cirebon, Islam sudah masuk
melalui pelabuhan Muara Amparan Jati di Dukuh Pasambangan. Di antara
mereka, Syekh Hasanuddin terus mendirikan pondok pesantren di Quro,
Karawang. Kemudian datang pula Syekh Datuk Kahfi dengan rombongannya
yang membangun pondok di sebelah timur Bukit Amparan Jati, di mana Nyai
Lara (Rara) Santang dan Pangeran Cakrabuwana atau Walangsungsang, yang
setelah pergi ke Mekkah, mendapat gelar Syarifah Mudha’im dan Syekh
Abdullah Iman atau Syekh Duliman. Sekembalinya ke Cirebon, Syekh
Abdullah Iman menjadi kuwu, kepala desa Kebon Pesisir atau Tegal
Alang-Alang atau Lemahwungkuk yang kemudian terkenal dengan Cirebon.
Syarif Hidayatullah, putra Syarifah
Mudha’im, datang ke Cirebon tahun 1470. Dan pada tahun 1479, ia
dijadikan pengganti Syekh Abdullah Iman atau Pangeran Cakrabumi sebagai
Ki Kuwu Cirebon yang akhirnya menjadi penguasa utama dengan gelar
Sinuhun Cirebon. Ia bukan hanya berkedudukan sebagai kepala
pemerintahan, tetapi juga sebagai wali dari Walisanga yang berusaha
mengislamkan masyarakat di Tatar Sunda. Sehubungan dengan dua jabatan
itulah, ia mendapat gelar Pandita Ratu. Pada tahun 1525-1526, ia dengan
putranya, Maulana Hasanuddin menyebarkan Islam di Banten sehingga
menjadi kesultanan yang maju sejak Maulana Hasanuddin dan Maulana Yusuf
dan terutama pada masa Sultan Abdul Fatah Abdul Fathi atau terkenal
dengan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682) yang oleh VOC dianggap sebagai
musuh terbesar (Uka Tjandrasasmita, 1965).
Berdasarkan Babad Cirebon,
Sunan Gunung Jati merupakan penganut Ahlu al-Sunnah wal-Jama’ah dari
Mazhab Syafi’i. Pernikahan Syarifah Mudha’im, ibu Syarif Hidayatullah,
dengan Maulana Hud di Mekkah, di mana Syekh Abdullah Iman yang menjadi
walinya, juga memakai cara-cara Mazhab Syafi’i (haji ngabdullah pinangka walinira sang Mudha’im imam Syafi’i angijab aken paningkah sang dewi maring maulana Hud….) (D.A. Rinkers, 1911: 35).
Dalam babad-babad tentang Syarif
Hidayatullah diceritakan bahwa, sebelum kepergiannya ke tanah Jawa, ia
telah mendalami akidah, syari’ah, bahkan tasawuf dengan tarekatnya.
Berdasarkan Sajarah Banten Rante-Rante dan Hikayat Hasanuddin,
Martin van Bruinessen berpendapat bahwa Sunan Gunung Jati merupakan
penganut Tarekat Kubrawiyah, dan Bruinessen membahasnya secara luas
(Martin van Bruinessen, 1995: 223-245). Seperti telah dikatakan bahwa
sumber lokal membahas guru-guru Sunan Gunung Jati dan 27 nama
teman-teman seperguruannya yang tercantum pada silsilahnya dalam sumber
babad tersebut. Tarekat Kubrawiyah ialah tarekat yang dihubungkan dengan
nama Najamuddin al-Kubra yang dalam Babad Cirebon dan Hikayat Hasanuddin
selalu disebut-sebut. Setelah itu, ia berguru kepada Ibnu Atha’illah
al-Iskandari al-Syadzili selama dua puluh tahun di Madinah dan ia
mendapat bayaran karena menjadi penganut Tarekat Syadziliyah. Ia juga
belajar Tarekat Syattariyah, Qadiriyah, dan Naqsyabandiyah.
Tarekat Syattariyah berkembang di
Cirebon mungkin diajarkan oleh Syekh Abdul Muhyi yang pernah berguru
kepada Syekh Kuala atau Abdu al-Rauf al-Singkili di Aceh. Syekh Abdul
Muhyi, sekembalinya dari Timur Tengah ke Jawa, menetap beberapa lama di
daerah Cirebon. Ia mengajarkan ajaran Syattariyah yang di dalamnya
menerangkan tentang “Martabat Tujuh” (Alifya M. Santrie, 1992: 105-129;
Azyumardi Azra, 1998: 189-211). Setelah dari Cirebon, Syekh Abdul Muhyi
akhirnya pergi ke Pamijahan sampai meninggal dan dimakamkan di kampung
tersebut (Kabupaten Tasikmalaya) yang sampai kini banyak diziarahi
masyarakat dari berbagai daerah.
Di Cirebon, selain Tarekat Syattariyah
juga terdapat Tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah, dan Syadziliyah. Karena
tarekat dianggap sebagai sumber kekuatan spiritual sekaligus
melegitimasi dan mengukuhkan posisi raja (Martin van Bruinessen, 1995:
197). Di Banten, Cirebon, Aceh, dan Maluku, terdapat permainan debus
yang biasanya dihubungkan dengan Tarekat Qadiriyah, Rifa’iyah, dan
Syattariyah. Di daerah Cirebon dan Garut (Jawa Barat) juga terkenal
ajaran Tarekat Tijaniyah yang mula-mula dicetuskan Ahmad al-Tijani
(1757-1815). Tetapi di daerah lainnya di Nusantara, tarekat ini mendapat
tantangan dari tarekat-tarekat lainnya (Martin van Bruinessen, 1995: 201).
Di dalam sejarah keagamaan Kesultanan
Cirebon, selain pada umumnya menjadi penganut Mazhab Syafii, yang
berarti termasuk golongan Sunnah wal-Jama’ah, juga terdapat unsur-unsur
aliran Syi’ah seperti terbukti dari cerita-cerita tentang Ali bin Abi
Thalib. Dalam naskah kuno seperti Babad Cirebon, juga terdapat
silsilah yang tidak dipisahkan dari beberapa nama yang dapat dikaitkan
dengan tokoh Syi’ah. Lukisan di Cirebon yang menggambarkan “Macan Ali”
banyak didapatkan pada Mushaf Al-Qur’an dan pada ukiran kayu. Pendapat
Hasan Mu’arif Ambary bahwa di Cirebon Islam pernah berkembang dalam dua
bentuk madzhab, yaitu Sunni dan Syi’ah, mungkin ada benarnya (Hasan
Mu’arif Ambary, 1997: 35-53). Perkembangan keagamaan Islam di Cirebon
sudah tentu berefleksi pada bidang kebudayaan yang akan dibicarakan di
bawah.
Seni Bangun dan Ragam Hias
Berdasarkan tinjauan teori proses
akulturasi, yang terjadi di Cirebon sejak berkembangnya kesultanan,
jelas tidak dapat dipisahkan dari adanya unsur-unsur budaya sebelumnya,
yaitu Hindu-Budha yang tumbuh dan berkembang dengan unsur-unsur budaya
refleksi dari keagamaan Islam. Contohnya adalah pada pembentukan kota
dari segi morfologis, bangunan keraton, bangunan masjid, seni ukir atau
hiasan, naskah-naskah kuno (manuskrip), dan lainnya.
Cirebon tumbuh dan berkembang hingga
menjadi kota, terutama sejak pemerintahan Cirebon dipimpin Syarif
Hidayatullah tahun 1479. Karena itu, tidak mengherankan apabila musafir
Portugis, Tome Pires, ketika singgah di tempat ini, mengatakan bahwa
Coroboum (Cirebon) merupakan kota yang sudah berpenduduk 1000 orang
dengan bandar yang ramai dan sudah melakukan ekspor dan impor
barang-barang yang diperlukan. Jika diperhatikan dari segi morfologi,
kota Cirebon, baik Kesultanan Kasepuhan maupun Kanoman, mempunyai
tatanan letak sebagai berikut: Keraton Pakungwati yang kini tinggal
reruntuhannya terletak di bagian selatan, menghadap ke utara dengan tiga
pelataran sampai ke alun-alun di sebelah utaranya. Di sebelah barat
alun-alun terletak Mesjid Agung, dan di sebelah timur laut terletak
pasar. Demikian juga Keraton Kanoman meskipun letak pasarnya di sebelah
utara alun-alun. Dari segi morfologi, kota Cirebon tidak berbeda dengan
kota-kota pusat kesultanan di pesisir utara Jawa seperti Demak, Banten,
dan daerah lain (Uka Tjandrasasmita, 2000: 56-60).
Di Keraton Kesultanan Kasepuhan, yakni
di tempat Sultan Sepuh, masih terdapat pelataran: pelataran pertama,
kedua, dan yang paling belakang, pelataran ketiga, dengan bangunan
keraton. Tiga pembagian pelataran mengingatkan kepada letak kompleks
percandian di Jawa Timur masa Kerajaan Majapahit, seperti candi
Panataran di daerah Blitar. Nama-nama bangunan, baik yang dimiliki
Keraton Kasepuhan dan Kanoman di Cirebon maupun keraton-keraton di
Yogyakarta dan di Surakarta (Solo), juga menggunakan istilah lokal Jawa.
Keraton Kasepuhan itu sendiri dibagi atas tiga bagian, yakni Pancaniti, Prabayaksa-Paseban sampai dalem,
ruangan khusus Sultan. Sitinggil di pelataran depan sebelah kanan
mempunyai bentuk-bentuk bangunan dengan gerbang berupa bentuk Candi
Bentar. Bangunan-bangunan yang berada di Sitinggil itu ada yang
dinamakan dengan Islam, seperti di bagian terdepan yang bertiang 20 dan
menjadi tempat sultan dengan para pembesarnya duduk melihat
upacara-upacara yang diselenggarakan di alun-alun yang berfungsi sebagai
tempat berkumpulnya masyarakat umum. Bangunan bertiang 20 itu
dihubungkan dengan “sifat dua puluh”. Di atas Sitinggil bagian kanan
belakang terdapat bangunan kecil bertiang dua yang disebut Semar Tinandu
dan diberi sebutan Islam dengan ucapan Kalimat Syahadat; di bagian kiri
belakang bangunan yang bertiang dua puluh ada bangunan bertiang lima
Pancapandawa yang dihubungkan dengan Rukun Islam.
Bangunan Masjid Agung di Kasepuhan yang
dinamakan Sang Cipta Rasa oleh para Walisanga, juga mempunyai gaya
arsitektur khas Indonesia kuno yang mengingatkan pada bentuk meru seperti
pada relief-relief beberapa candi di Jawa Timur dan bangunan pura di
Bali. Masjid Agung Cirebon yang sekarang atapnya hanya dua, sebenarnya
merupakan suatu arsitektur untuk susunan atap tiga. Bagian dalam masjid
dibuat dari tembok batu-bata dengan pintu masuk yang besar di tengah;
sedangkan di tembok sampingnya dibuat pintu-pintu masuk yang rendah.
Mihrab masjid dihiasi unsur-unsur hiasan pola teratai. Jadi, dalam
arsitektur masjid dan juga ragam hiasannya lebih cenderung kepada gaya
arsitektur pra-Islam.
Ragam hiasan yang terdapat di keraton mempunyai kekhasan bentuk wadasan. Menarik bahwa pada tiang-tiangnya terdapat hiasan pattra dan lainnya. Tetapi dinding tembok Keraton Kasepuhan sekarang banyak dihiasi oleh tegel-tegel delf
dan juga piring-piring porselen China. Bagian-bagian tembok bata dan
ukiran-ukiran pada tiang-tiang Sitinggil dan Keraton, menunjukan gaya
campuran, antara lain geometrik yang memberikan gambar akulade dan jalinan tambang yang agaknya menunjukkan pengaruh ragam hiasan Islam.
Pengaruh kesenian hiasan China terlihat
sangat jelas pada hiasan dinding tembok dan gerbang keraton yang
menggunakan piring-piring China. Adanya unsur-unsur bangunan bata dan
juga hiasan wadas seperti sisia awan, kemudian hiasan
teratai dalam bentuk hati, dimungkinkan karena, menurut cerita dalam
babad-babad lokal, pernah terjadi bahwa kepala tukang dari Majapahit
bernama Raden Sepet, setelah mengerjakan bangunan-bangunan di Demak,
juga diminta mengerjakan bangunan Cirebon (Uka Tjandrasasmita, 1975:
93-98; Uka Tjandrasasmita, 1976).
Bangunan lainnya, Guha Sunia Ragi yang
dibuat tahun 1703 sebagai tempat peristirahatan Sultan, juga menunjukkan
arsitektur gaya China dibuat dari batu karang dan batu yang ditambah
dengan pot-pot bunga dan bale kambang dan lorong-lorong yang mengingatkan kita kepada bangunan yang berada di Forbidden City di Beijing, yang saya lihat pada waktu menghadiri seminar Internasional Arkeologi tahun 1983.
Yang menarik adalah bangunan dan tata
letak kompleks Makam Sunan Gunung Jati yang serupa dengan sebuah bukit
yang dibuat 9 tingkatan. Tingkatan paling atas adalah jinem,
yakni bangunan untuk makam Sunan Gunung Jati beserta keluarganya.
Menarik perhatian karena, setelah terjadi perpecahan politik, di mana
terjadi pembagian Kesultanan Kasepuhan dan Kanoman, kemudian Kesultanan
Cirebon dan Panembahan-Keprabonan, maka tata letak kuburan para Sultan
Kasepuhan berada di sebelah kanan yang dipisah oleh jalan
bertingkat-tingkat. Sedang di sebelah kirinya untuk kuburan para Sultan
Kanoman. Di bawahnya terdapat deretan kuburan Sultan Kacirebonan dan
Panembahan Keprabon sampai tingkat tiga. Perpecahan politik ketika di
dunia, dibawa setelah di kubur dengan ditempatkan secara terpisah.
Ketika belum ada perpecahan politik, sangat jelas masa Sunan Gunung Jati
dan beberapa sultan lainnya ditempatkan dalam jinem atau
cungkup teratas, seperti halnya di kompleks makam Imogiri yang terpisah,
di mana tempat kuburan para Sultan Yogyakarta berada di sebelah kanan,
sedangkan kuburan Susuhunan Solo berada di sebelah kiri terpisah oleh
sebuah jalan bersama; tempat kubur Sultan Agung Hanykrokusumo berada
paling atas (Uka Tjandrasasmita, 1999: 285-300).
Kompleks makam yang dibuat sembilan
tingkat itu mungkin pula memberikan simbol sanga, Walisanga; nilai
sembilan juga untuk masa sebelum Islam Nawsanga. Sedangkan bukit juga
dapat dipandang sebagai meru yang mungkin sekali mempunyai
kaitan dengan pikiran bahwa gunung merupakan tempat tinggi ruh-ruh nenek
moyang. Seperti halnya sebutan Imogiri untuk Himagiri. Jadi, membuat
kompleks makam orang-orang yang dianggap suci di atas bukit-bukit
seperti halnya kompleks makam Sunan Giri di Gresik Jawa Timur, kompleks
makam Sunan Muria di Solo, atau kompleks makam Sunan Bayat di Tembayat,
Klaten, merupakan hal biasa dan mentradisi.
Terakhir adalah kereta-kereta kuno. Di Keraton Kasepuhan terdapat Kereta Singa Barong atau Singa Naga Liman yang menurut Candrasangkala Iku Pandito Buto Rupanane,
berarti nilainya 1751 dibaca 1571 Saka, sama dengan 1649 M. Kereta ini,
dari segi rodanya, bukan untuk ditarik kuda tetapi oleh sapi. Bentuk
itulah yang menyerupai burung, naga, dan gajah dengan penuh ukiran pada
sayapnya. Di Keraton Kanoman juga terdapat kereta Paksi Naga Liman yang
memuat angka tahun Jawa pada medallion ban lehernya tahun 1350 yang berarti sama dengan 1428 M (Drs. H.B Vos, 1986: 39-42).
Wayang dan Topeng
Di Cirebon terdapat wayang kulit dan wayang cepak (papak, menak).
Wayang kulit menyajikan cerita-cerita yang diambil dari episode (kisah)
Mahabrata dan Ramayana. Wayang cepak menyajikan cerita Panji dan Menak
yang mengambil kisah-kisah kepahlawanan Amir Hamzah yang berkaitan erat
dengan penyebaran Islam. Wayang cirebon masih kuat dengan ritus-ritus
bagi komunitas dan dalang-dalangnya. Faktor yang menunjang ketahanan
motivasi ritusnya ialah bahwa komunitas Cirebon ada di antara dua budaya
besar, yakni Jawa Tengah (Solo, Yogyakarta) dan Jawa Barat. Demikian
pula dari segi bahasa yang khas sebagai Jawa-Cirebon, bertahan untuk
jati dirinya.
Ungkapan dalam kesenian, selain
pertunjukan wayang, juga dalam topeng Cirebon yang sampai kini pembuatan
topengnya masih hidup di Gresik. Selain itu, kekhasan seni yang disebut
tarling (permainan gitar dan suling), gamelan Cirebon, kuda lumping,
sintren, lais, barongan (bengberokan), lukisan kaca, dan
angklung bungko yang kesemuanya sampai kini masih cukup terpelihara
keberadaannya (Saini K.M., 1997: 163-167).
Wayang Cirebon termasuk seni yang sangat
penting sebagai pengungkap jati diri kecirebonannya. Faktor lain yang
mendukung adalah keberadaan keraton-keraton (Kasepuhan, Kanoman,
Kacirebonan). Ketiga keraton ini, selain menjadi buhul tali pengikat
yang menghubungkan masyarakat budaya Cirebon, yang terpenting adalah
upacara Panjang Jimat dalam Maulud Nabi Muhammad SAW.
Topeng bukan hanya terdapat di Cirebon,
tetapi di mana-mana. Namun demikian, topeng Cirebon mempunyai
kekhasannya sendiri. Pertunjukan topeng biasanya dilakukan di siang hari
dan dilakukan di desa sampai kota. Dalang topeng, seperti juga dalang
wayang, biasanya berasal dari keturunan dan ternyata juga kadang-kadang
punya pertalian keluarga. Pertunjukan topeng secara tradisional
diselenggarakan untuk merayakan upacara semalaman, khitanan, perkawinan,
dan juga pada upacara penting yang kini sudah menipis tetapi masih ada,
adalah sedekah bumi, kaulan, dan upacara-upacara keagamaan. Pertunjukan
topeng seperti tari Panji, tari Pamindo, tari Patih, tari Tumenggung
dan Jingganamon, dan tari Klana, semua itu memerlukan keterampilan
tarian masing-masing (Endo Suanda, 1997: 169, 192).
Seni Sastra
Cirebon sebagai pusat keagamaan Islam,
dikenal pula dalam bidang seni sastra yang pada umumnya bersifat
keagamaan Islam, terutama sejak adanya perkembangan Kesultanan Cirebon.
Naskah-naskah kuno (manuskrip) yang berasal dari daerah Cirebon yang
dapat dicatat oleh hasil penelitian Pudjiastuti, terdapat lebih kurang
200 naskah. Naskah-naskah dari Cirebon itu sudah dibicarakan pula oleh
Agus Arismunandar dan Pudjiastuti sendiri (Agus Arismunandar dan
Pudjiastti, 1997: 193-202). Naskah-naskah tersebut ditulis dalam
berbagai bentuk penyajian, yakni prosa dan pupuh (macapat, tembang, skema dan gambar-gambar).
Tulisan yang dipergunakan juga
bermacam-macam: tulisan Arab bahasa Jawa atau Pegon dan Jawi (tulisan
Arab bahasa Melayu). Berdasarkan isinya, naskah-naskah Cirebon dapat
ditafsirkan ke dalam 13 kategori jenis sastra. Ketiga belas kategori itu
adalah sejarah, silsilah yang umumnya ditulis dalam bentuk skema
(wayang sastra, ajaran agama, doa-doa, cerita Islam, primbon,
obat-obatan, mantra, hukum, dongeng, legenda, dan lain-lain. Termasuk
dalam kategori lain-lain, adalah naskah-naskah yang isinya mengenai
jimat (biasanya dalam bentuk gambar), adat istiadat, dan pelajaran
asmara.
Dari sejumlah 200 naskah yang telah
berhasil di data, naskah yang berisi sejarah cukup banyak, yakni sekitar
31 naskah. Naskah sejarah ini tampil dengan judul yang bermacam-macam.
Di antaranya yang berbahasa Cirebon adalah Babad Cirebon, Carub Kanda, Catur Kanda, Carang Satus dan Carang Sewu. Naskah-naskah yang berisi tentang sejarah Cirebon, antara lain adalah Babad Cirebon, Carita Purwaka Caruban Nagari, dan naskah Wangsakerta. Belum lama ini ditemukan sebuah naskah dari Metasinga oleh Amman N. Wahyu dan sudah dialihaksarakan dengan judul Sejarah Wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati.
Di Cirebon juga terdapat sejumlah
naskah-naskah kuno yang berisi tentang suluk atau tasawuf yang ditulis
oleh kalangan ulama dari keraton seperti Pangeran Wangsakerta dan
Pangeran Arya Cirebon. Karena itu, keraton-keraton di Cirebon dapat
disebut sebagai pusat kebudayaan. Naskah-naskah kuno, baik Mushaf
Al-Qur’an maupun kitab-kitab fikih, juga sering ditemukan dari
pesantren-pesantren antara lain, Pesantren Buntet.
Penutup
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan: pertama,
pertumbuhan Cirebon sampai menjadi kesultanan, baik dari segi politik
maupun perdagangan, sudah dimulai sejak Cirebon di bawah pemerintahan
Kerajaan Sunda Pajajaran. Kedua, pada masa sebelum menjadi
kesultanan di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, agama Islam sudah
datang dan mulai menyebar melalui pesantren, bukan hanya oleh ulama dan
para syekh, tetapi juga oleh penguasa desa (Kuwu) Cirebon, yaitu Syekh
Abdullah Iman atau Pangeran Cakrabuwana(Cakrabumi).
Ketiga, agama Islam makin luas
disebarkan ke daerah-daerah Talaga, Kuingan, Galuh, dan terutama ke
Banten, oleh Syarif Hidayatullah dan disusul kemudian oleh Fadhillah
Khan, atas perintah Sultan Demak, Pangeran Trenggono, dan dorongan
Syarif Hidayatullah untuk menyerang Kalapa yang berhasil tahun 1527
hingga Kalapa diganti menjadi Jayakarta. Keempat, dari segi
politik, agama, dan ekonomi-perdagangan, sejak Syarif Hidayatullah,
Cirebon menjadi pusat kesultanan yang mengalami pertumbuhan dan
perkembangan sampai pemerintahan Panembahan Ratu dan Girilaya.
Kelima, setelah kesultanan
dipecah menjadi dua, yaitu Kasepuhan dan Kanoman, dan karena timbul
perpecahan yang dipicu oleh perjanjian dengan VOC Belanda, Kesultanan
Cirebon mulai mengalami keruntuhan. Bahkan pada awal abad ke-18,
kesultanan praktis tak berdaya, baik di bidang politik maupun di bidang
perdagangan, karena sudah jatuh ke tangan VOC dan seterusnya
Hindia-Belanda.
Keenam, meski demikian, masih
dapat dicatat bahwa Kesultanan Cirebon masih mempunyai peran dalam
menghasilkan seni bangunan, seni ukir, dan seni hias, bahkan menonjol
pula dalam seni sastra dengan banyaknya naskah-naskah kuno yang dapat
ditemukan. Ketujuh, hasil-hasil seni bangunan, seni ukir, seni
pertunjukan, serta seni hias Kesultanan Cirebon, memberikan bukti hasil
proses akulturasi yang tetap memiliki jati dirinya yang Islami.
sukses selalu......architect 081283842828
BalasHapus