Diceritakan
kemudian, ada lagi masalah yang dihadapi Panembahan Ratu. Konon lamanya
percobaan-percobaan yang dihadapinya itu selama empat puluh delapan
tahun, merupakan percobaannya bagi orang fakir. Mesjid Agung Carbon
terbakar, atapnya dimakan api yang datang dari arah selatan. Melihat itu
orang kaum gempar semua, mereka datang berebut mengambil air.
Ki
Lebe Dul Iman sibuk mendorong-dorong kayu yang terbakar dengan
galahnya. Merbot Hamjan bersama Ki Modin menaburkan debu dan mengerahkan
orang-orang yang membawa air. Modin Yusup dan para pembantunya
menaburkan tanah untuk mematikan api. Lalu berdatangan para Lebe (kepala
desa) dari pedesaan, mereka datang untuk membantu memadamkan api. Di
tengah kesibukan itu tiba-tiba pataka (puncak masjid)-nya melesat ke
atas menembus asap hitam yang membumbung ke angkasa, dan akhirnya jatuh
di Banten. Peristiwa ini sebagai isyarat bagi Banten, bahwa bertahtanya
Sultan di Banten itu akan tumpas.
Akhirnya
api pun dapat dipadamkan, yang terbakar ialah pataka beserta atapnya
yang bersusun tiga. Orang Carbon amat susah hatinya, maka kemudian atas
kehendak Gusti Pakungwati dikumpulkan para buyut, sesepuh dan semua juru
kunci. Tujuan pertemuan itu ialah untuk meminta urun rembuknya atas
keinginan Panembahan untuk segera memperbaiki Mesjid Agung itu. Dalam
pertemuan itu diusulkan untuk mengganti atap yang terbakar itu dengan
atap berbentuk limasan (bentuk atap rumah), jadi tidak dibangun lancip
seperti dahulu lagi karena keadaannya sudah berbeda dengan jamannya wali
dahulu. Panembahan menyetujui usul itu dan juga bangunannya ditambah
dengan emper di sekitarnya sebagai serambinya.
Pintunya
ditambah bata mulus yaitu bata putih yang dibentuk indah, dan lagi di
tempat imam dibentuk bunga Tanjung diatas telaga beserta bentuk jantung
pisang yang tersembul dengan indahnya. Sangkala (angka tahun) mesjid itu
ialah: Mungal mangil mungup singgih. Atap mesjid itu
telah dibangun kembali dengan indahnya, sebagai tanda atas jasanya para
leluhur, yaitu para Walisanga kepada anak cucu Carbon.
MASJID AGUNG CARBON MENDAPAT GANGGUAN
CATATAN PENTERJEMAH MENGENAI RACUN UPAS
(Catatan kaki Naskah Mertasinga)
Tidak jelas bentuk apa yang dimaksud dengan "bruang mandi"
tersebut yang kemudian dapat diusir oleh Nyi Tegal Alang-alang dan
terlempar ke Gua Upas "tempat dimana racun-racun seperti itu berada".
Kemungkinan racun yang dimaksud adalah "racun Upas", yang dikenal sangat
ampuh pada waktu itu. Mengenai racun ini mendapat perhatian para
penulis Inggris yang datang ke Indonesia pada waktu itu, baik dalam buku
History of Java, Conquest of Java maupun oleh Stockdale dalam Island of Java.
Dalam
bukunya, Stockdale (1811:312) menulis bahwa racun tersebut berupa getah
dari pohon Upas yang baunya sangat mematikan. Konon dalam radius
sekitar 10 sampai 12 mil dari pohon tersebut keadaannya sangat tandus,
tidak ada pohon, semak-semak atau rerumputan yang dapat tumbuh. Dalam
radius tersebut tidak akan ada binatang ditemukan, bahkan ikan di air,
tikus ataupun serangga sekalipun. Bilamana burung mendekat pohon
tersebut dan hawanya mencapai mereka, maka burung itu akan jatuh dan
mati. Getah pohon ini juga diambil untuk
dipergunakan sebagai racun melalui makanan, minuman atau melalui darah
yaitu dengan dioleskan di ujung senjata.
Pengambilan
getah tersebut biasanya dilakukan oleh narapidana yang dijatuhi hukuman
mati. Setelah vonis dijatuhkan oleh hakim, mereka mendapat pilihan
apakah memilih mati ditangan algojo ataukah mengambil getah Upas dengan
kemungkinan selamat. Kebanyakan dari mereka biasanya mengambil pilihan
kedua itu. Bilamana hal tersebut mereka lakukan, mereka akan dibekali
kotak perak atau kotak yang terbuat dari kulit penyu sebagai tempat
racun tersebut. Kemudian mereka diberi petunjuk antara lain untuk tidak
melawan angin yang mungkin membawa bau racun tersebut. Mereka akan
didandani dengan baju kulit yang menutupi dari kepala hingga ke dadanya,
dengan lubang yang diberi kaca di bagian matanya dan mengenakan sarung
tangan. Konon hanya 2 dari 20 orang saja dari mereka yang berhasil dan
dapat kembali dengan selamat.
Dalam
buku diatas diceriterakan juga mengenai pengalaman seorang penulis
Inggris yang pada bulan Februari 1776 hadir pada waktu hukuman mati
dijatuhkan terhadap 13 selir raja Mataram yang dituduh tidak setia.
Diceriterakan bahwa pada siang itu kira-kira jam 11.00, mereka digiring
ke lapangan terbuka di dalam halaman kraton. Di tempat tersebut hakim
menjatuhkan vonisnya dimana mereka diputuskan untuk mati dengan pisau lancet
yang telah diracuni getah Upas. Menurut buku tersebut kemudian mereka
harus mengaku dan bersumpah bahwa tuduhan yang dijatuhkan terhadap
mereka berikut hukumannya adalah adil dan jujur. Hal tersebut mereka
lakukan dengan menaruh tangan kanan mereka di atas kitab Al-Quran dan
tangan kiri di atas dadanya sambil menengadah ke langit. Hakim kemudian
menyodorkan kitab Al-Quran untuk mereka cium. Setelah upacara ini
selesai, acara dilanjutkan dengan eksekusi hukuman. Mereka dibawa ke
tiga belas tonggak yang masing-masing setinggi 5 kaki dimana mereka
diikat dengan dada terbuka. Doa-doa dibacakan sampai tanda mulainya
eksekusi diberikan kepada algojo yang mempergunakan semacam keris yang
sudah diracuni dengan racun Upas. Dengan senjata ini terhukum disayat di
tengah-tengah dadanya, proses ini memakan waktu hanya dua menit. Lima
menit kemudian mereka mulai meraung kesakitan yang amat sangat, dan enam
belas menit kemudian mereka semua sudah mati. Tubuh mereka penuh
bercak-bercak, muka membengkak warna kulit menjadi biru lebam serta bola
matanya berubah warnanya menjadi kuning.
Nyi Tegal Pangalang-alang.
Menurut beberapa sumber, Nyi Tegal Alang-alang ini adalah anak dari
Pangeran Cakrabuana (uwak dari Syarif Hidayatullah) dengan Nyi Mas
Kancana Larang yang dikenal dengan nama Nyi Dalem Pakungwati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar