MUSYAWARAH WALI YANG KEDUA DI GUNUNG CARME
(pupuh XXVII.23 - XXVIII.04)
Segera
Walisanga berangkat ke Gunung Carm. Masing-masing menunjukan
kekeramatannya dalam melakukan perjalanannya ini. Ada yang pergi
bagaikan kilat menyilaukan, ada yang menghilang seperti Dewa Anta, ada
yang bersatu dengan angin yang bertiup, dan ada yang terbang diangkasa
bersama awan. Ada juga yang perginya bagaikan burung, terbang cepat
seperti kilat, ada yang masuk kedalam bumi dan berjalan di dalamnya
bagaikan di atas jalan, ada yang pergi dengan mengikuti aliran hawa
panas, dan ada pula yang pergi dengan melompat sekali lompatan.
Hanya
Sunan Jati Purba yang pergi dengan penuh kesederhanaan. Dia pergi hanya
ditemani oleh tongkatnya saja, meskipun begitu para wali semua terkejut
ketika melihat bahwa Sunan Jati Purba yang tadi perginya terakhir akan
tetapi sampainya lebih dahulu. Para Wali semua mengucap "Subkhanallah",
memanjatkan puji bahwa Sunan Jati Purba dekat dengan Yang Maha Esa, dan
sudah seharusnyalah bahwa kita mengikuti penghulunya para Aulia di Pulau
Jawa, penghulu wali yang sembilan.
Di
Gunung Carme Walisanga melakukan musyawarah membicarakan ilmu Ma’rifat
yang sejati, melanjutkan pembicaraan terdahulu di Gresik. Dalam
pertemuan ini Syekh Lemabang keyakinannya masih kukuh bahwa dirinya
adalah Allah, tak dapat diperingatkan lagi mengenai keyakinannya itu.
Hangatnya perdebatan hingga Syekh Junti pergi meninggalkan tempat
duduknya. Meskipun demikian wali semua masih memaafkannya karena sesuai
dengan kesepakatan di Gresik, Syekh Lemabang diberi kesempatan tiga kali
untuk merubah keyakinannya dan pertemuan ini baru yang kedua kalinya.
Para
Wali kemudian pergi mengikuti Sunan Jati Purba kembali ke Carbon, yaitu
membantu mendirikan Masjid Agung Carbon yang letaknya berhadapan
dengan Kraton Pakungwati. Sudah jauh perjalanan Sunan Jati,
berpayungkan awan dan Sinuhun Jati mengetahui bahwasanya perjalanannya
diikuti oleh pelangi. Sunan Kalijaga pulangnya menaiki Kuda lumping,
bergantian bersama muridnya, Sunan Bonang perjalanannya berbaur dengan
angin. Sunan Kudus pulangnya mendesing diatas air, Sunan Giri pulangnya
masuk kedalam cahaya matahari, sedangkan Syekh Junti pulangnya bagaikan
kilat. Syekh Maulana Magrib menaiki kerisnya, Syekh Majagung masuk
kedalam tanah, Syekh Benthong berbaur dengan awan. Adapun perjalan
Sinuhun Jati diiringi oleh pelangi.
MUSYAWARAH ILMU PARA WALI YANG KETIGA KALINYA
(pupuh XXXI.17 - XXXII.05)
Begitulah
dikisahkan Sinuhun Jati berada di Dalem Pakungwati, pada waktu itu
agama Islam sudah berkembang dengan pesatnya. Keadaan negara aman dan
sejahtera tidak ada lagi yang membuat onar. Sultan Demak (III) yang pada
waktu itu masih berada di Carbon yang tidak lama kemudian mohon pamit
kepada Sinuhun Jati untuk kembali ke Demak.
Dikisahkan
kemudian bahwa pada hari Jum'at berikutnya semua wali melakukan shalat
bersama. Sesudah selesai shalat para wali duduk di beranda Mesjid Agung Carbon, membicarakan ilmu untuk yang ketiga kalinya.
Seperti halnya dahulu di Giri Gajah, dan kemudian juga di Gunung Carme,
dimana mereka semuanya meng-ungkapkan rahasia secara terbuka.
Sunan Bonang berkata:
"Kang nama Allah iku, dede dzat kang sinembah nanging kang sinembah iku pan ora nana jatine liyane maning"
Sunuhun Jati berkata:
"Kang nama Allah iku, setuhune ingkang kagungan, wajib mokhal wenang".
Sunan Kali berkata:
"Kang nama Allah iku, sajatine kang andulu, kang dinulu, tan ana liyane maning".
Syekh Benthong berkata:
"Kang nama Allah iku dede iku, nanging ika pan dede ika".
Pangeran Kajaksan berkata:
"Kang nama Allah iku, ya iku pan dede ika, ya iku kang aran jasad, yen ta ana kang jasad, pasthine ya iku uga".
Syekh Majagung berkata:
"Kang
nama Allah iku, nyatane boten wonten nanging dzat kang asma kang
tunggal. Tan ana roro tetelu, dadine tunggal tan tunggal".
Sunan Giri berkata:
"Kang nama Allah iku, lara gambare ngulahaken wong, sapa weruh aran nisun, yen ta'sun aran nana dewek, lah iku aran nisun. Nanging saiku wis pened nama nisun, jejuluk Prabu Sasamat".
Pangeran Makdum berkata:
"Kang nama Allah iku, ora arah ora enggon, nanging pasti ing nganane".
Sunan Kudus berkata:
“Kang nama Allah iku, tan ana wiwilangane, kadi ta anggen ing sare, esuk sore nang mangsa".
Maulana Magrib berkata:
"Kang nama Allah iku, inggih punika, nanging dede kang jasad, yen tan ana jasad yaktine punika".
Syekh Lemabang dengan sangat angkuh berkata:
"Mapan
ya isun iki, ingkang nama Allah, ning ngendi wis nana liyan, liyane
sing isun iki". (Ya aku inilah yang bernama Allah, dimana-mana tidak ada
lainnya lagi kecuali aku ini).
Mendengar
itu Pangeran Kejaksan berkata: "Badan anda itu kan berwujud, mustahil
Allah berbentuk rupa". Syekh Lemabang menjawab dengan sengit, "Tidak,
aku ini senyata-nyatanya adalah Allah. Kamu tidak membawaNya, lagi pula
dimana lagi adaNya, kan tidak ada selainnya aku". Pangeran Kejaksan
berkata dengan lembut, "Paduka tuan, jangan berkata demikian nanti tuan
akan memperoleh hukuman".
Syekh Lemabang menjawab lagi, "Aku tidak takut dihukum, aku berani kapan saja dijatuhkannya hukuman itu. Akan tetapi aku ini senyatanya adalah Allah". Sunan Kudus berkata, "Hukuman pasti akan dijatuhkan". Dijawab oleh Syekh Lemabang, "Jangan banyak bicara, kapan saja boleh dilaksanakan", sambil pergi meninggalkan para wali dan berkata lagi, "Besok berani sekarang pun berani, sudah sepatutnya aku mempertahankan tekadku", begitulah dikisahkan (bersambung).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar