Sabtu, 07 April 2012

Ontran-ontran Keraton Kanoman Cirebon bag I


Keraton Kanoman, Pudarnya Sebuah Pamor
Dulu Dihancurkan Dari Luar, Kini Dihancurkan Dari Dalam

Pasar  Kanoman di pusat Kota Cirebon, kini  menjadi  salah satu  sentra  perdagangan bagi masyarakat  setempat.  Sebagaimana pasar,  maka  seluruh  barang  kebutuhan  masyarakat   keseharian dijajakan,  dari  mulai buah-buahan, sayuran sampai  pada  barang kebutuhan rumah tangga lainnya.
Bahkan  untuk  ukuran Cirebon dan daerah di Wilayah  III  Cirebon lain  meliputi  Kab Indramayu, Majalengka  dan  Kuningan,  selain masyarakat  Cirebon  sendiri  (kota  dan  kabupaten:Red.),  Pasar Kanoman  dikenal  memiliki  ciri  tersendiri.  Yakni  pasar  yang menyediakan  segala  macam buah lokal, serta pasar  khusus  untuk segala macam kain atau konveksi.
Bersama  perjalanan waktu, seiring dengan mewabahnya  gaya  hidup hedonis dan konsumtif masyarakat Cirebon, ketika orang  berbicara "Kanoman", maka asosiasi yang pertama muncul di benak  masyarakat ialah  pasar.  Sebuah  fasilitas umum  yang  menyediakan  beragam barang  kebutuhan, bagi rata-rata wanita di Wilayah III  Cirebon,
asosiasinya bahkan lebih spesisik lagi, yaitu pusat  perbelanjaan kain dan segala macam barang konveksi.
Kanoman  di  benak  masyarakat  tidak  lagi  diidentikan   dengan kerajaan  atau  kesultanan.  Bahkan  sebagian  besar   masyarakat mengaku tidak tahu kalau kata "Kanoman" atau "Pasar Kanoman"  itu mengambil  dari nama sebuah kerajaan (kesultanan), tidak  sedikit masyarakat  yang mungkin belasan kali belanja di  Pasar  Kanoman, tapi  tidak  tahu kalau di belakangnya itu  ada  sebuah  bangunan besar berusia ratusan tahun yang bernama Keraton Kanoman.
Hal  di  atas  menunjukan bahwa  Keraton  Kanoman,  atau  Kanoman sebagai sebuah entitas kekuasaan tradisional (kesultanan),  sudah sedemikian kalah pamor dibanding dengan pasar yang justru usianya jauh  lebih  muda.  Keraton Kanoman yang  dirintis  abad  13  dan dibangun  Pangeran  Kartawidjaya atau Sultan Kanoman I  pada  thn 1677, sepertinya telah kehilangan aura kekuasaannya.
Padahal,   Keraton  Kanoman  pada  masa  lalu   memiliki   cerita kepahlawanan  tersendiri.  Bahkan  diantara  keraton-keraton   di Jabar,  khususnya  Cirebon,  Kanoman  satu-satunya  keraton  yang secara  politik  dan militer ernah sangat ditakuti  dan  disegani pemerintah kolonial Belanda.
Pada  masa lalu, Kesultanan Kanoman menjadi pusat dari  peradaban Islam  di  Cirebon. Dari keraton yang memiliki luas sekira  5  ha itu,  keturunan  Sunan  Gunung Djati  atau  yang  disebut  dengan Kanjeng Sinuhun Djati, terus melakukan penyebaran Agama Islam.
Dari keraton itu pula, lahir beberapa ahli agama yang berdiam  di Pengguron  Keprabonan  (bagian dari Keraton  Kanoman),  antaranya yang  mashur ialah Syekh Sholeh Benda Kerep. Ahli-ahli agama  itu juga  merintis berdirinya pesantren-pesantren besar  yang  sampai sekarang  sangat disegani, antaranya Buntet,  Gedongan,  Babakan,
Ciwaringin sampai Kempek.
Dari  pondok-pondok  pesantren  itu,  berbagai  ilmu  agama  atau pengetahuan umum lain disebarkan. Sampai kemudian lahirlah putra-putra  bangsa  pilihan  yang berani secara  politik  dan  militer menentang dominasi kolonialisme Belanda. 
Pada  masa  silam, Keraton Kanoman menjadi  semacam  "duri  dalam daging"  bagi  penjajah  Belanda.  Gerakan  perlawanan   terhadap
Belanda, banyak disponsori dan disokong oleh pejuang-pejuang dari Keraton  Kanoman,  termasuk  para  sultan  dan  punggawa-punggawa keraton tersebut. Perlawanan  dari  Keraton Kanoman membuat Belanda  kerepotan  dan kewalahan.       Apalagi,  gerakan perlawanan  itu  memperoleh  banyak simpati  dari  masyarakat  Cirebon,  dan  yang  paling  ditakuti, perlawanan Keraton Kanoman itu akan mempengaruhi  keraton-keraton lain di Cirebon seperti Keraton Kasepuhan.
Karena   itulah,  Belanda  terpaksa  harus  melumpuhkan   Keraton Kanoman,  secara  politik maupun militer.  Dengan  berbagai  cara dilakukan  Belanda  melumpuhkan pengaruh  Keraton  Kanoman,  dari mulai  politik pecah belah (devide et impera) sampai cara  paling kasar,  ialah  pemaksaan  dibangunnya pasar  dan  gedung  bioskop persis di depan alun-alun Keraton Kanoman.
Dengan dibangunnya pasar, Belanda ingin memutus jaringan  Keraton Kanoman  dengan kelompok-kelompok perlawanan. Melalui  pasar  itu pula,  Belanda  lebih  leluasa  melakukan  infiltrasi   mata-mata (telik  sandi)  untuk  memantau  serta  menyerap  informasi setiap gerakan Keraton Kanoman.
Mengenai  bioskop  yang sekira thn 1975,  dibongkar  jadi  gedung pasar kain berlantai II (namanya Bioskop "Garuda"), Belanda ingin meruntuhkan moral masyarakat di sekitar keraton (magersari)  yang dicurigai  sebagai pejuang perlawanan Belanda. Penjajahan  budaya ala Belanda dilakukan secara intensif, yakni dengan memutar film-film bernuansa barat.
Pendeknya,  Keraton Kanoman telah dijepit secara politik,  sosial maupun  kebudayaan. Usaha Belanda itu ternyata  berhasil,  dengan adanya  pasar  yang  mendatangkan kotoran  dan  kekumuhan,  serta gedung bioskop yang meruntuhkan moral masyarakat Magersari maupun Cirebon umumnya, Keraton Kanoman akhirnya terkucil.
Pergerakan perlawanan terhadap Belanda pun reda bersamaan  dengan makin  berkembangnya pasar dan gedung bioskop.  Masyarakat  tidak lagi  mempedulikan  soal penjajahan, mereka  lebih  suka  melihat film-film  Eropa, di sisi lain, jaringan Keraton  Kanoman  dengan pejuang-pejuang anti Belanda menjadi putus.
Sejak  Belanda melakukan pembunuhan kultural dan politik  itulah, kegagahan Keraton Kanoman hilang. Pamornya pun kemudian  memudar, Kesultanan Kanoman yang semula disegani menjadi penyokong gerakan perlawanan  terhadap Belanda, menjadi lebih sibuk dengan  urusan-urusan  internal,  sejak itu pula, benih-benih  konflik  diantara para kerabat dan keluarga Sultan Kanoman mulai tumbuh subur.

Hancur Dari Dalam

Diantara  keraton-keraton  lain  yang  ada  di  Cirebon,  seperti Keraton Kasepuhan dan Keraton Kacirebonan, hanya Keraton  Kanoman yang  menjadi pusatnya peradaban Kesultanan Cirebon. Keraton  ini juga  dikenal  lebih  taat dan konservatif  dalam  memegang  adat istiadat  dan  pepakem, ini sangat berbeda  dengan  Keraton
Kasepuhan  yang  dalam sejarahnya masih saudara  tua,  atau  juga
Keraton Kacirebonan yang menurut sejarah, dikenal hanya ada  satu sultan atau sultan sepengadegan, yakni Sultan Carbon  (abad 18) dimana anak cucu mereka, sesuai keputusan pengadilan  Belanda ketika itu, ditetapkan tidak memiliki hak lagi sebagai sultan.
Contohnya  tradisi  Grebeg Syawal, seminggu  setelah  Idhul Fitri,  Keraton Kanoman masih menyelenggarakan. Dalam acara  yang intinya  ziarah  sultan dan kekuarganya ke  Makam  Sinuhun  Sunan. Gunung  Djati  di Ds Astana, Kec Cirebon Utara,  Keraton  Kanoman memegang adat dengan penuh ketaatan.
Misalnya pada masa Sultan Djalaludin atau Sultan Kanoman XI, pada acara  Grebeg  Syawal,  prameswari  Ratu  Sri  Mulya   dan keluarganya (Emirudin) yang berhak naik sampai ke atas dan  masuk ke  pintu  Pasujudan.  Juga  pada  saat  acara  Panjang  Jimat  atau  pencucian  jimat  pada  pelal  atau  puncak Maulud, hanya keluarga dari prameswari yang boleh memegang  jimat dan benda pusaka yang disucikan di keraton itu.
Akan  halnya  dengan apa yang disebut adat istiadat  dan  pepakem tentang   tahta  kesultanan.  Ontran-ontran  atau   konflik internal  keluarga Keraton Kanoman juga merupakan konflik  antara 'hukum  besi'  adat  istiadat dan pepakem,  dengan  sesuatu  yang dianggap  menyimpang dan adat istiadat dan pepakem di  lingkungan Keraton Kanoman Cirebon tersebut.
Munculnya surat wasiat Sultan Kanoman XI (Sultan Djalaludin) yang bunyinya  penyerahan tahta ke Pangeran Muhammad  Saladin  sebagai Sultan Kanoman XII, memperoleh perlawanan keras. Wasiat itu  oleh kerabat  keraton  tidak dikenal dalam  sistim  suksesi  kekuasaan kesultanan di dalam keraton itu.
Hingga  saat surat wasiat itu muncul, menjadi sesuatu yang  tidak lazim,  itu  pula kemudian menuai protes keras  sampai  klimaknya. Pengusiran  keluarga  Saladin oleh  keluarga  Emirudin.  Keluarga Emirudin  yang  diukung mayoritas  kerabat  keraton,  menjatuhkan hukuman  adat berupa pengusiran terhadap saudaranya sendiri  atas dasar tuduhan telah menyalahi adat istiadat dan pepakem.
Dalam  adat  istiadat dan pepakem khas Keraton  Kanoman,  suksesi kepemimpinan  tidak pernah dikenal melalui surat wasiat,  apalagi isi  surat  itu menunjuk Saladin yang merupakan anak  dari  selir sebagai  sultan.  Adat dan pepakem Keraton Kanoman  yang  berlaku ratusan  tahun,  bahwa hak suksesi kepemimpinan hanya  pada  anak lelaki tertua dari istri prameswari atau permaisuri.
Setelah wafatnya Sultan Djalaludin pada Noember 2003 lalu, sesuai adat dan pepakem, tahta harus jatuh kepada Pangeran Raja Muhammad Emirudin.  Dengan  alasan dia merupakan anak lelaki  tertua  yang lahir dari ibunda ratu atau permaisuri, yaitu Ratu Sri Mulya.
Dalam  pemberian  gelar saja, tampaknya jadi penanda  soal  siapa yang   berhak  atas  tongkat  suksesi.  Saladin  hanya   bergelar "Pangeran", sedangkan Emirudin gelarnya "Pangeran Raja",  artinya pangeran yang kelak dipersiapkan menjadi raja atau sultan.
Anak dari selir, sepertihalnya keluarga Saladin, untuk yang laki-laki  hanya  bergelar  "pangeran"  dan  "ratu"  untuk  perempuan. Sedangkan  keluarga Emirudin, yang lahir dari ibunda  permaisuri, bergelar  "pangeran raja" untuk laki-laki dan "ratu  raja"  untuk perempuan,  dan  adat istiadat ini berlaku  tegas  di  lingkungan Keraton Kanoman Cirebon.
Perdebatan  mengenai adat istiadat dan pepakem yang menjadi  tema sentral dari konflik suksesi kesultanan di Keraton Kanoman, tanpa disadari   keluarga   Emirudin  maupun  Saladin,   kini   tambah menterpurukan  Keraton  Kanoman. Pamornya  sebagai  keraton  atau entitas kekuasaan kesultanan, lengkaplah sudah makin pudar.
Dan kehancuran Keraton Kanoman makin lengkap. Bila Belanda  mampu memudarkan  dan  menghancurkan Keraton Kanoman  dari  luar,  kini diperparah  dengan kehancuran yang dilakukan justru  dari  dalam lingkungan keraton itu sendiri.
Keluarga  Emirudin dan Saladin mungkin tidak sadar, bahwa  posisi kesultanan  yang kini diperebutkan dianggap sebagai sesuatu  yang biasa  saja. Sebab siapapun sultannya, bagi  masyarakat  Cirebon, tidak  akan  ada pengaruhnya langsung  terhadap  mereka,  apalagi pengaruh  keraton memang telah lebih dulu pudar,  bahkan  sebelum konflik antar keluarga itu mencuat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar