Kamis, 12 April 2012

SYEIKH MURSYAHADATILLAH AL-CHIRBONI / PANGERAN WALANGSUNGSANG / PANGERAN CAKRABUANA




Menurut babat, Syeikh Mursyahadatillah yang nama ali ketika mudanya Pangeran Walangsungsang adalah putra Raja Pajajaran IX, lengkapnya

Pangeran Walangsungsang bin Prabu Siliwangi bin Raja Mundingkawati bin Angga Larang bin Banyak Wangi bin Banyak Larang bin Susuk Tunggal bin Wastu Kencana bin Lingga bin Linggahiang bin Ratu Sari Purba bin Raja Ciung Wanara.

Disamping itu masih ada beberapa julukan lain, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Gagak Lumayung, Nama julukan ketika menjadi Pendekar

2. Pangeran Cakrabuana, Nama julukan setelah berhasil menyempurnakan ilmu cakrabirawa warisan dari MBAH KUWU SANGKAN dan babat tanah Cirebon

3. Somadullah, Nama julukan karena mampu menyelesaikan pendidikannya di Samodra Pasai dan Jazirah Arab

4. Abdullah Iman, Nama julukan yang diberikan sang Guru sekembalinya ia menunaikan ibadah Haji di Tanah Suci Mekkah

5. Sri Mangara, Nama julukan ketika ia di anggkat menjadi kuwu Cirebon menggantikan sang mertua Ki Gde Alang alang

6. Syeikh Mursyahadatillah, Nama julukan setelah menghabiskan hari-hari tuanya untuk kerja da’wah

Sementara Ibunya bernama Ratu Subang larang atau Subang Rancang Putri Ki Gedeng Tapa Mangkubumi Singapura atau Martasinga yang memeluk agama Islam di Pesantren Quro Kerawang asuhan Syeikh Maulana Hasanuddin bin Yusuf Sidiq Al Sinni.
Ibunya merupakan pelanjut perintisan Islam di Cirebon hasil didikan pamannya yang menjadi peletak dasar tumbuh dan berkembangnya penganut-penyiar agama Islam ditatar Sunda, dikenal sebagai Syeikh Baharuddin alias Syeikh Maulana Syafiuddin alias Haji Purwa alias Ki Gde Bratalegawa.

Pangeran Cakrabuwana lahir dikeraton Pajajaran bertepatan dengan Tahun 1423 Masehi. Pada masa mudanya ia memperoleh pendidikan yang berlatar belakang kebangsawanan dan politik, kurang lebih 17 tahun lamanya ia hidup di Istana Pajajaran. Setelah dewasa ia melarikan diri dari Istana dan pergi menuju Gunung Dihyang yang terletak di Padepokan Resi Danuwarsih, masuk wilayah Parahiyangan Bang Wetan. Resi Danuwarsih adalah seorang Pendeta Budha yang menjadi penasehat Keraton Galuh, ketika Ibukota Kerajaan masih di Karang Kamulyan Ciamis. Sulit dibayangkan bagaimana keteguhan Sang Pangeran yang muslim, berguru kepada seorang Pendeta yang secara lahiriah masih beragama Budha. Mungkin saja secara hakiki sang Danuwarsih sudah Islam meskipun tingkah lakunya masih Hindu-Budha. Tetapi yang Jelas kedatangan Putra Sulung Prabu Siliwangi di Padepokan Gunung Dihyang disambut suka cita oleh pendeta Danuwarsih. Dan untuk menyempurnakan kegembiraan tersebut, sang Guru menikahkan putrid satu-satunya yang bernama Endang Geulis.
Darinyalah lahir seorang putri yang bernama Nyai Mas Pakungwati yang kelak kemudian hari menjadi permaisuri Kanjeng Sunan Gunung jati.

Menurut naskah Pustaka Negara Kretabumi, diterangkan bahwa tempat Padepokan Ki Gde Danuwarsih adalah Parahiyangan Bang Wetan.
Sementara menurut penelitian Yosrph Iskandar yang diprakarsai LEMLIT UNPAS disebutkan bahwa di kaki Gunung Dieng terdapat beberapa situs Pangeran Cakrabuwana :
Pertama, Makam keramat Sembah Wali Tanduran, yang diduga bekas petilasan Sang pangeran pajajaran.

Kedua, Makam Pajajaran dibukit Sigabung, diperkirakan petilasan tempat Pangeran Cakrabuwana melakukan tafakur untuk mencari jati diri dan Sangkan Paraning Dumadi.

Ketiga, Makam Pajajaran di Pacalan Kampung Sebelas, diyakini sebagai tempat tinggal Putra Mahkota Kerajaan Pajajaran.

Setelah melihat peta lokasi, petilasan-petilasan tersebut dapat dihubungkan melalui garis lurus, terbentang antara gunung Dieng sampai Cirebon. Berdasarkan identifikasi tersebut, mungkin saja Pangeran Cakrabuwana pernah tinggal di Padepokan agama Budha di datran tinggi Dieng atau barangkali pada masa itu dataran tinggi Dieng masih termasuk wilayah Parahiyangan Bang Wetan sebagaimana diterangkan dalam naskah Pustaka Negara Kretabumi.

Disamping mendapatkan keturunan dari putrid Ki Gde Danuwarsih, Pangeran Cakrabuwana juga memperoleh beberapa putra dari istri yang lain yaitu :
1. Dari Putri Kamboja,
Nyai Mas Sejati dikaruniai 7 (tujuh) orang anak antara lain :
1. Nyai Mas Rara Kanda
2. Nyai Mas Rara Sejati
3. Nyai Jati Marta
4. Nyai jamaras
5. Nyai Mas Campa
6. Nyai Rasa Melasi
7. Nyai Mas Merta Singa.

2. Dari Putri Ki Gde Alang-alang,
Yang bernama Nyi Mas Ratna Riris dikaruniai seorang anak yang bernama Pangeran Carbon yang kemudian dibesarkan dibawah asuhan kakanya di Cirebon Girang

3. Dari Putri Ki Gde Suranaya,
Penguasa Sidapurna yang bernama Nyi Mas Wandansari dikaruniai seorang anak yang bernama Maulana Arifin. Maulana Arifin inilah yang kelak berjodoh dengan adiknya Ki Gde Loragung yang bernama Nyi Mas Ratu Selawati

Selain Panglima Ulung, Pangeran Cakrabuwana adalah pencipta Kebudayaan pasundan Islami.
Dalam masa 4 abad lamanya yaitu menaklikan Pajajaran, Keraton Ayahandanya yang Hindu. Karena itu ia diberi gelar kehormatan Pangeran Cakrabuwana.

Pangeran Cakrabuwana mulai memerintah Cirebon pada tanggal 1 Suro tahun 1445 Masehi. Waktu itu ia belum mencapai usia 22 tahun. Memang masih terlalu muda, tetapi ia mampu memegang kendali pemerintahan selama 38 tahun sejak tahun 1445 hingga tahun 1479.

Pangeran Cakrabuwana, adalah orang kuat dalam catatan sejarah Islam Tanah pasundan, ia bukan saja dikenal sebagai penakluk dan Panglima Perang yang ulung dan sukses, tetapi juga memiliki criteria kepeloporan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Peradaban yang sangat tinggi. Ia senantiasa menaruh perhatian besar terhadap berbagai macam Ilmu Pengetahuan, Sastra dan Seni Budaya, melestarikan dan mengembangkannya.

Ayahnya, Prabu Siliwangi telah mencurahkan perhatian dan mendidiknya dengan Ilmu Kemiliteran, Politik dan Kesaktian sejak kecil. Dan demi mencerdaskannya ia diserahkan kepada ulama-ulama besar pada zamannya yang menguasai bidang kajian Ilmu Agama Islam, Sastra, Falak dan Kesaktian. Mereka adalah :
Syeikh Qurotullain, Syeikh Nurjati, Syeikh Bayanillah, Ki Gde Danuwarsi, Ki Gde Naga Kumbang dan Ki Gde Bango Cangak dsb.

Ketika Prabu Siliwangi masih memerintah di Kerajaan Pajajaran, Pangeran Cakrabuwana sebagai anak masih menaruh rasa hormat dan segan kepada Kerajaan Pajajaran. Tetapi ketika Ayahandanya telah tiada, rasa hormat dan keseganan Cirebon kepada pajajaran menjadi sirna. Prabu Surawisesa sebagai penerus Sang Prabu Siliwangi benar-benar harus berpikir dan bekerja keras untuk mempertahankan kejayaan Kerajaan Pajajaran.

Panji-panji Islam mulai berkibar di Cirebon, Kuningan, Majalengka, Indramayu, Subang, Sumedang, Purwakarta, Kerawang, Priangan, Bogor yang kemudian merambat ke BANTEN.
Dengan demikian wilayah Keraton Cirebon menjadi satu antara bagian utara dan selatan, antara Cirebon dan Banten. Dan Ibukota Kerajaan Cirebon dipindahkan ke Lemah Wungkuk. Disanalah kemudian didirikan Keraton baru dinamakan Keraton Pakungwati.

Sumber-sumber setempat menganggap pendiri Keraton Cirebon adalah Pangeran Cakrabuwana. Namun, orang yang berhasil meningkatkan statusnya menjadi sebuah Kesultanan adalah Syeikh Syarif Hidayatullah yang oleh Babad Cirebon dikatakan identik dengan Sunan Gunung jati. Sumber ini juga mengatakan bahwa Sunan Gunung jati adalah keponakan dan pengganti Pangeran Cakrabuwana. Dialah pendiri dinasti Raja-raja Cirebon dan juga Banten.

Sementara kehidupan Pangeran Cakrabuwana dimasa tuanya memang sesuai dengan kehidupan orang-orang darwis. Ia selalu mengembara ke berbagai tempat. Sekali waktu ia diberitakan berada di pajajaran dan dijuluki sebagai Garantang Setra Walangsungsang . Pada saat lain lagi diberitakan pula bahwa ia sudah berada di bagian kulon jawa dikenal dengan julukanPangeran Gagak Lumayung, dan pada kesempatan lain ia sudah berada di kawasan Cirebon terus dikenal dengan nam Syeikh Mursyahadatillah. Di bagian Jawa Barat bagian Selatan ia mengumumkan dirinya dengan nama Sunan Rahmat Suci.

Akhirnya pada Tahun 1529 masehi, Pangeran Cakrabuwana yang dikenal dengan Syeikh Mursyahadatillah pulang Kerahmatullah. Kehilangan “Wong Agung Cirebon Seuweu Siliwangi”.
Pangeran Cakrabuwana alias Haji Abdullah Iman alias Somadullah alias Syeikh Mursyahadatillah yang sangat disegani dikawasan timur, mempengaruhi suasana duka kerabat Keraton Cirebon. Dialah yang sebenarnya direstui Sri Baduga Maharaja Siliwangi untuk menjadi Penguasa Kerajaan Pakungwati Cirebon sebagai Sri Mangana.
Dialah peletak dasar fondasi Islam di Jawa Barat. Tanpa bimbingan dan kerelaan hati dirinya, tidak myngkin Syeikh Syarif Hidayatullah naik tahta menjadi Susuhunan Jati, walaupun didukung oleh para Wali Songo lainnya. Dialah sebagai pelindung posisi Syeikh Syarif Hidayatullah sebagai anak adiknya, dan sekaligus sebagai menantunya.

Pangeran Cakrabuwana atau Mbah Kuwu Sangkan atau Syeikh Mursyahadatillah dimakamkan di Keramat Gunung Sembung yang telah dibangun sebelumnya di atas Komplek Masjid yang tiang sakanya merupakan hadiah Syeikh Maulana Hasanuddin bin Yusuf Sidiq Al Sinni yang lebih dikenal sebagai Syeikh Quro Kerawang. Masjid inilah yang kemudian popular dengan MASJID CIPTARASA.
Sumber:Wikipediahttp://padepokanincu.blogspot.com/2009/07/prabu-kian-santang.html

Dimanakah Makam Prabu Kian Santang?

Setelah sekian banyak catatan sejarah yang sudah saya baca dan makam/kuburan yang dianggap sebagai makam Prabu Kian Santang yang sudah saya kunjungi, akan tetapi pertanyaan tersebut [judul di atas] sampai saat ini belum saya temukan jawabannya secara pasti, bahkan semakin banyak saya cari tau, semakin tidak jelas dimanakah makam sebenarnya, Prabu Kian Santang.
Prabu Kian Santang atau Pangeran Walangsungsang atau Sunan Rohmat atau Sunan Godog atau Ki Samadullah atau Abdullah Iman atau Pangeran Cakrabuana atau Hurang Sasakan atau Sri Mangana atau Gagak Lumayung atau Maulana Ifdil Hanafi atau Haji Tan Eng Hoat dilahirkan sekitar tahun 1423 M merupakan anak pertama dari tiga bersaudara yaitu Nyai Rara Santang atau Nyai Hajjah Syarifah Mudhaim lahir sekitar tahun 1426 M dan Raja Sangara lahir sekitar tahun 1428 M. Dari hasil perkawinan antara Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang atau Nyai Subang Karancang.
Sejarah hidup Prabu Kian Santang juga terdiri dari beberapa versi, akan tetapi sejarah hidup beliau yang paling terkenal terutama oleh kalangan masyarakat Jawa Barat adalah awal mula beliau memeluk agama Islam.
Dalam Babad Godog diceritakan bahwa Kian Santang muda saat itu adalah seorang yang sangat sakti, sampai-sampai beliau tidak pernah melihat darahnya sendiri. Jiwa mudanya yang bergelora membawa beliau berkelana mencari orang yang sanggup mengalahkan beliau sampai beliau dapat melihat darahnya sendiri, hingga pada suatu saat beliau mendengar bahwa di daerah arab ada seorang yang sangat sakti mandra guna. Dengan ilmu ”napak sancang”nya (dapat berjalan di atas air) beliau sampai di wilayah arab dan bertemu dengan orang tua di pinggir pantai, dan singkat cerita mereka bertemu dan berkenalan sehingga orang tua tersebut mengajak beliau ke rumahnya dan orang tua tersebut berjanji akan mempertemukan dengan orang sakti yang dicarinya, dalam perjalanan ke rumah, tongkat orang tua tersebut tertancap dipasir, dan orang tua tersebut meminta bantuan Kian Santang untuk mengambilkannya, akan tetapi walaupuan seluruh ilmu kedigjayaan yang beliau miliki digunakan untuk mencabut tngkat tersebut, tetap saja tongkat tidak dapat diambil, sampai akhirnya keluar darah dari pori-pori tangan kian santang.
Dari kejadian tersebut Kian Santang baru menyadari bahwa orang tua yang bertemu dengannya adalah orang yang dicarinya, orang tua tersebut adalah Syaidina Ali bin Abu Thalib ra., akhirnya beliau pun insyaf atas kesombongannya dan memeluk agama Islam.
Dalam cerita lain pula ada yang menyebutkan bahwa beliau memeluk Islam dibai’at langsung oleh Rasulullah SAW., kedua kisah tersebut jika dirunut berdasarkan periode waktu beliau di lahirkan dengan periode Rasulullah dan para Sahabat sangat terpaut jauh periodenya yaitu sekitar kurang lebih delapan abad. Wallahualam…
Berdasarkan sumber lain di ceritakan pula bahwa beliau sudah memeluk agama Islam sejak kecil/lahir, karena beliau adalah cucu dari Syekh Quro dari karawang, ayah dari ibunya yaitu Nyai Subang Larang. Kemudian beliau belajar agama Islam pada Syekh Datuk Kahfi di Cirebon, dan pergi ke tanah suci untuk melakukan haji sekaligus memperdalam ilmu agama Islam bersama adiknya yaitu Nyai Rara Santang.
Setelah kembali ke tanah Jawa, beliau mendirikan kerajaan Cirebon dan menyebarkan agama Islam, sampai suatu waktu beliau mengajak ayahnya yaitu Prabu Siliwangi untuk memeluk agama Islam, tapi walau pun Prabu Siliwangi sudah menyadari bahwa agama Islam adalah agama yang benar, karena Nyai Subang Larang istri Prabu Siliwangi, Ibunda Kian santang Sendiri adalah seorang muslimah, akan tetapi ayah beliau Prabu Siliwangi belum diberikan hidayah oleh Allah SWT. untuk memeluk agama Islam.
Sampai terjadilah suatu kejadian yang terkenal pula kisahnya dikalangan masyarakat Jawa Barat yaitu kisah dikejar-kejarnya Prabu Siliwangi oleh Kian Santang dan dalam proses pengejaran itu masing-masing menggunakan ilmu ”nurus bumi” yaitu berlari dibawah tanah. Sampai di sebuah hutan di daerahTasikmalaya Garut yang bernama hutan Sancang mereka bertemu dan bertarung mengadu kesaktian.
Akan tetapi Prabu Siliwangi kalah dalam pertarungan tersebut dan Prabu Siliwangi dengan kebijaksanaanya mempersilahkan pengikutnya untuk mengikuti ajaran Kian Santang, cerita ini termaktub dalam Uga Wangsit Prabu Siliwangi.
Perjalan panjang hidup Kian Santang yang berkelana antara wilayah tatar Sunda dan Cirebon, hal ini lah menjadikan makam beliau ada dimana-mana yaitu diantaranya di komplek pemakamam Gunung Jati – Cirebon, di daerah Godog – Garut – Jawa Barat, di daerah hutan Sancang – Garut – Jawa Barat, dan dibeberapa tempat lainnya. Dan untuk makam asli beliau tidak ada yang tau pasti, tapi jika mengikuti perjalanan sejarah, makam yang berada di komplek pemakaman kesultanan Cirebon yang ada di wilayah Gunung Jati, yang lebih mendekati kebenaranan.
Makam yang berada ditempat lain hanya merupakan suatu simbol yang dibuat oleh masyarakat diwilayah tersebut yang menunjukan bahwa beliau pernah ke wilayah tersebut (patilasan [sunda: bekas singgah]). Hal ini sama seperti makam-makam seorang nabi yang berada di beberapa tempat.

2 komentar:

  1. Terima kasih atas rtikel yang sangat berguna ini...

    BalasHapus
  2. Artikel yg sangat menarik,perlu generasi muda saat ini mencintai leluhur dan kebudayaan bumi Pertiwi.

    BalasHapus