NASKAH KUNINGAN - KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setelah
membaca dan memperhatikan Sajarah Wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan
Gunung Jati (Naskah Kuningan) yang diterbitkan dengan judul yang sama
berdasarkan Naskah Mertasinga yang telah diterbitkan tahun 2005,
sebenarnya hampir sama terutama dalam urutan cerita-sejarah meskipun
lebih rinci. Yang menarik perhatian meski dalam Naskah Mertasinga ajaran
Islam terutama tasawuf dan tarekat-tarekatnya secara garis besar sudah
dikenalkan tetapi dalam Naskah Kuningan lebih rinci bahkan tarekat yang
lebih mencuat kepermukaan ialah Tarekat Syattariyah. Dalam Naskah
Mertasinga diceritakan bahwa Syekh Syarif Hidayatullah berguru kepada
Syekh Najamuddin Kubra, dan tarekat-tarekat Naksabandiyah dan Satoriyah
(Syattariyah).
Dalam
Naskah Kuningan ajaran Tasawuf dan tarekat-tarekatnya dibentangkan
lebih mendalam terlebih Tarekat Syattariyah yang dapat dikenali dari
Silsilah Mursyid dari mursyid terakhir Naskah Kuningan seperti berikut:
Dari mulai Nabi Muhammad, kemudian mengajarkannya kepada Sayidina ‘Ali
seterusnya kepada Sayidina Husein, Sayidina Zainal Abidin, Sayidina
Muhammad Al-Baqir, kemudian kepada Imam Ja’far As-Shadik, kepada Abi
Yasid Al-Bisthami, Muhammad Magrib dan seterusnya secara turun temurun
sampai kepada ulama-ulama di Jawa, Cirebon, di Kuningan sampai yang
terakhir kepada Kiyai Mas Demang Wedana Pensiun Atmawijaya di Kuningan.
Dari
daftar nama-nama Mursid itu Syekh Syarif Hidayatullah tidak dicantumkan
namun berdasarkan Naskah Mertasinga tersebut di atas bahwa ia berguru
kepada Syekh Najamuddin Kubra untuk Tarekat Naksabandiyah bahkan
Syattariyah, maka mungkin dapat dikaitkan bahwa tarekat
Syattariyah juga telah dilaksanakan Syekh Syarif Hidayatullah, meskipun
bukan Tarekat Syattariyah yang berkembang di Indonesia sejak abad ke-17
M. yang dikembangkan mulai Syekh Abd Al-Ra’uf As-Singkili yang muridnya
antara lain Syekh Burhanuddin Ulakan di Sumatera Barat dan Syekh Abdul
Muhyi di Jawa Barat terutama di Pamijahan, Tasikmalaya. Tarekat
Syattariyah yang diajarkan Abd Al-Rauf dan murid-muridnya ialah tarekat
yang lebih menjelaskan pengertian-pengertian Wahdatul Wujud yang
mendekatkan kepada Syari’ah melalui Martabat Tujuh yang membedakan dari
Wujudiyah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Samatrani yang dianggap
menyimpang oleh Syekh Nuruddin Al-Raniri yang mengajarkan Shuhudiyah.
Jika kita perhatikan ajaran-ajaran baik dalam Naskah Mertasinga maupun
Naskah Kuningan rupa-rupanya ada kaitan ajaran Syekh Syarif Hidayatullah
dengan Kubrawiyah, Naksabandiyah dan Syattariyah di Cirebon dan
sekitarnya termasuk daerah Kuningan Tarekat Syattariyah
Martabat Tujuh agaknya yang dikembangkan semasa Syekh Abdul Muhyi sampai
masa kemudian. Konon menurut naskah-naskah lainnya ia pernah berkunjung
ke Cirebon.
Dalam
Naskah baik Mertasinga maupun Naskah Kuningan Syekh Syarif Hidayatullah
dihubungkan dengan ajaran kesempurnaan hidup bahkan ia sendiri dijuluki
Wali Kutub dan Sayid Kamil. Apakah Syekh Syarif Hidayatullah juga
ada kaitannya dengan konsep ajaran Al-Insan Al-Kamil Al-Jilli?. Baiklah
kaitan ajaran-ajaran antara Tasawuf serta tarekat-tarekat satu dengan
lainnya terutama dengan Syattariyah merupakan bahan bagi para pembaca
terutama yang mempunyai minat untuk mempelajarinya dari Sajarah Wali
Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati baik dari Naskah Kuningan
maupun dari Naskah Mertasinga. Semoga Naskah-Naskah tersebut yang telah
dialih aksarakan dan bahasanya serta diberi catatan-catatan penting dan
telah diterbitkan Drs. Amman N. Wahju mencapai tujuannya tersebar luas
dan dapat memperkaya khazanah bacaan tentang kesejarahan serta keagamaan
Islam di Indonesia.
Bogor, 20 Agustus 2007
Wassalam Mu’alaikumn Wr.Wb.
Dr. H. Uka Tjandrasasmita
WEJANGAN PANDITA IDHOPI KEPADA ANAK RAJA PAJAJARAN – (1 dari 5).
PUPUH V.17 – VI.17
PENGANTAR
Kisah
ini menceriterakan mengenai perjalanan tiga anak raja Pajajaran yang
tengah mencari ilmu kesejatian. Ketiganya adalah Pangeran Cakrabuana,
Putri Sari Kabunan atau Syarifah Mudaim yang kelak menjadi ibunda Syarif
Hidayatullah, dan Pangeran Sangara. Dari Pajajaran mereka pergi ke
Cirebon dan kemudian melanjutkan perjalanannya ke Pasai dimana mereka
berguru kepada Maulana Idhopi di Gunung Surandil.
Sebagai seorang yang taat ibadahnya, Sari Kabunan dengan penuh hormat mohon petunjuk kepada gurunya: “Sebagai umat Islam, hamba ingin mengetahui bagaimanakah
langkah yang harus hamba jalankan dalam agama Islam itu. Hamba mohon
wejangannya mengenai Kesempurnaan Ilmu yang Sejati.” Pendita Idhopi berkata :
VI. PUPUH SINOM
01. Pandita Idhopi nabda,
kaweruhana nini,
kasampurnaning wong Islam,
sapuluh perkara nini,
adheping lampah iki,
dipun waspada ing kaweruh,
apaalullah taala,
kang minuhi jati iki,
puniki tanana sing kaliwat.
02. Dadi tandane ning Yang,
ana ing jagat puniki,
ing sakatahing sawara,
iku anuduhaken maring,
Kalamullah mibuhi,
lir pangucap lan pangrungu,
muwah sa lir paningal,
sa lir kreteging ati,
iku nini sakabeh kawibuhan.
(Ketahuilah
anakku, kesempurnaan orang Islam itu ada sepuluh perkara. Arahkan
perhatianmu pada kesepuluh langkah-langkah ini. Cermati pengetahuanmu
mengenai apaalullah ta’ala (perbuatan Allah ta’ala), yang
memenuhi jati ini, jangan ada yang terlampaui. Jadi tandanya bahwa Dia
ada di alam jagat ini ialah Dia berada di dalam banyaknya suara-suara.
Itu menunjukan kebesaran Kalamullah (firman Allah). Seperti suara, dan
pendengaran, penglihatan dan getaran hati, itu semua anakku, adalah
tanda kebesaranNya) .
03. Lan kapindo nini weruha,
kang basa lungguhing pati,
lamun mati ora pejah,
masih urip kadi uwine,
mapan ingkana manggih,
ing sa pandum-andum mipun,
kadi uripe saban,
kuciwa jasmani latip,
tan kenang pati langgeng tan kenang rusak.
04. Uripira duk aneng arwah,
tunggal uripira iki,
lan uripira ing benjang,
ya uripira kang iki,
orana lian urip,
amung urip siji iku,
terusana ing sipat,
dingin urip mangko urip,
besuk urip uripira kang sawakca.
(Hal
kedua anakku, ketahuilah mengenai ‘keberadaan kematian’ (lungguhing
pati). Ketika seseorang mati maka sebenarnya dia tidak mati, akan tetapi
dia masih tetap hidup seperti ibaratnya umbi. Nanti di sana dia akan
menemui kehidupan sesuai dengan bawaan nasibnya. Seperti halnya
seseorang yang tengah dalam sebuah perjalanan yang belum selesai.
Jasmani yang maha halus tidak mengenal kematian, dia abadi dan tidak
dapat rusak . Hidupmu itu ada dalam arwah, hidupmu ini tungggal, dan
hidupmu esok itu adalah hidupmu yang sekarang ini. Tidak ada kehidupan
yang lain kecuali hidup yang satu itu. Sudah menjadi sifatnya, bahwa
bila sekarang hidup, nanti juga hidup, dan kelak adalah hidupmu yang
nyata).
Salam dari Wargo Syathoriyah di Daarul Albab Tanjunganom Nganjuk JATIM
BalasHapus