Keraton Kanoman, Pudarnya Sebuah Pamor
Dulu Dihancurkan Dari Luar, Kini Dihancurkan Dari Dalam
Pasar
Kanoman di pusat Kota Cirebon, kini menjadi salah satu sentra
perdagangan bagi masyarakat setempat. Sebagaimana pasar, maka
seluruh barang kebutuhan masyarakat keseharian dijajakan, dari
mulai buah-buahan, sayuran sampai pada barang kebutuhan rumah tangga
lainnya.
Bahkan
untuk ukuran Cirebon dan daerah di Wilayah III Cirebon lain
meliputi Kab Indramayu, Majalengka dan Kuningan, selain masyarakat
Cirebon sendiri (kota dan kabupaten:Red.), Pasar Kanoman dikenal
memiliki ciri tersendiri. Yakni pasar yang menyediakan segala
macam buah lokal, serta pasar khusus untuk segala macam kain atau
konveksi.
Bersama
perjalanan waktu, seiring dengan mewabahnya gaya hidup hedonis dan
konsumtif masyarakat Cirebon, ketika orang berbicara "Kanoman", maka
asosiasi yang pertama muncul di benak masyarakat ialah pasar. Sebuah
fasilitas umum yang menyediakan beragam barang kebutuhan, bagi
rata-rata wanita di Wilayah III Cirebon,
asosiasinya bahkan lebih spesisik lagi, yaitu pusat perbelanjaan kain dan segala macam barang konveksi.
Kanoman
di benak masyarakat tidak lagi diidentikan dengan kerajaan
atau kesultanan. Bahkan sebagian besar masyarakat mengaku tidak
tahu kalau kata "Kanoman" atau "Pasar Kanoman" itu mengambil dari nama
sebuah kerajaan (kesultanan), tidak sedikit masyarakat yang mungkin
belasan kali belanja di Pasar Kanoman, tapi tidak tahu kalau di
belakangnya itu ada sebuah bangunan besar berusia ratusan tahun yang
bernama Keraton Kanoman.
Hal
di atas menunjukan bahwa Keraton Kanoman, atau Kanoman sebagai
sebuah entitas kekuasaan tradisional (kesultanan), sudah sedemikian
kalah pamor dibanding dengan pasar yang justru usianya jauh lebih
muda. Keraton Kanoman yang dirintis abad 13 dan dibangun Pangeran
Kartawidjaya atau Sultan Kanoman I pada thn 1677, sepertinya telah
kehilangan aura kekuasaannya.
Padahal,
Keraton Kanoman pada masa lalu memiliki cerita kepahlawanan
tersendiri. Bahkan diantara keraton-keraton di Jabar, khususnya
Cirebon, Kanoman satu-satunya keraton yang secara politik dan
militer ernah sangat ditakuti dan disegani pemerintah kolonial
Belanda.
Pada
masa lalu, Kesultanan Kanoman menjadi pusat dari peradaban Islam di
Cirebon. Dari keraton yang memiliki luas sekira 5 ha itu, keturunan
Sunan Gunung Djati atau yang disebut dengan Kanjeng Sinuhun Djati,
terus melakukan penyebaran Agama Islam.
Dari
keraton itu pula, lahir beberapa ahli agama yang berdiam di Pengguron
Keprabonan (bagian dari Keraton Kanoman), antaranya yang mashur
ialah Syekh Sholeh Benda Kerep. Ahli-ahli agama itu juga merintis
berdirinya pesantren-pesantren besar yang sampai sekarang sangat
disegani, antaranya Buntet, Gedongan, Babakan,
Ciwaringin sampai Kempek.
Dari
pondok-pondok pesantren itu, berbagai ilmu agama atau
pengetahuan umum lain disebarkan. Sampai kemudian lahirlah putra-putra
bangsa pilihan yang berani secara politik dan militer menentang
dominasi kolonialisme Belanda.
Pada masa silam, Keraton Kanoman menjadi semacam "duri dalam daging" bagi penjajah Belanda. Gerakan perlawanan terhadap
Pada masa silam, Keraton Kanoman menjadi semacam "duri dalam daging" bagi penjajah Belanda. Gerakan perlawanan terhadap
Belanda,
banyak disponsori dan disokong oleh pejuang-pejuang dari Keraton
Kanoman, termasuk para sultan dan punggawa-punggawa keraton
tersebut. Perlawanan dari Keraton Kanoman membuat Belanda kerepotan
dan kewalahan. Apalagi, gerakan perlawanan
itu memperoleh banyak simpati dari masyarakat Cirebon, dan yang
paling ditakuti, perlawanan Keraton Kanoman itu akan mempengaruhi
keraton-keraton lain di Cirebon seperti Keraton Kasepuhan.
Karena
itulah, Belanda terpaksa harus melumpuhkan Keraton Kanoman,
secara politik maupun militer. Dengan berbagai cara dilakukan
Belanda melumpuhkan pengaruh Keraton Kanoman, dari mulai politik
pecah belah (devide et impera) sampai cara paling kasar, ialah
pemaksaan dibangunnya pasar dan gedung bioskop persis di depan
alun-alun Keraton Kanoman.
Dengan
dibangunnya pasar, Belanda ingin memutus jaringan Keraton Kanoman
dengan kelompok-kelompok perlawanan. Melalui pasar itu pula, Belanda
lebih leluasa melakukan infiltrasi mata-mata (telik sandi)
untuk memantau serta menyerap informasi setiap gerakan Keraton
Kanoman.
Mengenai
bioskop yang sekira thn 1975, dibongkar jadi gedung pasar kain
berlantai II (namanya Bioskop "Garuda"), Belanda ingin meruntuhkan moral
masyarakat di sekitar keraton (magersari) yang dicurigai sebagai
pejuang perlawanan Belanda. Penjajahan budaya ala Belanda dilakukan
secara intensif, yakni dengan memutar film-film bernuansa barat.
Pendeknya,
Keraton Kanoman telah dijepit secara politik, sosial maupun
kebudayaan. Usaha Belanda itu ternyata berhasil, dengan adanya pasar
yang mendatangkan kotoran dan kekumuhan, serta gedung bioskop yang
meruntuhkan moral masyarakat Magersari maupun Cirebon umumnya, Keraton Kanoman akhirnya terkucil.
Pergerakan
perlawanan terhadap Belanda pun reda bersamaan dengan makin
berkembangnya pasar dan gedung bioskop. Masyarakat tidak lagi
mempedulikan soal penjajahan, mereka lebih suka melihat film-film
Eropa, di sisi lain, jaringan Keraton Kanoman dengan pejuang-pejuang
anti Belanda menjadi putus.
Sejak
Belanda melakukan pembunuhan kultural dan politik itulah, kegagahan
Keraton Kanoman hilang. Pamornya pun kemudian memudar, Kesultanan
Kanoman yang semula disegani menjadi penyokong gerakan perlawanan
terhadap Belanda, menjadi lebih sibuk dengan urusan-urusan internal,
sejak itu pula, benih-benih konflik diantara para kerabat dan
keluarga Sultan Kanoman mulai tumbuh subur.
Hancur Dari Dalam
Diantara
keraton-keraton lain yang ada di Cirebon, seperti Keraton
Kasepuhan dan Keraton Kacirebonan, hanya Keraton Kanoman yang menjadi
pusatnya peradaban Kesultanan Cirebon. Keraton ini juga dikenal lebih
taat dan konservatif dalam memegang adat istiadat dan pepakem,
ini sangat berbeda dengan Keraton
Kasepuhan yang dalam sejarahnya masih saudara tua, atau juga
Keraton
Kacirebonan yang menurut sejarah, dikenal hanya ada satu sultan atau
sultan sepengadegan, yakni Sultan Carbon (abad 18) dimana anak cucu
mereka, sesuai keputusan pengadilan Belanda ketika itu, ditetapkan
tidak memiliki hak lagi sebagai sultan.
Contohnya
tradisi Grebeg Syawal, seminggu setelah Idhul Fitri, Keraton
Kanoman masih menyelenggarakan. Dalam acara yang intinya ziarah
sultan dan kekuarganya ke Makam Sinuhun Sunan. Gunung Djati di Ds
Astana, Kec Cirebon Utara, Keraton Kanoman memegang adat dengan penuh
ketaatan.
Misalnya
pada masa Sultan Djalaludin atau Sultan Kanoman XI, pada acara Grebeg
Syawal, prameswari Ratu Sri Mulya dan keluarganya (Emirudin) yang
berhak naik sampai ke atas dan masuk ke pintu Pasujudan. Juga pada
saat acara Panjang Jimat atau pencucian
jimat pada pelal atau puncak Maulud, hanya keluarga dari prameswari
yang boleh memegang jimat dan benda pusaka yang disucikan di keraton
itu.
Akan
halnya dengan apa yang disebut adat istiadat dan pepakem tentang
tahta kesultanan. Ontran-ontran atau konflik internal keluarga
Keraton Kanoman juga merupakan konflik antara 'hukum besi' adat
istiadat dan pepakem, dengan sesuatu yang dianggap menyimpang dan
adat istiadat dan pepakem di lingkungan Keraton Kanoman Cirebon
tersebut.
Munculnya surat
wasiat Sultan Kanoman XI (Sultan Djalaludin) yang bunyinya penyerahan
tahta ke Pangeran Muhammad Saladin sebagai Sultan Kanoman XII,
memperoleh perlawanan keras. Wasiat itu oleh kerabat keraton tidak
dikenal dalam sistim suksesi kekuasaan kesultanan di dalam keraton
itu.
Hingga saat surat
wasiat itu muncul, menjadi sesuatu yang tidak lazim, itu pula
kemudian menuai protes keras sampai klimaknya. Pengusiran keluarga
Saladin oleh keluarga Emirudin. Keluarga Emirudin yang diukung
mayoritas kerabat keraton, menjatuhkan hukuman adat berupa
pengusiran terhadap saudaranya sendiri atas dasar tuduhan telah
menyalahi adat istiadat dan pepakem.
Dalam
adat istiadat dan pepakem khas Keraton Kanoman, suksesi
kepemimpinan tidak pernah dikenal melalui surat wasiat, apalagi isi
surat itu menunjuk Saladin yang merupakan anak dari selir sebagai
sultan. Adat dan pepakem Keraton Kanoman yang berlaku ratusan
tahun, bahwa hak suksesi kepemimpinan hanya pada anak lelaki tertua
dari istri prameswari atau permaisuri.
Setelah
wafatnya Sultan Djalaludin pada Noember 2003 lalu, sesuai adat dan
pepakem, tahta harus jatuh kepada Pangeran Raja Muhammad Emirudin.
Dengan alasan dia merupakan anak lelaki tertua yang lahir dari
ibunda ratu atau permaisuri, yaitu Ratu Sri Mulya.
Dalam
pemberian gelar saja, tampaknya jadi penanda soal siapa yang
berhak atas tongkat suksesi. Saladin hanya bergelar "Pangeran",
sedangkan Emirudin gelarnya "Pangeran Raja", artinya pangeran yang
kelak dipersiapkan menjadi raja atau sultan.
Anak
dari selir, sepertihalnya keluarga Saladin, untuk yang laki-laki hanya
bergelar "pangeran" dan "ratu" untuk perempuan. Sedangkan
keluarga Emirudin, yang lahir dari ibunda permaisuri, bergelar
"pangeran raja" untuk laki-laki dan "ratu raja" untuk perempuan, dan
adat istiadat ini berlaku tegas di lingkungan Keraton Kanoman
Cirebon.
Perdebatan
mengenai adat istiadat dan pepakem yang menjadi tema sentral dari
konflik suksesi kesultanan di Keraton Kanoman, tanpa disadari keluarga
Emirudin maupun Saladin, kini tambah menterpurukan Keraton
Kanoman. Pamornya sebagai keraton atau entitas kekuasaan kesultanan,
lengkaplah sudah makin pudar.
Dan
kehancuran Keraton Kanoman makin lengkap. Bila Belanda mampu
memudarkan dan menghancurkan Keraton Kanoman dari luar, kini
diperparah dengan kehancuran yang dilakukan justru dari dalam
lingkungan keraton itu sendiri.
Keluarga
Emirudin dan Saladin mungkin tidak sadar, bahwa posisi kesultanan
yang kini diperebutkan dianggap sebagai sesuatu yang biasa saja.
Sebab siapapun sultannya, bagi masyarakat Cirebon, tidak akan ada
pengaruhnya langsung terhadap mereka, apalagi pengaruh keraton
memang telah lebih dulu pudar, bahkan sebelum konflik antar keluarga
itu mencuat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar