Keseharian yang Biasa-biasa Saja
Kehidupan Putra-putri di Balik Tembok Keraton Kanoman
Orang
awam mungkin berpikiran bahwa kehidupan bangsawan yang hidup di
balik tembok keraton pastilah bergelimangan kemewahan dan
kesenangan. Di dalam kehidupan umum, para keluarga bangsawan dianggap
memiliki hak-hak istimewa (previlise) yang tidak dimiliki oleh
masyarakat umum lainnya.
Anggapan
itu tidak sepenuhnya benar. Setidaknya yang tercermin dari kehidupan
sehari-hari di lingkup Keraton Kanoman Cirebon.Konflik Keraton
Kanoman, paling tidak telah membukakan mata masyarakat umum akan
kehidupan keluarga 'darah biru' cucu dan cicit Sunan Gunung Djati.
Konflik antara keluarga Pangeran Raja
Muhammad
Emirudin dan Pangeran Muhammad Saladin, keduanya anak-anak Sultan
Kanoman XI (Sultan Djalaludin), tak dapat dihindari, telah
mengungkapkan apa kehidupan sehari-hari mereka.
Selama
ini, tak ada yang tahu bagaimana kehidupan keluarga bangsawan
keraton. Kehidupan mereka bahkan dinilai masyarakat sangat
tertutup, hingga masyarakat berpandangan bahwa kehidupan keluarga di
balik tembok keraton yang tinggi dan gagah itu selalu dibayangkan penuh
kemewahan.
Padahal
tidaklah demikian. Ratu Raja Arimbi Nurtina, S.T, adik perempuan
orang kepercayaan Emirudin yang dinobatkan kerabat keraton sebagai
Sultan Kanoman XII pengganti Sultan Djalaludin, mengaku bahwa
kehidupan mereka tidak jauh berbeda dengan masyarakat umumnya.
"Tidak
ada yang istimewa. Kami hidup seperti umumnya masyarakat. Yang
membedakan rumah atau tempat tinggal kami itu bernama keraton.
Kami memang punya gelar yang tidak dimiliki masyarakat umum, tapi itu
sebenarnya biasa saja," tutur dia.
Ratu
Arimbi justru mengaku kehidupan sehari-hari yang dialami
keluarganya sepenuhnya penuh dengan keprihatinan. Mengenai
kemewahan atau kemudahan seperti anggapan masyarakat, sama sekali tidak
benar.
"Justru
kehidupan keluarga kami penuh dengan keprihatinan. Kalau masyarakat
beranggapan kami bergelimang kemewahan dan kesenangan, sangatlah
keliru. Mungkin kehidupan bangsawan ada jaman dahulu, kalau sekarang,
kehidupan saya tidak beda dengan masyarakat umumnya," tutur Ratu
Arimbi.
Sebagai
contoh soal hidup yang biasa, setidaknya status dirinya yang kini
bekerja di bagian laboratorium Fakultas Teknik-Unswagati
Cirebon. Itu menandakan bahwa meski dirinya adalah putra seorang
raja (sultan:Red.), tapi tetap saja butuh pekerjaan untuk membiayai
kehidupannya.
Di
tengah masyarakat juga tidak ada perbedaan. Previlise sebagai putri
keraton dengan gelar Ratu Raja, tidak dirasakan sama sekali,
masyarakat juga bergaul apa adanya dengan dirinya.
"Dan
saya juga keluarga juga tidak ingin dibedakan. Tidak ada yang
namanya hak-hak kehormatan. Itu khan dulu," tutur dia dengan senyu
khasnya yang ramah.Hal sama juga dituturkan Ratu Setyawati, Ratu
Kenanga dan Ratu Mawar, adik dari keluarga Saladin. Di kehidupan
umum, dia tidak merasakan ada sesuatu yang lebih sebagai putri
bangsawan keraton. Di dalam keraton, kehidupan yang mereka jalani
tampaknya memang tidak ada yang istimewa. Bahkan dalam konteks
kehidupan 'sehat'
dalam khasanah kekinian, kehidupan keluarga darah biru itu belum bisa dikatakan sepenuhnya 'sehat'.
Misalnya
soal rasio kehidupan rumah tangga kekinian soal satu rumah satu
keluarga. Putra-putri Keraton Kanoman itu malah hidup dalam suasana
yang tampak berdesak-desakan.
Keluarga
Emirudin dan Saladin, mereka hidup dalam satu rumah berupa gedung
berusia ratusan tahun yang luasnya sekira 50 x 25 meter. Mereka
menempati gedung Kaputren, terletak persis di sebelah Bangsal Djinem
dan Mande Mastaka, gedung pusat pemerintahan kesultanan.
Gedung
terbagi dalam 6 kamar besar berukuran 10 x 10 m di sisi utara dan
selatan, ruangan tengah terbagi jadi ruang tamu, ruang keluarga dan
ruang belakang, termasuk dapur. Di dalam kamar berukuran besar itu,
terdapat kamar mandi dan WC.
Dan
kamar-kamar berukuran besar itulah yang kini telah disulap menjadi
rumah oleh masing-masing penghuninya. Emirudin misalnya, dia bersama
adiknya Pangeran Raja Hamzah menempati 2 kamar di bagian belakang
sebelah utara.
Emirudin
yang dinobatkan sebagai Sultan Kanoman XII, hidup dalam ruangan yang
terlihat pengap. Di 2 kamar itu, dia hidup bersama istri dan anaknya,
calon penggantinya kelak, bernama Pangeran
Raja
Muhammad Qodirudin (2 thn) dan istrinya, di situ, hidup pula keluarga
adiknya Pangeran Raja Hamzah beserta anak dan istrinya. Di dalam 2
kamar yang digabung menjadi satu, Emirudin membuat dapur yang
dipakai bersama keluarga adiknya. Kamar itu di dalamnya juga
disekat-sekat menjadi ruangan lebih kecil.
Adik-adik
Emirudin lainnya, seperti Ratu Raja Arimbi, Pangeran Raja Qodiran
dll, hidup bersama ibunda ratu di Gedung Pedaleman, di
belakang museum. Di gedung itu, prameswari Ratu Sri Mulya beserta 4
anaknya, juga hidup dengan keluarga lain, yakni Pangeran Patih
Imamudin, adik Sultan Djalaludin (alm) dan keluarga adik-adik Djalaludin
lainnya.
Kemudian
keluarga Saladin, mereka hidup satu gedung di Kaputren
dengan Emirudin dan Hamzah. Hanya saja mereka kebagian menempati 4
kamar termasuk ruang tengah bagian depan, ruang tamu dan belakang
atau dapur.
Ratu
Mawar Kartina, S.H, menempati kamar di depan sebelah utara gedung
Kaputren. Sedangkan selir Ny Suherni (ibunda Saladin) di kamar
depan bagian selatan, lalu berturut-turut di belakangnya kamar
Saladin dan keluarga, serta kamar belakang untuk adik-adik lain
seperti Ratu Setyawati, Ratu Kenanga dll.
Di
dalam gedung itu, Emirudin dan Saladin yang bersitegang satu sama
lain terkait soal hak sebagai sultan, hidup. Ratu Mawar menuturkan,
selama ini, meski ada konflik, sebenarnya kehidupan mereka berjalan
normal seperti biasa.
Bahkan
antara anak Emirudin dan Saladin sering terlihat bermain bersama.
Hanya saja untuk urusan rumah tangga ke dalam, satu sama lain tidak
pernah saling peduli.
Memang
semasa Sultan Djalaludin masih hidup, Sultan Kanoman XI itu berusaha
mepersatukan keluarga dengan membuat agenda bersama seperti
jalan-jalan mengajak anak-anak dari selir Suherni dan Ratu Sri
Mulya. Namun kebersamaan yang coba diciptakan Sultan Djalaludin atas
anak-anaknya, kini hancur berantakan menyusul konflik soal tahta
pengganti Sultan Kanoman XI itu.
Setelah
konflik mencuat, komunikasi boleh dibilang putus dan tidak pernah
terjalin. Bahkan sekedar ngobrol hal-hal yang sifatnya biasa dan
wajar sebagimana layaknya saudara.
"Mungkin
karena ada konflik, sehingga sama-sama jaga diri. Antara kami seperti
menjaga supaya tidak saling bertemu secara fisik. Lagipula antara kami
tampaknya saling menahan diri. Emirudin juga lebih banyak berada di
kamarnya di bagian belakang, sedangkan kami lebih banyak di ruangan
depan," tutur Ratu Mawar.
Sultan
Emirudin, seperti dituturkan Achmad, pembantu dan pengawal setianya,
lebih sering menghabiskan waktu untuk dzikir. Baik di dalam
ruangannya maupun di Bangsal Witana, sebuah tempat terletak di
belakang keraton.
"Saya
sering mendampingi Sultan Emirudin berdzikir di Bangsal Witana.
Sultan juga lebih banyak diam. Hanya mau ngobrol dengan adik-adiknya,
ibunda ratu maupun kerabat keraton yang dekat dengannya," tutur
dia yang mengaku hidupnya hanya untuk mengabdi kepada Sultan Emirudin
meneruskan kakek buyutnya yang dulu mengabdi ke keluarga Sultan
Kanoman sebelumnya.
Keraton Kanoman yang Tak Terawat
Mungkin
karena kehidupan yang berdesak-desakan, apalagi diwarnai dengan
konflik yang meruncing, anak-anak pewaris Kesultanan Kanoman,
menjadi tidak peduli dengan perawatan terhadap bangunan-bangunan di
lingkungan keraton. Padahal bangunan itu merupakan peninggalan
sejarah kejayaan Cirebon
sebagai pusat syiar Islam pertama di tanah Jawa, bahkan diyakini
tempat keberadaan Keraton Kanoman sebagai puser (titik pusat) bumi.
Ini
bisa dilihat dari bangunan-bangunan yang ada. Bahkan kalau melihat
ke dalam, kesan tidak terawat sangat terlihat, banyak batu bata dan
tembok yang rusak dan berlumut, tapi dibiarkan saja tanpa ada perawatan
memadai, padahal itu merupakan cagar budaya yang menjadi salah satu
kebanggaan masyarakat Cirebon.
"Gimana
mau dirawat, mereka konflik terus. Berbeda dengan Keraton Kasepuhan
yang lebih terawat rapi. Padahal dari sisi nilai historis,
Kanoman jauh lebih strategis," tutur beberapa kerabat keraton yang
prihatin dengan kondisi fisik keraton.
Konflik
juga telah menjadikan keraton itu makin jauh dari masyarakat.
Misalnya soal pengunjung, sebelum konflik, meski jumlahnya tidak
sebanyak diharapkan, pengunjung selalu ada, namun belakangan, boleh
dikatakan hanya segelintir orang saja.
Keraton
Kanoman yang dibangun thn 1677 oleh Pangeran Martawijaya atau Sultan
Badridin (Sultan Kanoman I) berdiri di atas lahan seluas 5 ha
lebih. Sebagaimana keraton raja-raja Jawa, selalu menghadap ke arah
utara, memiliki beberapa gedung.
Di
depan, setelah alun-alun ada dua bangunan kembar bernama
Pancaratna dan Pancaniti. Pancaratna di sebelah timur, digunakan
sebagai tempat para perwira beristirahat, sedangkan pancaniti
(sebelah barat) tempat prajurit beristirahat.
Kemudian
di belakangnya, terdapat dua bangunan yang temboknya bercat merah.
Sebelah timur ialah Mande Manguntur, tempat sultan duduk untuk melihat
apel prajurit maupun saat menikmati gamelan setiap perayaan Maulid
Nabi Muhammad di Bangsal Sekaten di sebelah timurnya.
Dahulu,
untuk keluar dan masuk ke lingkungan keraton, melalui pintu
gerbang yang bernama Si Belawong yang di belakangnya ada langgar atau mushola. Pintu Si Belawong sekarang tertutup dan diganti dengan pintu gerbang lain di sebelah barat.
Masuk
lebih ke dalam, terdapat Bangsal Paseban, tempat ini biasanya
digunakan sultan menerima tamu atau punggawa dan kerabat keraton. Di
bangsal ini, sultan banyak berdiskusi tentang soal-soal pemerintahan
maupun kehidupan apa saja.
Di
sebelah Bangsal Paseban, terdaat bangunan yang kini menjadi museum.
Di tempat inilah, terdapat benda-benda pusaka Keraton Kanoman,
diantaranya Paksi Naga Liman, kereta kencana bersimbol burung, naga
dan harimau yang pada jaman dahulu digunakan sultan dan permaisuri
untuk berkeliling kota Cirebon.
Pusat
bangunan di Keraton Kanoman ialah Pendopo atau Bangsal Djinem,
tempat upacara-upacara formal keraton. Dan di belakangnya terdapat
Mande Mastaka tempat singgasana sultan, pusat pemerintahan
dijalankan dari titah-titah sultan di ruangan berukuran 10 x 15
meter ini.
Bangunan
lain, ialah Gedung Kaputren, di gedung inilah tempat keluarga
Saladin dan Emirudin tinggal bersama. Lalu ada gedung lain yang
ukurannya hampir sama dengan Kaputren, sekira 50 x 30 meter, di
gedung ini, dulu tempat sultan tinggal bersama permaisuri,
sekarang dipakai rumah permaisuri Ratu Sri Mulya dan keluarga Pangeran
Patih Imamudin.
Tempat
terakhir ialah Bangsal Witana. Gedung yang digunakan sebagai
tempat jimat atau benda-benda sakti, di tempat inilah, Sultan Kanoman
termasuk Emirudin menjadikan sebagai tempat dzikir atau bertapa.
Di
sekitar keraton, di balik tembok yang melingkari Keraton Kanoman,
terdapat puluhan rumah warga. Disebut sebagai Magersari, ialah rumah
tempat abdi dalem keraton, tempat lain ialah Masjid serta gedung
besar yang kini digunakan untuk perguruan Taman Siswa, letaknya
di sebelah barat keraton
Ikut prihatin atas perselisihan tahta antara pangeran emirudin dan pangeran saladin :( emang kl dipikir2 keraton kanoman selalu aja ada konflik di dalamnya, yg akhirna memunculkan keraton keprabonan dan keraton kacirebonan
BalasHapuswalaupun bgtu sya sangat mengagumi mereka
BalasHapus