Selasa, 10 April 2012

NASKAH MERTASINGA - MASJID AGUNG CARBON MENDAPAT GANGGUAN (I)

(Hasil alih aksara dan alih bahasa dari naskah-naskah lama mengenai Babad Cirebon dan Pajajaran by Amman N W)

Seperti telah kita ketahui, Panembahan Ratu adalah seorang raja yang berwatak Aulia. Di mesjid Carbon suara orang-orang yang berzikir selalu terdengar bergemuruh siang dan malam. Waktu itu Mesjid Agung masih satu bangunan saja belum ada serambi di sekelilingnya, dan masih dibatasi tembok. Patakanya terbuat dari perunggu dan bentuknya mencuat tajam.

Kemudian di Carbon tersiar berita yang menggemparkan yaitu datangnya seorang panglima utusan dari Mataram, Gedeng Anis namanya. Setiap tiga tahun dia bertugas untuk berkeliling memeriksa raja-raja bawahan Mataram. Semua negara yang berada di bawah Mataram dikunjunginya untuk diperiksa bahwa di negara itu tidak ada gejala-gejala pemberontakan kepada Mataram. Hal itu dilakukan untuk menjaga jangan sampai adanya raja bawahan yang memberontak kepada kekuasaan Mataram. Pada waktu Ki Gedeng Anis datang memeriksa Pakungwati. Di sana dia melihat ramainya mesjid yang dikunjungi oleh orang-orang mengaji di malam hari. Memang dalam hal penyebaran agama Islam di Carbon jumlah pengikutnya semakin meningkat. Dengan demikian Carbon  bisa menjadi kutub (luhur) kembali, hal tersebut mengkhawatirkan Ki Gedeng Anis. "Jika betul Carbon sekarang mewarisi keluhuran Sinuhun Purba, baiklah aku akan mecobanya", demikian pikir Gedeng Anis. Lalu di waktu malam Ki Gedeng Anis memerintahkan untuk menaruh bruang mandi (guna-guna yang ampuh) di pataka masjid itu. "Jika benar ada yang bisa menawarkannya, aku akan mengakui ke-kutub-an Carbon dan aku akan patuh kepadanya", demikian pikir Ki Anis.

Dengan cara yang amat halus dan tak ada seorangpun yang mengetahuinya, ditaruhnya guna-guna itu. Akibatnya, orang-orang Carbon yang biasa memenuhi mesjid tersebut menjadi merasa kedinginan dan sangat ketakutan. Ternyata tak ada seorangpun yang kuat menahan pengaruh guna-guna itu sehingga mereka bubar dan tak ada lagi yang mau datang ke mesjid. Sepi sudah orang-orang yang mengaji. Ki Gedeng Anis berkata, "Ternyata benar, Carbon sudah tidak mewarisi keluhuran (kutub) lagi". Selesai sudah tugasnya untuk mengamankan negara-negara jajahannya.
 
NYI TEGAL PANGALANG-ALANG MEMBANTU PANEMBAHAN RATU 
(pupuh LXVII.09 - LXVII.30)

Dengan telah terjadinya bencana itu, keadaan mesjid menjadi sangat memprihatinkan, karena sekarang tidak bisa lagi dipergunakan untuk sholat. Panembahan sangat risau hatinya lalu segera pergi meminta bantuan kepada neneknya yang berada di Tegal, Nyi Pengalang-alang namanya . Sang nenek berkata, "Ya ini memang pekerjaannya orang tua". Panembahan telah mengetahui adanya guna-guna di memolo / bubungan mesjid itu.
Nyi Pengalang berkata dengan lembut, "Kataku juga apa, guna-guna itu amat saktinya, nenek minta biar aku saja nanti yang mengusirnya. Orang yang sudah tua itu nak, kalau mati itu tidak cerewet. Dan engkau nak, nanti lihatlah saja dari luar mesjid, tidak usah  ikut membantu karena nenek sendiri sanggup menghilangkan guna-guna sakti itu". Panembahan menjawab, "Baiklah nanti nenek saja yang masuk dan hamba akan berada di luar mengawasi".
Begitulah lalu Nyi Gedeng Pangalang-alang mengambil air wudhu, selesai mensucikan diri lalu dia masuk ke bangsal Mesjid Agung dan lalu bersuci sekali lagi untuk menghilangkan kotoran kotoran yang mungkin terlewat, seperti dikatakan dalam ungkapan manuk mabur datan kari lan kurungan nipun   (burung terbang tak tertinggal kurungannya) . Barulah kemudian dia masuk ke dalam mesjid. Di dalam mesjid kemudian dia menyerukan azan dengan suara melengking memekakan telinga. Suaranya bagaikan mengguncang jagat, bumi menjadi bergoyang-goyang dan kemudian terdengar ledakan diatas langit-langit. Ketika terdengar suara azan eyang Gedeng Pangalang-alang yang demikian kerasnya, guna-guna itu terlempar dari pataka mesjid dan menyembur hilang musnah, dan keadaan pun kembali seperti sedia kala. Diceritakan guna-guna sakti itu terlempar jauh dan kemudian masuk ke dalam Gua Upas, gua dimana berkumpul guna-guna lainnya . 
Adapun nenek Pangalang-alang, dengan terlemparnya guna-guna itu ke Gua Upas, dia pun hilang seperti ditelan bumi di tengah-tengah mesjid itu. Nyi Pangalang-alang itu telah hilang dari dunia ini, dia telah pindah ke dunia yang latif (maha halus). Panembahan sangat terkejut menyaksikan hilangnya sang nenek. Si nenek itu masuk jiwa dan raganya meraga-sukma sebagai halnya seorang wali. Semua orang di Pakungwati sudah mengetahui bahwa Nyi Gedeng sudah tiada. Walaupun terjadinya di Mesjid Agung, akan tetapi kuburannya bukan di situ, tempat itu hanyalah sebagai tempat menghilangnya saja. 
 
 

 
Kekhawatiran Panembahan sudah berlalu, namun kehawatiran berikutnya adalah mengingat akan nasihat yang diberikan pada waktu jamannya Sinuhun Jati menghukum Syekh Lemabang itu. Ada suara yang mengingatkan bahwa jika telah sampai pada keturunan yang ke sembilan maka anak cucu Sinuhun Jati akan diselingi oleh budi durga (budi jahat), oleh kerbau bule bermata kucing, yang datang dari arah barat. Hal ketiga Panembahan teringat akan kata-katanya Sunan Kalijaga dahulu, bahwa sepeninggalnya Sinuhun Jati maka Mesjid Agung akan terbakar. Diceritakan kemudian bahwa Panembahan Ratu lah kelak yang akan memadamkan kebakaran itu. Hal keempat yang merisaukan Panembahan ialah apabila nanti ada lagi yang membuat keributan seperti ini, lalu siapa yang akan menolong karena si nenek sudah tiada, tidak ada lagi yang dapat diandalkan menjadi tumbal negara, demikian Panembahan berkata dalam hatinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar