Seperti
telah kita ketahui, Panembahan Ratu adalah seorang raja yang berwatak
Aulia. Di mesjid Carbon suara orang-orang yang berzikir selalu terdengar
bergemuruh siang dan malam. Waktu itu Mesjid Agung masih satu bangunan
saja belum ada serambi di sekelilingnya, dan masih dibatasi tembok.
Patakanya terbuat dari perunggu dan bentuknya mencuat tajam.
Kemudian
di Carbon tersiar berita yang menggemparkan yaitu datangnya seorang
panglima utusan dari Mataram, Gedeng Anis namanya. Setiap tiga tahun dia
bertugas untuk berkeliling memeriksa raja-raja bawahan Mataram. Semua
negara yang berada di bawah Mataram dikunjunginya untuk diperiksa bahwa
di negara itu tidak ada gejala-gejala pemberontakan kepada Mataram. Hal
itu dilakukan untuk menjaga jangan sampai adanya raja bawahan yang
memberontak kepada kekuasaan Mataram. Pada waktu Ki Gedeng Anis datang
memeriksa Pakungwati. Di sana dia melihat ramainya mesjid yang
dikunjungi oleh orang-orang mengaji di malam hari. Memang dalam hal
penyebaran agama Islam di Carbon jumlah pengikutnya semakin meningkat.
Dengan demikian Carbon bisa menjadi kutub (luhur)
kembali, hal tersebut mengkhawatirkan Ki Gedeng Anis. "Jika betul
Carbon sekarang mewarisi keluhuran Sinuhun Purba, baiklah aku akan
mecobanya", demikian pikir Gedeng Anis. Lalu di waktu malam Ki Gedeng
Anis memerintahkan untuk menaruh bruang mandi (guna-guna
yang ampuh) di pataka masjid itu. "Jika benar ada yang bisa
menawarkannya, aku akan mengakui ke-kutub-an Carbon dan aku akan patuh
kepadanya", demikian pikir Ki Anis.
Dengan
cara yang amat halus dan tak ada seorangpun yang mengetahuinya,
ditaruhnya guna-guna itu. Akibatnya, orang-orang Carbon yang biasa
memenuhi mesjid tersebut menjadi merasa kedinginan dan sangat ketakutan.
Ternyata tak ada seorangpun yang kuat menahan pengaruh guna-guna itu
sehingga mereka bubar dan tak ada lagi yang mau datang ke mesjid. Sepi
sudah orang-orang yang mengaji. Ki Gedeng Anis berkata, "Ternyata benar,
Carbon sudah tidak mewarisi keluhuran (kutub) lagi". Selesai sudah
tugasnya untuk mengamankan negara-negara jajahannya.
NYI TEGAL PANGALANG-ALANG MEMBANTU PANEMBAHAN RATU
(pupuh LXVII.09 - LXVII.30)
Dengan
telah terjadinya bencana itu, keadaan mesjid menjadi sangat
memprihatinkan, karena sekarang tidak bisa lagi dipergunakan untuk
sholat. Panembahan sangat risau hatinya lalu segera pergi meminta
bantuan kepada neneknya yang berada di Tegal, Nyi Pengalang-alang
namanya . Sang nenek berkata, "Ya ini memang pekerjaannya orang tua".
Panembahan telah mengetahui adanya guna-guna di memolo / bubungan mesjid
itu.
Nyi
Pengalang berkata dengan lembut, "Kataku juga apa, guna-guna itu amat
saktinya, nenek minta biar aku saja nanti yang mengusirnya. Orang yang
sudah tua itu nak, kalau mati itu tidak cerewet. Dan engkau nak, nanti
lihatlah saja dari luar mesjid, tidak usah ikut
membantu karena nenek sendiri sanggup menghilangkan guna-guna sakti
itu". Panembahan menjawab, "Baiklah nanti nenek saja yang masuk dan
hamba akan berada di luar mengawasi".
Begitulah
lalu Nyi Gedeng Pangalang-alang mengambil air wudhu, selesai mensucikan
diri lalu dia masuk ke bangsal Mesjid Agung dan lalu bersuci sekali
lagi untuk menghilangkan kotoran kotoran yang mungkin terlewat, seperti
dikatakan dalam ungkapan manuk mabur datan kari lan kurungan nipun (burung
terbang tak tertinggal kurungannya) . Barulah kemudian dia masuk ke
dalam mesjid. Di dalam mesjid kemudian dia menyerukan azan dengan suara
melengking memekakan telinga. Suaranya bagaikan mengguncang jagat, bumi
menjadi bergoyang-goyang dan kemudian terdengar ledakan diatas
langit-langit. Ketika terdengar suara azan eyang Gedeng Pangalang-alang
yang demikian kerasnya, guna-guna itu terlempar dari pataka mesjid dan
menyembur hilang musnah, dan keadaan pun kembali seperti sedia kala.
Diceritakan guna-guna sakti itu terlempar jauh dan kemudian masuk ke
dalam Gua Upas, gua dimana berkumpul guna-guna lainnya .
Adapun
nenek Pangalang-alang, dengan terlemparnya guna-guna itu ke Gua Upas,
dia pun hilang seperti ditelan bumi di tengah-tengah mesjid itu. Nyi
Pangalang-alang itu telah hilang dari dunia ini, dia telah pindah ke
dunia yang latif (maha halus). Panembahan sangat terkejut menyaksikan
hilangnya sang nenek. Si nenek itu masuk jiwa dan raganya meraga-sukma
sebagai halnya seorang wali. Semua orang di Pakungwati sudah mengetahui
bahwa Nyi Gedeng sudah tiada. Walaupun terjadinya di Mesjid Agung, akan
tetapi kuburannya bukan di situ, tempat itu hanyalah sebagai tempat
menghilangnya saja.
Kekhawatiran
Panembahan sudah berlalu, namun kehawatiran berikutnya adalah mengingat
akan nasihat yang diberikan pada waktu jamannya Sinuhun Jati menghukum
Syekh Lemabang itu. Ada suara yang mengingatkan bahwa jika telah sampai
pada keturunan yang ke sembilan maka anak cucu Sinuhun Jati akan
diselingi oleh budi durga (budi jahat), oleh kerbau bule bermata kucing,
yang datang dari arah barat. Hal ketiga Panembahan teringat akan
kata-katanya Sunan Kalijaga dahulu, bahwa sepeninggalnya Sinuhun Jati
maka Mesjid Agung akan terbakar. Diceritakan kemudian bahwa Panembahan
Ratu lah kelak yang akan memadamkan kebakaran itu. Hal keempat yang
merisaukan Panembahan ialah apabila nanti ada lagi yang membuat
keributan seperti ini, lalu siapa yang akan menolong karena si nenek
sudah tiada, tidak ada lagi yang dapat diandalkan menjadi tumbal negara,
demikian Panembahan berkata dalam hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar